Mengusung Kredo Agraria, Melintasi Tempat dan Waktu

 


Fragmen autobiografi Noer Fauzi Rachman, yang ditulis 
18 Juli 2015, dalam rangka mengingat ulang tahu setengah abad, ke-50.


Noer Fauzi Rachman

 

Saya tumbuh sebagai bagian dari generasi aktivis mahasiswa di kota Bandung di tengah hingga akhir tahun 1980-an, yang sedang haus akan penjelasan mengenai (a) mengapa dan bagaimana perampasan tanah rakyat berlangsung secara terus-menerus brutal untuk kepentingan perusahaan-perusahaan perkebunan, kehutanan, pertambangan, kawasan industri manufaktur, dan lainnya di seantero negeri membangun sistem produksi kapitalis beserta infrastruktur-infrastruktur pendukungnya?; (b) mengapa dan bagaimana pemerintah menggunakan dan menyalahgunakan kekuasaan, termasuk dengan hukum Negara, kewenangan lembaga-lembaga pemerintah, hingga mempergunakan budget dalam menciptakan proyek-proyek, untuk melancarkan perampasan tanah itu?; dan (c) Apa akibatnya terhadap hidup rakyat agraris, dan mengapa dan bagaimana rakyat agraris membentuk kepatuhan, kalah atau dikalahkan, atau membentuk perlawanan/resistensi menghadapi kekuasaan pemodal dan pemerintah yang represif demikian itu?  

Kami tidak bisa terima sama sekali segala propaganda jer basuki mawa bea bahwa harus ada yang berkorban untuk pembangunan menuju kemakmuran, dan tidak puas pada penjelasan normatif yang sederhana bahwa pemerintah berjalan secara otoriter dan menyimpang dari konstitusi UUD 1945, serta gagal memenuhi seluruh atribut etis “negara budiman” yang dilekati kepadanya sebagai badan penguasa, sebagaimana yang dituliskan di Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, pasal 33 ayat 3 UUD 1945, dan Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria. 

Mengapa petani yang begitu berjasa bagi kemerdekaan Indonesia itu, seperti yang mengendap dalam moto warisan revolusi kemerdekaan “petani adalah soko guru revolusi”, bisa bernasib tragis di bawah rejim pemerintahan paska-kolonial?  Apa yang terjadi sesungguhnya?

Sebagai suatu generasi aktivis terdidik kami bermotivasi kuat untuk mencari segala penjelasan melalui keterlibatan bersama tokoh-tokoh petani, turun lapang (istilahnya turba: turun ke bawah) untuk merasakan, observasi, bercakap-cakap dengan rakyat. Kami juga memburu buku-buku, manuskrip laporan hasil penelitian, menghadiri dan mendengar ceramah serta berdiskusi berkonsultasi dengan para ahli yang sebagian kemudian menjadi narasumber/guru tetap kami, hingga secara otodidak mampu membuat bahan pendidikan untuk para tokoh petani mengenai mekanisme umum dalam politik dan kebijakan agraria, khususnya pemberian lisensi-lisensi dan operasi kekerasan oleh birokrasi sipil, polisi dan militer yang represif, yang pada gilirannya membuat rakyat petani kehilangan hak dan akses atas tanah, kekayaan alam, dan wilayah hidupnya.

Satu kejadian yang dapat dengan mudah dihadirkan disini adalah ketika pada tahun 1988/9 saya menjadi bagian dari aktivis mahasiswa, para pekerja bantuan hukum struktural, serta aktivis HAM, dan jurnalis yang benar-benar merasa terpanggil dan belajar memahami, mengurus atau menyuarakan kepentingan perjuangan agraria rakyat petani Gunung Bageda, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Penggeraknya adalah kejadian ketika polisi, jaksa dan hakim mengkriminalkan 13 (tiga belas) tokoh petani Gunung Badega, Kabupaten Garut, Jawa Barat, yakni Engkom Komariah, Suhdin bin Ojo, Radi bin Sukardi, Aju bin Emet, Main Marhum bin Sobandi, Yahda bin Wikanta, Memed bin Omod, Idar bin Aja, Oman bin Sarip, Osad bin Ejob, Rosidin bin Muna, Eman bin Sutama, dan Ayo bin Ajudin. Kami merasa penangkapan, penuntutan, penyidangan dan pemenjaraan mereka merupakan satu titik kulminasi/puncak dari penindasan rejim otoriter terhadap sejumlah pemimpin rakyat yang memutuskan dan memilih jalan berjuang untuk tanah air mereka. 

Padamulanya mereka membentuk Panitia Permohonan Tanah, di tahun 1985, dan bekerja dengan basis 8 (delapan) kelompok tani, yang tersebar di kampung-kampung yang terpisah secara geografis sebagai bagian dari suatu dataran tinggi/pegunungan kira-kita 1000 meter di atas permukaan laut. Dari kampong Cikaso hingga Cidatar. Panitia ini mengajukan permohonan hak atas tanah yang telah mereka garap kepada Bupati Garut, dan segera dapat jawaban penolakan dengan alasan tanah bekas perkebunan Belanda itu tetap akan dijadikan perkebunan oleh PT. Surya Andaka Mustika (SAM) yang berkedudukan di Bandung. 

Surat permohonan diajukan Panitia Permohonan Tanah Badega itu juga ke Gubernur Jawa Barat dan Menteri Dalam Negeri, namun didapat jawabannya. Tanpa sepengetahuan petani penggarap, tahun 1986, PT. SAM mendapatkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No.SK.33/HGU/ DA/86. Berdasar lisensiini, PT. SAM memaksa para petani penggarap untuk segera menyerahkan tanah garapan mereka dan dijanjikan akan diterima menjadi buruh perkebunan PT. SAM dengan upah Rp 600/hari. Rakyat penggarap menolak, pertarungan di lapangan tidak terelakkan, hingga pada gilirannya Panitia Permohonan mencari bala bantuan, termasuk ke LBH Bandung, dan para aktivis mahasiswa yang biasa juga beraktivitas di sekitar LBH Bandung.

Saya pada mulanya mengenal dua dari mereka, yakni Ibu Engkom dan pak Suhdin di suatu acara latihan dalam rangka bantuan hukum untuk para pemimpin kasus-kasus tanah yang diadakan oleh LBH Bandung pada tahun 1986. Ibu Engkom bersama pak Suhdin adalah dua pemimpin perjuangan tanah Badega yang sanggup membuat saya merasa terpanggil karena mereka secara tulus berjuang untuk kepentingan umum. Lebih-lebih, saya terpesona, berdecak kagum pada kemampuan mereka berdua secara fasih, persis dan tartil menyampaikan ayat-per-ayat dari peraturan yang membenarkan klaim mereka atas hamper 500 ha tanah eks-perkebunan Belanda yang digarap rakyat. Sebut saja pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar 1945, dan pasal-pasal penting dalam Undang-undang nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA 1960). Yang mencengangkan adalah mereka berdua dapat mengulang seluruh isi Keputusan Presiden 32 tahun 1979 tentang Pokok-pokok Kebijaksanaan dalam rangka Pemberian Hak Baru atas tanah asal Konversi Hak-hak Barat, dan seluruh isi dari Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 3 tahun 1979 tentang Ketentuan-ketentuan mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru atas tanah asal Konversi Hak-hak Barat, mulai dari judulnya, nomornya, isi bagian menimbang dan seterusnya hingga akhir. Dari mereka berdualah saya belajar bagaimana pentingnya meghafal dan cakap menyampaikan isi ayat-ayat perundang-undangan yang penting untuk meyakinkan pihak pendengar dari pembicaraan kita mengenai klaim yang kita majukan/perjuangkan.

Kasus Badega menjadi pusat perhatian para aktivis mahasiswa setelah diciduknya 13 tokoh petani itu. Diketahui dari para pengacara dan asistem pengacara LBH Bandung,  sungguh membuat kami geram. Mereka diciduk malam hari tanggal 30 september 1988 oleh serombongan polisi dengan dua mobil jeep, dan dibawa ke suatu kantor. Mereka diinterogasi, dengan sikasan pemukulan hingga mukanya babak belur, ditelanjangi, dan badannya disundut rokok, lalu dijebloskan ke dalam sel. Esok harinya 12 (dua belas) petani a yang berasal dari Badega disatukan dengan para kriminal untuk kasus pencurian, pembunuhan, pemalsuan, dll. Kamar tahanan 1,5 x 2,5 m berisi 27 orang. Selama satu minggu kalau buang air (besar atau kecil) musti ditampung, termasuk dengan kantong kresek plastik atau botol Aqua. Enam puluh hari kemudian semua tahanan dari Badega dari sel polisi  dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan (LP). 

Satu kawan kami aktivis, Yayak Yatmaka, membuatkan lagu khusus untuk mereka.

 

Kawan kami tiga belas, dipenjara Polisi

Salah dan dosanya tak jelas, kami tak bisa mengerti

Negeri ini benar kacau, hukum sudah tak dihirau

Kami tak sudi kawan kami, mati disiksa polisi

 

Para pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung bekerja sebagai memberi bantuan hukum bagi mereka dalam menjalani proses penyidikan, pemeriksaan, hingga persidangan, sampai proses menjalani hidup di penjara. LBH juga mengirimkan paralegalnya membantu pengorganisasi masyarakat petani di lapangan maupun dalam memberi dukungan bagi keluarga-keluarga yang menjalani persidangan.  Sejumlah aktivis mahasiswa di Bandung membuat Komite Solidaritas untuk Rakyat Badega (KSURB) yang pada saat hari pembacaan putusan hakim di Pengadilan Negeri Garut, mampu membilisasi puluhan orang untuk jalan kaki long march Bandung ke Garut. Para aktivis perempuan lintas kota membentuk Kelompok Perempuanuntuk Solidaritas Badega (KPSB). Para jurnalis hingga kolumnis terkemuka Mahbub Djunaidi menulis laporan dan esai opini. 

Kami senantiasa menyempatkan diri datang dan tinggal sejumlah hari di Badega selama mereka dipenjarakan. Nyanyian-nyanyian yang dibuatkan kawan kami, mahasiswa senior Jurusan seni rupa ITB, Yayak Yatmaka menyemangati semua kegiatan turba kami, berjalan kaki satu hingga dua jam dari satu lokasi kelompok ke lokasi kelompok lainnya, dan mengumpulkan anak-anak membentuk sanggar-sanggar seni bermain belajar bersama. 

Nyanyian favoritku adalah: 

Kudengar swara, tanah terluka 

Bumi Badega menjerit lara 

Bumi ibunda nyata dihina 

Kaki kaki busuk jiwanya nista

 

Bangunlah kawan, apikan jiwa 

Si Pemakan Tanah, usirlah musnah 

Yakinlah benar kita tlah sadar 

Bumi Badega kita empunya 

 

Juga nyanyian yang ini:

 

Bumi Badega tak cuma sekedar kata 

Ia nyawa bagi kami rakyat disana 

Bumi Badega tak mungkin kami lepaskan 

Meski kami ditekan dengan segala cara 

 

Bumi Badega tak mungkin kami tinggalkan

Ia mencatat percik darah kami rakyat disana 

Bumi Badega tak Cuma angin atau bunga 

Ia tempat kami bersembah bertemu Tuhan

 

“Saya di penjara 16 bulan. Saya yang paling lama. Satu dari kami yang di penjara adalah Bu Kokom. Bu Kokom itu sebetulnya yang paling berani di antara kita. Beliaulah yang membantu saya untuk membangkitkan semangat perlawanan petani,” kenang Suhdin.

Setelah turba di tahun 1986, saya menanyakan ke pak Suhdin, satu tokoh yang baru keluar di Penjara Kelas 1 Garut,  cuplikan percakapan dengan pak Suhdin, yang sempat saya catat, mengenai kekuatan yang ia andalkan untuk tetap berjuang. 

“Keyakinan! Yakin akan kehidupan dan masa depan yang lebih baik. Pada saat itu dan sampai sekarang kita masih berpegangan pada pernyataan yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum dan kami tidak mendapatkan keadilan atas persoalan penindasan yang mengatasnamakan hukum di Negara kita. 

Misalkan, pada tahun 1987 Bapak pernah diculik oleh pihak Polsek Cikajang pada 30 September di malam hari. Ini terjadi karena sebelumnya kami melakukan pengajuan permohonan menggarap tanah kepada Bupati dan kemudian ditolak. Penculikan ini dilakukan bertepatan dengan peringatan hari kesaktian Pancasila. Mungkin mereka mau menuduh kami sebagai kaum komunis atau PKI. Tuduhan seperti ini sering sekali dilakukan oleh pemerintah pada saat itu terhadap kami yang seringkali membuat kami merasa difitnah, ditakut-takuti dan merasa terhukum oleh mereka yang yakin akan tuduhan tersebut. 

Pada saat saya diculik, saya didera berbagai macam siksaan sampai mata saya tidak bisa melihat dan muka saya hancur, lebih dari itu kami diintimidasi agar menandatangani suatu pernyataan yang isinya menyatakan suatu syarat bahwa kami tidak akan menggarap tanah milik perkebunan. Pada saat itu saya menandatangani pernyataan tersebut. Karena penandatanganan inilah saya dikeluarkan oleh pihak Polsek. 

Semakin kami ditindas, semakin kami yakin terhadap apa yang kami perjuangkan.”

 

Pada masa itu, dapatlah dikatakan, kerangka kerja para aktivis agraria dalam keseluruhan gerakannya adalah “Kembalikan Tanah Rakyat yang Dirampas Pembangunan”. Saya ingat pada poster “Tanah Untuk Rakyat” yang menghebohkan pada tahun 1990-an itu (Rachman 2013). Meskipun isu “Tanah untuk Rakyat” ini naik ke media massa ini, namun belum menyentuh masalah ketimpangan struktur agraria. Dengan kata lain, tema sentral yang berkembang pada saat itu baru menyentuh hilangnya akses rakyat atas tanah yang selama ini mereka kuasai, miliki, duduki, tinggali, atau digarap. UUPA 1960 masih dirujuk sebagai undang-undang pelindung para petani yang posisinya kalah dan dikalahkan dalam konflik agraria. Belum lebih jauh dari itu.

Dari karya para guru agraria generasi terdahulu, dan interaksi langsung dengan sebagian mereka yakni Sajogyo, Tjondronegoro, Gunawan Wiradi, Lukman Soetrisno, Moebyarto, saya belajar politik agraria. Saya sebut disini saja satu yang paling berpengaruh yakni makalah Gunawan Wiradi “Tonggak-tonggak Perjalanan Kebijaksanaan Agraria di Indonesia”[1], yang membuat saya mengerti bahwa, kebijakan agraria Indonesia yang saat itu berujung pada perampasan-perampasan tanah itu adalah cuma satu babak saja dari perjalanan panjang sejak masa kolonial.  Betapa tidak. Makalah yang diedarkan itu benar-benar telah menggoda, merangsang alam pikiran kami. Kami memfotokopi dan membacanya berkali-kali. Ya, karena naskah demikian banyak diminati para aktivis, kami berkali-kali memfotokopinya. Kami mendebatkan, menuliskan komentar hingga merujuknya ketika kami menulis karya kami sendiri, baik untuk bahan latihan dan kursus bagi para pengerak rakyat maupun terbitan di koran, majalah, jurnal dan buku. “Tonggak-tonggak Kebijakan Agraria Indonesia”  itu pula yang secara khusus membuat saya tergerak meminta karya-karya terserak Wiradi lainnya, dan  menyunting karya-karya terserak itu lainnya menjadi buku: Wiradi (2001) Reforma Agraria: Urusan yang Belum Berakhir. yang kemudian diberi pengantar oleh Prof. Sajogyo.

Disini perlu saya sebut bahwa buku saya yang pertama, yakni Noer Fauzi (1999) Petani dan PenguasaDinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria) diinspirasikan oleh “Tonggak-tonggak Kebijakan Agraria Indonesia” itu. Lebih dari itu, disertasi saya Resurgence of Land Reform Policy and Agrarian Movements in Indonesia (Rachman 2011) dan buku Land Reform dari Masa ke Masa (Rachman 2012) merupakan pengembangan lebih lanjut dari minat dan pemahaman historis yang semakin dalam dan luas mengenai perjalanan kebijakan agraria Indonesia. Saya mempekerjakan konsep analitik “akumulasi primitif” untuk memahami secara lebih baik kebijakan agraria Indonesia sejak masa kolonial. 

Perampasan Tanah Global

Saya beruntung bisa memperluas dan memperdalam studi agraria di program doktoral di University of California, Berkeley, di bawah pembimbing utama Prof. Nancy Peluso. Salah satu dari sekian banyak yang saya  pelajari adalah konsep akumulasi primitif itu. Karl Marx mengunakan istilah “the so-called primitive accumulation” berangkat dari pengertian Adam Smith previous accumulation. Apa yang disebut sebagai akumulasi primitif (primitive accumulation) untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh Karl Marx (1976/1898) dalam Capital vol 1, Bagian VIII. Dalam bab itu, analisis Marx utamanya membahas  fenomena historis di Inggris selama periode  awal pembentukan cara berproduksi kapitalis, sesuatu yang Marx anggap sebagai bentuk yang klasik dari akumulasi primitif.  Ia menyadari bahwa motif akumulasi kekayaan dan keuntungan itu merupakan penggerak kapitalisme. Dan syarat awalnya adalah akumulasi stock, dan ia menulis, ”the accumulation of stock must, in the nature of things, be previous to the division of labour”.  

Tapi, syarat akumulasi stock itu bukan syarat cukup. Yang menentukan bagaimana kekayaan diakumulasikan adalah suatu transformasi hubungan-hubungan sosial dalam proses produksi, juga adalah hubungan kepemilikan (property relations) – sebagaimana diurai dengan bagus oleh Ellen Meiksins Wood (2002:36).  Dalam konteks inilah untuk pertama kalinya tanah-tanah dan kekayaan alam diputuskan dari hubungan sosial pra-kapitalis, dan dijadikan bagian modal dalam sirkuit baru sistem produksi kapitalis. Di lain pihak, petani yang tadinya punya hubungan erat dengan tanah dan kekayaan alam itu dilepaskan secara brutal, dan kemudian dibebaskan menjadi tenaga kerja bebas.

            Menurut Massimo de Angelis, modal harus dipahami sebagai sebuah kekuatan (force). Sehingga sehubungan dengan penghentian akses penduduk atas tanah melalui tindakan perampasan (land disposession), modal harus dipahami sebagai enclosing social force (De Angelis 2004:59, n . 5). Oleh sebab itu, enclosure ditempatkan de Angelis sebagai ciri yang melekat pada cara produksi kapitalisme. Ia mengelompokkan enclosure menjadi dua model implementasi, yakni: ”(i) enclosure sebagai sebuah rancangan ”kekuasaan atas” (power over), dan (ii) enclosure sebagai sebuah akibat dari proses akumulasi.  Pada  yang pertama ... menunjukkan berbagai macam strategi yang sungguh-sungguh dirancang dengan berbagai bentuk dan nama . Sedangkan pada makna yang dua, enclosure merupakan akibat yang tak direncanakan (unintended by-product) dari akumulasi yang (dalam bahasa ekonomi) dikenal sebagai ”negative externalities”, yang tak dikalkulasi dalam harga pasar dari barang-barang yang dihasilkan, karena biaya-biaya yang dikeluarkan oleh para penghasil barang itu itu memang berada di luar perusahaan yang memiliki barang itu (de Angelis 2004:77-78). 

            Saya mempenggunaan konsep akumulasi primitif untuk dapat dipekerjakan untuk memahami problem agraria Indonesia dewasa ini, dengan merujuk pada apa yang terjadi di Merauke sehubungan dengan pembentukan MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) (Ito, Rachman, Savitri 2013). Proyek ini merupakan contoh yang terkenal dari apa yang disebut sebagai “perampasan tanah global” (global land grabbing). Dari penelitian lapangan di lokasi pelaksanaan MIFEE, termasuk proses-proses sosial di kampung  Zanegi hingga lansekap di distri-distrik di kabupaten Merauke, saya bisa melihat adanya perwujudan dari kebijakan yang bertingkat dengan beragam aktor telah menyediakan banyak pintu bagi produksi dan pembentukan ruang untuk sistem produksi kapitalis yang baru, dalam hal ini produksi komoditas-komoditas  kehutanan dan perkebunan. 

Tidak terlalu sulit untuk menelusuri proses kebijakan nasional yang melahirkan proyek ini. Krisis pangan yang melekat erat pada krisis energi semakin menajam pada tahun 2008 menjadi tantangan kreativitas bagi pemerintah Indonesia untuk mengubah wacana krisis menjadi peluang. Harga komoditas pangan yang meroket dan permintaan energi terbarukan yang meningkat di tengah situasi tidak terlalu dirasakan dan mudah dilihat oleh banyak orang di Indonesia, baik karena ketersediaan stok, intervensi-inetrvensi pasar oleh pemerintah dengan import bers dan komoditas pertanian lain, operasi-operasi pasar,  maupun injeksi uang tunai pada orang miskin. Yang sangat terlihat adalah krisis pangan dan energi global telah menjadi pembuka pintu bagi peluang investasi di kedua sektor itu. Peluang ini segera ditangapi oleh elite pemerintah dengan menghasilkan/memodifikasi kebijakan-kebijakan yang bermuara pada pemberian konsesi-konsesi perkebunan skala raksasa. 

            Hal ini bisa dilihat jelas dari dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Maret 2008. Peraturan ini dengan jelas menunjuk Kabupaten Merauke sebagai Kawasan Andalan. Pada Mei 2008, dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi 20082009 yang menginstruksikan Kementerian Pekerjaan Umum dan Gubernur Papua untuk menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merauke. Pada tahun yang sama, Kementerian Pertanian mendapat rapor merah karena belum berhasil meluncurkan program MIFEE.

Sementara instrumen kebijakan tata ruang Kabupaten Merauke maupun Provinsi Papua, juga desain MIFEE belum lagi selesai, gerak cepat izin lokasi yang dikeluarkan Bupati Merauke pada 2008 telah menghasilkan pengalokasian tanah seluas 300.000 hektar kepada PT Medco yang juga dilegitimasi secara adat. Pada 2009, salah satu anak perusahaan PT Medco berhasil mendapatkan izin Hutan Tanaman Industri (HTI) berdasarkan Surat Keputusan Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Nomor 18/Menhut-II/2009 dengan total luas 169.400 hektar. Di lokasi yang berbeda dengan anak perusahaan yang lain, PT Medco juga memperoleh izin pengembangan industri kayu serpih seluas 2.800 hektar. Pada 2010, melalui anak perusahaan yang berbeda lagi, PT Medco sudah mendapatkan izin lokasi untuk HTI seluas 74.219 hektar. Kayu serpih ini diekspor ke Korea dan China, bukan untuk bahan baku kertas, melainkan sebagai bahan bakar pengganti batubara. Bisnis kayu serpih sebagai bahan bakar terbarukan menjustifikasi operasi HTI PT Medco dalam rubrik Energy Estate. Dua anak perusahaan PT Medco yang disebut terdahulu pada saat ini sudah beroperasi dan melakukan pembayaran untuk pelepasan tanah adat, termasuk pembayaran penggantian kayu yang mereka panen dari hutan orang Marind. Lebih jauh lagi, bisnis kayu serpih ini juga sudah berhasil menarik investasi dari Korea Selatan melalui LG International.

            Selanjutnya pada 2010, PP Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman dikeluarkan untuk mengatur luasan pengusahaan budidaya tanaman dengan memperbolehkan penguasaan tanah di Papua dua kali lipat dari batas maksimum untuk daerah lain di Indonesia, yaitu mencapai 20.000 hektar. Namun, pada 2009, Grup Rajawali telah lebih dulu mengantongi izin lokasi untuk perkebunan tebu di Merauke melalui dua anak perusahaannya dengan luasan mencapai 35.000 hektar. Pada saat itu, juga sudah ada sepuluh perusahaan pemegang izin lokasi untuk perkebunan kelapa sawit dengan total luas 377.387,90 hektar, dengan rata-rata luas ijin yang dikeluarkan sebesar 35.000 hektar.

            Selanjutnya, perkembangan luasan konsesi yang diberikan melalui penggunaan kewenangan Bupati Merauke dalam memberikan Ijin Lokasi, dari waktu ke waktu semakin bertambah secara fantastis, dari Januari 2007 hingga di Agustus 2010, untuk 48 perusahaan mencapai luas 2.319.094 hektar!!! (Data dari BKPMD kabupaten Merauke 2011)

            Pada prakteknya, luasan konsesinya tidak akan sebesar ini. Saat ini sedang terus berlangsung proses “perampasan tanah” yang berlangsung melalui Jalur perundang-undangan dan jalur adat (lihat bagan 1. Bagan Proses Perampasan Tanah, sumber: Savitri et al, akan terbit). 

 

            Dari pengalaman penelitian di MIFEE[2]  saya mendapatkan afirmasi atas apa yang dianalisis oleh geografer ternama, David Harvey[3], bahwa

”produksi ruang, organisasi pembagian kerja yang secara keseluruhannya baru dalam wilayah yang baru pula, pembukaan berbagai macam cara perolehan sumber daya  baru yang jauh lebih murah, pembukaan wilayah-wilayah baru sebagai bagian dari dinamika ruang-ruang akumulasi modal, dan penetrasi terhadap formasi sosial yang ada oleh hubungan-hubungan sosial kapitalis dan tatanan kelembagaannya (contohnya aturan kontrak dan kepemilikan pribadi) membuka jalan bagi penyerapan surplus modal maupun tenaga kerja. Namun, ekspansi re-organisasi dan rekonstruksi geografis sering adalah perusak nilai-nilai yang telah menancap dalam pada tempat-tempat itu (terikat secara sosial pada tanah), dan juga bagi nilai-nilai yang belum melembaga (Harvey 2003;116).

            Alat analitik akumulasi primitif ini masih handal dan terus menerus perlu diasah ketajamannya dengan cara dipekerjakan menghadapi masalah-masalah agraria Indonesia, dan lebih lanjut, kemudian studi-studi termaksud sanggup membuat sumbangan bagi literature akademik studi agraria Indonesia.

 

Godaan Kredo Agraria

Mengapa saya bekerja mempelajari dan kemudian bekerja melawan akumulasi primitif itu. Salah satu yang hendak saya tunjukkan disini adalah karena saya tergoda oleh apa yang dinamakan Kredo Agraria, agrarian creed -- sebagaimana diuraikan oleh Erich H. Jacoby dalam buku berjudul Man and Land: The Essential Revolution (1971). Tulisanya:

“Kredo Agraria bukanlah suatu doktrin tertentu, tetapi ia mencerminkan harapan-harapan dan aspirasi-aspirasi bergenerasi-generasi petani, agar suatu ketika tanah dapat dinikmati dengan bebas sebebas udara, dan tidak dimiliki siapapun, dan oleh karenanya diperuntukkan bagi semua yang menggarapnya. Bahwa para petani berjuang untuk memiliki tanah dan mendapatkan jaminan atas kepunyaannya, sama sekali tidak bertentangan dengan Kredo Agraria. Itu hanyakan suatu cara menyesuaikan diri dengan sistem-sistem ekonomi dan masyarakat yang bekerja berdasarkan sistem-sistem kepemilikan yang sudah mapan. … Meski sering dikaburkan oleh mitos-mitos dan legenda-legenda lokal, Kredo Agraria itu adalah universal. Ia tidak terikat pada suatu saat waktu atau suatu rangkai isi ajaran tertentu, sesungguhnya ia kuat sekali tertancap di hati para penggarap yang kemudian diungkapkan dengan sadar, dan mendorong kaum lemah melawan para penindasnya” (Jacoby 1971:88).[4]

Saya belajar dari pemimpin-pemimpin perjuangan agraria dalam situs-situs yang beragam, mulai rumah tangga, kampung, hingga satuan administrasi politik dari kabupaten hingga pemerintahan nasional.

 “… Kredo Agraria itu, yang telah sering digunakan dan disalahgunakan dalam berbagai propaganda politik, sesungguhnya berakar kuat di hati rakyat dan menjadi ukuran mereka untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pemerintahan nasional. … Tugas yang sangat berat adalah menemukan cara yang paling singkat dan efektif untuk membuka katup energi-energi yang dibutuhkan untuk pembangunan, dan disinilah usaha tak kenal henti untuk mewujudkan Kredo Agraria  sungguh begitu berharga”. (Jacoby, 1971:88, 90, 92).[5]

 

Berjuang lah dengan Gembira

“Berjuang dengan gembira”, adalah moto yang diberitahukan pada saya oleh sejumlah teman yang bekerja di Kalimantan Timur mendokumentasi dan menginisiasi perjuangan rakyat, termasuk perempuan-perempuan pejuang, menghadapi pengrusakan layanan alam dan ancaman keselamatan oleh industri ekstraktif pertambangan dan pembalakan kayu, dan perusahaan perkebunan besar Hutan Tanaman Industri dan Kelapa Sawit. Sungguh pahit pengalaman rakyat yang hidupnya harus berubah karena ekspansi usaha perusahaan-perusahaan raksasa itu. Mereka hidup dalam situasi krisis sosial ekologis sebagai akibat dari wilayah hidup dan tanah kepunyaan mereka menjadi sasaran dari operasi-operasi kekerasan dari para operator perusahaan dan badan pemerintah untuk membersihkan segala yang tidak bisa cocok dengan usaha-usaha produksi kapitalis dalam memproduksi komoditas global pertambangan, perkebunan, dan kehutanan. 

Berjuang? Ya, saya mempergunakan kata itu dengan sadar. Banyak kelompok rakyat miskin di seantero desa, pinggir kota, di pedalaman maupun pesisir pulau-pulau dilanda rasa galau. Rakyat menanggung beban berat secara kolektif sehubungan dengan akses pada tanah pertanian, hutan, dan lingkungan hidupnya semakin hari semakin menyempit, produktifitasnya yang semakin hari semakin merosot, dan lingkungan ekosistemnya semakin rusak.  Sebagian dari mereka memang kalah atau mengalah, dan sebagian lagi berjuang melawan sebab-sebab penderitaan mereka.

Konsentrasi penguasaan tanah yang dilakukan  oleh perusahaan-perusahaan raksasa di bidang pertambangan, kehutanan dan pekebunan, adalah berdasar pada keputusan-keputusan pejabat publik (Menteri Kehutanan, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Pertambangan dan Energi) yang memberi lisensi-lisensi (Ijin HPH/HPHTI, HGU, Kontrak Karya Pertambangan, dan lainnya). Keputusan-keputusan itu menjadi alas legal untuk  penyingkiran dan meminggirkan rakyat petani, nelayan, masyarakat adat yang mengumpul hasil hutan/laut, dsb-nya, dari tanah dan wilayah hidupnya oleh perusahaan-perusahaan pemegang lisensi itu. Selain tentunya juga adalah konsesi-konsesi berupa Taman-taman Nasional dan kawasan konservasi lainnya, yang juga menyingkirkan rakyat atas nama biodiversity hotspot dimana konsentrasi spesies-spesies flora-fauna langka perlu diselamatkan dan dilestarikan ekosistemnya. 

Sebagian besar mereka itu menggantungkan kelanjutan hidupnya dari cara mereka menguasai dan memanfaatkan tanah dan wilayahnya dengan sistem pertanian keluarga, perladangan suku, wana-tani, pengembalaan suku, kebun-hutan bersama, hingga pengelolaan pesisir dan laut. Selain mereka yang sibuk untuk terus-menerus mempertahankan diri dari perluasan konsesi-konsesi pertambangan, kehutanan dan perkebunan, produktivitas rakyat yang hidup di sistem-sistem produksi ini cenderung menurun. Sebaliknya, kebijakan dan fasilitas pemerintah cenderung diarahkan untuk mempermudah jalan para perusahaan/investor memperbesar produksi komoditas global dari perusahaan-perusaan  pertambangan, kehutanan dan pekebunan itu.

Pemerintahan sekarang ini bekerja di atas karakter pejabat publik di Pemerintah Pusat dan Daerah yang lebih tertarik memburu rente yang dapat diperolehnya dari pemberian lisensi-lisensi untuk usaha pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan lainnya, baik di Badan Pertanahan Nasional,  kementerian Kehutanan, Kementerian Pertambangan dan Energi, Kementerian Pertanian, dan lainnya, maupun pejabat publik di pemerintahan daerah. Dalam konteks kewenangan kabupaten yang diterima sebagai hasil desentralisasi, sudah menjadi pengetahuan umum para pengamat otonomi daerah bahwa pemberian ijin  lokasi untuk perkebunan, dan ijin usaha pertambangan (batu bara, nikel, dsb) sangat marak diberikan Bupati sebagai upaya mendapatkan rente sebagai “kompensasi dari pengeluarannya ketika bertanding dalam pemilukada”. Cara memahami dan menjalankan fungsi pejabat pemerintahan demikian itu sangat mirip dengan politik agraria kolonial terdahulu, meski kita hidup di jaman paska-kolonial. Jelas sekali hal ini sepenuhnya adalah penyimpangan dari arti “publik” sesungguhnya dari “pejabat publik” disini?

Selain karena konsentrasi penguasaan tanah, konversi tanah-tanah pertanian ke non-pertanian, perkembangan teknologi produksi, dan pertumbuhan penduduk miskin, telah ikut membuat hidup rakyat pedesaan makin sulit karena kesempatan kerja di pertanian semakin sempit, dan kerja rumah tangga pertanian rakyat tidak menguntungkan dan tidak lagi menarik.

Secara umum, dibanding dengan mereka yang membutuhkan pekerjaan, kesempatan kerja di sektor pertanian semakin menyempit dari tahun ke tahun. Minat bekerja pada bidang pertanian juga semakin menipis. Banyak sekali lapisan orang miskin di pedesaan itu, mayoritas yang tidak bertanah dan tidak bisa menikmati sekolah tinggi, harus mengambil resiko pergi ke luar desa untuk mendapatkan pekerjaan melalui kerja migran, di kota-kota propinsi, metropolitan hingga ke luar negeri. Sebagian besar dari rakyat pekerja migran ini sesungguhnya berhasil memperoleh upah kerja yang lebih baik, mengirimkan pendapatannya ke desa, dan kemudian menjadi daya tarik pula bagi pemuda-pemudi desa generasi berikutnya untuk mengikuti mereka itu. 

Dunia pertanian dan hidup di desa tidak menjanjikan bagi pemuda-pemudi. Semakin tinggi pendidikan orang desa, semakin kuat pula motivasi dan dorongan untuk mereka meninggalkan desanya.  Desa ditinggalkan pemuda-pemudi yang pandai-pandai, termasuk untuk mengenyam pendidikan menengah hingga pendidikan tinggi. Mereka diajarkan ilmu-ilmu pergi dari desa meninggalkan pertanian rakyat. Mereka inilah yang semakin memenuhi kota-kota kabupaten, provinsi dan metropolitan. Sebagian dari mereka yang berhasil, menjadi kelas menengah di kota-kota, dan bersifat konsumtif, termasuk pembelian/menyewa tanah dan rumah untuk tinggal di pinggir kota, dan motor dan mobil baru utnuk transportasi yang pada gilirannya membuat infrastuktur jalan di kota-kota propinsi dan metropolitan tidak lagi memadai. Macet dimana-mana setiap pagi pada jam pergi kantor menuju pusat kota, dan jam pulang kantor dari pusat kota ke pinggiran.

Pada konteks ini, sering kali orang tergoda untuk kembali melihat komitmen para pendiri Negara-Bangsa Indonesia. Ambil saja Ir. Sukarno, yang meletakan dasar-dasar baru pengaturan agraria nasional yang  berdasarkan kritik terhadap cara politik agaria kolonial bekerja. Sukarno dalam pidato di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 1 Juni 1945 menyebut Kemerdekaan Indonesia sebagai jembatan emas untuk dengan “leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi”. Soekarno dengan fasih mengkritik bagaimana kapitalisme sebagai suatu sistem ekonomi (dan imperialisme negara-negara Eropa yang membentuk dan memelihara kapitalisme) menyengsarakan rakyat Indonesia, dan menjadi musuh dari segenap usaha perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dalam pidato di BPUPKI itu, ia dengan jelas dan jenius menunjukkan bagaimana Negara Republik Indonesia musti difungsikan sebagai Ibu Pertiwi yang memangku rakyat sebagai warganegaranya. “Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?”

 

Semakin lama, menjadi pejuang agraria di jaman sekarang ini makin berat. 

            Sebagian dari pekerjaan saya adalah menunjukkan argumen-argumen bagaimana perjuangan agraria untuk mencapai keadilan sosial, yang adalah tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana bisa dipelajari dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, adalah pilihan dan jalan yang mulia untuk ditempuh. Berjuang di berbagai arena sekarang ini lebih sulit dan lebih besar tantangan dan para penentangnya. Karena itu, saya suka sekali dengan istilah “berjuang dengan gembira”. Moto itu menyehatkan. Bila berhasil dianut dan diwujudkan sehari-hari, maka para pejuang agrarian itu akan lebih sehat secara mental. 

Buat saya pribadi, “berjuang dengan gembira ini” bisa jadi unsur yang baik dikombinasi dengan antusiasme yang sudah melekat dalam cara kerja saya. Saya sudah dikenal sebagian kalangan mampu menunjukkan antusiasme yang bisa membangkitkan perhatian orang pada apa yang saya sampaikan dalam ceramah atau pidato. Seorang teman bilang saya itu “ahli dalam mendramatisasikan” suatu topik pembicaraan tertentu, terutama mengenai situasi kemelut yang dihadapi rakyat dan alam Indonesia. Ya, saya memang senantiasa mengasah kecakapan bicara di muka umum, dan juga dalam tulisan. Selain karena latar belakang pendidikan saya sebagai psikolog yang sangat membantu, ada sedikit rahasianya disini, yakni cara saya memperlakukan bahasa. Pandangan umum biasanya menyebutkan bahwa bahasa adalah sarana untuk mengungkapkan pemikiran. Memang betul itu. Namun, untuk mampu menjadi intelektual yang kritis, saya rasa kita harus mamampu memeriksa cara-cara orang berpikir melalui berbahasa. Bahasa adalah medium melalui mana kita berpikir. Saya melatih kecakapan berbahasa tulis maupun lisan, baik dalam soal tata bahasa, komposisi, narasi, diksi, hingga gaya bahasa.

Saya berterima kasih dan bersyukur tidak terkira mendapatkan hadiah ulang tahun ke 50 dari sebagian guru, teman, murid, dan istri-anakku berupa tulisan kenangan bekerja, berteman, belajar dan hidup bersamaku dalam bentuk tulisan kenangan. Membaca tulisan-tulisan itu membangkitkan ingatan pada fragmen-fragmen pengalaman saya. Tentunya, saya menjadi lebih dikayakan karena perspektif dari mereka tidak mudah untuk didapatkan ketika kami bekerja, bermain, belajar dan hidup bersama. Kecuali pada saat empati saya bekerja, dan hal itu cuma kejadian sewaktu-waktu saja, saya lebih terpaku pada perspektif diri sendiri, ketimbang perspektif orang lain. Dengan membaca tulisan-tulisan kenangan ini, saya dipermudah dan dimungkinkan memahami perspektif mereka. Inilah satu pelajaran utama buat saya, dan juga pembaca buku ini.

Saya terharu bahwa apa yang saya kerjakan menunjukkan hasilnya di sana-sini. Cerita-cerita yang disajikan buku ini dapat dipahami sebagai fragmen cerita proses dari para pelakunya. Mohon dimengerti bahwa sebagai buku yang bermaksud memperingati dan merayakan ulang tahun 50 tahun saya, maka akan dengan sendirinya terkesan menonjolkan andil saya. Masing-masing penulis memmilih menceritakan fragmen-fragmen itu dan menunjukkan besarnya andil saya, tapi sesungguhnya saya adalah salah satu komponen daripada keseluruhan. Besar-kecilnya andil saya berbeda-beda satu sama lain, bergantung apa yang diceritakan. Umumnya, di tulisan-tulisan dalam buku ini, andil orang-orang lain, atau faktor-faktor lain, tidak ditunjukkan sebesar dari andil saya. Meski sifat buku ini sebagai suatu perayaan, saya yakin yang belum sempat ditunjukkan pun sesungguhnya menanti untuk dituliskan.

            Hati saya berbunga-bunga sampai ingin melonjak-lonjak saking senangnya, setelah membaca pujian-pujian dalam tulisan kenangan dalam buku ini.  Meski demikian itu, saya pun digoda oleh  pikiran saya sendiri yang bertanya-tanya apakah pujian-pujian saja yang meliputi pergaulan hidup ku bersama mereka. Apa yang saya alami selama ini tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Buat saya,, sama penting cara kita belajar dari pujian dan kritikan. Saya merasa mereka telah berbaik hati memutuskan untuk menuliskan fragmen-fragmen kehidupan bersama saya untuk menunjukan kelebihan, keistimewaan, dan tauladan yang saya lakukan. Mereka memilih menggembirakan saya, dan mungkin menunda menyampaikan atau menyembunyikan kritik mereka yang dapat menimbukan rasa tidak nyaman. Sesungguhnya, mereka telah mendahulukan pujian yang berdasar pada pengalaman yang positif mereka dapatkan dari saya.

            Di kala lain, saya sedih, bahkan pada waktu-waktu tertentu sampai saya tepekur hingga tak terasa menangis sendirian, mengingat pengobanan istri dan anak-anak sebagai akibat langsung dari keleluasaan saya untuk secara produktif menghasilkan karya tulis untuk keperluan keilmuan, karya dalam membentuk kebijakan dan praktek kelembagaan pemerintah, karya praktis dalam gerakan sosial, hingga kegiatan-kegiatan pendidikan. Pengalihan perhatian, energi, waktu dan harta jatah mereka tak usai-usai dan tak terkira. Saya berterima kasih, dan melalui naskah ini minta maaf atas kesulitan yang mereka alami, serta berdoa semoga amal ibadah kita bekerja untuk kemajuan rakyat, negara dan bangsa Indonesia, diterima sebagai amal ibadah yang bila berhasil akan menjadi bersifat jariah, yang nikmat pahalanya tak putus-putus dirasakan orang banyak, dan diridhai Allah SWT. 

 

Ciputat, 18 Juli 2015, di Hari Raya Idul Fitri 1436 H/2015 

 

Daftar Pustaka

De Angelis, Massimo. 2004. "Separating the Doing and the Deed: Capital and the Continuous Character of Enclosures." Historical Materialism 12:57-87.

Fauzi, Noer (1999) Petani dan PenguasaDinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria)

Harvey, David. 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press.

_____.  2005. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press.

_____. 2006. Space of Global Capitalism: Toward a Theory of Uneven Geographical Development. London: Verso. 

Ito, Takeshi, Noer Fauzi Rachman, dan Laksmi Savitri. 2011. “Naturalizing Land Disposession: A Policy Discourse Analysis of the Merauke Integrated Food and Energy Estate.” A paper presented at the International Conference on Global Land Grabbing. Sussex University.

Jacoby, Erich H. 1971. Man and Land, the Essential Revolution. New York, Random House.

Marx, Karl. 1976/1898. Capital, Vol. One, trans. Ben Fowkes. Harmondsworth, Penguin Books

Perelman, Michael. 2000. The Invention of Capitalism: Classical Political Economy and the Secret History of Primitive Accumulation. Durham: Duke University Press.

Rachman, Noer Fauzi. 2011. Resurgence of Land Reform Policy and Agrarian Movements in Indonesia. Dissertation at University of California, Berkeley.

_____. 2012. Land Reform dari Masa ke Masa. Yogyakarta: Tanah Air beta, bekerjasama dengan Konsorsium Pembaruan Agraria.

Rachman, Noer Fauzi dan Laksmi Savitri. 2011. “Kapitalisme, Perampasan tanah Global, dan Agenda Studi Gerakan-gerakan Agraria”,  Jurnal Dignitas. Vol VII no. 2/2011.

Savitri, Laksmi , Zuhdi S. Sang, Muntaza dan Yosep Renyut (Akan Terbit). Ina Anem, Makan Anem: Hidup Malind dalam Gelombang Pertanian Industrial di tanah Merauke. Tp.

Wiradi, Gunawan. 2001. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Noer Fauzi (Penyunting) Yogyakarta: Insist Press and Pustaka Pelajar.

_____. 2008. Metodologi Studi AgrariaKarya Terpilih Gunawan Wiradi. Moh. Shohibuddin (Penyunting). Bogor: Sajogyo Institute, bekerjasama dengan Departemen Sains, Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekonologi Manusia, IPB, dan Pusat Kajian Agraria (PKA) IPB.

Wood, Ellen Meiksins. 2002. The Origin of Capitalism. A Longer View. London, Verso.

 



[1] Topik ini adalah bab dalam makalah Wiradi, Gunawan. 1986. “Kepenguasaan Tanah dalam Perspektif Transformasi Struktural”, makalah yang disajikan untuk Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) IV, LIPI, September 1986. Jakarta. 

[2] Penelitian tentang MIFEE ini dijalankan oleh Sajogyo Institute, bekerjasama dengan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian – Keuskupan Merauke (SKP-KAME), dan Komunitas Perfilman Intertekstual (KOPI) 2012. Publikasi awal bisa dilihat Ito et al (2009), Savitri et al (akan terbit).

[3] Apa yang dikemukakan Harvey ini merupakan ekspresi dari upayanya yang  bersungguh-sungguh mengelaborasi konsep ruang (space) dalam ekonomi politik, ilmu sosial dan humaniora (Harvey 1995, 2003, 2005, 2006). Usaha ini pada mulanya dirintis oleh Henry Lefebrve, seorang filsuf Marxian dari Perancis, yang dalam karya klasiknya The Production of Space (1974/1991).

[4] “The Agrarian Creed is not a definable doctrine but reflects the hopes and aspirations of countless peasant generations for a time when land will be as free as air and will belong to nobody, and therefore to anybody who is tilling it. That the peasant has to ask for the right to own the land and to be assured of its possession is not a contradiction of the Agrarian Creed but only a compromise with economic systems and societies based on established property rights. ... Though often obscured by local myths and legends, the Agrarian Creed is universal. It is not tied to a particular moment of time or a specific content bit is so strongly entrenched in the hearts of the tillers that it has become the recognized expression and has encourage the weak to fight their oppressors. (Jacoby 1971:88)

[5] “The fundamental importance of the Agrarian Creed is reflected throughout recorded history. … The Agrarian Creed, used and abused in political propaganda, is so strongly rooted in the minds of the people that it has become their yardstick for the success or failure of the new national government…  The immense task remains of finding the shortest and most effective way to release the energies needed for development and it is here that the continued pressure for a realization of the Agrarian Creed may prove a most valuable instrument.” (Jacoby, 1971:88, 90, 92)

 

No comments:

Post a Comment