Fragmen autobiografi Noer Fauzi Rachman, yang ditulis 18 Juli 2015, dalam rangka mengingat ulang tahu setengah abad, ke-50.
Noer Fauzi Rachman
Saya tumbuh sebagai bagian dari generasi aktivis mahasiswa di kota Bandung di tengah hingga akhir tahun 1980-an, yang sedang haus akan penjelasan mengenai (a) mengapa dan bagaimana perampasan tanah rakyat berlangsung secara terus-menerus brutal untuk kepentingan perusahaan-perusahaan perkebunan, kehutanan, pertambangan, kawasan industri manufaktur, dan lainnya di seantero negeri membangun sistem produksi kapitalis beserta infrastruktur-infrastruktur pendukungnya?; (b) mengapa dan bagaimana pemerintah menggunakan dan menyalahgunakan kekuasaan, termasuk dengan hukum Negara, kewenangan lembaga-lembaga pemerintah, hingga mempergunakan budget dalam menciptakan proyek-proyek, untuk melancarkan perampasan tanah itu?; dan (c) Apa akibatnya terhadap hidup rakyat agraris, dan mengapa dan bagaimana rakyat agraris membentuk kepatuhan, kalah atau dikalahkan, atau membentuk perlawanan/resistensi menghadapi kekuasaan pemodal dan pemerintah yang represif demikian itu?
Kami tidak bisa terima sama sekali segala propaganda jer basuki mawa bea bahwa harus ada yang berkorban untuk pembangunan menuju kemakmuran,
dan tidak puas pada penjelasan normatif yang sederhana bahwa pemerintah
berjalan secara otoriter dan menyimpang dari konstitusi UUD 1945, serta
gagal memenuhi seluruh atribut etis “negara budiman” yang dilekati
kepadanya sebagai badan penguasa, sebagaimana yang dituliskan di Pembukaan
Undang Undang Dasar 1945, pasal 33 ayat 3 UUD 1945, dan Undang-undang
nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria.
Mengapa petani yang begitu berjasa bagi kemerdekaan Indonesia itu,
seperti yang mengendap dalam moto warisan revolusi kemerdekaan “petani
adalah soko guru revolusi”, bisa bernasib tragis di bawah rejim
pemerintahan paska-kolonial? Apa yang terjadi sesungguhnya?
Sebagai suatu generasi aktivis terdidik kami bermotivasi kuat untuk
mencari segala penjelasan melalui keterlibatan bersama tokoh-tokoh petani,
turun lapang (istilahnya turba: turun ke bawah) untuk merasakan,
observasi, bercakap-cakap dengan rakyat. Kami juga memburu buku-buku,
manuskrip laporan hasil penelitian, menghadiri dan mendengar ceramah serta
berdiskusi berkonsultasi dengan para ahli yang sebagian kemudian menjadi
narasumber/guru tetap kami, hingga secara otodidak mampu membuat bahan
pendidikan untuk para tokoh petani mengenai mekanisme umum dalam politik
dan kebijakan agraria, khususnya pemberian lisensi-lisensi dan operasi
kekerasan oleh birokrasi sipil, polisi dan militer yang represif, yang
pada gilirannya membuat rakyat petani kehilangan hak dan akses atas tanah,
kekayaan alam, dan wilayah hidupnya.
Satu kejadian yang dapat dengan mudah dihadirkan disini adalah ketika
pada tahun 1988/9 saya menjadi bagian dari aktivis mahasiswa, para pekerja bantuan hukum
struktural, serta aktivis HAM, dan jurnalis yang benar-benar merasa
terpanggil dan belajar memahami, mengurus atau menyuarakan kepentingan
perjuangan agraria rakyat petani Gunung Bageda, Kabupaten Garut, Jawa
Barat. Penggeraknya adalah kejadian ketika polisi, jaksa dan hakim
mengkriminalkan 13 (tiga belas) tokoh petani Gunung Badega, Kabupaten Garut, Jawa Barat,
yakni Engkom Komariah, Suhdin bin Ojo, Radi bin Sukardi, Aju bin Emet,
Main Marhum bin Sobandi, Yahda bin Wikanta, Memed bin Omod, Idar bin
Aja, Oman bin Sarip, Osad bin Ejob, Rosidin bin Muna, Eman bin
Sutama, dan Ayo bin Ajudin. Kami merasa penangkapan, penuntutan,
penyidangan dan pemenjaraan mereka merupakan satu titik kulminasi/puncak
dari penindasan rejim otoriter terhadap sejumlah pemimpin rakyat yang
memutuskan dan memilih jalan berjuang untuk tanah air mereka.
Padamulanya mereka membentuk Panitia Permohonan Tanah, di tahun 1985, dan
bekerja dengan basis 8 (delapan) kelompok tani, yang tersebar di
kampung-kampung yang terpisah secara geografis sebagai bagian dari suatu
dataran tinggi/pegunungan kira-kita 1000 meter di atas permukaan laut.
Dari kampong Cikaso hingga Cidatar. Panitia ini mengajukan permohonan hak atas tanah yang telah mereka garap kepada
Bupati Garut, dan segera dapat jawaban penolakan dengan alasan tanah bekas
perkebunan Belanda itu tetap akan dijadikan perkebunan oleh PT. Surya
Andaka Mustika (SAM) yang berkedudukan di Bandung.
Surat permohonan diajukan Panitia Permohonan Tanah Badega itu juga ke
Gubernur Jawa Barat dan Menteri Dalam Negeri, namun didapat jawabannya.
Tanpa sepengetahuan petani penggarap, tahun 1986, PT. SAM mendapatkan
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No.SK.33/HGU/ DA/86. Berdasar
lisensiini, PT. SAM memaksa para petani penggarap untuk segera menyerahkan
tanah garapan mereka dan dijanjikan akan diterima menjadi buruh perkebunan
PT. SAM dengan upah Rp 600/hari. Rakyat penggarap menolak, pertarungan di lapangan tidak terelakkan,
hingga pada gilirannya Panitia Permohonan mencari bala bantuan, termasuk
ke LBH Bandung, dan para aktivis mahasiswa yang biasa juga beraktivitas di
sekitar LBH Bandung.
Saya pada mulanya mengenal dua dari mereka, yakni Ibu Engkom dan pak
Suhdin di suatu acara latihan dalam rangka bantuan hukum untuk para
pemimpin kasus-kasus tanah yang diadakan oleh LBH Bandung pada tahun 1986.
Ibu Engkom bersama pak Suhdin adalah dua pemimpin perjuangan tanah Badega
yang sanggup membuat saya merasa terpanggil karena mereka secara tulus
berjuang untuk kepentingan umum. Lebih-lebih, saya terpesona, berdecak
kagum pada kemampuan mereka berdua secara fasih, persis dan tartil
menyampaikan ayat-per-ayat dari peraturan yang membenarkan klaim mereka
atas hamper 500 ha tanah eks-perkebunan Belanda yang digarap rakyat. Sebut
saja pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar 1945, dan pasal-pasal penting
dalam Undang-undang nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (UUPA 1960). Yang mencengangkan adalah mereka berdua dapat
mengulang seluruh isi Keputusan Presiden 32 tahun 1979 tentang Pokok-pokok
Kebijaksanaan dalam rangka Pemberian Hak Baru atas tanah asal Konversi
Hak-hak Barat, dan seluruh isi dari Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 3
tahun 1979 tentang Ketentuan-ketentuan mengenai Permohonan dan Pemberian
Hak Baru atas tanah asal Konversi Hak-hak Barat, mulai dari judulnya,
nomornya, isi bagian menimbang dan seterusnya hingga akhir. Dari mereka
berdualah saya belajar bagaimana pentingnya meghafal dan cakap
menyampaikan isi ayat-ayat perundang-undangan yang penting untuk
meyakinkan pihak pendengar dari pembicaraan kita mengenai klaim yang kita
majukan/perjuangkan.
Kasus Badega menjadi pusat perhatian para aktivis mahasiswa setelah
diciduknya 13 tokoh petani itu. Diketahui dari para pengacara dan asistem
pengacara LBH Bandung, sungguh membuat kami geram.
Mereka diciduk malam hari tanggal 30 september 1988 oleh serombongan polisi
dengan dua mobil jeep, dan dibawa ke suatu kantor. Mereka diinterogasi,
dengan sikasan pemukulan hingga mukanya babak belur, ditelanjangi, dan
badannya disundut rokok, lalu dijebloskan ke dalam sel. Esok harinya 12
(dua belas) petani a yang berasal dari Badega disatukan dengan para
kriminal untuk kasus pencurian, pembunuhan, pemalsuan, dll. Kamar tahanan
1,5 x 2,5 m berisi 27 orang. Selama satu minggu kalau buang air (besar
atau kecil) musti ditampung, termasuk dengan kantong kresek plastik atau
botol Aqua. Enam puluh hari kemudian semua tahanan dari Badega dari sel
polisi dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan (LP).
Satu kawan kami aktivis, Yayak Yatmaka, membuatkan lagu khusus untuk
mereka.
Kawan kami tiga belas, dipenjara Polisi
Salah dan dosanya tak jelas, kami tak bisa mengerti
Negeri ini benar kacau, hukum sudah tak dihirau
Kami tak sudi kawan kami, mati disiksa polisi
Para pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung bekerja sebagai memberi bantuan
hukum bagi mereka dalam menjalani proses penyidikan, pemeriksaan, hingga
persidangan, sampai proses menjalani hidup di penjara. LBH juga
mengirimkan paralegalnya membantu pengorganisasi masyarakat petani di
lapangan maupun dalam memberi dukungan bagi keluarga-keluarga yang
menjalani persidangan. Sejumlah aktivis mahasiswa di Bandung membuat Komite Solidaritas
untuk Rakyat Badega (KSURB) yang pada saat hari pembacaan putusan hakim di
Pengadilan Negeri Garut, mampu membilisasi puluhan orang untuk jalan
kaki long march Bandung ke Garut. Para
aktivis perempuan lintas kota membentuk Kelompok Perempuanuntuk Solidaritas Badega (KPSB). Para jurnalis hingga kolumnis terkemuka Mahbub
Djunaidi menulis laporan dan esai opini.
Kami senantiasa menyempatkan diri datang dan tinggal sejumlah hari di
Badega selama mereka dipenjarakan. Nyanyian-nyanyian yang dibuatkan
kawan kami, mahasiswa senior Jurusan seni rupa ITB, Yayak Yatmaka
menyemangati semua kegiatan turba kami, berjalan kaki satu hingga dua
jam dari satu lokasi kelompok ke lokasi kelompok lainnya, dan
mengumpulkan anak-anak membentuk sanggar-sanggar seni bermain belajar
bersama.
Nyanyian favoritku adalah:
Kudengar swara, tanah terluka
Bumi Badega menjerit lara
Bumi ibunda nyata dihina
Kaki kaki busuk jiwanya nista
Bangunlah kawan, apikan jiwa
Si Pemakan Tanah, usirlah musnah
Yakinlah benar kita tlah sadar
Bumi Badega kita empunya
Juga nyanyian yang ini:
Bumi Badega tak cuma sekedar kata
Ia nyawa bagi kami rakyat disana
Bumi Badega tak mungkin kami lepaskan
Meski kami ditekan dengan segala cara
Bumi Badega tak mungkin kami tinggalkan
Ia mencatat percik darah kami rakyat disana
Bumi Badega tak Cuma angin atau bunga
Ia tempat kami bersembah bertemu Tuhan
“Saya di penjara 16 bulan. Saya yang paling lama. Satu dari kami yang di
penjara adalah Bu Kokom. Bu Kokom itu sebetulnya yang paling berani di
antara kita. Beliaulah yang membantu saya untuk membangkitkan semangat
perlawanan petani,” kenang Suhdin.
Setelah turba di tahun 1986, saya menanyakan ke pak Suhdin, satu tokoh
yang baru keluar di Penjara Kelas 1 Garut, cuplikan percakapan
dengan pak Suhdin, yang sempat saya catat, mengenai kekuatan yang ia
andalkan untuk tetap berjuang.
“Keyakinan! Yakin akan kehidupan dan masa depan yang lebih baik. Pada
saat itu dan sampai sekarang kita masih berpegangan pada pernyataan yang
menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum dan kami tidak mendapatkan
keadilan atas persoalan penindasan yang mengatasnamakan hukum di Negara
kita.
Misalkan, pada tahun 1987 Bapak pernah diculik oleh
pihak Polsek Cikajang pada 30 September di malam hari. Ini terjadi karena
sebelumnya kami melakukan pengajuan permohonan menggarap tanah kepada
Bupati dan kemudian ditolak. Penculikan ini dilakukan bertepatan dengan
peringatan hari kesaktian Pancasila. Mungkin mereka mau menuduh kami
sebagai kaum komunis atau PKI. Tuduhan seperti ini sering sekali dilakukan
oleh pemerintah pada saat itu terhadap kami yang seringkali membuat kami
merasa difitnah, ditakut-takuti dan merasa terhukum oleh mereka yang yakin
akan tuduhan tersebut.
Pada saat saya diculik, saya
didera berbagai macam siksaan sampai mata saya tidak bisa melihat dan muka
saya hancur, lebih dari itu kami diintimidasi agar menandatangani suatu
pernyataan yang isinya menyatakan suatu syarat bahwa kami tidak akan
menggarap tanah milik perkebunan. Pada saat itu saya menandatangani
pernyataan tersebut. Karena penandatanganan inilah saya dikeluarkan oleh
pihak Polsek.
Semakin kami ditindas, semakin kami yakin
terhadap apa yang kami perjuangkan.”
Pada masa itu, dapatlah dikatakan, kerangka kerja para aktivis agraria
dalam keseluruhan gerakannya adalah “Kembalikan Tanah Rakyat yang Dirampas
Pembangunan”. Saya ingat pada poster “Tanah Untuk Rakyat” yang
menghebohkan pada tahun 1990-an itu (Rachman 2013). Meskipun isu “Tanah
untuk Rakyat” ini naik ke media massa ini, namun belum menyentuh masalah
ketimpangan struktur agraria. Dengan kata lain, tema sentral yang
berkembang pada saat itu baru menyentuh hilangnya akses rakyat atas tanah
yang selama ini mereka kuasai, miliki, duduki, tinggali, atau digarap.
UUPA 1960 masih dirujuk sebagai undang-undang pelindung para petani yang
posisinya kalah dan dikalahkan dalam konflik agraria. Belum lebih jauh
dari itu.
Dari karya para guru agraria generasi terdahulu, dan interaksi langsung
dengan sebagian mereka yakni Sajogyo, Tjondronegoro, Gunawan Wiradi,
Lukman Soetrisno, Moebyarto, saya belajar politik agraria. Saya sebut
disini saja satu yang paling berpengaruh yakni makalah Gunawan Wiradi
“Tonggak-tonggak Perjalanan Kebijaksanaan Agraria di Indonesia”[1], yang membuat saya mengerti bahwa, kebijakan agraria Indonesia yang saat
itu berujung pada perampasan-perampasan tanah itu adalah cuma satu babak
saja dari perjalanan panjang sejak masa kolonial. Betapa tidak. Makalah yang diedarkan itu benar-benar telah menggoda,
merangsang alam pikiran kami. Kami memfotokopi dan membacanya
berkali-kali. Ya, karena naskah demikian banyak diminati para aktivis,
kami berkali-kali memfotokopinya. Kami mendebatkan, menuliskan komentar
hingga merujuknya ketika kami menulis karya kami sendiri, baik untuk bahan
latihan dan kursus bagi para pengerak rakyat maupun terbitan di koran,
majalah, jurnal dan buku. “Tonggak-tonggak Kebijakan Agraria
Indonesia” itu pula yang secara khusus membuat saya tergerak
meminta karya-karya terserak Wiradi lainnya, dan menyunting
karya-karya terserak itu lainnya menjadi buku: Wiradi (2001) Reforma Agraria: Urusan yang Belum Berakhir. yang kemudian diberi pengantar oleh Prof. Sajogyo.
Disini perlu saya sebut bahwa buku saya yang pertama, yakni Noer Fauzi
(1999) Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press dan
Konsorsium Pembaruan Agraria) diinspirasikan oleh “Tonggak-tonggak
Kebijakan Agraria Indonesia” itu. Lebih dari itu, disertasi saya Resurgence of Land Reform Policy and Agrarian Movements in
Indonesia (Rachman 2011) dan buku Land Reform dari Masa ke Masa (Rachman 2012) merupakan pengembangan lebih lanjut dari minat dan
pemahaman historis yang semakin dalam dan luas mengenai perjalanan
kebijakan agraria Indonesia. Saya mempekerjakan konsep analitik “akumulasi
primitif” untuk memahami secara lebih baik kebijakan agraria Indonesia
sejak masa kolonial.
Perampasan Tanah Global
Saya beruntung bisa memperluas dan memperdalam studi agraria di program
doktoral di University of California, Berkeley, di bawah pembimbing utama
Prof. Nancy Peluso. Salah satu dari sekian banyak yang
saya pelajari adalah konsep akumulasi primitif itu. Karl Marx
mengunakan istilah “the so-called primitive accumulation” berangkat
dari pengertian Adam Smith previous accumulation. Apa yang
disebut sebagai akumulasi primitif (primitive accumulation) untuk
pertama kalinya dipopulerkan oleh Karl Marx (1976/1898) dalam Capital vol 1, Bagian VIII. Dalam bab itu, analisis Marx utamanya membahas fenomena historis di Inggris
selama periode awal pembentukan cara berproduksi kapitalis,
sesuatu yang Marx anggap sebagai bentuk yang klasik dari akumulasi
primitif. Ia menyadari bahwa motif akumulasi kekayaan dan
keuntungan itu merupakan penggerak kapitalisme. Dan syarat awalnya adalah
akumulasi stock, dan ia menulis, ”the accumulation of stock must, in the nature of things, be previous to
the division of labour”.
Tapi, syarat akumulasi stock itu bukan syarat cukup.
Yang menentukan bagaimana kekayaan diakumulasikan adalah suatu
transformasi hubungan-hubungan sosial dalam proses produksi, juga adalah
hubungan kepemilikan (property relations) – sebagaimana diurai
dengan bagus oleh Ellen Meiksins Wood (2002:36). Dalam konteks
inilah untuk pertama kalinya tanah-tanah dan kekayaan alam diputuskan dari
hubungan sosial pra-kapitalis, dan dijadikan bagian modal dalam sirkuit
baru sistem produksi kapitalis. Di lain pihak, petani yang tadinya punya
hubungan erat dengan tanah dan kekayaan alam itu dilepaskan secara brutal,
dan kemudian dibebaskan menjadi tenaga kerja bebas.
Menurut
Massimo de Angelis, modal harus dipahami sebagai sebuah kekuatan
(force). Sehingga sehubungan dengan penghentian akses penduduk atas
tanah melalui tindakan perampasan (land disposession), modal harus
dipahami sebagai enclosing social force (De Angelis
2004:59, n . 5). Oleh sebab itu, enclosure ditempatkan de
Angelis sebagai ciri yang melekat pada cara produksi kapitalisme. Ia
mengelompokkan enclosure menjadi dua model implementasi,
yakni: ”(i) enclosure sebagai sebuah rancangan ”kekuasaan
atas” (power over), dan (ii) enclosure sebagai
sebuah akibat dari proses akumulasi. Pada yang
pertama ... menunjukkan berbagai macam strategi yang sungguh-sungguh
dirancang dengan berbagai bentuk dan nama . Sedangkan pada makna yang
dua, enclosure merupakan akibat yang tak direncanakan (unintended by-product) dari akumulasi yang (dalam bahasa ekonomi) dikenal sebagai ”negative externalities”, yang tak dikalkulasi dalam harga pasar dari barang-barang yang
dihasilkan, karena biaya-biaya yang dikeluarkan oleh para penghasil barang
itu itu memang berada di luar perusahaan yang memiliki barang itu (de
Angelis 2004:77-78).
Saya
mempenggunaan konsep akumulasi primitif untuk dapat dipekerjakan untuk
memahami problem agraria Indonesia dewasa ini, dengan merujuk pada apa
yang terjadi di Merauke sehubungan dengan pembentukan MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) (Ito, Rachman, Savitri 2013). Proyek ini merupakan contoh yang terkenal
dari apa yang disebut sebagai “perampasan tanah global” (global land grabbing). Dari penelitian lapangan di lokasi pelaksanaan MIFEE, termasuk
proses-proses sosial di kampung Zanegi hingga lansekap di
distri-distrik di kabupaten Merauke, saya bisa melihat adanya perwujudan
dari kebijakan yang bertingkat dengan beragam aktor telah menyediakan
banyak pintu bagi produksi dan pembentukan ruang untuk sistem produksi
kapitalis yang baru, dalam hal ini produksi
komoditas-komoditas kehutanan dan perkebunan.
Tidak terlalu sulit untuk menelusuri proses kebijakan nasional yang
melahirkan proyek ini. Krisis pangan yang melekat erat pada krisis energi
semakin menajam pada tahun 2008 menjadi tantangan kreativitas bagi pemerintah Indonesia
untuk mengubah wacana “krisis” menjadi “peluang”. Harga komoditas pangan yang meroket dan permintaan energi terbarukan yang meningkat
di tengah situasi tidak terlalu dirasakan dan mudah dilihat oleh banyak
orang di Indonesia, baik karena ketersediaan stok, intervensi-inetrvensi
pasar oleh pemerintah dengan import bers dan komoditas pertanian lain,
operasi-operasi pasar, maupun injeksi uang tunai pada orang
miskin. Yang sangat terlihat adalah krisis pangan dan energi global telah
menjadi pembuka pintu bagi peluang investasi di kedua sektor itu. Peluang ini segera ditangapi oleh elite pemerintah dengan
menghasilkan/memodifikasi kebijakan-kebijakan yang bermuara pada pemberian
konsesi-konsesi perkebunan skala raksasa.
Hal
ini bisa dilihat jelas dari dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Maret 2008. Peraturan ini dengan jelas menunjuk Kabupaten Merauke sebagai Kawasan Andalan. Pada
Mei 2008, dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008–2009 yang menginstruksikan Kementerian Pekerjaan Umum dan Gubernur Papua untuk menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merauke. Pada tahun yang sama, Kementerian Pertanian mendapat
rapor merah karena belum berhasil meluncurkan program MIFEE.
Sementara instrumen kebijakan tata ruang Kabupaten Merauke maupun
Provinsi Papua, juga desain MIFEE belum lagi selesai, gerak cepat izin lokasi yang dikeluarkan Bupati Merauke pada 2008 telah menghasilkan
pengalokasian tanah seluas 300.000 hektar kepada PT Medco yang juga dilegitimasi secara adat. Pada 2009,
salah satu anak perusahaan PT Medco berhasil mendapatkan izin Hutan Tanaman Industri (HTI) berdasarkan Surat Keputusan Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Nomor 18/Menhut-II/2009 dengan total luas 169.400 hektar. Di lokasi yang berbeda dengan anak perusahaan yang lain, PT Medco juga
memperoleh izin pengembangan industri kayu serpih seluas 2.800 hektar. Pada 2010, melalui anak perusahaan yang berbeda lagi, PT Medco sudah mendapatkan izin lokasi untuk HTI seluas 74.219 hektar. Kayu serpih ini diekspor ke Korea dan China, bukan untuk bahan baku kertas, melainkan sebagai bahan bakar pengganti batubara. Bisnis kayu serpih sebagai
bahan bakar terbarukan menjustifikasi operasi HTI PT Medco dalam
rubrik “Energy Estate”. Dua anak perusahaan PT Medco yang disebut terdahulu pada saat ini sudah beroperasi dan melakukan
pembayaran untuk pelepasan tanah adat, termasuk pembayaran penggantian
kayu yang mereka panen dari hutan orang Marind. Lebih jauh lagi, bisnis
kayu serpih ini juga sudah berhasil menarik investasi dari Korea Selatan
melalui LG International.
Selanjutnya
pada 2010, PP Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman dikeluarkan untuk mengatur luasan pengusahaan budidaya tanaman dengan
memperbolehkan penguasaan tanah di Papua dua kali lipat dari batas
maksimum untuk daerah lain di Indonesia, yaitu mencapai 20.000 hektar. Namun, pada 2009, Grup Rajawali telah lebih dulu mengantongi izin lokasi untuk perkebunan tebu di Merauke melalui dua anak perusahaannya
dengan luasan mencapai 35.000 hektar. Pada saat itu, juga sudah ada sepuluh perusahaan pemegang izin lokasi untuk perkebunan kelapa sawit dengan total luas 377.387,90
hektar, dengan rata-rata luas ijin yang dikeluarkan sebesar 35.000 hektar.
Selanjutnya,
perkembangan luasan konsesi yang diberikan melalui penggunaan kewenangan
Bupati Merauke dalam memberikan Ijin Lokasi, dari waktu ke waktu semakin
bertambah secara fantastis, dari Januari 2007 hingga di Agustus 2010,
untuk 48 perusahaan mencapai luas 2.319.094 hektar!!! (Data dari BKPMD
kabupaten Merauke 2011)
Pada
prakteknya, luasan konsesinya tidak akan sebesar ini. Saat ini sedang
terus berlangsung proses “perampasan tanah” yang berlangsung melalui Jalur
perundang-undangan dan jalur adat (lihat bagan 1. Bagan Proses Perampasan
Tanah, sumber: Savitri et al, akan terbit).
Dari
pengalaman penelitian di MIFEE[2] saya mendapatkan afirmasi atas apa yang dianalisis oleh geografer ternama,
David Harvey[3], bahwa
”produksi ruang, organisasi pembagian kerja yang secara keseluruhannya
baru dalam wilayah yang baru pula, pembukaan berbagai macam cara perolehan
sumber daya baru yang jauh lebih murah, pembukaan
wilayah-wilayah baru sebagai bagian dari dinamika ruang-ruang akumulasi
modal, dan penetrasi terhadap formasi sosial yang ada oleh
hubungan-hubungan sosial kapitalis dan tatanan kelembagaannya (contohnya
aturan kontrak dan kepemilikan pribadi) membuka jalan bagi penyerapan
surplus modal maupun tenaga kerja. Namun, ekspansi re-organisasi dan
rekonstruksi geografis sering adalah perusak nilai-nilai yang telah
menancap dalam pada tempat-tempat itu (terikat secara sosial pada tanah),
dan juga bagi nilai-nilai yang belum melembaga (Harvey 2003;116).
Alat
analitik akumulasi primitif ini masih handal dan terus menerus perlu
diasah ketajamannya dengan cara dipekerjakan menghadapi masalah-masalah
agraria Indonesia, dan lebih lanjut, kemudian studi-studi termaksud
sanggup membuat sumbangan bagi literature akademik studi agraria
Indonesia.
Godaan Kredo Agraria
Mengapa saya bekerja mempelajari dan kemudian bekerja melawan akumulasi
primitif itu. Salah satu yang hendak saya tunjukkan disini adalah karena
saya tergoda oleh apa yang dinamakan Kredo Agraria, agrarian creed -- sebagaimana diuraikan oleh Erich H. Jacoby dalam buku
berjudul Man and Land: The Essential Revolution (1971).
Tulisanya:
“Kredo Agraria bukanlah suatu doktrin tertentu, tetapi ia mencerminkan
harapan-harapan dan aspirasi-aspirasi bergenerasi-generasi petani, agar
suatu ketika tanah dapat dinikmati dengan bebas sebebas udara, dan tidak
dimiliki siapapun, dan oleh karenanya diperuntukkan bagi semua yang
menggarapnya. Bahwa para petani berjuang untuk memiliki tanah dan
mendapatkan jaminan atas kepunyaannya, sama sekali tidak bertentangan
dengan Kredo Agraria. Itu hanyakan suatu cara menyesuaikan diri dengan
sistem-sistem ekonomi dan masyarakat yang bekerja berdasarkan
sistem-sistem kepemilikan yang sudah mapan. … Meski sering dikaburkan oleh
mitos-mitos dan legenda-legenda lokal, Kredo Agraria itu adalah universal.
Ia tidak terikat pada suatu saat waktu atau suatu rangkai isi ajaran
tertentu, sesungguhnya ia kuat sekali tertancap di hati para penggarap
yang kemudian diungkapkan dengan sadar, dan mendorong kaum lemah melawan
para penindasnya” (Jacoby 1971:88).[4]
Saya belajar dari pemimpin-pemimpin perjuangan agraria dalam situs-situs
yang beragam, mulai rumah tangga, kampung, hingga satuan administrasi
politik dari kabupaten hingga pemerintahan nasional.
“… Kredo Agraria itu, yang telah sering digunakan dan
disalahgunakan dalam berbagai propaganda politik, sesungguhnya berakar
kuat di hati rakyat dan menjadi ukuran mereka untuk menilai keberhasilan
dan kegagalan pemerintahan nasional. … Tugas yang sangat berat adalah
menemukan cara yang paling singkat dan efektif untuk membuka katup
energi-energi yang dibutuhkan untuk pembangunan, dan disinilah usaha tak
kenal henti untuk mewujudkan Kredo Agraria sungguh begitu
berharga”. (Jacoby, 1971:88, 90, 92).[5]
Berjuang lah dengan Gembira
“Berjuang dengan gembira”, adalah moto yang diberitahukan pada saya oleh
sejumlah teman yang bekerja di Kalimantan Timur mendokumentasi dan
menginisiasi perjuangan rakyat, termasuk perempuan-perempuan pejuang,
menghadapi pengrusakan layanan alam dan ancaman keselamatan oleh industri
ekstraktif pertambangan dan pembalakan kayu, dan perusahaan perkebunan
besar Hutan Tanaman Industri dan Kelapa Sawit. Sungguh pahit pengalaman
rakyat yang hidupnya harus berubah karena ekspansi usaha
perusahaan-perusahaan raksasa itu. Mereka hidup dalam situasi krisis
sosial ekologis sebagai akibat dari wilayah hidup dan tanah kepunyaan
mereka menjadi sasaran dari operasi-operasi kekerasan dari para operator
perusahaan dan badan pemerintah untuk membersihkan segala yang tidak bisa
cocok dengan usaha-usaha produksi kapitalis dalam memproduksi komoditas
global pertambangan, perkebunan, dan kehutanan.
Berjuang? Ya, saya mempergunakan kata itu dengan sadar. Banyak kelompok
rakyat miskin di seantero desa, pinggir kota, di pedalaman maupun pesisir
pulau-pulau dilanda rasa galau. Rakyat menanggung beban berat secara
kolektif sehubungan dengan akses pada tanah pertanian, hutan, dan
lingkungan hidupnya semakin hari semakin menyempit, produktifitasnya yang
semakin hari semakin merosot, dan lingkungan ekosistemnya semakin
rusak. Sebagian dari mereka memang kalah atau mengalah, dan
sebagian lagi berjuang melawan sebab-sebab penderitaan mereka.
Konsentrasi penguasaan tanah yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan raksasa di bidang pertambangan, kehutanan dan
pekebunan, adalah berdasar pada keputusan-keputusan pejabat publik
(Menteri Kehutanan, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Pertambangan
dan Energi) yang memberi lisensi-lisensi (Ijin HPH/HPHTI, HGU, Kontrak
Karya Pertambangan, dan lainnya). Keputusan-keputusan itu menjadi alas
legal untuk penyingkiran dan meminggirkan rakyat petani,
nelayan, masyarakat adat yang mengumpul hasil hutan/laut, dsb-nya, dari
tanah dan wilayah hidupnya oleh perusahaan-perusahaan pemegang lisensi
itu. Selain tentunya juga adalah konsesi-konsesi berupa Taman-taman
Nasional dan kawasan konservasi lainnya, yang juga menyingkirkan rakyat
atas nama biodiversity hotspot dimana konsentrasi
spesies-spesies flora-fauna langka perlu diselamatkan dan dilestarikan
ekosistemnya.
Sebagian besar mereka itu menggantungkan kelanjutan hidupnya dari cara
mereka menguasai dan memanfaatkan tanah dan wilayahnya dengan sistem
pertanian keluarga, perladangan suku, wana-tani, pengembalaan suku,
kebun-hutan bersama, hingga pengelolaan pesisir dan laut. Selain mereka
yang sibuk untuk terus-menerus mempertahankan diri dari perluasan
konsesi-konsesi pertambangan, kehutanan dan perkebunan, produktivitas
rakyat yang hidup di sistem-sistem produksi ini cenderung menurun.
Sebaliknya, kebijakan dan fasilitas pemerintah cenderung diarahkan untuk
mempermudah jalan para perusahaan/investor memperbesar produksi komoditas
global dari perusahaan-perusaan pertambangan, kehutanan dan
pekebunan itu.
Pemerintahan sekarang ini bekerja di atas karakter pejabat publik di
Pemerintah Pusat dan Daerah yang lebih tertarik memburu rente yang dapat
diperolehnya dari pemberian lisensi-lisensi untuk usaha pertambangan,
kehutanan, perkebunan, dan lainnya, baik di Badan Pertanahan
Nasional, kementerian Kehutanan, Kementerian Pertambangan dan
Energi, Kementerian Pertanian, dan lainnya, maupun pejabat publik di
pemerintahan daerah. Dalam konteks kewenangan kabupaten yang diterima
sebagai hasil desentralisasi, sudah menjadi pengetahuan umum para pengamat
otonomi daerah bahwa pemberian ijin lokasi untuk perkebunan,
dan ijin usaha pertambangan (batu bara, nikel, dsb) sangat marak diberikan
Bupati sebagai upaya mendapatkan rente sebagai “kompensasi dari
pengeluarannya ketika bertanding dalam pemilukada”. Cara memahami dan
menjalankan fungsi pejabat pemerintahan demikian itu sangat mirip dengan
politik agraria kolonial terdahulu, meski kita hidup di jaman
paska-kolonial. Jelas sekali hal ini sepenuhnya adalah penyimpangan dari
arti “publik” sesungguhnya dari “pejabat publik” disini?
Selain karena konsentrasi penguasaan tanah, konversi tanah-tanah
pertanian ke non-pertanian, perkembangan teknologi produksi, dan
pertumbuhan penduduk miskin, telah ikut membuat hidup rakyat pedesaan
makin sulit karena kesempatan kerja di pertanian semakin sempit, dan kerja
rumah tangga pertanian rakyat tidak menguntungkan dan tidak lagi
menarik.
Secara umum, dibanding dengan mereka yang membutuhkan pekerjaan,
kesempatan kerja di sektor pertanian semakin menyempit dari tahun ke
tahun. Minat bekerja pada bidang pertanian juga semakin
menipis. Banyak sekali lapisan orang miskin di pedesaan itu, mayoritas yang tidak
bertanah dan tidak bisa menikmati sekolah tinggi, harus mengambil resiko
pergi ke luar desa untuk mendapatkan pekerjaan melalui kerja migran, di
kota-kota propinsi, metropolitan hingga ke luar negeri. Sebagian besar
dari rakyat pekerja migran ini sesungguhnya berhasil memperoleh upah kerja
yang lebih baik, mengirimkan pendapatannya ke desa, dan kemudian menjadi
daya tarik pula bagi pemuda-pemudi desa generasi berikutnya untuk
mengikuti mereka itu.
Dunia pertanian dan hidup di desa tidak menjanjikan bagi pemuda-pemudi.
Semakin tinggi pendidikan orang desa, semakin kuat pula motivasi dan
dorongan untuk mereka meninggalkan desanya. Desa ditinggalkan
pemuda-pemudi yang pandai-pandai, termasuk untuk mengenyam pendidikan
menengah hingga pendidikan tinggi. Mereka diajarkan ilmu-ilmu pergi dari
desa meninggalkan pertanian rakyat. Mereka inilah yang semakin memenuhi
kota-kota kabupaten, provinsi dan metropolitan. Sebagian dari mereka yang
berhasil, menjadi kelas menengah di kota-kota, dan bersifat konsumtif,
termasuk pembelian/menyewa tanah dan rumah untuk tinggal di pinggir kota,
dan motor dan mobil baru utnuk transportasi yang pada gilirannya membuat
infrastuktur jalan di kota-kota propinsi dan metropolitan tidak lagi
memadai. Macet dimana-mana setiap pagi pada jam pergi kantor menuju pusat
kota, dan jam pulang kantor dari pusat kota ke pinggiran.
Pada konteks ini, sering kali orang tergoda untuk kembali melihat
komitmen para pendiri Negara-Bangsa Indonesia. Ambil saja Ir. Sukarno,
yang meletakan dasar-dasar baru pengaturan agraria nasional
yang berdasarkan kritik terhadap cara politik agaria kolonial
bekerja. Sukarno dalam pidato di Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 1 Juni 1945 menyebut Kemerdekaan Indonesia
sebagai jembatan emas untuk dengan “leluasa menyusun masyarakat Indonesia
merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi”. Soekarno dengan fasih
mengkritik bagaimana kapitalisme sebagai suatu sistem ekonomi (dan
imperialisme negara-negara Eropa yang membentuk dan memelihara
kapitalisme) menyengsarakan rakyat Indonesia, dan menjadi musuh dari
segenap usaha perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dalam pidato di BPUPKI
itu, ia dengan jelas dan jenius menunjukkan bagaimana Negara Republik
Indonesia musti difungsikan sebagai Ibu Pertiwi yang memangku rakyat
sebagai warganegaranya. “Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum
kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang
semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa
dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan
kepadanya?”
Semakin lama, menjadi pejuang agraria di jaman sekarang ini makin
berat.
Sebagian
dari pekerjaan saya adalah menunjukkan argumen-argumen bagaimana
perjuangan agraria untuk mencapai keadilan sosial, yang adalah tujuan
berbangsa dan bernegara sebagaimana bisa dipelajari dalam pembukaan
Undang-undang Dasar 1945, adalah pilihan dan jalan yang mulia untuk
ditempuh. Berjuang di berbagai arena sekarang ini lebih sulit dan lebih
besar tantangan dan para penentangnya. Karena itu, saya suka sekali dengan
istilah “berjuang dengan gembira”. Moto itu menyehatkan. Bila berhasil
dianut dan diwujudkan sehari-hari, maka para pejuang agrarian itu akan
lebih sehat secara mental.
Buat saya pribadi, “berjuang dengan gembira ini” bisa jadi unsur yang
baik dikombinasi dengan antusiasme yang sudah melekat dalam cara kerja
saya. Saya sudah dikenal sebagian kalangan mampu menunjukkan antusiasme
yang bisa membangkitkan perhatian orang pada apa yang saya sampaikan dalam
ceramah atau pidato. Seorang teman bilang saya itu “ahli dalam
mendramatisasikan” suatu topik pembicaraan tertentu, terutama mengenai
situasi kemelut yang dihadapi rakyat dan alam Indonesia. Ya, saya memang
senantiasa mengasah kecakapan bicara di muka umum, dan juga dalam tulisan.
Selain karena latar belakang pendidikan saya sebagai psikolog yang sangat
membantu, ada sedikit rahasianya disini, yakni cara saya memperlakukan
bahasa. Pandangan umum biasanya menyebutkan bahwa bahasa adalah sarana
untuk mengungkapkan pemikiran. Memang betul itu. Namun, untuk mampu
menjadi intelektual yang kritis, saya rasa kita harus mamampu memeriksa
cara-cara orang berpikir melalui berbahasa. Bahasa adalah medium melalui
mana kita berpikir. Saya melatih kecakapan berbahasa tulis maupun lisan,
baik dalam soal tata bahasa, komposisi, narasi, diksi, hingga gaya
bahasa.
Saya berterima kasih dan bersyukur tidak terkira mendapatkan hadiah ulang
tahun ke 50 dari sebagian guru, teman, murid, dan istri-anakku berupa
tulisan kenangan bekerja, berteman, belajar dan hidup bersamaku dalam
bentuk tulisan kenangan. Membaca tulisan-tulisan itu membangkitkan ingatan
pada fragmen-fragmen pengalaman saya. Tentunya, saya menjadi lebih
dikayakan karena perspektif dari mereka tidak mudah untuk didapatkan
ketika kami bekerja, bermain, belajar dan hidup bersama. Kecuali pada saat
empati saya bekerja, dan hal itu cuma kejadian sewaktu-waktu saja, saya
lebih terpaku pada perspektif diri sendiri, ketimbang perspektif orang
lain. Dengan membaca tulisan-tulisan kenangan ini, saya dipermudah dan
dimungkinkan memahami perspektif mereka. Inilah satu pelajaran utama buat
saya, dan juga pembaca buku ini.
Saya terharu bahwa apa yang saya kerjakan menunjukkan hasilnya di
sana-sini. Cerita-cerita yang disajikan buku ini dapat dipahami sebagai
fragmen cerita proses dari para pelakunya. Mohon dimengerti bahwa sebagai
buku yang bermaksud memperingati dan merayakan ulang tahun 50 tahun saya,
maka akan dengan sendirinya terkesan menonjolkan andil saya. Masing-masing
penulis memmilih menceritakan fragmen-fragmen itu dan menunjukkan besarnya
andil saya, tapi sesungguhnya saya adalah salah satu komponen daripada
keseluruhan. Besar-kecilnya andil saya berbeda-beda satu sama lain,
bergantung apa yang diceritakan. Umumnya, di tulisan-tulisan dalam buku
ini, andil orang-orang lain, atau faktor-faktor lain, tidak ditunjukkan
sebesar dari andil saya. Meski sifat buku ini sebagai suatu perayaan, saya
yakin yang belum sempat ditunjukkan pun sesungguhnya menanti untuk
dituliskan.
Hati
saya berbunga-bunga sampai ingin melonjak-lonjak saking senangnya, setelah
membaca pujian-pujian dalam tulisan kenangan dalam buku
ini. Meski demikian itu, saya pun digoda
oleh pikiran saya sendiri yang bertanya-tanya apakah
pujian-pujian saja yang meliputi pergaulan hidup ku bersama mereka. Apa
yang saya alami selama ini tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Buat
saya,, sama penting cara kita belajar dari pujian dan kritikan. Saya
merasa mereka telah berbaik hati memutuskan untuk menuliskan
fragmen-fragmen kehidupan bersama saya untuk menunjukan kelebihan,
keistimewaan, dan tauladan yang saya lakukan. Mereka memilih
menggembirakan saya, dan mungkin menunda menyampaikan atau menyembunyikan
kritik mereka yang dapat menimbukan rasa tidak nyaman. Sesungguhnya,
mereka telah mendahulukan pujian yang berdasar pada pengalaman yang
positif mereka dapatkan dari saya.
Di
kala lain, saya sedih, bahkan pada waktu-waktu tertentu sampai saya
tepekur hingga tak terasa menangis sendirian, mengingat pengobanan istri
dan anak-anak sebagai akibat langsung dari keleluasaan saya untuk secara
produktif menghasilkan karya tulis untuk keperluan keilmuan, karya dalam
membentuk kebijakan dan praktek kelembagaan pemerintah, karya praktis
dalam gerakan sosial, hingga kegiatan-kegiatan pendidikan. Pengalihan
perhatian, energi, waktu dan harta jatah mereka tak usai-usai dan tak
terkira. Saya berterima kasih, dan melalui naskah ini minta maaf atas
kesulitan yang mereka alami, serta berdoa semoga amal ibadah kita bekerja
untuk kemajuan rakyat, negara dan bangsa Indonesia, diterima sebagai amal
ibadah yang bila berhasil akan menjadi bersifat jariah, yang nikmat
pahalanya tak putus-putus dirasakan orang banyak, dan diridhai Allah
SWT.
Ciputat, 18 Juli 2015, di Hari Raya Idul Fitri 1436 H/2015
Daftar Pustaka
De Angelis, Massimo. 2004. "Separating the Doing and the Deed: Capital and
the Continuous Character of Enclosures." Historical Materialism 12:57-87.
Fauzi, Noer (1999) Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press dan
Konsorsium Pembaruan Agraria)
Harvey, David. 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford
University Press.
_____. 2005. A Brief History of Neoliberalism.
Oxford: Oxford University Press.
_____. 2006. Space of Global Capitalism: Toward a Theory of Uneven Geographical
Development. London: Verso.
Ito, Takeshi, Noer Fauzi Rachman, dan Laksmi Savitri. 2011. “Naturalizing
Land Disposession: A Policy Discourse Analysis of the Merauke Integrated
Food and Energy Estate.” A paper presented at the International Conference
on Global Land Grabbing. Sussex University.
Jacoby, Erich H. 1971. Man and Land, the Essential Revolution.
New York, Random House.
Marx, Karl. 1976/1898. Capital, Vol. One, trans. Ben Fowkes.
Harmondsworth, Penguin Books
Perelman, Michael. 2000. The Invention of Capitalism: Classical Political Economy and the Secret
History of Primitive Accumulation. Durham: Duke University Press.
Rachman, Noer Fauzi. 2011. Resurgence of Land Reform Policy and Agrarian Movements in
Indonesia. Dissertation at University of California, Berkeley.
_____. 2012. Land Reform dari Masa ke Masa. Yogyakarta: Tanah
Air beta, bekerjasama dengan Konsorsium Pembaruan Agraria.
Rachman, Noer Fauzi dan Laksmi Savitri. 2011. “Kapitalisme, Perampasan
tanah Global, dan Agenda Studi Gerakan-gerakan Agraria”, Jurnal Dignitas. Vol VII no. 2/2011.
Savitri, Laksmi , Zuhdi S. Sang, Muntaza dan Yosep Renyut (Akan Terbit). Ina Anem, Makan Anem: Hidup Malind dalam Gelombang Pertanian Industrial
di tanah Merauke. Tp.
Wiradi, Gunawan. 2001. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Noer Fauzi (Penyunting) Yogyakarta: Insist Press and Pustaka Pelajar.
_____. 2008. Metodologi Studi Agraria. Karya Terpilih Gunawan Wiradi. Moh. Shohibuddin (Penyunting). Bogor: Sajogyo Institute, bekerjasama
dengan Departemen Sains, Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas
Ekonologi Manusia, IPB, dan Pusat Kajian Agraria (PKA) IPB.
Wood, Ellen Meiksins. 2002. The Origin of Capitalism. A Longer View. London, Verso.
[1] Topik ini adalah bab dalam makalah Wiradi, Gunawan. 1986.
“Kepenguasaan Tanah dalam Perspektif Transformasi Struktural”, makalah
yang disajikan untuk Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) IV,
LIPI, September 1986. Jakarta.
[2] Penelitian tentang MIFEE ini dijalankan oleh Sajogyo Institute,
bekerjasama dengan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian – Keuskupan
Merauke (SKP-KAME), dan Komunitas Perfilman Intertekstual (KOPI) 2012.
Publikasi awal bisa dilihat Ito et al (2009), Savitri et al (akan
terbit).
[3] Apa yang dikemukakan Harvey ini merupakan ekspresi dari upayanya yang bersungguh-sungguh mengelaborasi konsep ruang (space) dalam ekonomi politik, ilmu sosial dan humaniora (Harvey 1995, 2003, 2005, 2006). Usaha ini pada mulanya dirintis oleh Henry Lefebrve, seorang filsuf Marxian dari Perancis, yang dalam karya klasiknya The Production of Space (1974/1991).
[4] “The Agrarian Creed is not a definable doctrine but reflects
the hopes and aspirations of countless peasant generations for a time
when land will be as free as air and will belong to nobody, and
therefore to anybody who is tilling it. That the peasant has to ask
for the right to own the land and to be assured of its possession is
not a contradiction of the Agrarian Creed but only a compromise with
economic systems and societies based on established property rights.
... Though often obscured by local myths and legends, the Agrarian
Creed is universal. It is not tied to a particular moment of time or a
specific content bit is so strongly entrenched in the hearts of the
tillers that it has become the recognized expression and has encourage
the weak to fight their oppressors. (Jacoby 1971:88)
[5] “The fundamental importance of the Agrarian Creed is reflected
throughout recorded history. … The Agrarian Creed, used and abused in
political propaganda, is so strongly rooted in the minds of the people
that it has become their yardstick for the success or failure of the
new national government… The immense task remains of
finding the shortest and most effective way to release the energies
needed for development and it is here that the continued pressure for
a realization of the Agrarian Creed may prove a most valuable
instrument.” (Jacoby, 1971:88, 90, 92)
No comments:
Post a Comment