Adat sebagai Retorika untuk Melegitimasi Perjuangan Hak atas Wilayah


Noer Fauzi Rachman 

Naskah untuk disajikan pada Simposium Masyarakat Adat Kedua yang bertema “Gerakan Masyarakat Adat dan Pembaruan Hukum” pada 16-17 Mei 2016 di Universitas Pancasila, Jakarta. Simposium tersebut diselenggarakan bersama-sama oleh Epistema Institute, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Perkumpulan HuMa, Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno Universitas Gadjah Mada, Badan Registrasi Wilayah Adat, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

http://www.epistema.or.id/download/Noer_Fauzi_Rachman--Adat_sebagai_Retorika_untuk_Melegitimasi_Perjuangan_Hak_atas_Wilayah.pdf


... Adat merupakan retorika untuk melegitimasi ... hak yang diperjuangkan. Karenanya, adat yang tidak terkodifikasi — atau bahkan yang terkodifikasi sekalipun — senantiasa tidak pasti. 

(Edward. P. Thompson, 1993) 

 

Kita sedang hidup di jaman dimana kekuatan dari pasar berjaya, saat di mana banyak orang Indonesia sudah terbiasa dan dibiasakan memenuhi kebutuhan hidupnya melalui transaksi jual beli. Semua cenderung menganggap transaksi jual beli itu normal dan alamiah. Lebih dari itu, untuk berhasil memenuhi kepentingan memperoleh pendapatan atau keuntungan, cara jual beli merupakan sesuatu yang sudah lazim ditempuh. Pasar pun dianggap penyedia kesempatan. Ini adalah zamannya pasar berdigjaya, the age of market triumpalism! Sedemikian leluasanya kekuatan pasar itu sehingga sekarang ini kita tidak memiliki rujukan yang otoritatif mengenai batas apa-apa yang boleh atau tidak boleh diperjual-belikan. 

Bukankah demikian? Jarang orang memikirkan secara sungguh-sungguh bagaimana kekuatan pasar bekerja. Pasar biasa diterima begitu saja, dianggap normal, lazim, wajar, alamiah, serta sudah seharusnya demikian. Masih cukup sedikit orang yang melihat Kekuatan Pasar yang lainnya, yakni sebagai kekuatan pemaksa. Ellen M. Wood (1994, 2002) secara teori membedakan market-as-opportunity (pasar-sebagai-kesempatan), dan market-as-imperative (pasar-sebagai-keharusan). Pasar-sebagai-kesempatan bekerja melalui proses sirkulasi barang dagangan. Kebutuhan manusia pada gilirannya dibentuk agar dapat mengkonsumsi apa-apa yang diproduksi. Sebagai suatu sistem produksi yang khusus, ia mendominasi cara pertukaran komoditas melalui pasar. Lebih dari itu, perusahaan-perusahaan raksasa sanggup membentuk bagaimana cara sektor ekonomi dikelola oleh badan-badan pemerintahan hingga pada pemikiran bagaimana ekonomi pasar itu diagung-agungkan. Sementara itu, pasar-sebagai-keharusan dapat dipahami mulai dari karakter sistem produksi kapitalis sebagai yang paling mampu dalam mengakumulasikan keuntungan melalui kemajuan dan pemutakhiran teknologi, serta peningkatan produktivitas tenaga kerja per unit kerja, serta efisiensi hubungan sosial dan pembagian kerja produksi dan sirkulasi barang dagangan. 

Saat ini, anggota dari masyarakat hukum adat dan banyak kelompok rakyat miskin lain di seantero pedesaan kepulauan Indonesia, di pedalaman maupun pesisir, pinggir kota, dan pulau-pulau kecil dilanda rasa galau, sehubungan dengan “perampasan-perampasan tanah” (land grabbings) sebagai ekspresi brutal dari kekuatan pasar yang makin lama makin berjaya ini. Saya meyakini bahwa, sesungguhnya, hak atas wilayah adat yang disandang oleh masyarakat hukum adat bukan sekedar konstruksi hukum dan kategori yang keberadaannya dalam norma konstitusi Republik Indonesia ditegaskan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 35/PUU-X/2012. Dokumentasi mengenai bagaimana keberadaan secara nyata hak atas wilayah adat ini, dan praktek brutal dari pihak lain untuk menghilangkan hak itu, telah secara resmi didokumentasikan oleh Komnas HAM. Dokumentasi ini telah menjadi satu tonggak penting, yang musti jadi rujukan baru bagi kementerian dan lembaga pemerintah pusat, maupun pemerintahan daerah, serta masyarakat umumnya. 

Dengan dukungan berbagai organisasi lain, Komnas HAM telah menyelesaikan Inkuiri Nasional tentang Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan, yang mencakup pelatihan dan lokakarya persiapan, penelitian etnografis, kajian kebijakan, dengar keterangan umum (DKU) di daerah dan di tingkat nasional, serta penjelasan ke publik melalui berbagai media sejak tengah tahun 2014 sampai awal tahun 2015. Inkuiri nasional adalah mekanisme yang hanya Komnas HAM dapat menjalankan. Empat puluh kasus dipilih untuk diteliti dan didengar dalam DKU yang tersebar di tujuh wilayah, yaitu Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali - Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Kasus- kasus tersebut dipilih berdasarkan wilayah dan tipologi permasalahan yang didasarkan pada status hutan yang ditetapkan berdasarkan fungsinya, yakni hutan konservasi, hutan produksi, hutan produksi yang dapat dikonversi, dan hutan yang dipinjam pakai untuk perusahaan pertambangan. 

Inkuiri nasional menemukan praktik pembatasan akses masyarakat hukum adat atas tanah, sumber daya alam, dan wilayahnya merupakan dampak dari penerbitan izin- izin pengelolaan hutan kepada korporasi dan penetapan pengelolaan wilayah-wilayah tersebut oleh institusi pemerintah. Menurut komisioner dari Inkuiri Nasional, pelanggaran hak masyarakat hukum adat terjadi karena tata kelola dan kebijakan negara cenderung kapitalistik, yang menempatkan manusia sebagai makhluk ekonomi dan hutan sebagai sumber ekonomi semata. Permasalahan bertambah rumit ketika aparat Pemerintah terlibat dalam konflik cenderung menjadi apatur yang represif dan koersif dari pada yang melindungi. Mengandalkan pada pembuktian formal dan tertulis untuk setiap klaim hak masyarakat adat atas wilayahnya adalah perlakuan tidak adil. 

Bagaimana hak atas wilayah adat ini, yang awal mulanya berakar pada hukum adat bisa secara legal dan aktual diakui oleh hukum Negara melalui praktek kelembagaan pemerintah (pusat dan daerah), pada kondisi dimana posisi hukum adat tidak diakui posisinya dalam perundang-undangan nasional? Selain yang bersifat prinsipiil itu, tindak lanjut yang masih harus diperjuangkan juga berpusat pada bentuk-bentuk nyata dari Negara untuk mengakui hak atas wilayah, dan melindungi masyarakat hukum adat dari gempuran kekuatan pasar, serta memulihkan kondisi masyarakat dari krisis sosial-ekologi yang melandanya. Kita menyadari bahwa kekuatan-kekuatan pasar pada saat ini pun memperlakukan Negara sebagai arena dan sekaligus kekuatan yang perlu dibentuk untuk menyediakan dan melanjutkan lisensi-lisensi penguasaan dan pengusahaan tanah dan sumber daya alam dalam skala yang luas dan besar. 

Saya melihat bukan hanya masalah konflik agraria itu yang mencemaskan (Rachman 2013). Juga, semakin membanyak dan membesar sehubungan dengan konversi tanah- tanah pertanian ke non-pertanian, perkembangan teknologi produksi, dan pertumbuhan penduduk miskin. Kerja di sektor pertanian semakin sempit, kerja rumah tangga pertanian rakyat tidak menguntungkan, dan tidak lagi menarik. Mayoritas yang tidak bertanah dan tidak bisa menikmati sekolah tinggi, harus mengambil resiko pergi ke luar desa untuk mendapatkan pekerjaan melalui kerja migran secara sirkuler, temporer maupun permanen, di kota-kota propinsi, metropolitan hingga ke luar negeri. Sebagian besar dari rakyat pekerja migran ini sesungguhnya berhasil memperoleh upah kerja yang lebih baik, mengirimkan pendapatannya ke desa, dan kemudian menjadi daya tarik pula bagi pemuda- pemudi desa generasi berikutnya untuk mengikuti mereka itu. 

Data Sensus Pertanian 2013 menunjukkan rumah tangga pertanian di Indonesia mencapai 26,13 juta, yang berarti telah terjadi penurunan sebesar 5 juta rumah tangga pertanian, dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian 2003. Secara retorik, setiap satu menit satu rumah tangga petani hilang, berganti pekerjaan dari pertanian. 

Di pihak lain, dunia pertanian dan hidup di dalam wilayah adat, serta pedesaan umumnya tidak menjanjikan bagi pemuda-pemudi yang punya kemampuan cukup dan terdidik. Semakin tinggi pendidikan orang desa, semakin kuat pula motivasi dan dorongan untuk mereka meninggalkan desanya. Desa ditinggalkan pemuda-pemudi yang pandai- pandai, termasuk untuk mengenyam pendidikan tinggi. Mereka inilah yang semakin memenuhi kota-kota kabupaten, provinsi dan metropolitan. Sebagian dari mereka yang berhasil, menjadi kelas menengah di kota-kota, dan bersifat konsumtif, termasuk pembelian/menyewa tanah dan rumah untuk tinggal di pinggir kota, dan motor dan mobil baru untuk transportasi yang pada gilirannya membuat infrastuktur jalan di kota-kota propinsi dan metropolitan tidak lagi memadai. Macet dimana-mana setiap pagi pada jam pergi kantor menuju pusat kota, dan jam pulang kantor dari pusat kota ke pinggiran. 

Pasar kapitalis membuat segala hal dikomodifikasi menjadi barang dagangan. Namun, khusus untuk tanah (atau lebih luas alam), pasar kapitalis tidak akan pernah berhasil mengkomodifikasi sepenuhnya. Karl Polanyi percaya bahwa tanah (atau lebih luasnya: alam) sesungguhnya bukanlah komoditi atau barang dagangan, dan tidak dapat sepenuhnya diperlakukan sebagai komoditi (barang dagangan). Tanah melekat sepenuhnya dengan relasi-relasi sosial. Jadi mereka yang memperlakukan tanah (alam) sepenuhnya sebagai komoditi, sesungguhnya bertentangan dengan hakekat tanah (alam) itu sendiri. 

Tanah (alam) dapat dibayangkan sebagai komoditi. Polanyi mengistilahkannya: fictitious commodity (barang dagangan yang dibayangkan). Menurut Polanyi memperlakukan tanah (alam) sebagai barang dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya, niscaya akan menghasilkan guncangan-guncangan yang menghancurkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masyarakat itu, dan kemudian akan ada gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih parah. 

Tanah (dan juga tenaga kerja) merupakan syarat hidup dari masyarakat. Memasukkan tanah (dan juga tenaga kerja) dalam mekanisme pasar adalah merendahkan hakekat masyarakat, dan dengan demikian menyerahkan begitu saja pengaturan kehidupan masyarakat pada mekanisme pasar. Hal ini dengan sendirinya, akan menimbulkan gejolak perlawanan, demikian Polanyi menyebutkan. Polanyi pun menulis bahwa kelembagaan pasar demikian “tak dapat hidup lama tanpa melenyapkan hakekat alamiah dan kemanusiaan dari masyarakat; Ia akan secara fisik merusak manusia dan mengubah lingkungannya menjadi demikian tak terkendalikan. Tak terelakkan lagi, masyarakat melakukan upaya perlindungan diri” (Polanyi 1944:3). 

Saya menempatkan adat merupakan cara melegitimasi hak yang diperjuangkan oleh suatu kelompok tertentu dari kaum yang tertindas. Hal ini bukan cuma berlaku di Indonesia masa kini, melainkan juga masa lalu, dan di tempat lain, sebagaimana diungkap oleh sejarawan Edward. P. Thompson (1993). Secara sadar, saya diinspirasikan oleh konsep counter-movement dari Karl Polanyi (1944). Polanyi menulis “selama berabad-abad dinamika masyarakat modern diatur oleh suatu gerakan ganda (double movement): pasar yang terus ekspansi meluaskan diri, tetapi gerakan (pasar) ini bertemu dengan suatu gerakan tandingan (countermovement) menghadang ekspansi ini agar jalan ke arah yang berbeda. Membuat gerakan tandinagn ini adalah ekspresi dari suatu kesadaran kritis dan sekaligus semangat mengubah nasib. Apa yang diutamakan oleh gerakan tandingan ini adalah untuk melindungi masyarakat dari daya rusak pasar kapitalis. Arus balik atau gerakan tandingan itu sesungguhnya menandingi prinsip “pengaturan diri-sendiri” dari pasar kapitalis (Polanyi 1944:130). 

 

Daftar Pustaka yang Dikutip 

Komnas HAM Republik Indonesia (2015) Ringkasan Temuan dan Rekomendasi untuk Perbaikan Hukum dan Kebijakan tentang Penghormatan, Perlindungan, pemenuhan dan pemulihan Hak masyarakat Adat atas Wilayahnya di kawasan Hutan. Jakarta: Komnas HAM. 

Polanyi, Karl (1944). The Great Transformation, the Political and Economic Origins of Our Time . New York: Farrar & Rinehart, Incorporated.

Rachman, Noer Fauzi (2013) “Mengapa Konflik-Konflik Agraria Terus-Menerus Meletus di Sana Sini?” Sajogyo Institute‘s Working Paper No. 1/2013. Bogor: Sajogyo Institute. http://www.sajogyo-institute.or.id/article/mengapa-konflik-konflik-agraria-terus- menerus-meletus-di-sana-sini (unduh pada 29 Juni 2013). 

_____. (2014) Panggilan Tanah Air. Tinjauan Kritis atas Porak Porandanya Indonesia. Yogyakarta: Literasi Press. 

Thompson, Edward. P. (1993), Customs in Common: Studies in Traditional Popular Culture. New York, The New Press. 

Wood, Ellen Meiksins. (2002) The Origin of CapitalismA Longer View. London, Verso.

 _____. (1994(. “From Opportunity to Imperative: The History of the Market”. Monthly Review 46(3).

 

Arahan Kantor Staf Presiden: Prioritas Nasional Reforma Agraria dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017

 


Kantor Staf Presiden (2016) Pelaksanaan Reforma Agraria, Arahan Kantor Staf Presiden (KSP): Prioritas Nasional Reforma Agraria  dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017. Jakarta: Kantor Staf Presiden.

Naskah ini dihasilkan saat Noer Fauzi Rachman bertugas sebagai Staf Khusus Kepala Staf Kepresidenan, Kantor Staf Presiden (KSP) 2016-2018. Dokumen ini adalah salah satu kebijakan yang diprakarsai dan berhasil dibentuk hingga menjadi Program Prioritas Nasional Reforma Agraria, sebagaimana dimuat dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun 2017 dan seterusnya.



Ringkasan Eksekutif

        Nawacita memuat agenda reforma agraria dan strategi membangun Undinesia dari pinggiran dimulai dari daerah dan desa. Dalam pembangunan nasional, reforma agraria penting sebagai fondasi bagikebijakan ekonomi nasional yang berkaitan dengan upaya pemerataan pembangunan, pengurangan kesenjangan, penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja di pedesaan. Guna memastikan agenda reforma agraria yang ada dalam Nawacita berjalan efektif dan berhasil mencapai tujuannya, Kantor Staf Presiden (KSP) menyusun naskah arahan untuk penyusunan Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria 2016-2019. 

        Dokumen ini harus menjadi rujukansemua pihak untuk menyiapkan landasan hukum yang memadai untuk pelaksanaan Reforma Agraria, menyediakan keadilan melalui kepastian tenurial bagi tanah-tanah masyarakat yangberada dalam konflik-konflik agraria, mengidentifikasi subjek penerima dan objek tanah-tanahyang akan diatur kembali hubungan kepemilikan dan penguasaannya, mengatasi kesenjanganekonomi dengan meredistribusi lahan menjadi kepemilikan rakyat dan pengalokasian hutan untuk dikelola masyarakat, mengentaskan kemiskinan dengan perbaikan tata guna lahan dan pembentukan kekuatan-kekuatan produktif baru, dan untuk memastikan tersedianya dukungan kelembagaan di pemerintah pusat dan daerah, serta memampukan desa untuk mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, sumber daya alam, dan wilayah kelola  desa.

        Kerangka programatik Reforma Agraria terdiri dari 6 (enam) Program Prioritas, yakni: (1) Penguatan Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik Agraria; (2) Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Obyek Reforma Agraria; (3) Kepastian Hukum danLegalisasi Hak atas Tanah Objek Reforma Agraria; (4) Pemberdayaan Masyarakat dalam Penggunaan, Pemanfaatan dan Produksi atas Tanah Obyek Reforma Agraria; (5) Pengalokasian Sumber Daya Hutan untuk Dikelola oleh Masyarakat; serta (6) Kelembagaan Pelaksana Reforma Agraria Pusat dan Daerah. 

        Tiap-tiap program ini diisi oleh kegiatan-kegiatan prioritas yang akan dikerjakan secara sendiri- sendiri dan bekerjasama antara kementerian dan lembaga pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah desa. Partisipasi masyarakat, baik kelompok-kelompok organisasi masyarakat sipil, maupun para perwakilan dari masyarakat yang mendapatkan manfaat dari program Reforma Agraria ini, ikut menentukan keberhasilan pencapaian program.

        Secara keseluruhan, isi dari naskah Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agrariaini, terdiri dari 5 (lima) bagian, yaitu: Pendahuluan; Program- Program Prioritas Pelaksanaan Reforma Agraria; Kegiatan-kegiatan Prioritas Pelaksanaan Reforma Agraria; Gugus Tugas Pengendalian Pelaksanaan Reforma Agraria, dan Penutup. 



Bab. 1. Pendahuluan

1.1.  Latar Belakang

            Dokumen Jalan Perubahan Menuju Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian, “Visi, Misi, dan Program Aksi Joko Widodo  M. Jusuf Kalla” yang diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) memuat sembilan agenda prioritas yang dinamakan Nawacita. Dengan terpilihnya Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden (2014-2019), dokumen itu meningkat statusnya sebagai Janji Politik dan sekaligus amanat rakyat kepada Presiden terpilih untuk melaksanakannya.

            Nawacita memuat agenda reforma agraria dan strategi membangun Indonesia dari pinggiran, dimulai dari daerah dan desa. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-1019 memuat pula komponen-komponen program Reforma Agraria secara terpisah-pisah. Agar agenda reforma agraria yang ada dalam Nawacita dan RPJMN berjalan efektifdan berhasil mencapai tujuannya, Kantor Staf Presiden (KSP) menyusun naskah arahan untuk penyusunan Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria 2016-2019 ini.

            Secara proses, penyusunan naskah  ini dihasilkan melalui diskusi dan konsultasi intensif antara Tim KSP dengan berbagai Kementerian/Lembaga terkait, seperti Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; Kementerian Pertanian, serta kalangan akademisi dari berbagai kampus dan sejumlah ahli dari organisasi non-pemerintah.

            Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria mencakup enam komponen program, yakni:

  1. Penguatan Kerangka Regulasi dan penyelesaian Konflik Agraria, yang ditujukan untuk menyediakan basis regulasi yang memadai bagi pelaksanaan agenda-agendaReforma Agraria, dan menyediakan keadilan melalui kepastian tenurial bagi tanah-tanah masyarakat yang berada dalam konflik-konflik agraria;
  2. Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Obyek Reforma Agraria, yang ditujukan untukmengidentifikasi subjek penerima dan objek tanah-tanah yang akan diatur kembali hubunganpenguasaan dan kepemilikannya;
  3. Kepastian Hukum dan Legalisasi Hak atas Tanah Objek Reforma Agraria, yang ditujukanuntuk memberikan kepastian hukum dan penguatan hak dalam upaya mengatasi kesenjangan ekonomi dengan meredistribusi lahan menjadi kepemilikan rakyat;
  4. Pemberdayaan Masyarakat dalam Penggunaan, Pemanfaatan dan Produksi atas Tanah Obyek Reforma Agraria, yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dengan perbaikantata guna dan pemanfaatan lahan, serta pembentukan kekuatan-kekuatan produktif baru;
  5. Pengalokasian Sumber Daya Hutan untuk Dikelola oleh Masyarakat, yang ditujukan untukmengatasi kesenjangan ekonomi dengan pengalokasian hutan negara untuk dikelola masyarakat; dan
  6. Kelembagaan Pelaksana Reforma Agraria Pusat dan Daerah, untuk memastikan untuk memastikan tersedianya dukungan kelembagaan di pemerintah pusat dan daerah, serta memampukan desa untuk mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan danpemanfaatan tanah, sumber daya alam, dan wilayah kelola desa.

            Tiap-tiap program ini diisi oleh kegiatan- kegiatan prioritas yang akan dikerjakan secara sendiri-sendiri dan bekerjasama antara kementerian dan lembaga pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah desa. Partisipasi masyarakat, baik kelompok-kelompok organisasi masyarakat sipil, maupun para perwakilan dari masyarakat yang mendapatkan manfaat dari program.

            Pelaksanaan Reforma Agraria ini menyasar empat kategori tanah, yakni: (i) Tanah-tanah legalisasi aset yang menjadi objek dan sekaligus arena pertentangan klaim antara kelompok masyarakat dengan pihak perusahaan dan instansi pemerintah, dan tanah-tanah yang sudah dihakimasyarakat namun kepastian hukum nya belum diperoleh penyandang haknya; (ii) Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) untuk diredistribusikan kepada kelompok masyarakat miskin pedesaan; (iii) Hutan negara yang dialokasikan untuk desa dan masyarakat desa melalui skema-skema hutan adat dan perhutanan sosial termasuk Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan sebagainya; dan (iv) Pengelolaan dan pengadaan lahan aset desauntuk diusahakan oleh rumah tangga petani miskin secara bersama. Kategori pertama dan keduaadalah tanah seluas sekitar 9 (sembilan) juta hektar yang termuat dalam janji politik Jokowi-JK dalam Nawacita. Sedangkan kategori ketiga adalah hutan negara seluas sekitar 12,7 juta hektarsebagaimana termuat dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)2015-2019.

            Program-program prioritas dan kegiatan- kegiatan prioritas yang diikat oleh Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria dilaksanakan oleh masing-masing Kementerian dan Lembaga Pemerintah maupun bekerjasama secara sinergis dan lintas-sektor, serta  dikendalikandan dikordinasikan oleh Kantor Staf Presiden bersama Kementerian Koordinator Perekonomian. Program-program prioritas dan kegiatan-kegiatan prioritas tersebut secara resmi masuk ke dalam Rencana Kerja Pemerintah yang penyusunannya dikoordinasikan Badan PerencanaanPembangunan Nasional (Bappenas), dan dukungan pendanaan dari Kementerian Keuanganmelalui pagu anggaran yang memadai. Pelaksanaan Reforma Agraria ini secara khusus akan dikendalikan Kantor Staf Presiden (KSP) sesuai sebagaimana diatur dalam Peraturan PresidenNomor 26 Tahun 2015 tentang Kantor Staf Presiden.

            Pada tingkat lokal, subyek yang disasar oleh program ini adalah kelompok-kelompok rumahtangga petani miskin yang terorganisir dan desa sebagai pengatur penguasaan, pemilikan, penatagunaan, dan pemanfaatan lahan dan hutan. Desa dan masyarakat desa dapat membentuk badan usaha khusus yang berfungsi untuk meningkatkan produktivitas dan menghasilkan pendapatan rumah tangga petanipeserta program secara bersama.

            Secara ideologis, Reforma Agraria ini dibuat dan dijalankan sebagai pelaksanaandari amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, bahwa perekonomian negara disusun dan ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan mengembangkan bentuk-bentuk ekonomi kerakyatan. Secara khusus, stranas ini jugamenjalankan amanat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi: “Bumi dan air dankekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” menjadi landasan konstitusional bagi pelaksanaan penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, hutan dan kekayaan alam. Di bawah rezim Orde Baru, kewenangan pemerintah pusat mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam dilakukan secara sektoral, otoritarian, dan sentralistik. Setelah berlakunya Otonomi Daerah di tahun 2000, kewenangan pemerintahan daerah menguat dalampengaturan tanah dan kekayaan alam itu, khususnya dalam pemberian lisensi-lisensi pemanfaatan lahan/ hutan/tambang.

            Penafsiran mengenai konsep penguasaan Negara terhadap Pasal 33 UUD 1945 telah ditetapkan secara otoritatif oleh Mahkamah Konstitusi, yakni memberikanwewenang kepada pemerintah untuk melakukan perbuatan hukum yang ditujukan untukmemberikan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini dimulai Mahkamah Konstitusi sejak putusan Perkara No. 001/ PUU-I/2003 dan Perkara No. 021/PUU-I/2003. Konsepsi penguasaan Negara itu diwujudkan dalam lima bentuk kewenangan, yaitu pembuatankebijakan (beleid), melakukan tindakan-tindakan pengurusan (bestuurs daad), menyelenggarakan pengaturan (regelen daad), pengelolaan (beheers daad) dan pengawasan(toezichthoudens daaduntuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

            Sementara itu, pada kenyataannya pemberian izin-izin pemanfaatan kekayaan alam kepada badan-badan usaha tersebut mengakibatkan tiga masalah utama, yakni ketimpangan penguasaan lahan, konflik-konflik agraria dan pengelolaan sumber daya alam, serta kerusakan lingkungan. Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria (Stranas PELRA) ini merujuk pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX Tahun 2001 (TAP MPR RI nomor IX/ MPRRI/2001) tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam sebagai konsensus nasional di awal era reformasi untuk mengatasi tiga masalah utama tersebut, dan diatasi secara terpisah tapi sekaligus dengan kebijakan-kebijakan Pembaruan Agraria dan kebijakan-kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

            TAP MPR ini menunjukkan pengertian, prinsip, dan arah kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam yang dimandatkan untuk dijalankan oleh Presiden RI danDPR RI. Secara khusus, TAP MPR ini menekankan pentingnya penyelesaian pertentangan dan tumpang-tindih pengaturan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.

            Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau  yang dikenal sebagai UU Pokok Agraria (UUPA) merupakan rujukan pokok bagi pelaksanaan Reforma Agraria. Pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang digariskan UUPA dimaksudkan untuk memastikan tanah tidakdimonopoli oleh segelintir penguasa tanah, dengan mengorbankan golongan ekonomi lemah yang hidupnya tergantung pada tanah, terutama para petani produsen makanan. Sementara itu, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memberi landasansektoral bagi pengaturan jurisdiksi baru bagi keberadaan kawasan hutan dan pengelolaan sumber daya hutan. Pengakuan hak-hak tenurial masyarakat memperoleh momentumdengan Putusan MK 45/ PUU-IX/2011 danPutusan MK 35/PUU-X/2012 35. Selanjutnya, momentum itu berada pada babak yang sama ketika komitmen “hutan untuk rakyat” (forest for people) di Kementerian Kehutanan hingga 2014, dan di bawah Kementerian LingkunganHidup dan Kehutanan (LHK) semakin menguat dengan mengakselerasi pemberian izin perhutanan sosial untuk kelompok masyarakat dan desa. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan PemberdayaanPetani, dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa jelas memberi panduan penting pula yang melandasi kerangka kerja Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria ini.

            Sesuai Nawacita, kini amanat untuk melaksanakan reforma agraria sedang mendapatkan momentumnya. Nawacita yang secara esensial diterjemahkan dari semangat dan ajaranTrisakti, yakni: berdaulat secara politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya melandasi spririt pelaksanaan reforma agraria. Pelaksanaan Reforma Agraria menjadilandasan yang kokoh bagi pembangunan ekonomi semesta dan nasional Indonesia yang mengarah pada kemandirian ekonomi negara. Secara ideologi dan metodologi, Nawacitadijadikan rujukan pembuatan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 dan diturunkan menjadi program yang dijalankan oleh kementerian danlembaga pemerintah pusat melalui Rencana Kerja Pemerintah (RKP).

1.2. Misi dan Hasil yang Diharapkan

            Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria ini berangkat dari pengertian ReformaAgraria sebagai kebijakan, legislasi, dan program pemerintah yang diniatkan dan dijalankansebagai suatu operasi yang terkoordinasi dan sistematis untuk (a) meredistribusi kepemilikantanah, mengakui klaim-klaim dan hak-hak atas tanah, (b) memberi akses pemanfaatan tanah,sumber daya alam, dan wilayah, dan (c) menciptakan kekuatan produktif baru secara kolektif didesa dan kawasan pedesaan. Ketiga hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan status,kekuasaan, dan pendapatan absolut maupun relatif dari masyarakat miskin, sehingga terjadiperubahan kondisi masyarakat miskin atas penguasaan tanah/lahan sebelum dan setelah adanya kebijakan, legislasi, dan program tersebut. Pengertian ini diinspirasikan oleh definisimengenai land reform yang dibuat oleh Michael Lipton (2009) dalam bukunya Land Reform in Developing Countries. Property Rights and Property Wrongs (London: Routledege). Pengertian ini dirujuk oleh Noer Fauzi Rachman (2014) Land Reform Dari Masa ke Masa. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.

            Kebijakan terkait Revolusi Mental dalam pelaksanaan reforma agraria, meliputi: (1) Masyarakat korban merasakan “negara hadir” dalam mengurus penyelesaian konflik agraria; (2) Masyarakat miskin merasakan “negara hadir” memastikan hak dan akses atas tanah dan sumber daya hutan untuk meningkatkan kesejahteraan; (3) Kerjasama antar kementerian/ lembaga pemerintah pusat, daerah dan desa untuk pembentukan basis-basis produktivitas dengan pengusahaan tanah dan sumber daya hutan secara kolektif sejalan dengan Konstitusi, khususnya ps. 33 ayat 3.

            Disadari, pelaksanaan Reforma Agraria tidak hanya memerlukan komitmen politik yang menjadi dasar motivasi pejabat-pejabat pemerintah bekerja di masing-masing kementerian danlembaga pemerintah maupun menjalin kerjasama antar kementerian dan lembaga pemerintah. Agar manjur mencapai tujuannya, pimpinan kementerian dan lembaga yang merancang dan menjalankan Reforma Agraria harus mengerahkan segala kekuatan yang diperlukan, termasuk untuk mengurangi kekuasaan pihak-pihak yang menghalangi misi Reforma Agraria ini.

            Reforma Agraria ini menyediakan pilihan cara lain bagi kelompok-kelompok masyarakat miskin di desa, khususnya para pemuda-pemudi dari rumah tangga petani, untuk keluar dari kemiskinan. Bukan dengan cara meninggalkan pertanian dan pedesaan dan pergi ke luar desa (kekota-kota menjadi bagian dari tenaga kerja industri ataupun kerja di sektor informal, atau ke luarnegeri menjadi buruh migran), melainkan memberi kepastian hak kepemilikan atas tanah dan akses atas lahan hutan secara bersama (kolektif), dan selanjutnya melakukan pemulihan layanan alam melalui penatagunaan tanah dan perbaikan ekosistem, serta peningkatan produktivitas melalui pengusahaan tanah bersama melalui badan-badan usaha bersama, termasuk Badan UsahaMilik Desa.

            Program ini akan menahan laju konsentrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, danpemanfaatan lahan di pedesaan melalui pemberian kepastian hak kepemilikan dan akses atas lahan secara kolektif untuk lapisan masyarakat miskin di pedesaan. Program ini juga sekaligusmenjadi momentum membangkitkan partisipasi masyarakat dan memberdayakan pemerintah desa untuk menata penguasaan, pemilikan, penatagunaan, dan pemanfaatan lahan dan hutan.

            Dengan demikian, secara khusus MISI dari Strategi Nasional Pelaksanaan ReformaAgraria ini adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin pedesaan secarabersama, dan memampukan desa dalam mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, hutan, dan  sumber daya alam lainnya.

1.3. Saharan dan Indikator

            Sasaran dan indikator pokok keberhasilan dari misi Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria ini, adalah:

  1. Tersedianya landasan hukum yang memadai untuk pelaksanaan Reforma Agraria untuk menyediakan keadilan melalui kepastian tenurial bagi tanah-tanah masyarakatyang berada dalam konflik-konflik agraria;
  2. Teridentifikasinya subjek penerima dan objek tanah-tanah yang akan diatur kembali hubungan kepemilikan dan penguasaannya, dan cara-cara meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan;
  3. Berkurangnya kesenjangan ekonomi dengan meredistribusi lahan menjadi kepemilikan rakyat;
  4. Berkurangnya kesenjangan ekonomi dengan pengalokasian hutan negara untuk dikelola masyarakat;
  5. Pemerataan pembangunan, pengurangan kemiskinan dan penyediaan lapangan kerja melalui perbaikan tata guna lahan dan pembentukan kekuatan-kekuatan produktif baru;
  6. Tersedianya dukungan kelembagaan di pemerintah pusat, daerah dan desa yang mampu mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, sumber daya alam, dan wilayah kelola desa.

Kondisi yang diharapkan setelah kegiatan- kegiatan prioritas dan program-program prioritas dalam pelaksanaan Reforma Agraria adalah status kesejahteraan masyarakat meningkat, dengan tanda: Jumlah rumah tangga miskin berkurang, ekosistem membaik, dan produktivitas lahan secara bersama dan per-kapita meningkat.  


Selanjutnya, keseluruhan naskah dapat diakses secara bebas di 

https://drive.google.com/file/d/1h6s8qG4w2rlaZm7g7eDEURLIP4aVS7Ot/view?usp=sharing