Noer Fauzi Rachman
Naskah untuk disajikan pada Simposium Masyarakat Adat Kedua yang bertema “Gerakan Masyarakat Adat dan Pembaruan Hukum” pada 16-17 Mei 2016 di Universitas Pancasila, Jakarta. Simposium tersebut diselenggarakan bersama-sama oleh Epistema Institute, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Perkumpulan HuMa, Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno Universitas Gadjah Mada, Badan Registrasi Wilayah Adat, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
http://www.epistema.or.id/download/Noer_Fauzi_Rachman--Adat_sebagai_Retorika_untuk_Melegitimasi_Perjuangan_Hak_atas_Wilayah.pdf
... Adat merupakan retorika untuk melegitimasi ... hak yang diperjuangkan. Karenanya, adat yang tidak terkodifikasi — atau bahkan yang terkodifikasi sekalipun — senantiasa tidak pasti.
(Edward. P. Thompson, 1993)
Kita sedang hidup di jaman dimana kekuatan dari pasar berjaya, saat di mana banyak orang Indonesia sudah terbiasa dan dibiasakan memenuhi kebutuhan hidupnya melalui transaksi jual beli. Semua cenderung menganggap transaksi jual beli itu normal dan alamiah. Lebih dari itu, untuk berhasil memenuhi kepentingan memperoleh pendapatan atau keuntungan, cara jual beli merupakan sesuatu yang sudah lazim ditempuh. Pasar pun dianggap penyedia kesempatan. Ini adalah zamannya pasar berdigjaya, the age of market triumpalism! Sedemikian leluasanya kekuatan pasar itu sehingga sekarang ini kita tidak memiliki rujukan yang otoritatif mengenai batas apa-apa yang boleh atau tidak boleh diperjual-belikan.
Bukankah demikian? Jarang orang memikirkan secara sungguh-sungguh bagaimana kekuatan pasar bekerja. Pasar biasa diterima begitu saja, dianggap normal, lazim, wajar, alamiah, serta sudah seharusnya demikian. Masih cukup sedikit orang yang melihat Kekuatan Pasar yang lainnya, yakni sebagai kekuatan pemaksa. Ellen M. Wood (1994, 2002) secara teori membedakan market-as-opportunity (pasar-sebagai-kesempatan), dan market-as-imperative (pasar-sebagai-keharusan). Pasar-sebagai-kesempatan bekerja melalui proses sirkulasi barang dagangan. Kebutuhan manusia pada gilirannya dibentuk agar dapat mengkonsumsi apa-apa yang diproduksi. Sebagai suatu sistem produksi yang khusus, ia mendominasi cara pertukaran komoditas melalui pasar. Lebih dari itu, perusahaan-perusahaan raksasa sanggup membentuk bagaimana cara sektor ekonomi dikelola oleh badan-badan pemerintahan hingga pada pemikiran bagaimana ekonomi pasar itu diagung-agungkan. Sementara itu, pasar-sebagai-keharusan dapat dipahami mulai dari karakter sistem produksi kapitalis sebagai yang paling mampu dalam mengakumulasikan keuntungan melalui kemajuan dan pemutakhiran teknologi, serta peningkatan produktivitas tenaga kerja per unit kerja, serta efisiensi hubungan sosial dan pembagian kerja produksi dan sirkulasi barang dagangan.
Saat ini, anggota dari masyarakat hukum adat dan banyak kelompok rakyat miskin lain di seantero pedesaan kepulauan Indonesia, di pedalaman maupun pesisir, pinggir kota, dan pulau-pulau kecil dilanda rasa galau, sehubungan dengan “perampasan-perampasan tanah” (land grabbings) sebagai ekspresi brutal dari kekuatan pasar yang makin lama makin berjaya ini. Saya meyakini bahwa, sesungguhnya, hak atas wilayah adat yang disandang oleh masyarakat hukum adat bukan sekedar konstruksi hukum dan kategori yang keberadaannya dalam norma konstitusi Republik Indonesia ditegaskan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 35/PUU-X/2012. Dokumentasi mengenai bagaimana keberadaan secara nyata hak atas wilayah adat ini, dan praktek brutal dari pihak lain untuk menghilangkan hak itu, telah secara resmi didokumentasikan oleh Komnas HAM. Dokumentasi ini telah menjadi satu tonggak penting, yang musti jadi rujukan baru bagi kementerian dan lembaga pemerintah pusat, maupun pemerintahan daerah, serta masyarakat umumnya.
Dengan dukungan berbagai organisasi lain, Komnas HAM telah menyelesaikan Inkuiri Nasional tentang Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan, yang mencakup pelatihan dan lokakarya persiapan, penelitian etnografis, kajian kebijakan, dengar keterangan umum (DKU) di daerah dan di tingkat nasional, serta penjelasan ke publik melalui berbagai media sejak tengah tahun 2014 sampai awal tahun 2015. Inkuiri nasional adalah mekanisme yang hanya Komnas HAM dapat menjalankan. Empat puluh kasus dipilih untuk diteliti dan didengar dalam DKU yang tersebar di tujuh wilayah, yaitu Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali - Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Kasus- kasus tersebut dipilih berdasarkan wilayah dan tipologi permasalahan yang didasarkan pada status hutan yang ditetapkan berdasarkan fungsinya, yakni hutan konservasi, hutan produksi, hutan produksi yang dapat dikonversi, dan hutan yang dipinjam pakai untuk perusahaan pertambangan.
Inkuiri nasional menemukan praktik pembatasan akses masyarakat hukum adat atas tanah, sumber daya alam, dan wilayahnya merupakan dampak dari penerbitan izin- izin pengelolaan hutan kepada korporasi dan penetapan pengelolaan wilayah-wilayah tersebut oleh institusi pemerintah. Menurut komisioner dari Inkuiri Nasional, pelanggaran hak masyarakat hukum adat terjadi karena tata kelola dan kebijakan negara cenderung kapitalistik, yang menempatkan manusia sebagai makhluk ekonomi dan hutan sebagai sumber ekonomi semata. Permasalahan bertambah rumit ketika aparat Pemerintah terlibat dalam konflik cenderung menjadi apatur yang represif dan koersif dari pada yang melindungi. Mengandalkan pada pembuktian formal dan tertulis untuk setiap klaim hak masyarakat adat atas wilayahnya adalah perlakuan tidak adil.
Bagaimana hak atas wilayah adat ini, yang awal mulanya berakar pada hukum adat bisa secara legal dan aktual diakui oleh hukum Negara melalui praktek kelembagaan pemerintah (pusat dan daerah), pada kondisi dimana posisi hukum adat tidak diakui posisinya dalam perundang-undangan nasional? Selain yang bersifat prinsipiil itu, tindak lanjut yang masih harus diperjuangkan juga berpusat pada bentuk-bentuk nyata dari Negara untuk mengakui hak atas wilayah, dan melindungi masyarakat hukum adat dari gempuran kekuatan pasar, serta memulihkan kondisi masyarakat dari krisis sosial-ekologi yang melandanya. Kita menyadari bahwa kekuatan-kekuatan pasar pada saat ini pun memperlakukan Negara sebagai arena dan sekaligus kekuatan yang perlu dibentuk untuk menyediakan dan melanjutkan lisensi-lisensi penguasaan dan pengusahaan tanah dan sumber daya alam dalam skala yang luas dan besar.
Saya melihat bukan hanya masalah konflik agraria itu yang mencemaskan (Rachman 2013). Juga, semakin membanyak dan membesar sehubungan dengan konversi tanah- tanah pertanian ke non-pertanian, perkembangan teknologi produksi, dan pertumbuhan penduduk miskin. Kerja di sektor pertanian semakin sempit, kerja rumah tangga pertanian rakyat tidak menguntungkan, dan tidak lagi menarik. Mayoritas yang tidak bertanah dan tidak bisa menikmati sekolah tinggi, harus mengambil resiko pergi ke luar desa untuk mendapatkan pekerjaan melalui kerja migran secara sirkuler, temporer maupun permanen, di kota-kota propinsi, metropolitan hingga ke luar negeri. Sebagian besar dari rakyat pekerja migran ini sesungguhnya berhasil memperoleh upah kerja yang lebih baik, mengirimkan pendapatannya ke desa, dan kemudian menjadi daya tarik pula bagi pemuda- pemudi desa generasi berikutnya untuk mengikuti mereka itu.
Data Sensus Pertanian 2013 menunjukkan rumah tangga pertanian di Indonesia mencapai 26,13 juta, yang berarti telah terjadi penurunan sebesar 5 juta rumah tangga pertanian, dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian 2003. Secara retorik, setiap satu menit satu rumah tangga petani hilang, berganti pekerjaan dari pertanian.
Di pihak lain, dunia pertanian dan hidup di dalam wilayah adat, serta pedesaan umumnya tidak menjanjikan bagi pemuda-pemudi yang punya kemampuan cukup dan terdidik. Semakin tinggi pendidikan orang desa, semakin kuat pula motivasi dan dorongan untuk mereka meninggalkan desanya. Desa ditinggalkan pemuda-pemudi yang pandai- pandai, termasuk untuk mengenyam pendidikan tinggi. Mereka inilah yang semakin memenuhi kota-kota kabupaten, provinsi dan metropolitan. Sebagian dari mereka yang berhasil, menjadi kelas menengah di kota-kota, dan bersifat konsumtif, termasuk pembelian/menyewa tanah dan rumah untuk tinggal di pinggir kota, dan motor dan mobil baru untuk transportasi yang pada gilirannya membuat infrastuktur jalan di kota-kota propinsi dan metropolitan tidak lagi memadai. Macet dimana-mana setiap pagi pada jam pergi kantor menuju pusat kota, dan jam pulang kantor dari pusat kota ke pinggiran.
Pasar kapitalis membuat segala hal dikomodifikasi menjadi barang dagangan. Namun, khusus untuk tanah (atau lebih luas alam), pasar kapitalis tidak akan pernah berhasil mengkomodifikasi sepenuhnya. Karl Polanyi percaya bahwa tanah (atau lebih luasnya: alam) sesungguhnya bukanlah komoditi atau barang dagangan, dan tidak dapat sepenuhnya diperlakukan sebagai komoditi (barang dagangan). Tanah melekat sepenuhnya dengan relasi-relasi sosial. Jadi mereka yang memperlakukan tanah (alam) sepenuhnya sebagai komoditi, sesungguhnya bertentangan dengan hakekat tanah (alam) itu sendiri.
Tanah (alam) dapat dibayangkan sebagai komoditi. Polanyi mengistilahkannya: fictitious commodity (barang dagangan yang dibayangkan). Menurut Polanyi memperlakukan tanah (alam) sebagai barang dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya, niscaya akan menghasilkan guncangan-guncangan yang menghancurkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masyarakat itu, dan kemudian akan ada gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih parah.
Tanah (dan juga tenaga kerja) merupakan syarat hidup dari masyarakat. Memasukkan tanah (dan juga tenaga kerja) dalam mekanisme pasar adalah merendahkan hakekat masyarakat, dan dengan demikian menyerahkan begitu saja pengaturan kehidupan masyarakat pada mekanisme pasar. Hal ini dengan sendirinya, akan menimbulkan gejolak perlawanan, demikian Polanyi menyebutkan. Polanyi pun menulis bahwa kelembagaan pasar demikian “tak dapat hidup lama tanpa melenyapkan hakekat alamiah dan kemanusiaan dari masyarakat; Ia akan secara fisik merusak manusia dan mengubah lingkungannya menjadi demikian tak terkendalikan. Tak terelakkan lagi, masyarakat melakukan upaya perlindungan diri” (Polanyi 1944:3).
Saya menempatkan adat merupakan cara melegitimasi hak yang diperjuangkan oleh suatu kelompok tertentu dari kaum yang tertindas. Hal ini bukan cuma berlaku di Indonesia masa kini, melainkan juga masa lalu, dan di tempat lain, sebagaimana diungkap oleh sejarawan Edward. P. Thompson (1993). Secara sadar, saya diinspirasikan oleh konsep counter-movement dari Karl Polanyi (1944). Polanyi menulis “selama berabad-abad dinamika masyarakat modern diatur oleh suatu gerakan ganda (double movement): pasar yang terus ekspansi meluaskan diri, tetapi gerakan (pasar) ini bertemu dengan suatu gerakan tandingan (countermovement) menghadang ekspansi ini agar jalan ke arah yang berbeda. Membuat gerakan tandinagn ini adalah ekspresi dari suatu kesadaran kritis dan sekaligus semangat mengubah nasib. Apa yang diutamakan oleh gerakan tandingan ini adalah untuk melindungi masyarakat dari daya rusak pasar kapitalis. Arus balik atau gerakan tandingan itu sesungguhnya menandingi prinsip “pengaturan diri-sendiri” dari pasar kapitalis (Polanyi 1944:130).
Daftar Pustaka yang Dikutip
Komnas HAM Republik Indonesia (2015) Ringkasan Temuan dan Rekomendasi untuk Perbaikan Hukum dan Kebijakan tentang Penghormatan, Perlindungan, pemenuhan dan pemulihan Hak masyarakat Adat atas Wilayahnya di kawasan Hutan. Jakarta: Komnas HAM.
Polanyi, Karl (1944). The Great Transformation, the Political and Economic Origins of Our Time . New York: Farrar & Rinehart, Incorporated.
Rachman, Noer Fauzi (2013) “Mengapa Konflik-Konflik Agraria Terus-Menerus Meletus di Sana Sini?” Sajogyo Institute‘s Working Paper No. 1/2013. Bogor: Sajogyo Institute. http://www.sajogyo-institute.or.id/article/mengapa-konflik-konflik-agraria-terus- menerus-meletus-di-sana-sini (unduh pada 29 Juni 2013).
_____. (2014) Panggilan Tanah Air. Tinjauan Kritis atas Porak Porandanya Indonesia. Yogyakarta: Literasi Press.
Thompson, Edward. P. (1993), Customs in Common: Studies in Traditional Popular Culture. New York, The New Press.
Wood, Ellen Meiksins. (2002) The Origin of Capitalism. A Longer View. London, Verso.
_____. (1994(. “From Opportunity to Imperative: The History of the Market”. Monthly Review 46(3).