Noer Fauzi Rachman
Masalah ketidakpastian hak masyarakat hukum adat atas wilayah adatnya dalam hukum agraria Indonesia belum menemukan solusinya, baik pada tataran kebijakan hingga instrumen pemerintahan. Pandangan umum yang terus-menerus dipelihara adalah bahwa suatu penguasaan masyarakat adat secara de facto atas keseluruhan wilayah adat, yang disebut sebagai “hak ulayat” bukanlah suatu hak atas tanah yang dapat diadministrasikan melalui pendaftaran tanah. Pemerintah tidak memiliki suatu jenis layanan yang dapat memberikan tanda kepemilikan tertentu, bahkan bukan menjadi suatu keperluan pemerintah untuk mengetahui keberadaan dari wilayah-wilayah adat melalui suatu program pemetaan resmi.
Terus-menerus diajarkan kepada mahasiswa bahwa penguasaan tanah dari Masyarakat Hukum Adat atas Wilayah Adatnya, yang disebut oleh Undang-undang Pokok Agraria no 5/1960 sebagai sebagai “hak ulayat”, akan hilang “dengan sendirinya”. Menguatnya hak-hak individual atas tanah dari para anggota Masyarakat Hukum Adat pada gilirannya akan menggurangi hingga sampai menghilangkan penguasaan bersama dari Masyarakat Hukum Adat atas Wilayah Adatnya. Selanjutnya, alih-alih pemerintah menyediakan mekanisme perlindungan hukum atas hubungan Masyarakat Hukum Adat dengan Wilayah Adatnya itu, Wilayah Adat dengan segala kekayaan alamnya menjadi sasaran negara-isasi, yakni Wilayah Adat, atau bagian daripadanya, dianggap sebagai hutan negara dan/atau tanah negara, lalu pemerintah memasukkannya ke dalam lisensi-lisensi yang diberikan untuk perusahaan perkebunan, pertambangan, kehutanan dan lainnya, atau menjadi bagian dari Taman Nasional untuk keperluan konservasi sumber daya alam, atau proyek-proyek infrastruktur raksasa tertentu. Para pemegang lisensi itu pada mulanya bekerja di lapangan dengan melakukan operasi perubahan hubungan kepemilikan dan perubahan tata guna tanah, yang akibatnya sangat fatal bagi masyarakat karena pembatasan akses pada wilayah adatnya dan perusakan fungsi-fungsi faal dari sumber daya alam itu.
Putusan MK 35/2012 dan sesudahnya
Semua itu berlangsung hingga adanya putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara no 35/PUU-X/2012 (selanjutnya disebut Putusan MK 35) yang mengubah sejumlah pasal dalam UU no 41/1999 tentang Kehutanan, yang menyatakan bahwa wilayah adat adalah miliknya masyarakat hukum adat. Dengan pendirian demikian itu, hutan adat tidak lagi masuk dalam kategori “Hutan Negara”, melainkan masuk ke dalam kategori “Hutan Hak”. Berbeda dengan “Hutan Negara” yang status hak atas tanah dimana hutan itu berdiri adalah “Tanah Negara”, maka “Hutan Hak” merupakan hutan yang berdiri di atas hak atas tanah yang statusnya adalah “Hak Milik”, baik berupa hak milik perorangan dan hak milik masyarakat adat.
Andil Putusan MK 35 itu adalah koreksi dan sekaligus merupakan tonggak baru dalam politik agraria kehutanan. Gaung Putusan MK 35 itu menggema di kampung-kampung, dan menggerakkan pimpinan Masyarakat Hukum Adat untuk membuat plang-plang penanda kepemilikan atas Wilayah Adatnya. Penanda kepemilikan itu merupakan klaim tandingan (counter claim) yang dibuat sendiri oleh mereka untuk menandingi klaim kepemilikan dari pemerintah atau pemegang lisensi dari pemerintah. Pada sejumlah kasus, klaim itu bertumbukan pula dengan klaim masyarakat pendatang/migran yang menikmati tanah itu karena program pemerintah seperti transmigrasi, maupun mobilitas tenaga kerja secara terorginisr oleh perusahaan maupun secara sukarela. Tumbukan klaim-klaim ini merupakan bagian dari perjalanan konflik agraria yang kronis. Dari ratusan kasus konflik agraria itu, Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) mendata hingga lebih dari 200 kasus korban kriminalisasi terhadap warga dan pemimpin masyarakat adat yang memperjuangkan wilayah adat mereka dan mendapat pelakuan sebagai kriminal, baik sekarang dalam statusnya sebagai narapidana, terdakwa, tersangka, maupun dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Bagaimana penyelesaian hukum atas kasus-kasus ini dan bagaimana putusan hakim atas kasus kriminalisasi itu berpengaruh pada penyelesaian konflik agrarianya secara keseluruhan sangatlah bervariasi satu sama lain.
Setelah Putusan MK 35 keluar, seharusnya status mereka diamnesti, diabolisi, dan direhabilitasi, bergantung pada tipologi status perkaranya. Karena pemerintah nasional belum membuatkan kebijakan yang secara afirmatif, maka Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan rombongan pendukungnya meminta kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo secara langsung dalam pertemuan mereka di Istana di akhir bulan Juni 2015 lalu agar pemerintah mengakhiri praktek-praktek kriminalisasi atas mereka yang memperjuangkan tanah /wilayah adat milik mereka sendiri. Pada pokoknya mereka telah dituduh/disangka/didakwa/ditetapkan sebagai sebagai pencuri atau perusak hak milik pihak lain. Setelah Putusan MK 35 menjadi terang benderang: Sesungguhnya, mereka sedang mempertahankan hak milik mereka sendiri dengan cara mereka sendiri dari gangguan pihak yang merampas/mencuri tanah dan sumber daya alam dari wilayah milik mereka.
Pendaftaran tanah hak komunal
Di tengah ketiadaan prosedur resmi pengakuan hak kepemilikan masyarakat adat atas wilayah adatnya, Kemeterian Agraria dan Tata Ruang mengeluarkan suatu terobosan baru, yakni Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) nomor 9 tahun 2015 (selanjutnya disebut Peraturan MATR/KBPN Nomor 9/2015) yang mengatur tata cara penetapan hak komunal atas tanah untuk masyarakat hukum adat, dan untuk masyarakat yang berada dalam kawasan kehutanan, perkebunan dan lainnya. Peraturan ini mengganti Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman penyelesaian Maslah Hak Ulayat Masyarakat hukum Adat.
Masyarakat hukum adat yang dimaksudkan adalah suatu kelompok masyarakat yang secara fisik menguasai tanah, sumber daya alam, dan wilayah adat mereka secara terus-menerus, bercirikan paguyuban yang memiliki kelembagaan perangkat penguasa adatnya, wilayah hukum adat yang jelas, dengan pranata dan perangkat hukum adatnya masih ditaati oleh masyarakatnya.
Ditulis sebagai satu pertimbangan utama dari dihadirkannya peraturan itu adalah bahwa masyarakat adat itu telah menguasai tanah dalam jangka waktu yang cukup lama dan membangun tempat hidup dan mencari penghidupan, sehingga perlu diberikan perlindungan hukum oleh pemerintah dalam rangka mewujudkan cita-cita tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. BPN memperkenalkan suatu jenis hak yang baru, yakni Hak Komunal atas Tanah, yang dirumuskan sebagai hak milik bersama atas tanah suatu masyarakat hukum adat. Proses pemberian Hak Komunal ini dilakukan oleh suatu tim IP4T (Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah) yang dibentuk oleh Bupati/Walikota atau Gubernur untuk menentukan keberadaan masyarakat hukum adat beserta tanahnya. Bupati/Walikota lah membentuk Tim IP4T apabila lokasi tanah adat itu berada di dalam wilayah administrasi Kabupaten/Kota. Apabila tanah adat itu berada di setidaknya dua wilayah Kabupaten/Kota, maka Gubernur lah yang membentuk tim IP4T itu. Peraturan MATR/KBPN Nomor 9/2015 ini memberi pedoman siapa-siapa saja yang menjadi anggota Tim IP4T itu.
Permohonan dapat diajukan oleh Kepala Adat yang bersangkutan kepada Bupati/Walikota atau Gubernur, dengan diperlengkapi syarat: riwayat masyarakat hukum adat dan tanahnya, kartu identitas pemohon, dan surat keterangan dari desa atau desa-desa. Tim IP4T memproses permohonan tersebut, melakukan identifikasi dan verifikasi pemohon, riwayat tanah, jenis penguasaan, pemanfaatan dan penggunaan tanah, mengidentifikasi dan menginventarisasi batas tanah, melakukan pemeriksanaan lapangan, analisa data yuridis dan data fisik bidang tanah, dan menyampaikan laporan hasil kerja Tim IP4T kepada yang membentuknya. Apabila posisi tanah adalah sedang dipersengketakan, maka Tim IP4T ini memiliki kewenangan pula untuk melakukan musyawarah dengan para pihak yang bersengketa itu. Hal ini penting sekali sehubungan dengan banyaknya bidang tanah yang berada di wilayah Masyarakat Hukum Adat sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah, atau sudah “dibebaskan” untuk keperluan instansi pemerintah pemerintah, badan hukum atau perseorangan.
Sebagai yang membentuk Tim IP4T, Bupati/Walikota atau Gubernur lah yang menindaklanjuti laporan yang diterimanya dengan membuat penetapan Hak Komunal atas nama Masyarakat Hukum Adat itu dan menyampaikan penetapan itu ke Kantor Wilayah BPN, atau Kantor Pertanahan setempat untuk kemudian dilakukan proses pendaftaran hak atas tanah. Sertifikat hak komunal akan dikeluarkan sebagai tanda kepemilikan dari Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan.
Kemanjuran dan Keterbatasan
Dengan memperkenalkan “Hak Komunal” sebagai suatu hak milik bersama yang dipunyai oleh suatu Masyarakat Hukum Adat, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN telah membuat terobosan hukum. Sebagai satu-satunya badan pemerintah pusat yang berwenang dalam urusan menyediakan sertifikat tanah sebagai tanda bukti kepemilikan atas tanah yang terkuat, BPN telah mengisi kekosongan mekanisme yang wajib disediakan pemerintah untuk mengakui hak kepemilikan dari Masyarakat Hukum Adat atas wilayah adatnya.
Peraturan MATR/KBPN Nomor 9/2015 ini dapat saja ditinjau secara kritis dari berbagai segi, misalnya kealpaannya untuk memasukkan Putusan MK 35 sebagai butir dalam bagian “Mengingat” yang tentunya wajib menjiwai seluruh isi Peraturan ini. Peraturan ini membedakan antara “pengakuan hak” dan “pemberian hak” berdasarkan objeknya. “Pengakuan hak” diberlakukan pada objek keberadaan hak-hak Masyarakat Hukum Adat, sedangkan “pemberian hak” adalah penetapan Pemerintah yang memberikan suatu hak atas “Tanah Negara”. Dapat saja dikritisi bahwa yang sesungguhnya diperlukan adalah pemerintah memberikan pengakuan sekaligus baik untuk eksistensi Masyarakat Hukum Adat, maupun pada Hak-hak atas Tanah/Wilayah Adat yang secara historis telah melekat pada mereka. Dalam hal ini Pemerintah tidak bisa “memberikan hak” terhadap sesuatu yang sudah melekat pada Masyarakat Hukum Adat itu. Yang diperlukan adalah Pemerintah memproses pengakuan atas yang telah dihaki Masyarakat Hukum Adat itu.
Konsistensi antara Peraturan MATR/KBPN Nomor 9/2015 ini terhadap UUPA nomor 5/1960 pun bisa dilakukan bahwa hak komunal bukanlah suatu hak atas tanah, melainkan kewenangan Masyarakat Hukum Adat yang pengakuan atas kewenangan itu harusnya yang diberikan, bukannya proses pendaftaran tanah atas tanah komunal yang diperlukan. Lebih jauh bisa juga dikiritisi bahwa Peraturan MATR/KBPN Nomor 9/2015 mengadakan suatu jenis hak atas tanah yang baru, yakni hak komunal, tanpa membuat amandemen atas PP nomor 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Bisa juga kritiknya ditambahkah mengenai keterbatasan pemahaman pembuat Peraturan ini yang mengatur bahwa manakala Tim IP4T menemukan lokasi dari tanah yang diinventarisasi itu berada dalam Kawasan Hutan, maka rekomendasi dari Tim IP4T adalah menyerahkan hasil analisisnya pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), c.q. Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan, “untuk dilepaskan dari kawasan hutan”. Padahal, terdapat pilihan bahwa dengan penetapan status kepemilikan bersama atas tanah adat sebagai Hak Komunal tidak berarti wilayah adat itu dikeluarkan dari Kawasan Hutan, melainkan dikukuhkan oleh Kementerian LHK sebagai Hutan Hak berdasarkan Hak Komunal, dan tetap berada dalam Kawasan Hutan. Kawasan Hutan dapat berupa Hutan Negara (yang berdiri di atas tanah Negara), dan Hutan Hak (yang terdiri dari Hutan Pribadi yang berdiri di atas tanah milik pribadi, dan Hutan Adat yang berdiri di atas hak kepemilikan bersama atas wilayah adat).
Terlepas dari ragam kritik yang dapat diajukan, menurut penulis, yang diperlukan sekarang adalah memanfaatkan tatacara yang sudah disediakan ini. Tidak semua urusan hak atas Wilayah Adat dari Masyarakat Hukum Adat bisa diselesaikan dengan Peraturan MATR/KBPN Nomor 9/2015 ini. Penulis yakin dengan tersedia pilihan ini, sepanjang belum ada Undang-undang tersendiri yang mengatur mengenai Hak-hak masyarakat Hukum Adat, maka terobosan ini patut dicoba sesegera dan secermat mungkin pelaksananaannya.
Pembuat Rencana Kerja Pemerintah 2016 telah menyadari bahwa para pihak baik di kalangan dalam maupun luar pemerintahan memiliki pemahaman yang berbeda-beda terhadap tanah adat, dan sebagai konsekuensi dari padanya, memiliki tujuan dan cara perlakuan yang berbeda-beda pula. Diakui Pemerintah bahwa hanya baru 1 (satu) tanah adat yang ditetapkan batas oleh pemerintah daerah dan secara administrasi didaftarkan ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional yaitu Tanah Adat Badui, Provinsi Banten, sedangkan tanah adat yang lain belum dilakukan (Rencana Kerja Pemerintah 2016, halaman 2-20).
Jadi, siapakah kini yang akan menjadi golongan pemohon pertama-tama dari mana kita semua belajar keterbatasan dan kemanjuran dari tata cara yang disediakan Peraturan ini?
Jakarta, 6 Juli 2016
*) Noer Fauzi Rachman, PhD adalah Ketua Dewan Pengarah Prakarsa Desa, peneliti Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi Agraria, dan Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria.