Arah Kebijakan Reforma Agraria

Noer Fauzi Rachman (2016) "Arah Kebijakan Reforma Agraria" adalah naskah yang saya buat pada tanggal 24 Oktober 2016,  bekerja sebagai Staf Khusus Kepala Staf Kepresidenan, Kantor Staf Presiden (KSP) Republik Indonesia. 

 

Pengantar

Proklamasi kemerdekaaan tanah air Indonesia dari penjajahan dan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia,  didasari oleh suatu sikap mental yang mendasarinya, yakni 

“Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya.” 

Hal itu disampaikan oleh Soekarno dalam pidato pengantar sebelum membacakan teks Proklamasi 17 Agustus 1945.  Sikap mental untuk tetap setia dengan cita-cita dan terus bekerja berjalan ke arah cita-cita itu, sangat penting untuk terus dihadirkan dan dipelihara, karena pada kenyataannya semangat tersebut dapat kuat-lemah dan  naik-turun. Para pengurus pemerintahan maupun warga negara harus bekerja dengan dasar sikap mental ini, dan mengejawantahkannya dari waktu ke waktu dari kedudukannya masing-masing di berbagai tempat di Kepulauan Nusantara ini.

Bangsa Indonesia berketetapan hati membulatkan tekad untuk merdeka dengan membentuk sebuah negara yang berdaulat, sesungguhnya didasari oleh suatu hasrat kuat untuk mewujudkan suatu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, yang berdasar pada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Kelima prinsip dasar Pancasila itu harus menjadi pegangan utama pemerintah bekerja. Elite yang menguasai pemerintahan berganti dari waktu ke waktu, termasuk melalui pertarungan kekuatan melalui pemilu sebagai mekanisme demokrasi.  Tiap-tiap elite penguasa berusaha melegitimasikan kedudukan dirinya sebagai pelaksana dari cita-cita bangsa itu,  dengan menghubungkan diri dengan tantangan utama zamannya dan memiliki kerangka kebijakan masing-masing dalam penggunaan kekuasaan, baik dalam arti pengaruh maupun kewenangan yang dimilikinya sebagai pejabat pemerintah.

 

Tantangan Utama Pemerintah

Saat pemerintahan Jokowi-JK baru mulai ini yang menjadi tantangan utama pemerintahan kita adalah ketimpangan ekonomi. Masalah ketimpangan ini menjadi soal utama banyak pemerintahan negara pasca kolonial, dan semuanya berusaha menurunkan ketimpangan, dan memeratakan pendapatan, kekayaan dan pengeluaran. 

Ketimpangan adalah hasil dari pembangunan yang tidak adil dan tidak merata, terutama karena semakin luas dan dalamnya keterlibatan penduduk dan wilayah di seantero nusantara dalam produksi, sirkulasi dan konsumsi komoditas-komoditas global, dan diatur dengan suatu pembagian kerja secara internasional yang terus diperbaharui.   Mulanya, dipercayai pertumbuhan  ekonomi menghasilkan ketimpangan yang perlu untuk mendorong pasar berinvestasi lebih banyak, termasuk dalam hal pemajuan teknologi produksi dan peningkatan sumber daya manusia. Namun, ternyata, setelah melewati tingkat tertentu, meningkatnya ketimpangan konsumsi akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan itu banyak konsekuensinya, termasuk pada penggunaan kekerasan dan insiden-insiden konflik sosial yang bermuara pada ketidakstabilan sosial. Reputasi baru angka Indeks Gini kita tertinggi 0,41 pada tahun 2014, saat pemerintah Jokowi-JK memulai pemerintahannya. Sekedar bandingan, pada tahun 2000, angkanya 0,30. Tahun 2005 dan 2016 mulai turun menjadi 0,408 dan 0,397.





Bagaimana ketimpangan ekonomi itu diatasi? 

Angka Gini Rasio dalam penguasaan/pemilikan asset tanah pertanian lebih parah, berdasarkan data dari Sensus Pertanian 2013 dari Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan angka 0.64.[1] Data ini hanya pada sektor pertanian saja, dan tidak memasukkan perkebunan, kehutanan dan pertambangan. Bila saja kepenguasaan tanah dari ketiganya dimasukkan maka kesenjangannya akan jauh lebih tinggi lagi. 

 

Bekerja Sama Secara Terpimpin

            Pada sidang kabinet pleno di akhir Desember 2015, Presiden Jokowi memutuskan perubahan cara Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dibuat, yang secara ringkas dapat diwakili dengan istilah dari money follows function ke money follows program. Pendek kata, dahulu tiap-tiap unit kerja di kementerian/lembaga pemerintah terjamin mendapat budget dari APBN (Anggaran Belanja dan Pendapatan Nasional). Sekarang ini perolehan anggaran suatu unit kerja pemerintah bergantung pada posisi dan andilnya dalam hubungannya dengan program-program prioritas yang ditetapkan pemerintah. Sejak januari 2016, Bappenas (Badan Perencana Pembangunan Nasional) telah bekerja bersama-sama dengan berbagai kementerian dan lembaga pemerintah, dan pemerintah daerah. 

            Pada gilirannya, Presiden telah menetapkan Rencana Kerja Pemerintah tahun 2017, dalam Perpres 34/2016, yang didalamnya terkandung Prioritas Nasional Reforma Agraria. Program-program prioritas Reforma Agraria adalah (1) penguatan kerangka regulasi dan penyelesaian konflik-konflik agraria;  (2) penataan penguasaan dan pemilikan Tanah-tanah Obyek Reforma Agraria (TORA); (3) pemberian kepastian hukum dan legalisasi atas TORA; (4) pemberdayaan masyarakat untuk memperbaiki tata guna tanah dan membentuk kekuatan-kekuatan produktif baru; dan (5) pembentukan kelembagaan pelaksana reforma agraria di pemerintah pusat dan daerah.  Prioritas Nasional lainnya yang berhubungan dengan Reforma Agraria ini adalah Prioritas Nasional Pembangunan Kedaulatan Pangan, dan Prioritas Nasional Pembangunan Desa dan Kawasan Pedesaan. 

            

 

            Selanjutnya, di akhir bulan Agustus 2016 ini, Presiden menyelenggarakan Rapat Kabinet Terbatas dengan tema Reforma Agraria, memantau apa yang telah dilakukan Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Menteri Pertanian, dan memberi arahan dalam rangka persiapan dan pelaksanaan Reforma Agraria. Pada pembukaan Ratas Presiden Jokowi berharap “reforma agraria dapat menjadi cara baru untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi, khususnya di pedesaan.” Laporan survei terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), yang diumumkan tengah bulan Juli 2016 lalu, menunjukkan penurunan kemiskinan di daerah pedesaan tidak sebanyak penurunan kemiskinan di perkotaan. Total penduduk miskin berkurang 580.000 orang, sehingga menjadi 28 juta jiwa, 10,86% dari seluruh penduduk. Indeks kedalaman kemiskinan di pedesaan memburuk (2,55 pada Maret 2015, menjadi 2,74 pada Maret 2016), sedangkan indeks keparahan kemiskinan  di pedesaan naik dari 0,71 menjadi 0,79 (Kompas, 19 Juli 2016). Indeks kedalaman kemiskinan menunjukkan rata-rata pengeluaran orang miskin semakin menjauhi pengeluaran minimum orang yang tidak tergolong miskin. Sedangkan indeks keparahan kemiskinan menunjukkan pengeluaran di antara penduduk miskin itu sendiri. Upaya pemerintah menentaskan kemiskinan dilakukan dengan pemberian subsidi-subsidi, pemberian perlindungan sosial, transfer bantuan uang langsung ke rumah tangga miskin,  pembangunan infrastruktur pedesaan, optimasi dana desa untuk sektor produktif, maupun akses permodalan melalui Kredit Usaha Rakyat. 

            Dengan ratas ini, Presiden melansir usaha baru mengentaskan kemiskinan, dengan cara menjawab masalah ketimpangan penguasaan tanah di pedesaan, khususnya dengan cara menyelesaikan masalah akses orang miskin pada tanah-tanah  produktif. “Semangat reforma agraria adalah terwujudnya keadilan dalam penguasaan tanah, kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, wilayah, dan sumber daya alam. Reforma agraria juga harus bisa menjadi cara baru menyelesaikan sengketa-sengketa agraria antar masyarakat dengan perusahaan, antar masyarakat dengan pemerintah.”  Presiden meminta “kementerian dan lembaga yang terkait melakukan langkah-langkah percepatan implementasi reforma agraria. Wujudkan kebijakan peta tunggal (one map policy). Lakukan sinkronisasi sistem hukum dan semua peraturan sehingga tidak menimbulkan dualisme, tidak menimbulkan multitafsir, dan mengakibatkan sengketa agraria.”

 

Tampilan Kerja yang Belum Memadai

            Sepanjang 2 (dua) tahun berada di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, tampilan kerja Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional masih belum memadai dan sejalan dengan arahan kebijakan Reforma Agraria itu. Sampai dengan 31 Agustus 2016, selama 2 tahun, dalam program redistribusi dan legalisasi mash jauh dari harapan: 

       Capaian 2015: Redistribusi tanah 90.829 bidang, (± 63.985 ha)

       Capaian 2016: Redistribusi tanah 175.000 bidang, (± 123.280 ha)

Legalisasi diselenggarakan atas tanah-tanah yang sebelumnya dijadikan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dan tanah rakyat miskin lainnya:

       Realisasi 2015: Legalisasi aset sebanyak 836.921 bidang (± 188.307 ha)

       Target 2016: Legalisasi aset sebanyak 1.050.073 bidang (± 236.266 ha)

 Tanah-tanah terlantar yang teridentifikasi:

       Identifikasi tanah terlantar (2015): Target 119, terealisasi 91

       Identifikasi tanah terlantar (2016): Target 205, terealisasi 66

 Penanganan sengketa dan konflik agraria: 

       Kasus yang ditangani (2015): 932 kasus, 515 kasus selesai.

       Kasus yang ditangani (2016): 2.642 kasus, 251 kasus selesai.

 



Syarat-syarat pelaksanaan Reforma Agraria

            Agar bukan sekedar janji, atau sekedar melaksanakan ala kadarnya, Pemerintah harus memikirkan syarat-syarat yang cukup agar pelaksanaan reforma agraria bisa berhasil mencapai tujuannya. Reforma agraria adalah kebijakan, legislasi, dan program pemerintah yang diniatkan dan dijalankan sebagai suatu operasi yang terkoordinasi dan sistematis untuk (a) meredistribusi tanah-tanah, mengakui klaim-klaim, dan melegalisasi hak-hak atas tanah, (b) memberi akses pemanfaatan tanah, sumber daya alam, dan wilayah, (c) mewujudkan penatagunaan tanah secara berkelanjutan, dan (d) menciptakan kekuatan produktif baru bagi usaha pertanian skala kecil, secara individual pada skala rumah tangga maupun secara kolektif dalam skala komunitas maupun badan usaha, di desa dan kawasan pedesaan. Keempat hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan status, kekuasaan, dan pendapatan absolut maupun relatif dari masyarakat miskin, dibanding sebelum adanya kebijakan, legislasi, dan program tersebut (inspirasi dari Michael Lipton, 2009, Land Reform in Developing Countries: Property Right and Wrong). Untuk membuat  operasi Reforma Agraria itu bisa berhasil, setidaknya ada 10 (sepuluh) hal yang perlu diurus oleh pemerintah secara terpimpin dan sistematis, yakni: (1) mandat konstitusional; (2) regulasi perundang-undangan, dan penegakannya; (3) organisasi pelaksana reforma agraria; (4) sistem administrasi agraria; (5) pengadilan dan mekanisme penyelesaian konflik; (6) desain rencana, dan evaluasi; (7) pendidikan dan latihan; (8) pembiayaan; (9) pemerintahan daerah; dan (10) partisipasi masyarakat, terutama organisasi rakyat pedesaan (inspirasi dari Sein Lin, 1974, Land Reform Implementation: A Comparative Perspective, 1974).

            Tantangan saat ini adalah memperlengkapi semua syarat cukup untuk  Reforma Agraria. Pelaksanaan Reforma Agraria tidak akan berhasil tanpa kepemimpinan dan kerja sama yang terpimpin antar kementerian dan lembaga pemerintah pusat, pemerintah daerah, para ahli, dan lembaga-lembaga masyarakat, termasuk masyarakat yang akan menjadi target penerima manfaat. Masing-masing pihak memang memiliki andilnya sendiri-sendiri, namun tidak akan berhasil bila masing-masing sekedar sama-sama kerja. Reforma Agraria bisa berjalan bila semua pihak bekerjasama, termasuk mengatasi kelemahan-kelemahan dalam ada pada pelaksananya, dan untuk menghadapi halang-rintang yang menghadang.

            Agenda mendesak pemerintah sekarang adalah komitmen kepemimpinan yang segaris dengan Presiden, dan tersedianya kelembagaan pelaksana Reforma Agraria di pemerintah pusat dan daerah yang handal. Tanpa kelembagaan yang handal bagaimana harapan ini bisa terwujud? 




------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



Lampiran 1

Reforma Agraria dalam Nawacita

Naskah visi, misi dan program aksi Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang disampaikan oleh  Calon Presiden dan Wakil Presiden RI ke Komisi Pemilihan Umum di bulan Mei 2014), tersurat janji politik yang berani untuk menjalankan reforma agraria di Indonesia. Rencana aksi yang lebih rinci diuraikan mengikuti penggolongan/klasifikasi Trisakti dan secara luas memperoleh sambutan positif.

Pada bagian “berdaulat dalam bidang politik” terdapat 12 (dua belas) komitmen Jokowi-JK. Dalam kaitannya dengan agenda reforma agraria, pada komitmen ke-11 disebutkan: “Kami berkomitmen untuk mewujudkan sistem dan penegakan hukum yang berkeadilan”. Di antara komitmen ini, pada point ke-25, 26 dan 27 dinyatakan: ”Kami berkomitmen agar setiap warga Negara mempunyai kesempatan untuk memiliki tanah sebagai tempat menetap atau sebagai sumber kehidupan secara layak’, dan “…akan mendorong landreform untuk memperjelas kepemilikan dan kemanfaatan tanah dan sumberdaya alam melalui penyempurnaan terhadap UU Pokok Agraria, serta “…berkomitmen dalam pengaturan yang jelas untuk mekanisme penyelesaian sengketa tanah secara nasional dengan memperhatikan aspek hukum adat, berdasarkan prinsip keterbukaan, cepat, dan berbiaya ringan”. Ketiga komitmen ini penting dikritisi sekaligus dijadikan pintu masuk pagi pelaksanaan reforma agraria, termasuk di dalamnya penyelesaian konflik agraria.

Lebih lanjut Jokowi-JK juga memiliki komitmen khusus untuk memajukan desa. Pada bagian ke-8 “berdaulat dalam bidang politik” disebutkan komitmen “mendedikasikan diri untuk memberdayakan desa”, yang dilaksanakan diantaranya melalui: “mengawal implementasi UU Desa secara sistematis, konsisten, dan berkelanjutan dengan melakukan fasilitasi, supervisi dan pendampingan”. Jokowi-JK juga berencana “menyiapkan dan menjalankan regulasi baru untuk membebaskan desa di kantong-kantong hutan dan perkebunan”, juga “memastikan redistribusi (pen: dana) negara, baik Dana Desa (APBN), dan Alokasi Dana Desa (APBD), maupun distribusi lahan kepada desa berjalan secara efektif”, serta “Menyiapkan dan menjalankan regulasi baru tentang akses dan hak desa untuk mengelola sumberdaya alam berskala lokal (tambang, hutan, kebun, perikanan, dan sebagainya) untuk kemakmuran rakyat”.

Perhatian khusus kepada masyarakat adat juga ditunjukkan Jokowi-JK. Pada bagian ke-9 dinyatakan: “Kami berkomitmen melindungi dan memajukan hak-hak masyarakat adat”. Pada bagian ini, disajikan rencana aksi berupa: “meninjau ulang dan menyesuaikan peraturan perundangan-undangan terkait dengan pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemajuan hak-hak atas sumber-sumber agraria, sebagaimana telah diamanatkan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana telah ditetapkan dalam Putusan MK 35/2012”. Lebih lanjut, Jokowi-JK menyatakan siap melanjutkan proses legislasi RUU Pengakuan dan Pelindungan Hak-hak Masyarakat Adat, dan memastikan proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumberdaya alam pada umumnya, seperti RUU Pertanahan, dan lain-lain sesuai dengan norma-norma yang mengakui hak-hak masyarakat adat. Bahkan, Jokowi-JK berkomitmen untuk “Mendorong suatu inisiatif berupa penyusunan RUU yang terkait penyelesaian konflik-konflik agraria yang muncul…”, dan siap “Membentuk komisi independen yang diberi mandat khusus oleh presiden untuk bekerja secara intens untuk mempersiapkan berbagai kebijakan dan kelembagaan yang akan mengurus hal-hal yang berkaitan dengan urusan… masyarakat adat”.

Kemudian pada bagian “berdikari dalam bidang ekonomi” yang berisi 16 (enam belas) komitmen, diantaranya mengandung komitmen: “… akan membangun kedaulatan pangan berbasis pada agrobisnis kerakyatan.” Dari 4 langkah yang akan dilakukan terkait komitmen ini, pada langkah ketiga Jokowi-JK menyatakan: “Komitmen kami untuk mengimplementasikan reformasi agraria (Sic!)”, yang diwujudkan melalui dua program aksi: “Akses dan reformasi aset pendistribusian terhadap petani melalui distribusi hak atas tanah petani melalui landreform dan program kepemilikan lahan bagi petani dan buruh tani, menyerahkan lahan sebesar 9 juta hektar”, dan melalui: “Meningkatkan akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0,3 hektar menjadi 2,0 hektar per-KK tani, dan pembukaan 1 juta hektar lahan  pertanian kering di luar Jawa dan Bali”.

Masih pada bagian “kedaulatan pangan”, Jokowi-JK juga merencanakan untuk mencanangkan 1.000 desa berdaulat benih, peningkatan kemampuan petani, organisasi petani dan pola hubungan dengan pemerintah, terutama pelibatan aktif perempuan petani/pekerja sebagai tulang punggung kedaulatan pangan. Jokowi-JK berkomitmen pula untuk membangun irigasi, bendungan, sarana jalan dan transportasi, serta pasar dan kelembagaan pasar secara merata. Selanjutnya, Jokowi-JK menjanjikan akan meningkatkan pembangunan dan aktivitas ekonomi pedesaan, dan pembangunan agribisnis kerakyatan akan dijalankan melalui pembangunan Bank Khusus untuk pertanian, UMKM dan koperasi.

Pada bagian ke-4 mengenai komitmen “untuk mengelola sumberdaya alam”, diantaranya melalui “masyarakat lokal/sekitar tambang harus memperoleh manfaat langsung dari pengelolaan tambang di wilayah mereka”, serta melalui: “pengurangan secara drastis konflik antara masyarakat lokal dengan perusahaan tambang”.

Untuk sektor pesisir dan kelautan terdapat pada point ke-10 terkait “komitmen dalam pembangunan ekonomi maritim”, yang diwujudkan melalui “Peningkatan kapasitas dan pemberian akses terhadap sumber modal (melalui bank pertanian), sarana produksi, infrastruktur, teknologi dan pasar”. Selain itu akan digencarkan “pemberantasan illegal, unregulated, and unreported fishing (IIU)”, dan “…mendesain tata ruang wilayah pesisir dan lautan yang mendukung kinerja pembangunan maritim dan perikanan”.

Sebagian besar kawasan darat Indonesia dikategorikan sebagai hutan negara. Pada bagian ke-11 pasangan Jokowi-JK memiliki komitmen: “melakukan penguatan sektor kehutanan”, diantaranya melalui: “Evaluasi dan penataan pemanfaatan sumberdaya hutan yang lestari”, dan “Menyelesaikan konflik kepemilikan hak pengelolaan dan tumpang tindih perizinan”, serta “Peningkatan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat, hutan tanaman industri, agroforestry, dan hutan kemasyarakatan”. 

Pada bagian ke-12, Jokowi-JK berkomitmen: “Membangun tata ruang dan lingkungan berkelanjutan”, diantaranya dengan: “Mengembangkan tata ruang wilayah yang terintegrasi antar-level pemerintahan maupun darat-laut”. Selanjutnya disampaikan komitmen: “Memacu pembangunan pertanian yang berkelanjutan yang berbasis bio-eco-region dengan pola pengembangan pertanian organik maupun pertanian hemat lahan dan air. Pencanangan program “Indonesia Go Organic!” dengan pilot project 1.000 desa organik dari program reformasi agraria sebagai sentra produksi penghasil pangan organik hingga tahun 2019 dan tambahan 1.000 desa lagi hingga tahun 2024 …”. 

Selanjutnya, pada bagian ke-13, Jokowi-JK berkomitmen: “Membangun perimbangan pembangunan kawasan”, diantaranya: “Meningkatkan pembangunan berbagai fasilitas produksi, pendidikan, kesehatan, pasar tradisional, dan lain-lain di pedesaan, daerah terpencil dan tertinggal”, dan melalui: “Redistibusi kepemilikan asset (seperti lahan) dan implementasi persaingan usaha yang sehat”, serta: “Implementasi sistem jaminan sosial nasional secara merata di seluruh Indonesia”.

Pada ranah “Berkepribadian dalam bidang kebudayaan”, khususnya menyangkut agenda: “Memperteguh kebhinekaan Indonesia dan memperkuat restorasi sosial”,  Jokowi-JK berkomitmen untuk “… menyelesaikan konflik dapat dilakukan melalui dua cara, mengoptimalkan pranata-pranata sosial dan budaya yang ada selama ini dan penyelesaian melalui penegakan hukum berdasarkan derajat persoalan dan jenis konflik yang ada.”


 

Lampiran 2: Reforma Agraria dalam RPJMN 2015-2019

 

Menjamin Kepastian Hukum Hak Kepemilikan Tanah

 

Sasaran

 

Untuk menjawab isu strategis kepastian hukum hak kepemilikan tanah dan mendukung arah kebijakan yang akan dilakukan maka sasaran bidang pertanahan Tahun 2015-2019 adalah: (i) Memperbesar Cakupan Peta Dasar Pertanahan hingga meliputi 60 persen dari wilayah darat nasional bukan hutan (wilayah nasional); (ii) Memperbesar cakupan bidang tanah bersertipikat hingga meliputi 70 persen dari wilayah nasional; (iii) Melakukan penetapan batas wilayah hutan pada skala 1:5.000 dan mengintegrasikannya dengan sistem pendaftaran tanah di Badan Pertanahan Nasional sepanjang 189.056,6 km; dan (iv) Melaksanakan sosialisasi peraturan perundangan tanah adat/ulayat pada 34 provinsi dan 539 kab/kota. Untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan tersebut, maka kegiatan quickwins untuk Tahun 2015 adalah: (i) Tersedianya tambahan citra tegak resolusi tinggi seluas 17 juta Ha pada akhir Tahun 2015 untuk mendukung penyusunan peta dasar pertanahan; dan (ii) Sosialisasi peraturan perundangan tanah adat/ulayat pada 15 provinsi dan 155 kab/kota pada Tahun 2015.

 

Arah Kebijakan dan Strategi 

 

Dalam upaya meningkatkan kepastian hukum hak kepemilikan tanah, telah teridentifikasi bahwa permasalahan mendasar adalah sistem pendaftaran tanah yang dianut saat ini adalah sistem publikasi negatif dengan negara tidak menjamin kebenaran informasi yang ada dalam sertipikat. Sehingga perlu kebijakan perubahan sistem pendaftaran tanah dengan membangun sistem pendaftaran tanah publikasi positif yang dikenal sebagai Pendaftaran Tanah Stelsel Positif, yang berarti negara menjamin kebenaran informasi yang tercantum dalam sertipikat tanah yang diterbitkan, yang pada gilirannya apabila terjadi gugatan maka pihak yang dirugikan akan memperoleh ganti-kerugian dari negara. Adapun strategi yang ditempuh melalui: (i) Meningkatkan kualitas dan kuantitas georefrensi melalui penyediaan peta dasar pertanahan; (ii) Mempercepat penyelesaian sertipikasi tanah; (iii) Meningkatkan kepastian batas hutan dan non hutan; serta (iv) Meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan perannya untuk penyusunan Peraturan Daerah terkait penyelesaian tanah adat/ulayat.

 

 

halaman 144-146

 

Meningkatan Kesejahteraan Rakyat Marjinal melalui Pelaksanaan Program Indonesia Kerja

 

Salah satu isu strategis bidang pertanahan yang menjadi perhatian Pemerintah adalah ketimpangan pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang ditandai dengan sebagian kecil penduduk menguasai sebagian besar tanah dan sebaliknya sebagian besar penduduk hanya menguasai tanah dengan luas yang sedikit. Untuk itu perlu upaya perbaikan ketimpangan Pemilikan, Penguasaan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (P4T).

 

Upaya perbaikan ketimpangan tersebut, dilakukan juga untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan mendorong distribusi hak atas tanah petani melalui landreform dan program kepemilikan tanah seluas 9 Juta ha. Program tersebut bertujuan agar setiap warga negara mempunyai kesempatan untuk memiliki tanah, sebagai tempat menetap atau sebagai tempat memperoleh sumber penghidupan secara layak. Melalui distribusi hak atas tanah tersebut, diharapkan akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian dapat meningkat dari rata-rata 0.3 hektar menjadi 2.0 hektar per KK tani.

 

Sasaran

 

Untuk menjawab isu-isu strategis bidang pertanahan yang telah diuraikan sebelumnya, pada Tahun 2015 akan disusun Peraturan Presiden (Perpres) mengenai dimulainya program Reforma Agraria, dan kerangka waktu pelaksanaan dan tahapan program Reforma Agraria. Adapun sasaran pembangunan bidang pertanahan untuk tahun 2015-2019 sebagai berikut. 

 

1)     Penyediaan sumber Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan melakukan redistribusi tanah dan legalisasi asset

 

a)      Identifikasi dan inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) sebanyak 18 juta bidang atau sedikitnya mencapai 9 juta ha;

 

b)      Identifikasi kawasan hutan yang akan dilepaskan sedikitnya sebanyak 4,1 juta ha;

 

c)      Identifikasi tanah hak, termasuk di dalamnya tanah HGU akan habis masa berlakunya, tanah terlantar, dan tanah transmigrasi yang belum bersertipikat, yang berpotensi sebagai TORA sedikitnya sebanyak 1 juta ha; dan

 

d)      Identifikasi tanah milik masyarakat dengan kriteria penerima Reforma Agraria untuk legalisasi aset sedikitnya sebanyak 3,9 juta ha.

 

2)     Pemberian hak milik atas tanah (reforma asset) yang meliputi redistribusi tanah dan legalisasi asset sebanyak 9 juta ha dengan rincian: 

 

(i)     Redistribusi tanah sedikitnya sebanyak 4,5 juta ha yang meliputi : Tanah pada kawasan hutan yang dilepaskan; dan Tanah hak, termasuk di dalamnya tanah HGU akan habis masa berlakunya dan tanah terlantar; dan 

(ii)    Legalisasi asset sedikitnya sebanyak 4,5 juta ha, yang meliputi tanah transmigrasi yang belum dilegalisasi dan legalisasi asset (sertipikasi) masyarakat dengan kriteria penerima Reforma Agraria. Untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan tersebut, maka kegiatan quickwins untuk Tahun 2015 adalah pelaksanaan redistribusi tanah dengan target mencapai 100.000 Ha.

 

Arah Kebijakan dan Strategi 

 

Berdasarkan isu strategis tersebut, maka arah kebijakan yang diambil adalah reforma agraria yang dilakukan melalui redistribusi tanah, legalisasi aset (sertipikasi tanah), dengan sekaligus dilengkapi dengan bantuan pemberdayaan masyarakat kepada masyarakat berpenghasilan rendah yang membutuhkan terutama petani, nelayan, usaha kecil menengah (UKM), dan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Upaya tersebut dapat dicapai dengan strategi meliputi: (i) Koordinasi lokasi redistribusi tanah dan legalisasi asset dengan progam pemberdayaan masyarakat; (ii) Pengembangan teknologi pertanian dan pengolahan hasil pertanian; (iii) Pembentukan dan penguatan lembaga keuangan mikro; dan (iv) Membangun koneksi antara usaha petani, dan UKM dengan dunia industri. ***

 


 

Lampiran 3

 

Tabel 1. Rumah Tangga Pertanian, Globalisasi, Pertumbuhan dan Kesenjangan

 

 

Indikator

Tahun

1973

1983

1993

2003

2013

Rumah Tangga Pertanian Penguasaan  Lahan (ha/RT)

Laju Pertumbuhan Ekonomi *

Gini Rasio Pendapatan*** Gini Rasio Tanah****

14,373,542

19,515,387

20,331,746

30,419,582

25,751,266

0.99

0.98

0.59

0.35

0.86

9.78

8.45

7.25

4.78

5.78

0.33

0.34

0.37

0.35

0.413

0.55

0.59

0.54

0.65

0.64

Sumber:

*http://data.worldbank.org/data-catalog/world-development-indicators

**http://globalization.kof.ethz.ch/ http://myweb.uiowa.edu/fsolt/swiid/swiid.html*

*** Dihitung dari Badan Pusat Statistik, Sensus Pertanian 1973, 1983, 1993, 2003, dan 2013;

 



[1]Perhitungan yang dilakukan oleh Syafruddin Karimi, Guru Besar Universitas Andalas, “Demokrasi, Sistem Pasar dan Redistribusi Kapasitas Produktif”,  Makalah Diskusi Bulanan Pascasarjana, Universitas Andalas, Padang, 15 November 2014  

No comments:

Post a Comment