Versi pengembangan lebih jauh dari naskah Noer Fauzi Rachman (2017) “Memudahkan Jalan Tempuh Perempuan Menjadi Pemimpin Perjuangan Agraria”. Potret Agraria Perempuan (Noer Fauzi Rachman dan Siti Maimunah, Eds). Bogor: Sajogyo Institute. Pp. 62-65.
Untuk naskah buku keseluruhannya bisa diunduh secara bebas melalui https://drive.google.com/file/d/1fyWcWAYYBlZo5zW23guRyEa_TcgrrEJz/view?usp=share_link
Noer Fauzi Rachman
“Pada waktu aksi-aksi demo, perempuan-perempuan di Molo mengeluarkan payudaranya untuk menunjukkan kalau tanah kami diambil, sama dengan air susu ibu diambil, dan kami tidak akan bisa menyusui lagi”
Aleta Ba’un[1]
I
HAMPIR menjadi keluhan tetap para perempuan pemimpin desa dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat bahwa pertemuan-pertemuan yang membicarakan urusan dan kepentingan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, badan swasta, maupun non-pemerintah didominasi kepemimpinan dan keanggotaannya oleh para laki-laki. Kalau ada perempuan, mereka tidak diberi status yang utama dan didahulukan, yang tercermin pada posisi fisik tempatnya dalam pertemuan maupun partisipasinya di pertemuan.
Aleta Ba’un adalah satu perempuan dari desa Netpala, kecamatan Molo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, telah menyelesaikan masalah statusnya sebagai perempuan dalam perjuangan agraria. Mama Leta, demikian orang-orang dekatnya memanggil dia, telah menjadi pemimpin gerakan orang-orang Molo mengusir PT. Timor Indah Marmer, dan perusahan pertambangan batu marmer lainnya, yang sebelumnya menguasai tempat suci orang-orang Meto. Bagi mereka, batu, air, pohon dan wilayah Fatu Naususu adalah tanah-air yang dipercayai adalah tempat asal-usul nenek moyang mereka. Tiap-tiap batu (fatu-kanaf), mata air (oe-kanaf), pohon besar (hau-kanaf) memiliki nama-nama yang merupakan nama-nama marga orang Meto.
Mama Leta menjadi pemimpin gerakan orang Molo menempuh jalan yang terjal, berlika-liku, dan mendaki. Berbulan-bulan semenjak tahun 1999, ia dihadapkan oleh pertanyaan, gugatan, hingga cemoohan, bukan hanya karena ia mempelopori kerja perjuangan tanah-air yang beresiko tinggi, tapi juga karena ia adalah perempuan. Tapi, hal itu tidak membuatnya patah semangat untuk melakukan penyadaran dari rumah-ke-rumah, kampung-ke-kampung, hingga memimpin para lelaki tetua adat dan orang-orang Meto untuk menduduki kembali bukit-bukit batu, mengusir pekerja-pekerja perusahaan dari sana, dan memprotes pemerintah di kantor-kantor mereka. Melalui kepeloporannya, perempuan-perempuan Molo yang lain pun aktif dalam gerakan.
Satu yang mencengangkan adalah rangkaian aksi demonstrasi, dan pendudukan kamp pertambangan yang dilakukan bulan Juli tahun 2000, dimana partisipasi perempuan dalam aksi ini sangat mencolok, lebih dari separuh dari peserta aksi. Sebagaimana dicatat oleh Simatau dkkk (2001:67-68), pendudukan kamp selama sekitar sebulan oleh sekitar seribuan warga hanya mungkin dilakukan manakala para perempuan bukan hanya sebagai peserta aksi, juga sebagai penjaga energi baik dalam segi makanan dan semangat perjuangan. Lebih dari itu, dua dari delapan amaf (pemimpin adat) pun untuk pertama kalinya dijabat oleh perempuan, Johanje dan Olifa, keduanya menggantikan ayah mereka, dan penggantian ini ditunjuk oleh ayah mereka dan diterima oleh amaf lainnya, serta masyarakat Molo seluruhnya.
Para aktivis gerakan sosial mengenal dengan baik cerita keberhasilan mama Aleta dan para perempuan pejuang tanah-air orang Molo, yang sudah ditulis dalam buku, jurnal, liputan wartawan surat kabar, komik kartun, hingga film. Cerita ini dihadirkan kembali disini untuk menunjukkan bahwa, status perempuan dalam perjuangan dapat berubah dan mengubah rute perjuangan. Pemulai perubahan itu, dan ini perlu diperhatikan tiap-tiap aktivis gerakan sosial dimanapun arena bekerjanya, adalah produksi ruang yang leluasa bagi perempuan atau kelompok perempuan untuk belajar, berpartisipasi, dan pada gilirannya tampil sebagai pemimpin dalam semua urusan gerakan, termasuk pengambilan keputusan dan pelaksanaan soal-soal yang menyangkut kepentingan praktis maupun strategis (Simatau dkk. 2001:70-71).
II
NANCY Frasser adalah filosof terkemuka yang mengedepankan argumen bahwa tuntutan-tuntutan yang menggebu-gebu untuk pengakuan atas kekhususan-kekhususan dan perbedaan-perbedaan berdasarkan nasionalitas, etnisitas, ras, jender, dan orientasi seksual sesungguhnya telah mengorbankan tuntutan-tuntutan redistribusi ekonomi (Fraser 1995). Pemisahan antara politik pengakuan (yang bersifat budaya) dan politik redistribusi (yang bersifat sosial) adalah satu dari dua kondisi yang disebutnya sebagai kondisi “paska-sosialis”, kondisi yang terbentuk paska merosotnya pamor sosialisme di akhir tahun 1980-an. Dua lainnya adalah (i) lenyapnya segala visi progresif yang dapat dipercaya berupa suatu alternatif terhadap tata dunia yang dominan saat itu, meski di sana-sini front-front perjuangan tumbuh subur dan menggebu-gebu; dan (ii) kebangkitan (neo)liberalisme ekonomi, suatu ideologi persamaan di hadapan perluasan pasar yang sangat agresif dan ketimpangan kekayaan yang semangkin menajam (Fraser 1997).
Dia berpendapat bahwa kita sedang berhadapan dengan dilemma bagaimana memilih satu dari dua bentuk perjuangan keadilan, yakni suatu perjuangan untuk pengakuan identitas dan bentuk-bentuk kekhususan lainnya, atau suatu perjuangan redistribusi aset, kekayaan, kekuasaan dan sebagainya. Frasser mengamati bahwa baik pada arena politik maupun teoritik kedua jenis perjuangan itu terpisahkan, dan semakin lama semakin menjadi jelas bahwa politik redistribusi (the politics of redistribution) dan politik pengakuan (the politics of recognition) tampil sebagai alternatif pilihan perjuangan yang terpisah satu sama lainnya.
Dua cerita pada bagian pertama di atas dihadirkan penulis untuk menunjukkan dua contoh dari perjuangan perempuan menampilkan diri untuk memperjuangkan hak atas tanah kaumnya. Contoh ini sengaja dipilih sebagai pelajaran bahwa perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak atas tanah berlangsung secara bersamaan dengan perjuangan untuk diakui eksistensnya sebagai warga yang sejajar dengan kaum lelaki untuk sama-sama berpartisipasi dalam proses-proses perjuangan, serta pada gilirannya mendapatkan manfaat atas hasil perjuangan itu. Jadi, proses dan hasil sama-sama pentingnya. Dua contoh ini menunjukkan bahwa apa yang disebut Frasser sebagai “politik redistribusi” bisa berjalan bersamaan dengan “politik pengakuan”. Frasser mensinyalir bahwa dari perspektif global, kita menyaksikan keterpisahan keduanya baik dalam pada lapangan pengetahuan maupun gerakan sosial.[2]
Tesis utama Frasser adalah bahwa perjuangan keadilan sekarang ini membutuhkan baik politik redistribusi maupun politik pegakuan, dan satu saja tidak cukup sama sekali. Sejumlah teori maupun praktek perjuangan politik redistributif tidak memberi perhatian pada ketidakadilan kultural, dan sebaliknya teori dan praktek gerakan perjuangan pengakuan identitas, tidak memberi perhatian pada perjuangan ketidakadilan ekonomi dan tuntutan-tuntutan redistribusi. Moto pokok Frasser adalah no redistribution without recognitionand no recognition without redistribution (Fraser 2003).
III
SAYA menilai perjuangan hak perempuan atas tanah dapat menjadi contoh dari perjuangan untuk pengakuan yang sekaligus merupakan perjuangan redistribusi. Pada bagian ini akan didiskusikan sumbangan dari Bina Agarwal, seorang intelektual terkemuka, professor ilmu ekonomi dari Institute of Economic Growth, University of Delhi, yang menghasilkan karya klasik Agarwal (1994) A Field of One’s Own, Gender and Land Rights in South Asia.
Segala pembahasan mengenai jender dan hak-hak atas tanah terasa kurang memadai bila tidak merujuk ke karya beliau ini. Satu dari paragraph-paragraf terpenting dari buku setebal hampir 600 halaman itu adalah sebagai berikut:
“Perjuangan untuk perubahan harus lah merupakan suatu perjuangan memperebutkan sumber daya dan sekaligus perjuangan memperebutkan arti. Dan keduanya harus dilakuakan dalam sejumlah arena – keluarga, komunitas dan Negara – dan melintasi ruang-ruang yang dibentuk kelas, kasta, agama, dan etnisitas, dan sebagainya”[3] (Agarwal 1994:421).
Dalam rangka perjuangan untuk memberi arti pada hak perempuan atas tanah, ia mengajukan empat argumen mengenai mengapa tanah begitu penting untuk kaum perempuan, yakni argumen kesejahteraan, efisiensi, persamaan, dan pemberdayaan perempuan (Agarwal 1994, 2002). Argumen ini telah beredar di sejumlah kalangan pengajar universitas, pembuat kebijakan dan para aktivis gerakan sosial. [4]
Argumen pertama Agarwal mengenai pentingnya tanah bagi perempuan adalah demi kesejahteraan perempuan. Transfer tanah kepada perempuan akan secara langsung bukan hanya menyejahterakan perempuan, tetapi juga anak-anaknya. Dengan menyadari sepenuhnya fakta mengenai ketidak-adilan jender dalam distribusi manfaat, perbedaan laki-laki dan perempuan dalam membelanjakan pendapatan mereka, dan hubungan positif antara status gizi anak dan pendapatan yang dipegang oleh ibu:
“resiko kemiskinan dan kebahagiaan fisik dari seorang perempuan dan anak-anaknya sesungguhnya bergantung pada apakah ia memiliki akses langsung pada pendapatan dan aset produkstif seperti tanah, dan bukan hanya akses yang diperantarai melalui suaminya atau lelaki anggota keluarga lainnya” (Agarwal 1994:31).
Ilustrasi dari penelitian-penelitian dari India dan belahan benua lain yang dirujuk oleh Agarwal menunjuk bahwa para perempuan, khususnya di rumah tangga miskin, membelanjakan kebanyakan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar rumah tangganya, sementara para lelaki membelanjakan sebagian besar kekayaannya untuk keperluan pribadinya sendiri, seperti rokok, alkohol, dan sebagainya. Lebih jauh lagi, perempuan tanpa sumber daya yang mandiri sungguh rentan untuk jatuh miskin dan papa ketiak dia berada dalam situasi menjanda baik karena berpisah ranjang, cerai, atau ditinggal mati suami. Juga, resiko kematian cenderung lebih tinggi pada mereka yang bergantung hidupnya pada keluarganya, dari pada perempuan-perempuan yang menjadi kepala keluarga.
Argumen kedua Agarwal mengenai pentingnya tanah bagi perempuan adalah alasan efisiensi. Selain untuk peningkatan kesejahteraan perempuan, hak-hak atas tanah yang lebih adil antara laki dan perempuan dapat pula meningkatkan efisiensi produksi.
Agarwal mengemukakan lima dukungan atas argumen efisiensi ini:
a) Efek insentif. Meskipun sudah diakui secara luas bahwa kepastian penguasaan tanah sangatlah penting untuk memotivasi para petani untuk berinvestasi untuk meningkatkan produktivitas tanah mereka, kebutuhan akan insentif serupa dalam keluarga sangat diabaikan. Studi-studi yang dirujuk Agarwal menunjukkan bahwa insentif bisa menjadi hal yang sangat penting di dalam keluarga. Contohnya di Kenya, di mana laki-laki dan perempuan sering mengerjakan bagian tanah yang berbeda, penggunaan teknologi penghilangan gulma (matun) dalam produksi jagung meningkatkan panen pada bagian tanah yang dikerjakan perempuan sampai dengan 65%, dan hanya 15% pada tanah yang dikerjakan para suami mereka, di mana perempuan juga yang mengerjakan matun namun laki-laki yang melajutkan (Elson 1995). Apakah hasil yang sama akan didapat di wilayah negara lain masih membutuhkan penelitian lapangan dan analisis. Tapi hasil di Kenya memberikan pelajaran penting bahwa sangat besar potensi peningkatan hasil panen bila perempuan peroleh kepastian hak atas tanah dan dari kendali atas produksi.
b) Selain soal insentif itu, dalam situasi dimana kepastian akses legal atas tanah dikuatkan dengan sertipikat tanah, hasil panen perempuan bisa meningkat dengan meningkatkan akses perempuan terhadap kredit melalui menjadikan sertifikat itu sebagai tanggungan. Hal ini berlaku pada situasi di desa-desa mana migrasi-keluar kaum lelakinya sangat tinggi dan perempuan lah yang mengerjakan semua kerja pertanian, atau di mana para janda (atau istri) mengerjakan bagian tanah yang berbeda dari yang secara formal masih dimiliki oleh keluarga.
c) Agarwal juga merujuk pada riset dari berbagai belahan dunia yang menunjukkan bahwa perempuan dapat menggunakan tanah secara lebih efisien dibandingkan pria dalam konteks tertentu. Di Burkina Faso, contohnya, dikarenakan pilihan pola tanam perempuan dapat mencapai nilai hasil per hektar yang lebih tinggi dari tanah mereka sendiri dibandingkan yang didapat para suami dari tanah mereka. Meskipun hasil panen perempuan dari jenis tanaman tertentu lebih rendah dibandingkan dengan hasil panen laki-laki, hal ini dikarenakan oleh kurangnya akses perempuan terhadap input seperti pupuk yang disuntikkan pada tanah bagian laki-laki. Suatu studi yang dirujuk Agarwal memperkirakan bahwa output dapat ditingkatkan sampai dengan 10-20% jika input-input direalokasikan dari tanah yang dikuasai oleh laki-laki kepada tanah yang dikuasai perempuan di dalam suatu rumah tangga yang sama. Sebuah kajian literatur tentang efek keadilan gender terhadap produktivitas pertanian di beberapa negara di Afrika dan Asia juga menyimpulkan bahwa output dapat ditingkatkan terutama jika petani perempuan memiliki akses yang sama terhadap input dan pendidikan dengan para petani laki-laki.
d) Perempuan di banyak wilayah di Asia Selatan seringkali memiliki informasi yang lebih baik dibandingkan laki-laki tentang varietas bibit tradisional dan fungsi-sungsi khusus dari pohon dan rumput. Jika mereka memiliki kontrol yang lebih besar atas tanah dan pertanian, pengetahuan ini dapat digunakan untuk hal yang lebih baik. Legalisasi akses atas tanah, yang terutama ditunjukkan melalui sertifikat, dapat mendorong perempuan untuk tampil lebih percaya diri berhadapan dengan pejabat dan badan-badan yang menyediakan input dan layanan pertanian.
Berbeda dengan argumentasi kesejahteraaan telah mendapatkan perhatian para pembuat kebijakan, pengakuan atas potensi efek positifnya terhadap efisiensi belum banyak diakui. Pada kenyataannya, masih banyak ahli yang berpendapat bahwa transfer tanah kepada perempuan akan memberikan efek negatif pada efisiensi, karena transfer yang demikian akan mengurangi output dengan mengurangi ukuran tanah pertanian dan meningkatkan fragmentasi. Namun, Agarwal meyakini bahwa tidak ada bukti yang mencukupi untuk argumen negatif ini. Pada kenyataannya, di India dan beberapa bagian Asia Selatan yang lain, tanah pertanian kecil terbukti memiliki nilai output yang lebih tinggi per unit yang ditanami dibandingkan dengan pertanian besar; dan fragmentasi dapat juga muncul dengan pewarisan laki-laki. Jika diperlukan, para petani mengatasi fragmentasi dengan berbagai cara: konsolidasi melalui pembelian dan penjualan; pengaturan penyewaan tanah untuk menyatukan unit-unit garapan bahkan di mana unit-unit kepemilikan terpecah-pecah; dan investasi dan pengolahan tanah bersama oleh beberapa kelompok kecil.
Dengan demikian, penting untuk mempertanyakan argumentasi efisiensi negatif yang apriori, seperti halnya argumentasi fragmentasi, yang biasanya diajukan hanya dalam hubungannya dengan klaim perempuan terhadap warisan, tapi tidak dalam hubungannya dengan klaim laki-laki.
Selain argumen kesejahteraan dan efisiensi, Agarwal mengemukakan argumentasi kesetaraan. Selain kesetaraan gender adalah suatu ukuran dari sebuah masyarakat yang adil dan progresif. Kesetaraan dalam hak atas tanah juga adalah elemen penting dalam pemberdayaan ekonomi perempuan. Kata ‘pemberdayaan’ sekarang digunakan secara meluas dalam banyak dokumen, biasanya tanpa didefinisikan. Agarwal mendefinisikan pemberdayaan sebagai “sebuah proses yang mendorong kemampuan individu-individu atau kelompok-kelompok yang tidak beruntung/lemah (tidak berdaya) untuk menantang dan mengubah hubungan kuasa yang timpang, dengan berpihak kepada mereka yang berada dalam posisi dilemahkan secara ekonomi, sosial dan politik” (Agarwal 1994: 39). Agarwal meyakini bahwa memberi perempuan tanah akan memberdayakan mereka secara ekonomi sekaligus menguatkan kemampuan mereka untuk secara sosial dan politik menantang ketidaksetaraan gender.
Sebuah contoh yang dirujuk Agarwal adalah pengalaman perempuan dalam perjuangan Bodhgaya di Bihar (bagian timur India). Di sini, pada akhir tahun 1970an, perempuan dan laki-laki dari rumah tangga tak bertanah bersama-sama berjuang mendapatkan hak kepemilikan tanah yang mereka garap, yang berada di bawah kepemilikan ilegal dari sebuah sebuah kompleks kuil—biara. Di desa-desa di mana laki-laki saja yang menerima sertifikat, kerentanan perempuan meningkat, dengan membesarnya kecenderungan laki-laki untuk mengancam para istri dengan pengusiran: “Keluar dari rumah, tanah ini milikku sekarang”. Tetapi ketika perempuan mendapatkan sertifikat atas nama mereka sendiri, mereka bisa tampil: “Kami punya mulut tapi tak bisa bicara, kami punya kaki tapi tidak bisa berjalan. Sekarang kami punya tanah, kami punya kekuatan untuk berbicara dan berjalan”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan dengan pemberian hak atas tanah juga meningkatkan kemampuan perempuan untuk tampil percaya diri di dalam rumah tangga, di dalam komunitas, dan di hadapan negara. Hak atas tanah dapat digunakan dalam berbagai fungsi dalam kehidupan perempuan pedesaan yang tidak bisa begitu saja diganti dengan perangkat lain. Hal ini penting untuk diingat karena kebanyakan badan nasional dan internasional menyediakan pelayanan pembangunan bukanlah pada hak atas tanah tapi pada program-program kredit mikro, terutama (tapi bukan hanya) bagi perempuan miskin pedesaan. Meskipun kredit jelas merupakan kebutuhan penting bagi perempuan miskin, namun sejumlah evaluasi menunjukkan bahwa program-program kredit semacam itu tidak mencapai rumah tangga yang paling miskin, apalagi mengubah keseimbangan gender dalam hal kepemilikan dan kontrol atas kepemilikan. Agarwal mengusulkan sebuah alternatif: untuk menghubungkan penguasaan tanah dengan kredit mikro, yakni dengan memberi kredit pada perempuan pedesaan yang bergantung pada mata pencaharian yang berbasis tanah untuk menyewa atau membeli tanah secara berkelompok. Di sini kredit mikro akan melengkapi dan bukannya ganti bagi usaha untuk mendorong hak perempuan atas tanah. Tetapi hal ini masih membutuhkan pergeseran yang signifikan dari fokus kebanyakan program kredit mikro yang ada.
IV
ARGUMEN-argumen Bina Agarwal di atas dikemukakan kembali oleh penulis, dan perlu terus-menerus disuarakan agar para pembuat kebijakan pembangunan, para peneliti akademik, dan aktivis gerakan sosial, menyadari pentingnya arti hak atas tanah bagi perempuan. Disini kita penting untuk merujuk pada tulisan Joan Scott (1986) dalam “Gender: A Useful Category of Historical Analysis” (Scott 1986), yang berguna untuk memahami proses sejarah pembentukan ketidakadilan jender.
Bagi Scott (1067), jender memiliki dua bagian dan sejumlah hal yang saling berhubungan namun berbeda secara analitik. Bagi Scott, pengertian jender memiliki dua proposisi, yakni (i) jender merupakan suatu pembentuk hubungan-hubungan sosial yang didasarkan perbedaan-perbedaan persepsi antar jenis kelamin; dan (ii) jender adalah suatu jalan utama untuk mengenali hubungan-hubungan kekuasaan. Adapun empat unsur yang saling berhubungan itu adalah:
- Simbol-simbol yang disediakan oleh kebudayaan, yang senantiasa melibatkan representasi yang majemuk,
- Konsep-konsep normatif yang menata simbol-simbol, membatasi atau mengandung kesempatan-kesempatan metaforik.
- Lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi sosial di luar keluarga dan ikatan-ikatan kekerabatan. Jender itu pada mulanya dibentuk melalui keluarga dan ikatan-ikatan kekerabatan, namun lebih dari itu, dibentuk pula oleh kelembagaan dan organisasi sosial, ekonomi dan politik di atas keluarga dan kerabat, termasuk sekolah, partai politik, pasar tenaga kerja, ilmu, dan lainnya.
- Identitas subjektif.
Tidak ada atau sedikitnya partisipasi perempuan dari ruang-ruang pengambilan keputusan di publik bukanlah sesuatu yang alamiah. Mempelajari bagaimana hal ini terjadi menjadi pembuka jalan bagi
Anjuran Scott berguna bagi kita untuk mengungkap bagaimana konsep-konsep atau norma-norma yang telah diterima begitu saja secara universal, alamiah, doktriner, dan wajar, sesungguhnya merupakan hal yang dibentuk, bergantung pada situasi, dan berubah dari waktu ke waktu. Konsep “perempuan sebagai pendamping suami” adalah doktrin yang dibentuk oleh Dharma Wanita, sebuah organisasi perempuan yang mengikuti struktur KORPRI (Korps Pegawai Republik Indonesia). Sesungguhnya kita perlu memeriksa bagaimana berbagai identitas berbasis jender itu secara substantif dibentuk dalam hubungannya dengan representasi-representasi kultural maupun politik yang memiliki kekhususan sejarah (waktu) maupun geografis (ruang).
Mama Aleta dan banyak perempuan pejuang kepentingan publik lainnya banyak mengalami kesulitan karena mereka mengubah pandangan umum mengenai bagaimana perempuan “seharusnya” berposisi dan berperan dalam keluarga dan masyarakat. Ia harus menghadapi cemoohan sebagai “bukan perempuan baik-baik” karena bertentangan dengan konsepsi bagaimana seharusnya perempuan berposisi dan berperan. Karena keteguhan, konsistensi, dan keberlanjutan dari prakteknya sebagai inisiator, organisator, dan pada gilirannya menjadi pemimpin gerakan, Mama Aleta sanggup mengubah pandangan orang mengenai dirinya.
Perjuangan Mama Aleta menginspirasikan penulis untuk bertanya tentang cara bagaimana pemimpin perempuan bisa tumbuh. Penulis ingat anjuran Nancy Frasser (2003) tentang keharusan berpartisipasi pada tingkat yang sejajar dengan yang lain (dalam hal ini para pemimpin laki-laki). Frasser mengistilahkannya: participation parity, keharusan berpartisipasi dalam tingkat dan kualitas yang sama. Dalam memperjuangkan hak apapun, termasuk hak perempuan atas tanah, kaum perempuan yang berkepentingan haruslah dibuat bisa berpartisipasi dalam semua arena pengambilan keputusan pada tingkat dan kualitas partisipasi yang sama dengan pemimpin laki-laki. Bila belum berdaya untuk berpartisipasi, musti disipakan kondisi yang memungkinkannya menjadi berdaya, dan tersedia jalan untuk memberdayakan mereka agar mampu tampil percaya diri di arena-arena pengambilan keputusan, baik di arena rumah tangga, di komunitas, dan di badan-badan pemerintah.
Memang seperti dianjurkan oleh Deere and Leon (2001:360) bahwa “gerakan kaum perempuan haruslah merupakan bagian dari tiap jawaban atas masalah agraria”, namun banyak peneliti dan aktivis gerakan sosial umumnya menyadari kesulitan membangun partisipasi perempuan dalam tingkat yang sama dengan laki-laki dalam semua arena pengambilan keputusan di badan-badan pemerintah, kelembagaan kemasyarakatan, termasuk organisasi gerakan sosial. Walhasil, dengan mempekerjakan anjuran Frasser (2003:36), paling tidak dua prakondisi yang menghambat partisipasi perempuan pada level yang sama dengan laki-laki harus terus-menerus diwujudkan, yakni secara terus menerus mengurangi bentuk-bentuk ketergantungan ekonomi perempuan dan ketimpangan lain; dan menghilangkan norma-norma yang secara sistematik menurunkan derajat kaum perempuan pada kategori yang tidak memungkinkannya memiliki status yang sama.
Daftar Pustaka
Agarwal, Bina. 1994. A Field of One's Own: Gender and Land Rights in South Asia. Cambridge: Cambridge University Press.
_____. 2002. Are We Not Peasants Too? Land Rights and Women’s Claim in India. New York: Seeds.
Deere, Carmen Diana and Magdalena Leon. 2001. Empowering Women. Land and Property Rights on Latin Amerika. Pitsburg: University of Pitsburg Press.
Fraser, Nancy. 1995. "From Redistribution to Recognition? Dilemas of Justice in a 'Postsocialist' Age." New Left Review 212:68-93.
_____. 1997. Justice Interruptus: Critical Reflections on the "Post-Socialist" Condition. New York: Routledge.
_____. 2003. "Social justice in the Age of Identity Politic: Redistribution, Recognition and Participation." in Redistribution or Recognition? A Political-Philosophical Exchange, edited by N. Fraser and A. Honnet. London: Verso.
Romli, Mohamad Guntur. 2012. ”Aleta Baun: Menyusui Batu dan Mengasuh tanah” Jurnal Perempuan, edisi No. 58. http://jurnalperempuan.com/2012/04/aleta-ba’un-menyusui-batu-dan-mengasuh-tanah/ (akses terakhir 16 September 2012)
Scott, Joan W. 1986. "Gender: A Useful Category of Historical Analysis." The American Historical Review91:1053-1075.
Simatauw, Meentje, Leonard Simanjuntak, dan Pantoro Tri Kuswardono. 2001. Gender dan Pengelolaan Sumber Daya Alam: Sebuah Panduan Analisis. Kupang: Yayasan Pikul.
Krisnawati, Titik 2009. “Proses dan Dinamika Gerakan Rakyat: Studi tentang Gerakan Sosial Masyarakat Adat Atoni Meto dalam Menutup Pertambangan Marmer di Desa Netpala Kabupaten Timur Tengah Selatan Nusa Tenggara Timur.” Tesis Master, Program Studi S2 Sosiologi, Universitas Gadjah Mada.
Wieringa, Saskia. 1999. Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Jakarta: Garba Budaya.
[1] Sebagaimana dimuat dalam Romli (2012).
[2] Frasser (1997:27) mengembangkan matriks yang berguna untuk memahami dilema memilih satu dari keduanya, dihubungkan dengan cara bagaimana mencapai tujuan-tujuannya masing-masing, yakni yang disebutnya strategi-strategi afirmasi dan strategi-strategi transformasi pada tingkat Negara.
[3] Teks aslinya adalah: Struggle for change thus has to be both a struggle over resources and a struggle over meanings. And it has to be conducted in several different arenas – family, the community, and the State – and across the lines drawn by class, caste, religion, ethnicity, and so on.
[4] Carmen Diana Deere dan Magdalena Leon (2001:11 dst) menunjukkan apresiasi atas karya klasik itu, dan mengembangkannya menjadi tiga urusan, yakni kebahagiaan, persamaan dan pemberdayaan.
No comments:
Post a Comment