Noer Fauzi Rachman
Resensi Buku
Editor Buku:
John F. McCarthy dan Kathryn Robinson
Judul Buku :
Land and Development in Indonesia: Searching for the People’s Sovereignty
Penerbit:
ISEAS, Singapore 2016.
Jumlah Halaman:
382 + xxiii halaman
Apakah arti kedaulatan rakyat itu? Apakah kedaulatan rakyat telah menjadi norma utama dalam pembuatan kebijakan pertanahan di Indonesia? Kalau kedaulatan rakyat adalah hasil yang yang hendak dituju dari berbagai kebijakan pemerintah Indonesia, termasuk kebijakan pertanahan yang dijalankan oleh berbagai badan pemerintah Indonesia, bagaimana capaiannya? Pertanyaan-pertanyaan penggerak itu bagus kita pakai, bukan untuk mendapatkan jawaban filosofis normatif, melainkan untuk mendapatkan jawaban empiris dari uraian ilmuan-ilmuan sosial (sejarah, geografi, ekonomi, dan sebagainya) dari buku Land and Development in Indonesia: Searching for the People’s Sovereignty. Buku ini adalah seleksi dari naskah-naskah yang disampaikan dalam konferensi bertemakan Land and Development in Indonesia - Indonesian Update 2015 di Australian National University (ANU), Canberra, 18-19 Desember 2015.
Penyelenggara Konferensi ini, yang kemudian menjadi penyunting buku, secara cerdas mengedepankan konsep kedaulatan rakyat sebagaimana dimuat dalam pasal 1 ayat 2, UUD 1945, bahwa kekuasaan tertinggi dari penyelenggaraan Negara sepenuhnya berada di tangan rakyat. Terdapat tiga unsur penting disini, yakni (i) kepentingan seluruh warga negara harus menjadi rujukan utama dalam menentukan kebijakan pemerintah, (ii) kewenangan pemerintah didapat melalui proses persetujuan rakyat, baik melalui pemilu untuk memilih pemimpin, maupun melalui partisipasi dan konsultasi publik untuk program/proyek pemerintah; dan (iii) persetujuan dari rakyat yang diperintah lah merupakan sumber legitimasi kewenangan pemerintah. Maka dari itu, kebijakan pertanahan pemerintah harus akuntabel pada seluruh rakyat, dan secara khusus pelaksanaan program/kegiatan perwujukan kebijakan tersebut haruslah memberi manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat, utamanya mereka yang tinggal dan hidup menguasai dan memanfaatkan tanah dan sumber daya alam di wilayah kehidupan mereka (halaman 3).
Apa yang pemerintah Indonesia lakukan, khususnya dalam kebijakan pertanahan, sesungguhnya menjadi telah perhatian dari ilmuan internasional. Dua puluh tahun sebelumnya, yakni pada 1995, International Forum on Indonesian Development (INFID) mengadakan konferensi dengan tema yang sama, di tempat yang sama pula. Sebagian naskahnya kemudian saya edit menjadi buku Tanah dan Pembangunan, yang diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan 1997. Pusat perhatian dari konferensi 20 tahun lalu itu adalah analisis dan kritik atas politik agraria yang dijalankan rejim Orde Baru.
Konferensi akademik tentu merupakan suatu upacara yang rutin diikuti oleh ilmuan-ilmuan berkaliber internasional. Ini merupakan kawah candra dimuka dari tiap-tiap karya akademik yang bermutu. Ilmuan Indonesia berjuang untuk bisa sampai pada reputasi internasional, termasuk dengan berpartisipasi dalam konferensi-konferensi. Kritik yang dialamatkan kepada ilmuan demikian ini adalah minimnya efek perubahan apa yang bisa dilakukan oleh mereka yang hanya bergarkan produksi dan sirkulasi analisis, kritik dan apresiasi yang disampaikan dalam ruang-ruang akademik belaka. Jarak antara antara studi dengan kebijakan masih harus diperdekat.
Lalu, di sisi lain, siapakah para perumus kebijakan pertanahan pemerintah Indonesia mempertimbangkan kajian-kajian dari para ahli dari dunia akademik yang memiliki reputasi internasional, karena dedikasi, penelitian, dan pengajarannya di berbagai perguruan tinggi di berbagai negara.
Setelah mendapatkan buku Land and Development in Indonesia ini, pada awal tahun 2017 Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengundang salah satu editor buku ini (John F. McCarthy) ini untuk datang menemuinya, dan memintanya memberi nasehat kebijakan berdasar pada keahliannya, dan mungkin juga karena kepemimpinannya dalam konferensi ini. Sang Menteri mendapatkan nasehat itu pada satu kesempatan saja. Isi nasehatnya yang utama adalah, pemerintah menyediakan skema yang fleksibel agar hak atas tanah dapat dipegang/dipangku oleh kelompok atau komunikasi dapat diakomodir dalam pendaftaran tanah oleh Badan Pertanahan Nasional. Skema pendaftaran tanah individual tidak menjadi pilihan yang tepat untuk beragam macam penguasaan yang aktual yang masih hidup, seperti tanah pengembalaan, daerah berburu dan pengumpulan hasil hutan, dan sebagainya.
Sesungguhnya, panen pengetahuan dapat dibuat berkali-kali, oleh pejabat pemerintah seiring dengan luasnya samudera pengetahuan dengan ragam macam sungai yang mengisinya. Menteri itu belum tergerak untuk mengatur bagaimana mesin birokrasinya bisa bekerja menyelenggarakan studi, konsultasi atau diskusi-diskusi secara regular dengan para ahli yang beraneka latar disiplin, kemahiran, dan asal kelembagaan. Para ahli dapat mengungkap masalah, memberi penjelasan hingga menyampaikan kritik dan nasehat yang konstruktif, berasar pada penelitian, studi dan pengajaran. Melibatkan ahli dalam studi mengenai kondisi, perubahan agraria dan politik pertanahan di Indonesia, adalah suatu keperluan yang berguna. Bukan hanya untuk di pemerintah pusat, tetapi juga di masing-masing propinsi. Indonesia adalah negeri dengan beraneka ragam problem pertanahan dalam geografi dan sejarah yang berbeda-beda. Pun di satu propinsi yang sama.
Selain kajian akademik, pejabat pemerintah perlu menghargai cara bagaimana rakyat hidup dengan cara kerja yang kehebatannya tidak bisa terlihat dengan cara biasa birokrasi bekerja. Karya James Scott, Seeing Like a State, How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed (1998) telah memberi pelajaran bahwa pemerintah cenderung melakukan simplifikasi dan distorsi mengenai rakyat, wilayah dan situasi yang yang hendak diubah. Sebabnya, sehubungan dengan bias pendekatan dan kepentingan proyek-proyek modernis raksasa (high modernist projects), yang biasanya mengabaikan, mensalah-artikan, atau membuat hal-hal yang tidak dianggap perlu tidak terlihat, dan tidak diperhitungkan. Kegagalan proyek-proyek pemerintah itu, bermula dari miskalkulasi atas yang tidak terlihat (invisible), dan menganggap rakyat yang tidak terlibat dalam proses-proses perencanaan pembangunan sebagai non-factor.
Buku Land and Development ini berangkat dengan menguraikan suatu konsep kunci dalam konstitusi Indonesia, yakni kedaulatan rakyat (popular sovereignty). Secara leluasa masing-masing penulis bab menguraikan status penggunaan konsep itu, dan situasi dari sektor atau problematik yang mereka analisis masing-masing. Nancy Peluso menulis tentang transformasi agraria yang berkenaan dengan nasib tanah dan petani kecil berhadapan dengan perluasan perkebunan skala besar dan pengerukan pertambangan; Andrian Bedner menulis suatu update status mengenai berbagai rejim perundang-undangan yang sektoral; Chip Fay dkk. Menulis tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat; Suraya Afiff menulis tentang kepastian penguasaan lahan dalam kaitannya dengan proyek REDD (Reduction Emission for Deforestation and Degradation); Kathryn Robinson menulis tentang pertambangan, dan hak-hak komunitas di Indonesia; Jamie S. Davidson menulis pengadaan tanah dalam proyek-proyek infrastruktur; Delik Hudulan dkk dan Patrick Guinedd menulis aspek pertanahan dari pengadaan proyek-proyek perumahan untuk orang miskin; Pierre van der Eng menuliskan mengenai sistem pendaftaran tanah sepanjang 200 tahun; Jeff Neilson dan juga Aprilia Ambarwati dkk. menulis tentang transformasi agraria dan land reform di Indonesia; Afrizal dan Patrick Anderson menulis Pembangunan HTI (Hutan Tanaman Industri) dan penyelesaian konflik-konflik agraria; Lesley Potter menulis tentang perkebunan kelapa sawit, dan Laksmi Andriani Savitri dan Susanna Price menulis tentang kerentanan masyarakat adat di Papua sehubungan dengan konsesi-konsesi untuk industri perkebunan dan kehutanan.
Selain untuk mereka yang secara spesifik mendalami topik-topik yang dibahas oleh masing-masing bab dalam buku itu, buku bunga rampai ini seharusnya menjadi bacaan wajib danbakal berguna sebagai rujukan para ahli dan pejabat pemerintah yang sekarang ini terlibat dalam pembahasan RUU Pertanahan, dan program prioritas presiden Reforma Agraria. Demikian pula untuk para pengamat, peneliti dan aktivis organisasi non pemerintah yang bergerak dalam urusan pertanahan dalam sektor-sektor pembangunan pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan, pesisir dan kelautan.
No comments:
Post a Comment