Memahami Mata-Rantai Makanan Kita


Pengantar Noer Fauzi Rachman dalam buku Paul McMahon (2017) Berebut Makan: Politik Baru Pangan

Judul asli: Feeding Frenzy: The New Politics of Food (Profile Books, 2013)
Penulis: Paul McMahon
Penerjemah: Roem Topatimasang
Pengantar: Noer Fauzi Rachman
Penyunting bahasa: Karno Batiran
Penerbit: INSISTPress
ISBN: 978-602-0857-43-5
Edisi: pertama, Desember 2017
Kolasi: 14 x 21 cm; viii + 370 halaman

https://insistpress.com/katalog/berebut-makan-politik-baru-pangan/

            Marilah mulai memahami pangan yang kita konsumsi sehari-hari dalam suatu rantai komoditas, mulai dari produksi, sirkulasi, hingga konsumsi. Hanya sebagian saja dari kita, manusia Indonesia, yang sumber makanannya langsung dari pekarangan, kebun, danau, sungai atau laut, di kampung sendiri. Sebagian besar kita, terutama yang hidup di kota-kota, memakan makanan yang berasal dari pembelian di pasar. Makanan yang sampai ke meja kita itu telah melalui perjalanan yang panjang, mulai dari tempat ia dihasilkan hingga diperjualbelikan dan sampai akhirnya hadir di meja makan kita. Lahirlah istilah food miles yang sekarang dijadikan pula sebagai satu penanda dari dampak lingkungan dari makanan.   

Melalui pasar raya (supermarket), kita bisa melihat dan menikmati makanan tidak diproduksi di sini, tapi nun jauh di sana. Makanan-makanan baru berdatangan. Orang-orang Indonesia di mana-mana sekarang ini dibiasakan berbelanja di pasar raya, yang jumlahnya makin hari makin berlipat-ganda, membanyak. Cara orang mengalami pasar yang dihidupkan oleh jaringan dengan perusahaan pasar raya, tidak bisa dipahami  dengan rujukan pengalaman berbelanja di pasar tradisional. Rakyat dibuat merasa meningkat derajatnya sebagai warga pasar raya. Posisi keanggotaannya sebagai warga pasar pun dirasakannya meningkat. 

Di zaman globalisasi sekarang ini, makanan global ada dimana-mana, terutama disebabkan oleh peran jaringan pasar raya tersebut. Perusahaan dagang makanan waralaba (franchise) berbasiskan hak menggunakan model bisnis dan merek tertentu untuk masa waktu tertentu. Iklan audio-visual di televisi membuat daya tarik dan gairah konsumsi meningkat dan seragam. Paling mutakhir, transaksi komersial elektronik melalu internet. 

Marilah memahami pangan yang kita konsumsi sehari-hari dalam suatu rantai komoditas, mulai dari produksi, sirkulasi hingga konsumsi pada skala dunia. Cara pandang demikian terhadap rezim pangan (food regime) akan sangat berguna dipakai untuk menikmati dan memahami isi buku ini. Dari cara memandang demikian itu, kita akan bisa mengetahui bahwa rantai pasokan makanan __sejak mulai diproduksi, lalu disirkulasikan hingga dikonsumsi__ adalah suatu urusan politik yang merupakan arena pertarungan kekuatan pada skala dunia (lihat juga: Philip McMichael, 2013, Food Regimes and Agrarian Questions).

Warga Eropa, sudah jauh-jauh hari menikmati pangan global sejak masa kolonial. Rasa manis gula dari tebu, aroma harum dari kopi, dan hisapan santai dari tembakau dibawa ke Eropa dari Pulau Jawa dan Kuba. Kebiasaan minum english tea di abad ke-18 adalah hasil dari kolonialisme Inggris di India melalui British East India Company; atau makanan ontbitkoek -- kue dengan bumbu rempah kayu manis, cengkeh, pala, jahe, dan lainnya -- tiada lain adalah hasil kerja perusahaan VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie). Rakyat di negeri-negeri jajahan merasakan akibat yang luar biasa dari politik agraria kolonial demi produksi semua makanan itu (contohnya, lihat karya Jan Breman, 2014, Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa; Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870).

Buku karya Paul McMahon (2013) Feeding Frenzy: The New Politics of Food  ini dapat membantu pembaca melihat secara panoramik politik makanan sekarang ini dan krisis global yang menyertainya. Istilah feeding frenzy adalah suatu metafora yang dipakai oleh penulis buku ini. Amsal ini berasal dari perspektif ekologi yang kurang lebih menggambarkan situasi saat sekelompok pemangsa kalap menghadapi begitu melimpahnya makanan yang tersedia. Si pemangsa jadi kalap, bertingkah menggigit apa saja yang ada di dekat mulutnya, bahkan juga mengigigit pemangsa lain sesamanya. Jadi, bisa juga, istilah itu dipakai saat pemangsa saling melukai karena saling berebut makanan.

Bayangkan bagaimana 9 miliar orang di tahun 2050 yang mayoritas adalah penduduk yang hidup di kota dan bukan penghasil makanan. Orang-orang yang berpenghasilan lebih, makan lebih banyak dan membuang 30 sampai 40 persen makanannya menjadi sampah, sementara 1 miliar orang miskin nyaris kelaparan mengais-ngais makanan. Sejak melonjaknya harga-harga pangan di pasar dunia pada 2008, berkembang ramalan-ramalan buruk perihal akan ambruknya pasar pangan dunia (lihat juga: Lester E. Brown, 2011, World on the Edge, How To Prevent Environmental and Economic Collapse). 

Namun, dalam konteks ini, juga berkembang para promotor kedaulatan pangan (food sovereignty), yang mengkritik kekuatan pasar global (lihat misalnya: Peter Rosset, 2006, Food is Different: Why the WTO Should Get Out of Agriculture). Meski sama-sama mendasarkan diri pada kritik atas sistem ekonomi global, para promotor kedaulatan pangan lebih menyoroti sistem sosial-ekologis yang mendukung keberlangsungan pertanian rakyat (lihat teks naratif otoritatif mengenai kedaulatan pangan, yang terkenal dengan julukan The Nyéléni Declaration 2007, membedakan diri dengan Rome Declaration on Food Security1996; lihat juga: Michael Pimbert, 2009, Toward Food Sovereignty). 

Mereka melihat krisis-krisis itu sebagai hasil dari suatu sistem ekonomi-politik neo-kolonial yang bekerja di jalur modernisasi yang ditempuh negara-negara bekas jajahan, mentransformalkan perdesaan pertanian dengan membangun sistem produksi kapitalis dunia melalui perampasan tanah maupun pengembangan pertanian agribinis skala raksasa. Ini adalah proses memiskinkan jutaan petani, dan penyingkiran penduduk desa dari pemilik tanah dan penghasil makanan menjadi pekerja tidak memiliki tanah. Sebagian mereka pergi menjadi kaum urban proletariat di kota-kota. Dalam keadaan semacam itu, negara-negara terpaksa membentuk kebijakan ketahanan pangan untuk memberi makanan pada orang-orang yang sudah dilepaskan dari posisinya sebagai produser menjadi konsumen makanan.

McMohan membedakan diri dengan para ‘peramal kiamat’, dan mengambil sebagian dari menu para promotor kedaulatan pangan. Ia berpendirian bahwa  krisis ini bukan tidak bisa ditangani. McMahon menawarkan sejumlah jalan yang menurutnya bisa memberi harapan. Ia mengusulkan empat pokok tindakan yang pemerintah, petani, investor, dan warga negara musti lakukan:  (i) memacu petani-petani kecil di negeri-negeri miskin untuk meningkatkan produksi pangan; (ii)      menggunakan prinsip-prinsip agroekologi dalam produksi pangan; (iii)            mengarahkan agar pasar-pasar keuangan bekerja menyasar tantangan-tantangan yang nyata; dan (iv) mengatur penyesuaian atas harga-harga pangan yang terus meninggi dan beralih ke bio-based economy, yakni semua aktivitas ekonomi yang digerakkan dari riset dan pengetahuan ilmiah yang befokuskan biotechnology.

Selamat membaca.*)

No comments:

Post a Comment