Metoda Kajian Pusaka Agraria Indonesia

 


Noer Fauzi Rachman (2017) "Metoda Kajian Pusaka Agraria Indonesia", dałam Pusaka Agraria Indonesia Sebuah Kerja Pendahuluan. Jakarta: Konferensi Tenurial 2017. Halaman 30.

Untuk mengunduh buku ini secara keseluruhan https://drive.google.com/file/d/1xIcFD_RdiPSwMpRQF6M965IvcFqCqJoM/view?usp=sharing

Penulis Artikel: Adi. D Bahri, Andreas Iswinarto, Fathun Karib, Gutomo Bayu Aji, Hariadi Kartodihardjo, Nana Ratnasari,  Noer Fauzi Rachman, Rina Mardiana, Siti Maimunah.
Penulis Resensi: Adi. D Bahri (AB), Ahmad Nashih Lutfi (ANL), Andreas Iswinarto (AI), Fathun Karib (FK), Gutomo Bayu Aji (GBA) Hariadi Kartodihardjo (HK), Nana Ratnasari (NR),  Noer fauzi Rachman (NFR), Rina Mardiana (RM), Rasella Malinda (RaM), Iksan Maulana (IM), Amir Mahmud (AM), Tomi Setiawan (TMY)

Editor  : Siti Maimunah, Haslinda Qodariah, Tomi Setiawan
Desain : Alfian Maulana Latief
@2017, Konferensi Tenurial 2017
Gd. Manggala Wanabhakti, Blok 4 Lt.7 
Sekretariat RAPS, Jakarta

Siapakah pembaca naskah-naskah Pusaka Agraria Indonesia sekarang? 

Bagaimana membuat naskah-naskah Pusaka Agraria Indonesia itu tersedia dan bisa dinikmati oleh pemuda-pemudi kekinian? 

Disini akan saya sajikan satu contoh bagaimana kajian atas pusaka agraria dapat dilakukan untuk memahami situasi sekarang. Kerja menghadirkan naskah Pusaka Agraria Indonesia bukanlah proyek eskavasi naskah, melainkan upaya menemukan kembali asal-usul dari  wacana yang menjadi bagian praktek politik agraria dewasa ini. Tiap-tiap naskah memiliki perjalanan hidup masing-masing, yang pengaruhnya memerlukan kerja penelusuran. Penulis mengundang para peneliti menyusun metodologi kajian pusaka agraria Indonesia.

Disini penulis sekedar memberi ilustrasi/contoh bagaimana kajian satu karya Pusaka Agraria Indonesia dilakukan, dengan memakai buku De Indonesiër en zijn grond (Rakyat Indonesia dan Tanahnya) karya Cornelis Van Vollenhoven, yang disusun tahun 1918 dan terbit pada tahun 1919. 

Cornelis Van Vollenhoven adalah seorang sarjana terdidik yang berprestasi tinggi secara akademik. Ia peroleh judicium cum laude untuk kelulusanya dari pendidikan doktoral dalam bidang ilmu hukum dan politik di tahun 1898. Setelah bertugas sebagai sekretaris pribadi seorang anggota parlemen dan pemilik perkebunan J.Th. Cremer, yang kemudian hari menjadi Menteri Urusan Wilayah Jajahan selama 4 tahun (1897-1901), ia diangkat sebagai profesor di Leiden University hingga akhir hayatnya.  Sepanjang masa sebagai guru besar itulah Van Vollenhoven bekerja sebagai “penemu hukum adat”, dan berjuang agar pemerintah Belanda mengakui eksistensi dan hak-hak agraria rakyat pribumi khususnya yang dikonsepkan dalam beschikkingsrecht, dan melawan segala usaha elite penguasa kolonial untuk mengabaikan eksistensi hukum-hukum adat. 

Karya De Indonesiër en zijn grond ini adalah pamflet akademik yang menantang rancangan perubahan ketentuan Pasal 62 RR (Regerings Reglement) yang diajukan bulan Mei 1918 dan diprakarsai oleh GJ Nolst Trenite. Paragraf tiga yang berisikan klausul jaminan perlindungan terhadap hak-hak agraria rakyat adat dihapuskan. Secara keseluruhan, ide Trenite diabdikan untuk mengunifikasi hukum di Hindia Belanda menggunakan hukum Barat. Dalam De Indonesiër en zijn grond, Van Volenhoven mengemukakan apa yang disebutnya sebagai “Satu Abad Ketidakadilan”, yang intinya adalah pembatasan secara sistematis dari hak-hak adat atas tanah rakyat yang hidup dalam hukum adat. Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum yang cukup besar dan membangkitkan banyak kebencian rakyat. Perampasan tanah dimana-mana dan besar-besaran itu dibenarkan oleh tafsir mengenai beschikkingsrecht oleh administrator kolonial ini.

Penguasa menganggap mereka sedang menduduki, menguasai dan memanfaatkan tanah milik negara dan diatur berdasar hukum-hukum adat setempat. Mereka tidak diakui hak kepemilikan tanahnya dan tidak berhak menjadi penyandang, pemilik tanah. Mereka hanyalah bewerkers alias penggarap dari tanah milik negara. Disini berlaku prinsip domein verklaring. Klausul yang dibahas disini ada dalam Agrarische Wet 1870 yang berbunyi “landsdomein is alle grond, waarop niet door anderen recht van eigendomwordt bewezen”, artinya kurang lebih “milik negara berlaku bagi semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya”. 

Dari prinsip itu, tanah milik negara dibedakan dalam dua jenis yaitu ‘tanah negara bebas’ (vrj lands/staatsdomein) dan ‘tanah negara tidak bebas’ (onvrj sands/staatsdomenin). ‘Tanah negara tidak bebas’, adalah tanah-tanah yang sudah dan sedang dikuasai, diduduki, digunakan dan dimanfaatkan secara nyata oleh rakyat berdasarkan hukum-hukum adatnya. Sedangkan ‘tanah negara bebas’ adalah tanah-tanah yang tidak dikuasai, diduduki dan dimanfaatkan rakyat ini, dan secara umum oleh pemerintah kolonial Belanda, dinyatakan sebagai tanah ‘di luar’ wilayah/kawasan desa (buiten dorps gebied), sesuai dengan ketentuan pasal 3 Agrarische Wet 1870. Tanah-tanah Negeri/Negara tidak bebas yang berada ‘di luar’ wilayah atau kawasan desa itu, yang dikategorikan sebagai daerah atau wilayah tanah hutan belukar (woeste grond). 

Bagaimana pengaruh karya ini? 

Penulis telah membuatnya bersama Upik Djalin, PhD., dalam “Pengantar untuk Membaca Karya van Vollenhoven (1919) Orang Indonesia dan Tanahnya, di Ebooknya yang dapat diunduh di http://pppm.stpn.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Orang-Indonesia-dan-Tanahnya-2.pdf (akses terakhir pada 21 oktober 2017). Ini buku versi Bahasa Indonesia, yang diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Sajogyo Institute, dan Perkumpulan HuMa.

Bisa dilihat juga pada: https://www.noerfauzirachman.id/2023/03/pengantar-untuk-membaca-karya-cornelis.html 


No comments:

Post a Comment