Masyarakat Adat in Motion: A New Indigeneity Politics in Indonesia



 Noer Fauzi Rachman

talk at Inter Asia Cultural Studies Conference 2017 - Plenary Session 02 : “Social and Political Movement: Inter-Asian Legacy”, 28-30 July 2021. https://iacs2017.wordpress.com/2017/07/21/plenary-sessions-28-30-july/



”Indeed, some ‘custom’ were new of recent invention, and were in truth claims of new ‘rights’ … 

Custom was the rhetoric of legitimation for almost any usage, practice, or demanded rights. Hence, uncodified custom – or even codifies – was in continual flux ... 

So, far from having the steady permanence suggested by the word “tradition”, custom was a field of change and of contest, an arena in which opposing interests made conflicting claims.”

(E.P Thompson, 1993:6)


December 30 of 2016 was an important day for activists and communities who work for the policy change in regards to the rights of the indigenous peoples in Indonesia. This was the day when a special ceremony was held at the national presidential palace in which President Joko Widodo was honor nine groups of masyarakat hukum adat (the term used in Indonesia for indigenous peoples) a ministerial decree that recognized their claimed customary forest (hutan adat). Despite the total area of these customary forests that had received government recognition was still quite small, it was only about 13,000 hectare for 5,700 individuals, these activists still perceived this ceremony was an important symbolic event that showed the shift of government political in regards to the indigenous peoples rights to control their customary forest areas. 

Kembali ke Fitrah sebagai Orang Indonesia



Noer Fauzi Rachman  

Dimuat dalam Kompas, 5 Juli 2017. Kembali ke Fitrah Orang Indonesia

             Khutbah Iedul Fitri 25 Juni 2017 oleh Profesor Quraish Sihab di Masjid Istiqlal memberi rujukan yang penting untuk mengajak Muslim Indonesia “dengan jiwa kuat penuh optimism” kembali ke fitrah sebagai bangsa, “betapa pun beratnya tantangan dan sulitnya situasi”. Ia menjalankan tugas utama ulama dalam menyampaikan tanda-tanda zaman, dan memberi panduan ke masa depan dengan menyadari bahwa keadaan saat ini adalah hasil dari perbuatan kita masa lampau.  Situasi masyarakat Indonesia saat ini, menurutnya, secara sosial sedang sakit, dengan tanda utama “menyebarluaskan fitnah dan hoax serta menanamkan perilaku buruk serta untuk memecah belah persatuan dan kesatuan”. Ironisnya, masyarakat yang sakit ini tidak menyadari bahwa dia sakit. Mereka bagaikan orang yang telah selesai menenun, kemudian membuat tenunannya menjadi pakaian, lalu melepaskan pakaiannya dan satu persatu mengurai pakaiannya itu menjadi benang kembali.

            Pesan utama khutbahnya adalah kembali ke fitrah, asal kejadian, kita sebagai orang Indonesia. ”Kita semua satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air dan kita semua telah sepakat ber-Bhineka Tunggal Ika, dan menyadari bahwa Islam, bahkan agama-agama lainnya, tidak melarang kita berkelompok dan berbeda. Yang dilarang-Nya adalah berkelompok dan berselisih.”