Kita memasuki suatu jaman baru yang kata ketimpangan tidak cukup bisa menjelaskan situasi yang kita hadapi

 


Noer Fauzi Rachman

 

Hijau merimbuni daratannya 

Biru lautan di sekelilingnya 

Itulah negeri Indonesia 

Negeri yang subur serta kaya raya 

 

Seluruh harta kekayaan negara 

Hanyalah untuk kemakmuran rakyatnya 

Namun hatiku selalu bertanya-tanya 

Mengapa kehidupan tidak merata 

 

Yang kaya makin kaya,

Yang miskin makin miskin

Yang kaya makin kaya,

Yang miskin makin miskin

....

(Rhoma Irama, 1980, “Indonesia”)

 


            Sesungguhnya, masalah ketimpangan kekayaan telah dan  terus   melanda banyak negara-negara bekas jajahan, di benua Asia, Afrika dan Amerika Latin dewasa ini. Masalah ketimpangan kekayaan pada mulanya merupakan hasil dari semakin luas ruang gerak dan besarnya nilai uang yang dikelola dan diputar oleh segelitir kekuatan ekonomi raksasa transnasional dan nasional di satu pihak, dan semakin sempitnya ruang gerak  dan kecilnya nilai uang yang dikelola dan diputar oleh penduduk kelas bawah.

            Saya mengikuti anjuran-anjuran Saskia Sassen*) dalam bukunya (2014) Expulsion, Brutality and Complexity in the Global Economy bahwa kata ketimpangan tidak cukup memadai untuk menjelaskan situasi yang kita alami sebagai warga bumi/dunia. Salah satu yang penting dilakukan, kita musti lebih dalam melihat mekanisme-mekanisme yang menghasilkan konsentrasi kekayaan yang luar biasa itu, seperti yang juga dianjurkan oleh Thomas Piketty (2013) Capital in the Twenty-first Century. 

            Di uraian pendek ini, saya memberi konteks dan mengedepankan rujukan argumen yang sudah semakin terlihat jelas (visible). Intinya: sekarang ini adalah zamannya pasar berjaya, the age of market triumpalism! Kita mengalami transformasi besar-besaran merujuk pada istilah dari  Karl Polanyi (1944) dalam bukunya  The Great Transformation, the Political and Economic Origin of Our Time. Semua cenderung menganggap transaksi jual-beli di pasar itu normal dan alamiah, hingga uang, tenaga kerja dan tanah (alam) sekalipun telah dijadikan barang dagangan. Kita hidup dalam situasi di mana banyak orang sudah terbiasa dan dibiasakan memenuhi kebutuhan hidupnya melalui transaksi jual-beli. Lebih dari itu, untuk berhasil memenuhi kepentingan memperoleh pendapatan atau keuntungan, cara jual beli merupakan sesuatu yang sudah lazim ditempuh. Pasar pun dianggap penyedia kesempatan. 

            Pasar-sebagai-kesempatan bekerja melalui proses sirkulasi barang dagangan. Kebutuhan manusia pada gilirannya dibentuk agar dapat mengkonsumsi apa-apa yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan, termasuk melalui iklan. Pada sektor produksi, perusahaan-perusahaan raksasa adalah sektor industri yang paling mampu dalam mengakumulasikan keuntungan melalui kemajuan dan pemutakhiran teknologi, serta peningkatan produktivitas tenaga kerja per unit kerja, serta efisiensi hubungan sosial dan pembagian kerja. Perusahaan-perusahaan ini disokong oleh kerja dari para kelas buruh di lapis terbawah, dan para ahli manajerial di lapis tengah yang terus membantu menggerakkan bisnis   dalam rantai nilai (value chains) yang kompleks, semenjak komoditas dihasilkan hingga dibawa dan disajikan ke konsumen. Perusahaan-perusahaan ini tumbuh dan berkembang didukung oleh bisnis perbankan dan fiskal yang sangat inovatif dan dinamis di kota-kota, dan dengan demikian menjadi suatu sektor ekonomi yang mapan. 

            Ellen M. Wood (2002) dalam buku The Origin of Capitalism: A Longer View  membedakan market-as-opportunity (pasar-sebagai-kesempatan) terse but, dengan market-as-imperative (pasar-sebagai-paksaan). Pasar sebagai kesempatan bekerja melalui proses sirkulasi barang dagangan. Kebutuhan manusia pada gilirannya dibentuk agar dapat mengkonsumsi apa-apa yang diproduksi. Sebagai suatu sistem produksi yang khusus, ia mendominasi cara pertukaran komoditas melalui pasar. Lebih dari itu, perusahaan-perusahaan raksasa sanggup membentuk bagaimana cara ekonomi diatur oleh pemerintahan hingga ke pemikiran cara bagaimana cara pasar itu diagung-agungkan sebagai prinsip pengelolaan ekonomi. Sementara itu, pasar-sebagai-keharusan dapat dipahami mulai dari karakter sistem produksi kapitalis sebagai yang paling mampu dalam mengakumulasikan keuntungan melalui kemajuan dan sofistikasi teknologi, serta peningkatan produktivitas tenaga kerja per-unit kerja, dan efisiensi hubungan sosial dan pembagian kerja produksi dan sirkulasi barang dagangan. Kesemuanya mengakibatkan penggantian pabrik-pabrik yang telah usang, sektor-sektor ekonomi yang tidak kompetitif, hingga ketrampilan para pekerja yang tidak lagi dapat dipakai. Sistem produksi kapitalisme mengandalkan tempat hidup dan insentif bagi semua komponen yang efisien, dan menghukum mati atau membiarkan mati hal-hal yang tidak sanggup menyesuaikan diri dengannya. Selanjutnya, di atas apa-apa yang telah dihancurleburkan itulah dibangun sesuatu yang baru, yang dapat lebih menjamin keberlangsungan akumulasi keuntungan. Inilay yang dimaksud sebagai creative destruction oleh Joseph Schumpeter (1944) sebagaimana yang diuraikan kembali oleh David Harvey dalam artikelnya Neo-liberalism as Creative Destruction (2006). Saya telah mengelaborasi bagaimana porak porandanya tanah air Indonesia akibat reorganisasi ruang hasil dari ekspansi geografis dari pasar-sebagai-keharusan, dalam buku Panggilan Tanah Air, Tinjauan Kritis atas Porak Porandanya Indonesia (2016).

             Yang nampak dan dialami sehari-hari adalah apa yang disebut David Harvey sebagai reorganisasi ruang dan ekspansi geografis (geographical expansion and spatial reorganization), yang bermuara pada penciptaan nilai melalui mekanisme-mekanisme akumulasi melalui perampasan kekayaan (accumulation by dispossession) sebagaimana diurai dalam The New Imperialism (2003), selain penciptaan nilai  dengan mekanisme-mekanisme akumulasi melalui eksplotasi tenaga kerja sebagaimana dalam karyanya Spaces of Capital: Towards a Critical Geography (2001).  

            Trasformasi besar tengah berlangsung, nampak jelas dan dirasakan sehari-hari. Saya telah mengelaborasi bagaimana porak porandanya tanah air Indonesia akibat reorganisasi ruang hasil dari ekspansi geografis dari pasar-sebagai-keharusan, dalam buku Panggilan Tanah Air, Tinjauan Kritis atas Porak Porandanya Indonesia (2016). 

            Kita menyaksikan, kota kemudian tumbuh jadi luar biasa cepat, dan urbanisasi menjadi pilihan yang tidak terelakkan bagi perencana kota hingga penduduk yang hendak meningkatkan status sosial dan ekonominya. Sementara itu, desa menjadi tempat yang tidak menarik. Jadi, berbeda dengan di perkotaan yang menjadi tempat harapan sebagian orang mengentaskan diri dari kemiskinan, di pedesaan, kita menyaksikan  kantung-kantung kemiskinan yang kronis. Arah dan bentuk pembangunan pedesaan kita belum dimaksudkan untuk mengentaskan rakyat yang hidup dalam kantung-kantung kemiskinan yang kronis itu. Kita belum punya cara yang ampuh dan bersungguh-sungguh mengusahakan sedemikian rupa sehingga pendapatan penduduk kelompok 40 persen terbawah, khususnya yang berada di pedesaan, dapat tumbuh lebih baik. 

            Marilah kita melihat lebih dalam sisi lain dari kehidupan di pedesaan yang mengandalkan kerja  pertanian, perladangan, perikanan budi daya hingga pemanfaatan hutan. Konsentrasi penguasaan tanah, nilai tukar pertanian yang rendah, konversi tanah-tanah pertanian ke non-pertanian, perkembangan teknologi produksi, dan pertumbuhan penduduk miskin, telah membuat akibat yang nyata pada jumlah rumah tangga petani dan luas total pertanian rakyat. Secara umum, kesempatan kerja di sektor pertanian semakin sempit dari tahun ke tahun. Hal ini berbanding terbalik dengan mereka yang membutuhkan pekerjaan. Minat bekerja pada bidang pertanian juga semakin menipis. Banyak sekali lapisan orang miskin di pedesaan, yang mayoritas tidak bertanah dan tidak bisa menikmati sekolah tinggi, harus mengambil risiko dengan memilih pergi ke luar desa untuk mendapatkan pekerjaan melalui kerja migran di kota-kota provinsi, metropolitan hingga ke luar negeri. Sebagian besar rakyat pekerja migran ini sesungguhnya berhasil memperoleh upah kerja yang lebih baik, mengirimkan pendapatannya ke desa, dan kemudian menjadi daya tarik bagi pemuda-pemudi desa generasi berikutnya untuk mengikuti jejak langkah mereka. Anehnya, pengalaman pahit hidup kerja sebagai migran, mulai kondisi kerja yang tidak layak, penipuan, diskriminasi hingga kekerasan, umumnya dipersepsi sebagai nasib buruk yang tidak mampu mencegah rombongan lain untuk pergi. 

            Kita harus bisa melihat kemiskinan yang kronis sebagai akibat, bukan hanya sebagai kondisi. Kemiskinan dan situasi orang miskin itu merupakan satu akibat dari berbagai mekanisme yang menjadikan orang-orang miskin tidak bisa memperoleh pendapatan sebagaimana semestinya. Mekanisme-mekanisme itu mencakup biaya produksi pertanian/peternakan/perikanan rakyat yang semakin tinggi semakin lama tidak sebanding dengan harga jual. Ongkos input produksi yang semakin mahal harganya. Di sektor pertanian, berbagai subsidi pertanian belum cukup menolong nilai tukar petani jadi mampu membuat petani gurem punya surplus dan tabungan yang cukup dari produksi pertaniannya. Untuk nelayan kecil, masalah utama adalah biaya untuk bahan bakar dan alat tangkap. Rantai pasokan komoditas di antara produsen dan konsumen, menciptakan ekonomi rente tersendiri. Walau harga komoditas di konsumen tinggi tapi tetap harga di produsen rendah. Untung dari para pengumpul dan pedagang tidak dimiliki produsen. Kemiskinan yang kronis juga diakibatkan dengan  semakin sempitnya akses atau kemampuan rakyat lapis paling bawah di pedesaan (petani/peladang/nelayan) untuk mendapat manfaat dari tanah, sumber daya alam dan wilayah hidupnya sebagai akibat langsung dari konsentrasi penguasaan tanah, sumber daya alam, dan wilayah, terutama  oleh perusahaan-perusahaan kehutanan, perkebunan dan pertambangan. 

            Semakin tinggi pendidikan orang desa, semakin kuat pula motivasi dan dorongan mereka untuk meninggalkan desanya. Tidak ada minat mereka untuk kerja di sektor pertanian. Desa ditinggalkan pemuda-pemudi yang pandai, termasuk untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Mereka inilah yang semakin memenuhi kota-kota kabupaten, provinsi dan metropolitan. Kita mendapati kenyataan bahwa mereka yang berhasil menjadi kelas menengah di kota-kota tidak kembali ke desa, dan terus hidup di kota mempraktekkan kehidupan konsumtif, dengan mempunyai rumah/apartemen untuk tinggal, serta kendaraan baru untuk transportasi, yang pada gilirannya membuat infrastuktur jalan di kota-kota provinsi dan metropolitan tidak lagi memadai. Di kota-kota metropolitan, terjadi macet di mana-mana setiap pagi pada jam pergi menuju pusat kota dan jam pulang menuju pinggiran kota. 

            Quo vadis?  

            Kita baru bisa menjawab mengapa ketimpangan menjadi demikian rupa memburuk, dan harusnya bagaimana. Tantangan bagi kita semua, agar mampu menghadirkan mekanisme-mekanisme yang menandinginya dan berhasil melahirkan pemerataan dalam contoh-contoh nyata yang dapat ditauladani. Siapakah yang terpanggil memenuhi tugas mulia itu?

            

Jakarta, 17 Agustus 2017

Noer Fauzi Rachman, PhD

                                                                                                       



*) Kalimat terjemahan saduran dari Saskia Sassen (2015) “We have entered a new era that the language of inequality cannot capture”,  http://cgt.columbia.edu/news/sassen-we-have-entered-a-new-era-that-the-language-of-inequality-cannot-capture/ (accesed on Aug 18, 2017)


No comments:

Post a Comment