Noer Fauzi Rachman (2019) Panggilan Tanah Air, Tinjauan Kritis atas Porak-Porandanya Indonesia. Cetakan ketiga. Yogyakarta: Insist Press
E-file versi cetakan kedua (2019) dari buku ini data diunduh bebas di situs: https://drive.google.com/file/d/1nfcwRK3IpJxyEX1Oxj9QflniTWOwq2hr/view?usp=share_link
Naskah buku ini dibuat dalam situasi di mana banyak orang Indonesia sudah terbiasa dan dibiasakan memenuhi kebutuhan hidupnya melalui transaksi jual beli. Semua cenderung menganggap transaksi jual-beli itu normal dan alamiah. Lebih dari itu, untuk berhasil memenuhi kepentingan memperoleh pendapatan atau keuntungan, cara jual beli merupakan sesuatu yang sudah lazim ditempuh. Pasar pun dianggap penyedia kesempatan. Ini adalah zamannya pasar berdigjaya, the age of market triumpalism!
Indonesia bukan hanya menganut politik pintu terbuka terhadap pengaruh pasar internasional. Lebih dari itu, Indonesia menganut politik rumah terbuka, yakni semua bisa dimasuki pengaruh kekuatan pasar internasional. Sekarang ini kita tidak memiliki rujukan yang otoritatif mengenai batas apa-apa yang boleh atau tidak boleh diperjual-belikan. Bukankah demikian?
Berbeda dengan mereka yang menganggap pasar sebagai kesempatan, buku ini hendak menunjukkan sisi pasar sebagai kekuatan pemaksa. Oleh karenanya saya akan fokus mengupas bagaimana mekanisme-mekanisme pasar yang dianggap biasa, normal, alamiah bahkan sudah seharusnya, sekaligus juga mengenai cara bagaimana perusahaan-perusahaan raksasa memperoleh modal untuk produksi komoditas/barang-barang dagangannya. Hal ini jarang sekali dibicarakan dan dipikirkan secara sungguh-sunguh, terutama dalam hubungannya dengan masa depan tanah air rakyat kita.
Buku ini berangkat dari pengalaman-pengalaman dan proses belajar saya, selama hampir tiga puluh tahun, menyaksikan bagaimana rakyat menghadapi operasi-operasi kekerasan, yang dijalankan oleh berbagai kekuatan, dalam rangka menciptakan modal bagi perusahaan-perusahaan raksasa. Terutama perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan, kehutanan, dan perkebunan dalam membangun sistem produksi kapitalistik, yang menghasilkan barang dagangan untuk diperjual-belikan di pasar untuk sebesar-besarnya bagi keuntungan perusahaan.
Operasi kekerasan yang dimaksud di atas terutama mencakup pelepasan hubungan kepemilikan rakyat dan perubahan secara drastis tata guna dari tanah, sumberdaya alam dan ruang, serta perubahan posisi kelas dari rakyat dalam hubungannya dengan keberadaan sistem produksi baru yang berdiri dan bekerja atas tanah, sumber daya alam dan ruang itu. Operasi kekerasan itu, selain menghasilkan modal bagi perusahaan-perusahaan untuk pertama kalinya, sesungguhnya di kalangan rakyat melahirkan ketegangan hingga pertengkaran sosial, dislokasi sosial, hingga migrasi, bahkan perasaan tercerabut yang diiringi dengan protes dan tindakan-tindakan yang seringkali tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Namun sebagian besar rakyat mengalah dan kalah. Mereka menyingkir, atau meninggalkan kampung halamannya, dan tidak lagi bisa mengandalkan hidup dari tanah, sumber daya alam, dan ruang yang telah dikapling perusahaan-perusahaan itu. Hanya sedikit saja rakyat yang berhasil mempertahankan diri atau menghalau perusahaan-perusahaan yang mengkapling tanah-tanah mereka itu.
Bagaimana sesungguhnya kita menyikapi semua ini? Pendek kata, naskah ini bermaksud menggugah bagaimana kita bersikap menghadapi porak-porandanya tanah air, kampung halaman rakyat akibat reorganisasi ruang untuk perluasan cara atau sistem produksi kapitalistik yang menghasilkan komoditas-komoditas global. Lebih lanjut, saya berharap naskah ini dapat membuat kita mengidamkan, memikirkan, dan merintis usaha-usaha memulihkan rakyat dan alam yang porak-poranda itu. Terbuka kemungkinan rakyat memilih dan menjadikan kampung atau desa (apapun namanya) sebagai tempat berangkat dan sekaligus tujuan pengabdian. Kita berangkat dan mengabdi untuk apa yang pernah dikemukakan Muhammad Yamin dalam perdebatan pembuatan pasal 18-B UUD 1945, yakni:
“... kesanggupan dan kecakapan bangsa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak atas tanah sudah muncul beribu-ribu tahun yang lalu, dapat diperhatikan pada susunan persekutuan hukum seperti 21.000 desa di Pulau Jawa, 700 Nagari di Minangkabau, susunan Negeri Sembilan di Malaya, begitu pula di Borneo, di tanah Bugis, di Ambon, di Minahasa, dan lain sebagainya.” (sebagaimana dimuat dalam Yamin 1959)
Adakah negarawan yang berfikir seperti Muhammad Yamin di Indonesia hari ini?
Situasi Umum Tanah Air Kita
Masalah agraria dan pengelolaan sumber daya alam bangsa Indonesia secara umum pernah dirumuskan secara sederhana oleh elit pemerintahan nasional di zaman Reformasi melalui Ketetapan MPR RI No. IX/MPRRI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, sebagai berikut: (i) Ketimpangan (terkonsentrasinya) penguasaan tanah dan sumber daya alam di tangan segelintir perusahaan, (ii) konflik-konflik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang meletus di sana-sini dan tidak ada penyelesaiannya, dan (iii) kerusakan ekologis yang parah dan membuat eksistensi alam tidak lagi dapat dinikmati rakyat.[1] Tiga golongan masalah ini sayangnya diabaikan oleh banyak pejabat publik dan sama sekali tidak diurus secara serius oleh presiden-presiden, menteri-menteri dan para pejabat yang berhubungan dengan masalah agraria dan pengelolaan sumber daya alam, serta para pejabat pemerintahan daerah.
Rakyat Indonesia di desa-desa selayaknya menyambut abad XXI dengan penuh kegembiraan dan optimisme, namun pada kenyataannya tidaklah demikian. Banyak kelompok rakyat miskin di banyak desa, di pinggir kota, di dataran tinggi, di pedalaman maupun di pesisir dari pulau-pulau, dilanda rasa risau dan kuatir. Rakyat pedesaan menanggung beban berat secara kolektif sehubungan dengan akses pada tanah pertanian, hutan, dan dari hari ke hari ruang hidupnya semakin menyempit, produktivitasnya semakin merosot, lingkungan ekosistemnya semakin tidak mendukung kehidupan, dan secara relatif kesejahteraannya menurun.
Konsentrasi penguasaan tanah, nilai tukar pertanian yang rendah, konversi tanah-tanah pertanian ke non-pertanian, perkembangan teknologi produksi, dan pertumbuhan penduduk miskin, telah membuat akibat yang nyata pada jumlah rumah tangga petani dan luas total pertanian rakyat. Data sensus pertanian 2013 menunjukkan rumah tangga pertanian di Indonesia mencapai 26,13 juta, yang berarti telah terjadi penurunan sebesar 5 juta rumah tangga pertanian, dibandingkan dengan hasil sensus pertanian 2003. Untuk mudahnya, dapatlah kita nyatakan bahwa setiap satu menit satu rumah tangga petani hilang, berganti pekerjaan dari pertanian ke bidang pekerjaan lainnya. Bila kita lihat lebih jauh, seperti ditunjukkan oleh Khudori (2014), laju konversi lahan pertanian rakyat mencapai angka 110.000 ha/tahun (pada rentang 1992-2002). Bahkan melonjak 145.000 ha/tahun pada periode 2002-2006, serta 200.000 ha/per tahun pada periode 2007-2010. Bila ambil saja rata-rata konversi 129.000 ha/tahun, maka setiap menit, sekitar 0,25 hektar tanah pertanian rakyat berubah menjadi lahan non-pertanian.
Arus pengurangan jumlah petani dimulai sejak pertengahan abad 20 yang lalu, dan diperhebat dalam dekade yang lalu di Indonesia. Secara umum, kesempatan kerja di sektor pertanian semakin sempit dari tahun ke tahun. Hal ini berbanding terbalik dengan mereka yang membutuhkan pekerjaan. Minat bekerja pada bidang pertanian juga semakin menipis. Banyak sekali lapisan orang miskin di pedesaan, yang mayoritas tidak bertanah dan tidak bisa menikmati sekolah tinggi, harus mengambil risiko dengan memilih pergi ke luar desa untuk mendapatkan pekerjaan melalui kerja migran di kota-kota provinsi, metropolitan hingga ke luar negeri. Sebagian besar rakyat pekerja migran ini sesungguhnya berhasil memperoleh upah kerja yang lebih baik, mengirimkan pendapatannya ke desa, dan kemudian menjadi daya tarik bagi pemuda-pemudi desa generasi berikutnya untuk mengikuti jejak langkah mereka. Anehnya, pengalaman pahit hidup kerja sebagai migran, mulai kondisi kerja yang tidak layak, penipuan, diskriminasi hingga kekerasan, umumnya dipersepsi sebagai nasib buruk yang tidak mampu mencegah rombongan lain untuk pergi.
Dunia pertanian dan hidup di desa bukanlah masa depan yang menjanjikan bagi pemuda-pemudi, padahal masa depan pertanian rakyat bergantung pada siapa yang akan bertani (White 2011, 2012). Yang paling miskin bekerja menjadi kelas terendah dalam sektor informal dan hidup di komunitas-komunitas pondok dalam wilayah-wilayah kumuh dan marjinal di kota-kota (Jellinek 1977). Mereka mudah sekali berpindah-pindah menjadi sesuatu yang diistilahkan oleh Jan Breman sebagai footloose labor (Breman 1977).
Semakin tinggi pendidikan orang desa, semakin kuat pula motivasi dan dorongan mereka untuk meninggalkan desanya. Desa ditinggalkan pemuda-pemudi yang pandai, termasuk untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Mereka inilah yang semakin memenuhi kota-kota kabupaten, provinsi dan metropolitan. Betapa ironisnya mendapati kenyataan bahwa mereka yang berhasil menjadi kelas menengah di kota-kota tidak kembali ke desa. Seolah ingin menambah kadar ironinya, mereka mempraktekkan kehidupan konsumtif, dengan membeli/menyewa tanah dan rumah untuk tinggal di pinggiran kota, serta motor dan mobil baru untuk transportasi, yang pada gilirannya membuat infrastuktur jalan di kota-kota provinsi dan metropolitan tidak lagi memadai. Di kota-kota metropolitan, terjadi macet di mana-mana setiap pagi pada jam pergi menuju pusat kota dan jam pulang menuju pinggiran kota.
Sejarawan terkenal, Eric Hobsbawm dalam karyanya yang terkenal, Age of Extremes, membuat deklarasi bahwa “the most dramatic change in the second half of this century, and the one which cuts us forever from the world of the past, is the death of the peasantry”. Artinya, “perubahan paling dramatis dalam paruh kedua abad (keduapuluh) ini, yang untuk selamanya memisahkan kita dari dunia masa lampau, adalah kematian petani” (Hobsbawm, 1994:288-9). Istilah yang dibuat oleh peneliti masalah agraria untuk gejala berkurangnya jumlah orang desa yang bekerja sebagai petani adalah depeasantization (Araghi 1995, 2000, 2009, McMichael 2014). Ungkapan ini untuk menunjukkan bagaimana berbagai kekuatan ekonomi politik bekerja pada tingkat global hingga tingkat paling kecil sekali pun sehingga menghasilkan kecenderungan pengurangan jumlah kelas petani di pedesaan, dan semakin kecilnya pengaruh pedesaan pada kehidupan rakyatnya. Lebih lanjut, ahli agraria lain membuat istilah deagrarianization (Bryceson 1996) untuk menunjukkan semakin kecilnya andil kerja-kerja dari dunia agraris bagi ekonomi rakyat, perubahan orientasi hidup, identifikasi sosial, dan perubahan lokasi hidup.
Tidak dipungkiri bahwa semua itu dilakukan dalam rangka menciptakan suatu cara hidup baru dengan gaya perkotaan modern (urban modernity), yang banyak dianggap sebagai keniscayaan yang harus ditempuh. Henri Lefebvre (1970/2003) menyebutnya sebagai urban revolution, bahwa masyarakat global sekarang ini sedang mengalami proses urbanisasi dan masyarakat perkotaan sekarang ini terbentuk sebagai hasil dari proses urbanisasi. Itu berarti bahwa ini bukan sekedar perubahan lokasi hidup di kota-kota, melainkan seluruh cara hidup, berpikir, dan bertindak yang berbeda secara total.
Kampung halaman rakyat di desa-desa porak-poranda guna melayani cara hidup masyarakat perkotaan, terutama melayani kaum elit kaya yang hidup di kota-kota yang berjaringan satu sama lain, termasuk dengan dihubungkan oleh lapangan terbang, mobil dan jaringan jalan highway, hotel, pusat perbelanjaan dan perumahan gated-communities, hingga kantor-kantor perusahaan maupun pemerintahan di pusat kota metropolitan. Elit perkotaan kita ini hidup di global cities seperti Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar, Medan, hingga Singapura, dan bersama-sama dengan elit perkotaan di negara-negara paska kolonial lain dalam jaringan dengan kota-kota New York, London, dan Tokyo, dan sebagainya (Sassen 2000, 2010; Roy dan Ong 2011).
Saya bukan akan membahas sisi modernisasi yang mentereng itu. Sisi lain dari cara perluasan sistem-sistem produksi komoditas global itulah yang akan kita bahas, khususnya cara perluasan melalui konsesi-konsesi proyek pertambangan, kehutanan, perkebunan, infrastruktur, dan lain sebagainya. Produktivitas rakyat yang hidup di lokasi-lokasi sasaran perluasan itu sesungguhnya diabaikan dan sama sekali tidak diperhitungkan, apalagi dihargai. Cerita dan berita mengenai penghancuran kehidupan yang sebelumnya melekat pada tempat sistem-sistem produksi baru itu tidak dimasukkan dan dimuat dalam naskah-naskah resmi di kantor-kantor pemerintah. Sebaliknya, pemerintah menyampaikan keharusan-keharusan bagaimana kebijakan dan fasilitas pemerintah diarahkan untuk mempermudah para perusahaan raksasa (sebutlah: investor!) bekerja guna memperbesar kapasitas produksi komoditas-komoditas global, mensirkulasikannya, dan menjualbelikan sedemikian rupa sehingga menghasilkan keuntungan dan penumpukan kekayaan.
Ketika naskah ini ditulis, saya membaca berita di Koran Kompas edisi 18 April 2015 “Konflik Lahan Adat Meningkat”. Suryati, Sekretaris Pelaksana Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat(KSPPM) yang menjadi narasumber berita itu melaporkan bahwa sejak tahun 2003 hingga 16 April 2015, terdapat setidaknya konflik lahan antara 18 komunitas adat dengan PT Toba Pulp and Paper (PT TPL) yang beroperasi di kawasan Toba. “Setidaknya konflik itu melibatkan 3.777 keluarga atau 17.722 jiwa di lahan seluas 26.560,398 hektar di Kabupaten Humbalang Hasundutan, Tapanuli Utara, Samosir, Toba Samosir, Dairi, dan Simalungun.” (Kompas, 18 April 2015). Perlu diketahui bahwa PT TPL memperoleh lisensi izin pemanfaatan lahan untuk Hutan Tanaman Industri melalui SK Menhut nomor 58/2011 untuk lahan seluas 188.000 hektar. Izin ini merupakan pembaruan atas SK Menhut 493/1992 hektar untuk lahan seluas kurang lebih 269.000 hektar atas nama PT Inti Indorayon Utama (IIU).
Kasus konflik lahan di wilayah ini bukan hanya 18 kasus itu saja. Ke-18 kasus itu adalah mereka yang bertahan hingga saat ini. Banyak komunitas yang sudah kalah atau akhirnya mengalah terhadap PT TPL atau PT IIU.[2] Konflik-konflik lahan di wilayah ini sudah berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, semenjak PT IIU bekerja di sana mendapatkan lisensi pembalakan kayu (alias: Hak Pengusahaan Hutan/HPH) dari Menteri Kehutanan seluas 100.000 hektar pada tanggal 23 Oktober 1984 dengan jangka waktu pengusahaan 20 tahun.
Di akhir tahun 2003, saya memiliki satu kesempatan mengharukan saat mengunjungi salah satu dari konflik-konflik lahan itu, yakni yang terjadi di kampung Naga Hulambu, kabupaten Simalungun. Saya bertemu dan mendengar cerita bagaimana seorang ibu (inang) memimpin rakyatnya mempertahankan tanah air mereka dengan cara mengusir kontraktor-kontraktor PT TPL yang telah, sedang, dan akan menghabisi kebun-kebun mereka yang dipenuhi oleh pohon kayu, buah-buahan, maupun sayur-sayuran.
Secuplik cerita dari kasus konflik agraria ini dimaksudkan untuk menunjukkan masalah tanah air rakyat yang kronis. Lebih dari itu, secuplik kisah tadi menjadi sinyalemen mengenai sebaran konflik agraria nyaris di seluruh titik di seantero Nusantara (Konsorsium Pembaruan Agraria 2014).[3] Di sini saya tidak akan memperpanjang cerita-cerita kasus semacam itu. Di buku ini, saya akan mengarahkan penjelasan mengenai sebab utama dari porak-porandanya kehidupan rakyat dan tanah air yang berlangsung secara sistemik, sebagai akibat dari reorganisasi ruang untuk perluasan sistem produksi yang bercorak kapitalistik demi menghasilkan komoditas-komoditas global. []
Buku ini adalah hasil refleksi panjang Noer Fauzi Rachman, mendedahkan keadaan “darurat agraria”, keadaan tanah air yang porak-poranda. Buku ini bukan ungkapan kesedihan meratapi keadaan. Lebih dari itu, buku ini dimaksudkan untuk mengundang keterlibatan, terutama generasi muda untuk lebih memahami perubahan kebijakan agraria, dan menjadi pandu tanah air. ***
“Buku Noer Fauzi Rahman ini menjadi sangat penting dibaca oleh kalangan nahdliyin maupun masyarakat umum untuk memahami orientasi pembangunan nasional kita yang sejak Orde Baru meninggalkan cita-cita para pendiri bangsa. Buku ini mengingatkan semua pihak mengenai pentingnya sebuah sistem terpadu dalam pengaturan agraria yang berorientasi pada kemaslahatan bangsa Indonesia, bukan yang justru membuat bangsa sendiri tersingkir dari tanah airnya.” M. Imam Aziz, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
“Panggilan Tanah Air karya Noer Fauzi Rachman adalah sebuah manifesto untuk mengabdi pada Tanah Air dan Ibu Pertiwi. Sebuah manifesto yang berangkat dari sebuah keprihatinan dan tanggung-jawab besar dari seorang anak bangsa atas porak-porandanya tanah air Indonesia akibat sebuah sistem ekonomi yang kapitalistik.” Pdt. Penrad Siagian, Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan PGI
“Buku yang berjudul Panggilan Tanah Air merupakan sebuah refleksi diri yang ilmiah melihat kenyataan ketidakadilan hak atas tanah dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, terutama yang dialami oleh sebagian masyarakat Indonesia yang kerap kita sebut kaum “kecil lemah miskin dan terpinggirkan (KLMT).” YR. Edy Purwanto Pr, Sekretaris Eksekutif KWI
“Sering kali, pembangunan meninggalkan permasalahan dan penderitaan rakyat. Padahal jika kebijakan yang diambil berpijak pada konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) semestinya hal itu tidak terjadi, paling tidak bisa diminimalisasi. Buku “Panggilan Tanah Air” yang ditulis oleh saudara Noer Fauzi Rahman ini mampu membuka hati dan pikiran para pembaca masyarakat umum, lebih khusus bagi para pengemban amanah negeri ini, sebuah bahan bacaan yang baik bagi “Pemimpin yang Benar dan Benar dalam Memimpin”. ” Prof. Dr. Ir. Muhjidin Mawardi, Ketua Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Deskripsi lengkap blurb berasal buku, dan dimuat pula di https://insistpress.com/katalog/panggilan-tanah-air-tinjauan-kritis-atas-porak-porandanya-indonesia/
No comments:
Post a Comment