Noer Fauzi Rachman (2018) “Meninjau Kembali Teorisasi Mengenal Desentralisasi, Community Driven Development, dan Kapitalisasi Agraria”. Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional – STPN 4(1):1-23. https://doi.org/10.31292/jb.v4i1Untuk unduh seluruh isi artikel ini secara bebas, kunjungi : https://jurnalbhumi.stpn.ac.id/index.php/JB/article/view/213/0
“My point is not that everything is bad, but that everything is dangerous, which is not exactly the same as bad” (Foucault, 1994:256).
Pendahuluan
Seperti secara jelas dikemukakan dalam judul di atas, artikel ini hendak meletakkan kebijakan desentralisasi dan proyek-proyek Community Driven Development (untuk selanjutnya disingkat CDD) dalam konteks pembangunan kapitalis. Yang dituju oleh kebijakan desentralisasi adalah transformasi dari birokrasi pemerintah daerah agar menjadi lebih responsif dan bertanggungjawab. Sementara itu, proyek-proyek CDD ditujukan untuk memfasilitasi komunitas-komunitas pedesaan dan perkotaan ‘mengatur diri sendiri’ dalam menanggulangi kemiskinannya. Penulis tidak memperlakukan keduanya secara terpisah. Keduanya sama-sama dipromosikan oleh Bank Dunia pada suatu periode yang sama dan berada di bawah suatu haluan yang saling mengikat satu sama lainnya. Badan-badan pemerintahan daerah dan komunitas-komunitas itu, terus ditempa menjadi agen-agen aktif penyokong apa yang dikenal dengan istilah “tata pemerintahan yang baik” (good governance). Selain berusaha untuk mengkritisi haluan itu, tulisan ini juga mengemukakan konsekuensi-konsekuensinya.
Setelah mengemukakan potret mengenai kebijakan desentralisasi dan proyek CDD di Indonesia, penulis mengemukakan cara bagaimana Bank Dunia bisa tiba pada agenda kebijakan desentralisasi dan partisipasi masyarakat. Secara sangat padat disajikan pemikiran-pemikiran Vedi Hadiz, Toby Carroll, Tania Li, dan Frederich Rawski yang dengan perspektif masing-masing mengkritik teorisasi dan praktek Bank Dunia tersebut.
Dengan meninjau kembali debat teoritik mengenai kebijakan desentralisasi dan proyek CDD itu, penulis bermaksud secara eksplisit menghubungkan keduanya dengan konteks pembangunan kapitalis. Dalam hal ini penulis mengerjakan kembali alat kerja analitik yang dikembangkan oleh Gillian Hart (2001), khususnya mengenai pembedaan antara Pembangunan (dengan huruf “P” besar), atau Development, sebagai “suatu proyek intervensi paska-perang dunia kedua terhadap negara-negara ‘dunia ketiga’ yang berkembang dalam konteks dekolonisasi dan perang dingin (cold war), dengan pembangunan (dengan “p” kecil) yang merupakan pembangunan kapitalis, capitalist development, sebagai suatu rangkai proses sejarah yang dipenuhi dengan beragam kontradiksi dan secara geografis perkembangannya tidak sama antara satu lokasi dengan lokasi lainnya” (Hart 2001:650 yang merujuk di antaranya pada karya Cowen and Stanton 1996; lihat juga Hart 2002, 2004, 2006).
Untuk memahami pembangunan kapitalis yang tidak sama (uneven capitalist development), penulis menunjukkan pentingnya apa yang Karl Marx kemukakan mengenai ‘akumulasi primitif’, yang baru-baru ini memperoleh tempatnya kembali melalui penafsiran baru dari Michael Perelman, Massimo de Angelis dan David Harvey. Pokok tafsiran mereka ini akan disajikan secara ringkas dalam hubungan satu sama lain, dan kemudian disambung dengan bagaiamana Paul Cammack menghubungan proses ‘akumulasi primitive’ ini dengan peran proyek-proyek Bank Dunia. Muara dari kajian ini adalah undangan untuk pemeriksaan bagaimana proyek-proyek itu berhubungan dengan proses-proses akumulasi primitif itu dalam rangka di satu pihak menghasilkan konsep-konsep yang kongkrit, dan hubungan-hubungan di antaranya, yang lebih mampu menjelaskan kenyataan-kenyataan yang baru berkembang.
Bagi penulis, dengan memahami debat teoritik mengenai kebijakan desentralisasi dan CDD itu dan menempatkan keduanya dalam pembangunan kapitalis yang tidak sama, menjadi jelas terlihat bahwa badan-badan pemerintah daerah dan kelompok-kelompok komunitas sedang ditempa melalui cara sedemikian rupa sehingga mereka menjadi pelaku-pelaku yang diatur dan mengatur dirinya sendiri sebagai neoliberal subject – yang dibutuhkan bagi kelanjutan dari pembangunan kapitalis yang lebih luas. Bagaimana proses ini bisa terlihat adalah satu hal, sedangkan bagaimana proses ini mencapai tujuannya adalah hal lain. Tidak ada jaminan bahwa skenario itu akan dengan sendirinya bisa terlihat dan dapat tercapai.
Argumen utama penulis, seperti akan ditunjukkan nanti, yang dapat dipastikan adalah tersedianya berbagai ruang pertarungan dan perundingan (spaces of contestation and negotiation) baru dimana berbagai kekuatan sosial – baik yang berasal dari kekuatan dari pihak masyarakat politik, pengusaha kapitalistik, organisasi masyarakat sipil maupun gerakan sosial -- dapat aktif terlibat, atau juga dapat menolak, atau tidak memiliki kapasitas untuk terlibat, membentuk, mengisi ruang-ruang itu, serta untuk selanjutnya secara dialektis dibentuk kembali oleh arah, dinamika dan hasil pertarungan dan perundingan beragam kekuatan-kekuatan tersebut. Ruang-ruang itu senantiasa bergerak dan berubah dari waktu-ke waktu.
Bagi penulis, merupakan salah satu tugas utama dari ilmuan sosial yang menstudi proyek Pembangunan adalah mengikuti dan menganalisa secara kongkrit pergerakan menyempit dan meluasnya ruang-ruang itu, rute perjalanan berbagai kekuatan sosial dan cara bagaimana berbagai kekuatan itu bekerja dalam ruang-ruang itu dari waktu ke waktu, dan menghubungkan kesemuanya itu dengan pembangunan kapitalis yang secara geografis dan historis berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Penulis akan merasa telah berhasil bila hal itu diterima sebagai undangan untuk menyemarakkan ilmu sosial Indonesia.
Potret Kebijakan Desentralisasi dan CDD di Indonesia
Saya menempatkan kebijakan desentralisasi, dan juga proyek-proyek CDD, bukanlah khas Indonesia, melainkan suatu bentuk kontemporer dari Pembangunan saat ini. Kebijakan desentralisasi di Indonesia yang mulai diberlakukan pada tahun 2001 merupakan kasus yang diamati secara khusus, karena kemanjurannya dengan cepat mengubah Indonesia dari negara unitaris dengan sistem paling sentralis menjadi negara dengan sistem paling desentralistis di dunia. Demikian klaim dua ahli dari Bank Dunia, Hofman dan Kaisser, yang menyebutnya sebagai Big Bang Desentralisation karena karakteristik-karakteristik berikut:
a. Perundang-undangan baru tentang desentralisasi menyediakan otonomi luas untuk seluruh gugus tugas kecuali beberapa gugus tugas yang secara tegas ditetapkan oleh pusat – termasuk pertahanan, pengadilan, kepolisian dan perencanaan pembangunan.
b. Pada tahun 2002 andil pengeluaran pemerintah daerah meningkat 40 persen, meningkat tajam dibanding rata-rata 15 persen di tahun 90an
c. Selain pengeluaran, banyak apparatus pemerintah berada dibawah kendali daerah-daerah. Lebih dari 2,1 pegawai negeri sipil atau hampir 2/3 tenaga kerja pemerintahan pusat dialihkan pada wilayah-wilayah. Kini, sekitar 2,8 juta dari 3,9 juta pegawai negeri sipil dikategorikan sebagai pegawai negeri sipil wilayah. Dan,
d. 239 kantor-kantor perwakilan pemerintah pusat tingkat provinsi, 3,933 kantor-kantor tingkat lokal, lebih dari 16.000 fasilitas pelayanan seperti sekolah, rumah sakit, pusat pelayanan kesehatan, sepenuhnya dialihkan pada pemerintahan daerah di seluruh Indonesia (Hofman dan Kaiser 2002:1).
Naskah ini tidak akan menelusuri asal usul kebijakan desentralisasi itu atau menelusuri perubahan kebijakan-kebijakan yang terus menerus terjadi, ataupun mengevaluasi keberhasilan atau kegagalan implementasinya. Akan tetapi saya akan menyajikan dengan padat beberapa perdebatan akademis seputar arah dan konsekuensi dari desentralisasi tersebut dikaitkan dengan CDD, yang juga sejak awal diprogramkan oleh Bank Dunia, dan saya menempatkan kedua jenis proyek Pembangunan itu dalam konteks pembangunan kapitalis yang formasi sosial dan sejarahnya berbeda-beda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya.
CDD adalah fenomena Big Bang lainnya yang melanjutkan berbagai bentuk Social Fund, yang dimulai dalam bentuk kucuran dana-dana Jaring Pengaman Sosial (JPS), social safety net, untuk menanggulangi ketidakmampuan daya beli masyarakat miskin akibat krisis ekonomi 1997 dan mencegahnya berpartisipasi dalam kerusuhan (Bank Dunia 2001). Para antropolog dalam Bank Dunia di Indonesia kemudian mengembangkan social fund ini sedemikian rupa sehingga menjadi apa yang dikenal dalam kosa kata Bank Dunia sekarang ini dengan nama Community Driven Development (CDD). Dua proyek CDD terbesar adalah Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Menurut perhitungan staf Bank Dunia, seluruh Saat itu proyek-proyek CDD di Indonesia merupakan sebuah pinjaman pembangunan Bank Dunia yang paling besar, paling penting dan paling utama.
Di Indonesia, proyek CDD yang terbesar adalah Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Cakupan wilayah PPK membengkak, meluas dari sebuah pelaksanaan percontohan kecil di 25 desa pada tahun 1997 dan tahun 2003 menjadi lebih dari 28,000 desa (Guggenheim, Wiranto, Prasta, and Wong 2004). Program ini terutama menyediakan mekanisme jalan baru bagi masyarakat untuk dapat mengakses dana pembangunan secara langsung. Tidak seperti proyek-proyek Bank Dunia sebelumnya yang menempatkan pemerintah Indonesia sebagai pemilik proyek dan rakyat didudukkan sebagai penerima manfaat, dalam CDD kelompok-kelompok masyarakatlah yang memiliki proyek itu. Dengan bantuan fasilitator, satu kelompok masyarakat memprakarsai, merencanakan proyek dan menyampaikannya pada forum antar desa di kecamatan. Pada setiap forum terjadi diskusi tentang alasan pentingnya, pengelolaan, dan kapasitas menjalankannya. Juga ada penilaian keuangan dan ahli teknik lokal (antara lain seorang insinyur di kabupaten) yang kemudian akan membuat daftar urutan proyek-proyek yang akan didanai. Karena jumlah alokasi uang bagi setiap kecamatan relatif tetap, maka terbentuklah kompetisi antar proposal. Bagi yang mendapatkan proyek, kelompok itu membuat rekening Bank sendiri dan dapat menarik uang secara langsung dari sebuah Bank. Mereka akan menerima uang proyek kira-kira paling lambat tiga bulan setelah perjanjian kontrak ditandatangani di forum perencanaan pembangunan di tingkat kecamatan.
Di tahun 2007, pemerintah Indonesia telah meningkatkan skala CDD ini menjadi program nasional bernama Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri), sebagai andalan untuk pengentasan kemiskinan, dengan jangkauan 2.827 kecamatan dengan alokasi anggaran sekitar Rp 3,6 trilyun. Pada tahun 2008 jumlah kecamatan yang dijangkau akan menjadi 3,999 kecamatan dengan anggaran yang disediakan sekitar 13 trilyun. Sedangkan pada tahun 2009 diagendakan seluruh kecamatan di Indonesia yang berjumlah sekitar 5,263 kecamatan akan mendapat PNPM Mandiri. Besarnya bantuan langsung jika pada tahun 2007 antara Rp 750 juta s/d Rp 1,5 milyar per kecamatan, maka pada tahun 2008 besarnya bantuan per kecamatan sudah ada yang mencapai Rp 3 milyar (Menko Kesra 2008).
Proyek-proyek CDD ini diklaim telah berhasil menata ulang kepemerintahan lokal Indonesia. Pada tahun 2004, berdasarkan implementasi dan hasil-hasil proyek, program-program CDD mampu meningkatkan kualitas kerangka kerja desentralisasi dengan cara:
a. Lebih mendorong partisipasi warga negara, suara, dan akuntabilitas pemerintahan lokal;
b. Menyediakan cara yang efektif untuk menyampaikan pelayanan-pelayanan yang amat dibutuhkan dalam konteks desentralisasi dengan biaya yang lebih efektif dan waktu yang lebih efisien; serta
c. Secara langsung menginformasikan dan membentuk aturan-aturan desentralisasi (Wong dan Guggenheim 2005:254).
________________