Arti Merdesa?

Naskah Noer Fauzi Rachman (2018) "Arti Merdesa", Sekapur Sirih untuk buku Francis Wahono dan Theresia Puspitasari (2018) Desa Pancasila Petani Merdeka. Yogyakarta: Cindelaras  

Umumnya diketahui terdapat lima jalur yang ditempuh kebanyakan orang miskin pedesaan untuk keluar dari kemiskinan (cf. de Janvry and Sadoulet 2001 “Rural Poverty in Latin America: Determinants and Exit Paths”). Pertama, kaum miskin pedesaan memperbanyak sumber pendapatan keluarga dari kegiatan non-pertanian di desa. Termasuk disini adalah kaum mayoritas penduduk tak bertanah di desa-desa. Seluruh anggota keluarga dikerahkan menjadi pelaku macam-macam kerjanya,  mulai dari menjadi menjadi tenaga kerja untuk bangunan, menjadi pembantu rumah tangga, usaha jasa perbaikan elektronika, jual-beli barang kelontong, warung makanan, dan sebagainya. Pada gilirannya, bagi yang telah menempuh jalur ini sedemikian lama, pertanian merupakan pekerjaan sambilan saja. 

Kedua, bagi mereka yang telah gagal mengusahakan perbaikan nasib diri dan keluarganya, namun tetap terperangkap atau terjerembab dalam kemiskinan yang kronis, akan menjadi populasi dan sasaran dari apa yang secara internasional diistilahkan social safety net (jaring pengaman sosial). Mereka ini hidup dalam kemiskinan yang kronis, dan berbagai bentuk jaring pengaman sosial diadakan agar mereka tidak jatuh lebih dalam ketika terdapat guncangan seperti anggota keluarga sakit hingga kematian shock keluarga (misalnya kepada keadaan yang rentan kelaparan. Pemerintah menjadi pelaku utama dalam bentuk-bentuknya berupa bantuan langsung tunai, atau pemberian beras miskin; atau organisasi sosial keagamaan dalam bentuk zakat, sodakoh, atau santunan lainnya. 

Memberantas Kemiskinan Pedesaan

  


 

Naskah untuk pengantar  Buku Francis Wahono dan Theresia Puspitasari Desa Pancasila Petani Merdeka

 

Noer Fauzi Rachman 

 

 

Marcel Mazoyer and Laurence Roudart (2006) dalam buku A History of World Agriculture. From the Neolithic Age to the Current Crisis (diterjemahkan oleh James H. Membrez dari bahasa Perancis) menekankan pentingnya kita memperlakukan kemiskinan masif yang diderita mayoritas dari penduduk pedesaan sebagai ukuran dari gagal-atau-berhasilnya kita menghadapi mekanisme kerja yang kongkrit dan spesifik dari proses umum kapitalisme global yang menyejarah dalam geografi yang spesifik, seperti Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar. Banyak karya studi yang telah menunjukkan bagaimana kemiskinan pedesaan tercipta dalam hubungan dengan perkembangan kapitalisme di negeri-negeri yang dijajah.

Umumnya terdapat lima jalur yang ditempuh kebanyakan orang miskin pedesaan untuk keluar dari kemiskinan masif itu (cf. de Janvry and Sadoulet 2001 “Rural Poverty in Latin America: Determinants and Exit Paths”)

Pertama, kaum miskin pedesaan memperbanyak sumber pendapatan keluarga dari kegiatan non-pertanian di desa. Termasuk disini adalah kaum mayoritas penduduk tak bertanah di desa-desa. Seluruh anggota keluarga dikerahkan menjadi pelaku macam-macam kerjanya,  mulai dari menjadi menjadi tenaga kerja untuk bangunan, menjadi pembantu rumah tangga, usaha jasa perbaikan elektronika, jual-beli barang kelontong, warung makanan, dan sebagainya. Pada gilirannya, bagi yang telah menempuh jalur ini sedemikian lama, pertanian merupakan pekerjaan sambilan saja. 

Kedua, bagi mereka yang telah gagal mengusahakan perbaikan nasib diri dan keluarganya, namun tetap terperangkap atau terjerembab dalam kemiskinan yang kronis, akan menjadi populasi dan sasaran dari apa yang secara internasional diistilahkan social safety net (jaring pengaman sosial). Mereka ini hidup dalam kemiskinan yang kronis, dan berbagai bentuk jaring pengaman sosial diadakan agar mereka tidak jatuh lebih dalam ketika terdapat guncangan seperti anggota keluarga sakit hingga kematian shock keluarga (misalnya kepada keadaan yang rentan kelaparan. Pemerintah menjadi pelaku utama dalam bentuk-bentuknya berupa bantuan langsung tunai, atau pemberian beras miskin; atau organisasi sosial keagamaan dalam bentuk zakat, sodakoh, atau santunan lainnya. 

Ketiga, pemerintah atau bisnis membuat perbaikan produktifitas pertanian, baik melalui pengenalan spesies bibit baru,  teknologi dalam budidaya pertanian hingga pengolahan paska panen, dan lainnya. Investasi-investasi baru perusahaan dalam pertanian, termasuk melalui hubungan kemitraan, atau menyalurkan modal yang tidak bisa diinvestasikan dengan cara biasa menjadi donasi “tanggungjawab sosial”, dan lainnya.  Semua itu  mengandalkan para pemilik tanah yang punya tanah dan modal alam yang cukup, yang memungkinkan kekuatan pasar, kebijakan dan program pemerintah, dan kelembagaan pembangunan internasional membuat usaha pertanian rakyat bertanah berhasil meningkatkan produktifitas dan pada gilirannya menjadi bisnis yang menguntungkan. 

Keempat, mereka  memutuskan keluar dari kerja pertanian dan keluar dari desa, migrasi ke kota-kota (exit from agriculture and rural areas) mengisi kelas miskin kota, bekerja apa saja ketika gagal masuk ke dunia kerja dengan kontrak kerja yang formal). Membuat anak-anak dan pemuda-pemudi punya aspirasi keluar dari pertanian dan dari desa juga dilakukan melalui sekolah-sekolah. Di Sekolah inilah dilakukan pemutusan jalur sosialisasi dan magang kerja pertanian (agricultural deskilling).   Banyak sekali daya dukung dari jaringan keluarga hingga ikatan kekeluargaan sesama kampung halaman yang sangat membantu dalam kerja melanjutkan hidup di kota kecil hingga kota besar. orang-orang yang tetap mempertahankan sebagian anggota keluarganya di pedesaan, sehingga mereka ketika saat lebaran ada gelombang mudik yang luar biasa.   

Dan, kelima, petani tidak bertanah atau yang bertanah kurang dari kota-kota maupun desa-desa kembali menjadi petani (repeasantisation) baik melalui aksi-aksi pendudukan dan penggarapan tanah pemilik tanah luas, program redistribusi tanah pemerintah, hingga bentuk pembukaan wilayah baru atau akses baru untuk tanah pertanian, termasuk yang berasal dari kawasan hutan. 

Kelima jalur ini berjalan sendiri-sendiri, atau bersama, serentak atau terpencar-pencar, saling berkontes atau mengisi satu sama lain, berlangsung dimana-mana di seantero negara-negara miskin dan sedang berkembang, termasuk Indonesia.  Semua pihak yang benar-benar bekerja mengabdi pada -- dan bukan sekedar bekerja atas nama -- pemberantasan kemiskinan pedesaan sepatutnya menyadari kemanjuran dari usahanya, dan keterbatasan dari kemanjuran usahanya itu.

Saya sependapat dengan Jan Douwe van der Ploeg dalam karyanya The Art of Farming (2013), dan sebelumnya New Peasantries yang menegaskan pentingnya kita meruju ke karya-karya klasik dari Alexander Chayanov, terutama The Theory of Peasant Economy (1966/1925, sebagaimana diedit oleh Daniel Thorner et al.), yang pada konteks Indonesia telah didahului anjuran itu oleh di antaranya Prof. Boeke, Ir. Kaslan Tohir, Prof. Sajogyo, dan Ir. Gunawan Wiradi, M Soc Sc.   Chayanov telah mengembangkan pendekatan, teori dan metodologi untuk analisa mengenai karakteristik ekonomi petani, yang akan tetap relevan dimanapun dan kapanpun kita berhadapan dengan bentuk-bentuk produksi keluarga petani  

            Chayanov benar-benar berhasil menunjukkan bahwa usaha pertanian rakyat (peasant farm) hadir dan berlanjut hidup dalam suatu ekonomi yang didominasi oleh hubungan-hubungan sosial kapitalistik; keberlanjutan hidupnya bergantung pada andilnya sebagai suatu bentuk produksi barang dagangan yang khusus dalam sistem perekonomi kapitalis. Namun, pada saat ini sedang fokus pada  bagaimana macam-macam posisi petani dan pertanian rakyat dalam hubungan organiknya dengan perekonomian kapitalisme yang global itu. Dalam dominant-subordinate relations itulah perlu diselidiki secara khusus bagaimana petani dan cara produksi pertanian rakyat dapat berlanjut hidup, bahkan terpelihara secara struktural.

Pertanian rakyat sendiri tentu bukanlah unit produksi kapitalis. Dalam unit kerja pertanian rakyat, para petani yang bekerja bukanlah tenaga kerja upahan. Pertanian rakyat bekerja dalam cara yang benar-benar berbeda dengan cara bagaimana perusahaan kapitalis dikelola, yang berdasar hubungan kerja sosial modal-tenaga kerja. Perhatikanlah, misalnya sebagai petty commodity producer, jual beli barang nya secara umum berada dalam kisaran harga yang jauh lebih murah dibanding harga yang barang yang diproduksi dan diedarkan perusahaan kapitalis yang badan-badan usahanya mempergunakan modal dari hutang bank. Resiko harga jual murah ini ditanggung secara keseluruhan.  Struktur internal yang khusus dari pertanian rakyat inilah yang bisa membuat mereka bekerja ketika perusahaan kapitalis tidak bisa. Baik dengan menjual dengan harga murah itu, memperpanjang jam kerja anggota keluarga, mengambil bahan mentah secara gratis dari layanan alam, dan sebagainnya. Dalam kalimat Chayanov (1966: 89), “The peasant farm continues to produce where capitalist farms stop,” dan  mereka memiliki keunggulan bisa terus hidup dalam posisi berkompetisi-tapi- tersubordinasi. 

Hidup menjadi bagian yang penting sistem kapitalisme bukanlah sesuatu yang menyenangkan bagi petani. Sebagian petani berjuang untuk melanjutkan hidup pertanian rakyat dalam menghadapi ancaman nyata dari cara produksi kapitalis yang meluaskan diri dengan cara melenyapkan cara produksi pra-kapitalis dalam logika creative destructionsebagaimana dijelaskan oleh David Harvey dalam artikelnya “Neoliberalism and Creative Destruction” (2003). Sebagian petani yang lain mengikuti jalur mengubah pertanian rakyatnya menjadi pertanian komersial, seperti yang dipromosikan besar-besara oleh  pemerintah, yang memiliki kekhususan wewenang baik sebagai pembuat peraturan, pengambil dan penentu alokasi anggaran negara, dan kekuatan birokrasinya, hingga perusahaan-perusahaan negara. 

            Siapakah sekarang yang membaca buku Chayanov, dan menggunakan pendekatan Chayanovian untuk memahami keberlanjutan hidup dari sistem agraria dari pertanian rakyat (peasant farm)? Buku Francis Wahono dan Theresia Puspitasari “Desa Pancasila Petani Merdeka” ini penerus pemikiran Chayanov, setelah dipromosikan di Indonesia oleh diantaranya oleh Julius Herman Boeke, Gerard Juliaan Vink,  Kaslan Tohir, Gunawan Wiradi, dan Amri Marzali. Buku ini memuat kembali naskah-naskah yang sebelumnya terbit dalam berbagai jurnal maupun dan bahan ceramah  di sana-sini, pengantarnya telah sangat baik membantu pembaca mendapatkan manifesto perjuangan petani dan pertanian rakyat sekarang ini: Merdesa lah Petani dan Pertanian Rakyat di seantero nusantara. Butir-butir dalam manifestonya itu musti jadi pegangan para pemikir, pemimpin dan penggerak rakyat yang bekerja langsung secara konkrit untuk kemudian menemukan cara-cara baru yang mumpuni mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan itu. Juga untuk mereka mereka yang rajin berkampanye tentang hak-hak petani, kedaulatan pangan, dan reforma agrarian, serta para pelajar dan dosen di perguruan tinggi.  Saya sampaikan selamat dan terima kasih pada kedua penulis dan penerbit, selamat menghasilkan karya yang penting ini.  

 

Desa Mandala Mekar, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.

20 Oktober 2018

 

 



*) Peneliti, Pelajar dan Guru Politik Agraria, Pembangunan Pedesaan dan Gerakan Sosial

Demi Kepastian dan Keadilan Tenurial

Noer Fauzi Rachman (2018) "Demi Kepastian dan Keadilan Tenurial", Kompas pada 30 Agustus 2018.


Sejak 2015, awal masa kepemimpinan Jokowi-JK hingga sekarang ini, tidak sedikit para pejabat pemerintah, para ahli, dan pegiat masyarakat sipil tengah mengusahakan pemenuhan kebutuhan lokal dari perorangan dan kelompok penduduk untuk memperoleh legalitas status kepemilikan dan keamanan akses atas tanah mereka yang mereka manfaatkan. Akibat ketiadaan legalitas, status kepemilikan dan akses legal, ditambah akumulasi persoalan masa lalu, tatapemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatannya yang telah berjalan selama ini, telah menghadirkan ketidakadilan sosial, menyebabkan terjadinya konflik, maupun tidak terlindunginya masyarakat adat dan lokal, selain juga menurunnya fungsi-fungsi lingkungan hidup. Padahal pemenuhan kebutuhan perorangan dan kelompok penduduk terhadap status pemilikan dan akses legal sangat penting untuk keberlanjutan ruang hidup khususnya tempat tinggal, layanan alam, hingga untuk budi daya pertanian, perladangan, peternakan, dan perikanan untuk produksi makanan, maupun perdagangan hasil bumi mendapatkan uang. Kebutuhan ini semakin lama semakin membesar, menguat, dan tampil dalam bentuk tuntutan-tuntutan dan agenda partisipasi langsung mereka dalam proses-proses kebijakan maupun dalam pelaksanaan program-program nasional. Contohnya, Perhutanan Sosial dengan target 12,7 juta hektar, Legalisasi dan Redistribusi Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dengan target 9 juta hektar, dan lain-lainnya. 

Artikel ini dimaksudkan untuk menunjukkan perjalanan dan hasil-hasil dari usaha-usaha mewujudkan “kepastian dan keadilan tenurial” yang dikerjakan oleh organisasi masyarakat sipil Indonesia bekerjasama dengan pejabat kementerian/lembaga pemerintah yang responsif. Pengalaman  Indonesia ini akan menjadi  fokus yang diperhatikan dan dipelajari secara internasional, dalam Global Land Forum, suatu acara tertinggi dari International Land Coalition (ILC) di Gedung Asia-Afrika, Bandung, yang akan diselenggarakan pada 24 - 26 September 2018.   

             

Situasi Nasional

Tujuh tahun lalu, Konferensi Tenurial 2011 di Lombok, telah melahirkan naskah “Menuju Kepastian dan Keadilan Tenurial”, yang memandu reformasi kebijakan dan praktek kelembagaan dari pemerintah menata kawasan hutan, perluasan wilayah kelola rakyat, dan penyelesaikan konflik-konflik agraria hingga sekarang ini. Sebagai lanjutannya, pada 2017 Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Tenurial, Kantor Staf Presiden (KSP), dan Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan menyelenggarakan Konferensi Tenurial 2017, yang merupakan forum bersama untuk melihat kembali dan menilai hasil dan proses “mewujudkan hak-hak rakyat” melalui kerja-kerja reformasi penguasaan tanah dan pengelolaan hutan di Indonesia. 

Konferensi Tenurial 2017 itu telah memberikan gambaran yang padat dan ringkas mengenai situasi yang kita dihadapi sekarang ini. Gambaran tersebut antara lain, tanah dan sumber daya alam lainnya di satu sisi jumlahnya terbatas, di sisi lain sangat terkait dengan ruang hidup dan hak asasi manusia bagi seluruh masyarakat yang jumlahnya terus meningkat. Selain itu, masih terdapat gap antara kebijakan berupa arahan dan komitmen di tingkat nasional dengan pelaksanaan kebijakan itu di tingkat praksis, antara lain berupa lambatnya respon pelaksanaan kebijakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah itu sendiri, respon swasta maupun pengelola hutan/lahan di lapangan yang masih terbatas. Penyelesaian gap itu memerlukan komitmen politik dan kompetensi profesional seluruh perangkat kementerian dan lembaga pemerintah hingga mewujud berupa langkah-langkah yang kongkrit di lapangan dan manjur karena memperhatikan kondisi-kondisi yang sangat kontekstual-spesifik yang memerlukan informasi akurat dan detail. 

Upaya percepatan penyelesaian masalah tenurial, tidak terlepas dari upaya perbaikan sistem perizinan pemanfaatan sumber daya alam maupun penetapan alokasi ruang, pencegahan dan pengendalian korupsi, jaringan kekuasaan yang menghambat perbaikan, peningkatkan partisipasi maupun keterbukaan informasi bagi publik serta kelembagaan penyelesaian konflik yang menyeluruh. Lat but not least, yang diperlukan adalah perubahan konfigurasi hubungan-hubungan sosial melalui perkembangan teknologi media sosial maupun teknologi informasi, perlu didayagunakan untuk mewujudkan tata pengelolaan tanah/hutan dan sumber daya alam lainnya secara baik.

 

Kerangka Reformasi Tenurial

Yang terpenting untuk menjadi perhatian dan pedoman bersama dalam mengusahakan kepastian dan keadilan tenurial adalah pelaksanaan penyelesaian masalah tenurial harus dilandasi etika dan empati terhadap subyek utama, yaitu masyarakat yang selama ini menghadapi persoalan yang bersifat struktural dan kronis.

Konferensi Tenurial 2017 itu merekomendasikan reformasi kebijakan dan peraturan perundangan, khususnya pmencegah dan menyelesaikan terjadinya konflik tenurial secara komprehensif di semua sektor dan daerah. Mengingat tingginya urgensi dan besarnya tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaannya, Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial itu perlu diposisikan setara dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang memungkinkan dilakukan pengecualian (diskresiuntuk percepatan pelaksanaannya

Adapun komponen kebijakan dan/atau regulasi yang terkait adalah membuka jalan lebih luas (selain Perda) bagi penetapan hutan adat/MHA serta wilayah adat yang berada di luar kawasan hutan, menetapkan perhatian pada aspek HAM dan prinsip keadilan gender bagi pelaksanaan kebijakan RAPS dan usaha yang berbasis tanah/hutan, mendorong sektor/Pemda dan swasta untuk mewujudkan pengembangan ekonomi masyarakat, mendorong Pemda merespon secara aktif dalam penyelesaian beragam konflik agraria yang akut. Selain itu, mendorong peluang dibangunnya tata kelola inovatif pelaksanaan RAPS dengan pendekatan-pendekatan baru dalam pengelolaan kawasan konservasi, lindung, produksi, dan dikembangkan dalam multi sektoral lainnya (non-kehutanan) mencakup perkebunan, pesisir, kelautan, pulau-pulau kecil dan wilayah agraria perkotaan. Penting pula disuburkan inkubasi dan inovasi kelembagaan untukpenguatan dan percepatan RAPS serta untuk penyelesaian konflik penguasaan dan pemanfaatan hutan/lahan. Bentuk kelembagaan saat ini sebagai proses awal untuk menentukan pedoman-pedoman pelaksanaan RAPS, perlu penguatan kelembagaan yang mempunyai posisi kuat dalam mengatasi besarnya tantangan yang dihadapi. 

Sedang dinantikan tanggapan pemerintah pusat atas kritik dari sejumlah organisasi masyarakat sipil terhadap Perpres nomor 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan yang meminta agar solusi resettlement berupa pemindahan masyarakat adat dan komunitas lokal dari Kawasan Hutan Konservasi agar ditinjau kembali, sebab selain memakan biaya yang sangat besar, bila hal ini dijalankan secara paksa akan menimbulkan perlawanan atas penggusuran berupa protes sosial dan konflik yang berkepanjangan. 

Rekomendasi Konferensi Tenure 2017 masih tetap relevan, yakni pembuatan dan penetapan pedoman-pedoman yang dilakukan oleh Tim Percepatan dan Tim Pelaksana Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PTKH),yang dikordinasi oleh Menko Perekonomian, agar memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat, sejalan dengan kondisi di lapangan, serta terus menerus melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan dan kelembagaan ini berdasarkan kemanjuran dari langkah-langkah pelaksanaannya memecahkan masalah tenurial yang structural dan kronis. Pemerintahsegera melakukan penyesuaian prosedur jika pelaksanaan terhambat atau tidak dapat efektif dijalankan.*)


_____

Noer Fauzi Rachman adalah Ketua Panitia Pengarah Konferensi Tenurial 2017, dan akan menjadi salah satu pembicara kunci dalam Global Land Forum 2018 yang akan diselenggarakan di Bandung. 
Buku Kesimpulan dan Rekomendasi Konferensi Tenurial 2017 dapat diunduh secara keseluruhan dan bebas: https://drive.google.com/file/d/1vAQnTSFxRnL-VkkLyUku-Y1hDgSaMqvU/view?usp=share_link 

KONFERENSI TENURIAL 2017. Jakarta, 25-27 Oktober 2017. “Mewujudkan Hak-hak Rakyat: Reformasi Penguasaan Tanah dan Pengelolaan Hutan di Indonesia"



Buku Kesimpulan dan Rekomendasi Konferensi Tenurial 2017 dapat diunduh secara keseluruhan dan bebas: https://drive.google.com/file/d/1vAQnTSFxRnL-VkkLyUku-Y1hDgSaMqvU/view?usp=share_link 


Kata Pengantar

Semenjak awal masa kepemimpinan Jokowi-JK  akhir tahun 2014 hingga sekarang ini, tidak sedikit para pejabat pemerintah, akademisi, pegiat masyarakat sipil, dan tokoh masyarakat akar rumput tengah mengusahakan pemenuhan kebutuhan lokal dari perorangan dan kelompok penduduk untuk memperoleh status kepemilikan yang legal dan keamanan akses atas tanah mereka. Mereka mememerlukan tanah-tanah itu untuk ruang hidup khususnya tempat tinggal, memelihara keberlanjutan layanan alam, hingga budi daya pertanian, perladangan, peternakan, dan perikanan untuk produksi makanan, maupun untuk perdagangan hasil bumi menapatkan uang. 

Kebutuhan ini semakin lama semakin membesar, menguat, dan tampil dalam bentuk tuntutan-tuntutan dan agenda partisipasi langsung mereka dalam proses-proses kebijakan maupun dalam pelaksanaan program-program nasional, seperti Perhutanan Sosial dengan targetnya adalah 12,7 juta hektar, Legalisasi dan Redistribusi Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dengan target 9 juta hektar, dan lain-lainnya. Partisipasi langsung sebagai pihak yang akan mendapatkan manfaat (benefeciaries) itu merupakan syarat sekaligus penentu keberhasilan.

Sesungguhnya, perjalanan dan hasil-hasil dari usaha-usaha mewujudkan “kepastian dan keadilan tenurial” (tenurial security and justice) yang dikerjakan oleh organisasi masyarakat sipil Indonesia bekerjasama dengan sektor yang responsif dari pemerintah telah dimulai tujuh tahun lalu oleh Konferensi Tenurial 2011 di Lombok. Konferensi itu  telah melahirkan naskah “Menuju Kepastian dan Keadilan Tenurial”, yang telah memandu reformasi kebijakan dan praktek kelembagaan dari pemerintah menata kawasan hutan, perluasan wilayah kelola rakyat, dan penyelesaikan konflik-konflik agraria, hingga sekarang ini. 

Enam tahun berikutnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Tenurial bersama Kantor Staf Presiden (KSP), dan Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK) menyelenggarakan Konferensi Tenurial 2017. Ini adalah forum bersama yang untuk pertama-tama mempelajari dan menilai proses dan hasil kerja-kerja reformasi penguasaan tanah dan pengelolaan hutan dalam mewujudkan hak-hak rakyat, memahami status permasalahan, dan menyusun kerangka kerja dan peta jalan untuk kerja-kerja berikutnya.

Konferensi ini menyadari penuh  bahwa, pertama, tanah dan sumber daya alam lainnya di satu sisi jumlahnya terbatas, di sisi lain sangat terkait dengan ruang hidup dan hak asasi manusia bagi seluruh masyarakat yang jumlahnya terus meningkat. Namun demikian, dengan akumulasi persoalan masa lalu, tata pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatannya yang telah berjalan selama ini terlanjur menghadirkan ketidakadilan sosial, menyebabkan terjadinya konflik maupun tidak terlindunginya masyarakat adat dan lokal, selain juga menurunkan fungsi-fungsi lingkungan hidup.

Keduamasalah tenurial tersebut telah menjadi perhatian pemerintah, masyarakat sipil, serta dunia usaha untuk diselesaikan, baik yang tercermin dalam pernyataan sebagai komitmen dalam Konferensi Tenurial 2017 itu, maupun kebijakan baru yang sudah ada dan yang sedang dijalankan. Pelaksanaan kebijakan ini diharapkan dapat mengoreksi sistem penguasaan tanah/hutan tersebut, baik berupa kebijakan maupun inovasi kelembagaannya, termasuk mengondisikan, terutama bagi pelaku dunia usaha dan birokrasi pemerintahan sendiri, agar secara aktif menjalankan pelaksanaan koreksi tersebut;

Ketigamasih terdapat gap antara kebijakan di tingkat nasional dengan pelaksanaan kebijakan itu di tingkat praksis; antara lain berupa lambatnya respon pelaksanaan kebijakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah itu sendiri, respon swasta maupun pengelola hutan/lahan di lapangan yang masih terbatas. Sementara itu, adanya contoh-contoh praktek yang baik, yang digali dalam Konferensi ini, menjadi bukti bahwa masalah-masalah tenurial yang ada dapat diselesaikan. Penyelesaian itu memerlukan komitmen politik seluruh Kementerian dan Lembaga serta langkah-langkah kongkrit di lapangan dengan memperhatikan kondisi-kondisi yang sangat spesifik dan memerlukan informasi akurat dan detail. 

Keempatruang lingkup pelaksanaan Perhutanan Sosial, penetapan Hutan Adat, maupun pelaksanaan Redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) tidak dapat dilaksanakan secara parsial, sebaliknya perlu dikaitkan dengan upaya memperbaiki ketimpangan struktur agraria yang diikuti dengan pemberdayaan masyarakat lebih luas di berbagai fungsi kawasan serta di luar kawasan hutan, dari Papua sampai Aceh, baik di wilayah daratan maupun perairan serta pulau-pulau kecil. Ada masalah hak dan akses masyarakat terhadap infrastruktur maupun sumber-sumber ekonomi, pendidikan maupun informasi dan pengetahuan, sehingga menjadi hambatan untuk mewujudkan kemandiriannya. Pelaksanaan penyelesaian masalah tenurial, untuk itu, perlu dilandasi etika dan empati terhadap subyek utama yaitu masyarakat yang selama ini menghadapi persoalan yang bersifat struktural itu.

Kelimaupaya percepatan penyelesaian masalah tenurial, tidak terlepas dari upaya perbaikan sistem perizinan pemanfaatan sumber daya alam maupun penetapan alokasi ruang, pencegahan dan pengendalian korupsi, jaringan kekuasaan yang menghambat perbaikan, peningkatkan partisipasi maupun keterbukaan informasi bagi publik serta kelembagaan penyelesaian konflik yang menyeluruh. Perubahan konfigurasi hubungan-hubungan sosial melalui perkembangan teknologi media sosial maupun teknologi informasi, perlu didayagunakan untuk mewujudkan tata pengelolaan tanah/hutan dan sumberdaya alam lainnya secara baik (good land/forest and natural resources governance).

Konferensi Tenurial 2017 mengusulkan kerangka kerja yang dimulai dengan perbaikan dalam kebijakan dan peraturan perundangan, khususnya merumuskan kebijakan nasional untuk mencegah dan menyelesaikan terjadinya konflik tenurial secara komprehensif di semua sektor dan daerah. Sayangnya, Perpres nomor 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, tidak mempertimbangkan kebijakan pencegahan dan penyelesaian konflik tenurial itu. Sejumlah Organsiasi Masyarakat Sipil meminta agar solusi resettlement berupa pemindahan masyarakat adat dan komunitas lokal dari Kawasan Hutan Konservasi agar ditinjau kembali, sebab selain memakan biaya yang sangat besar, bila hal ini dijalankan secara paksa akan menimbulkan protes sosial dan konflik yang berkepanjangan. Dalam waktu segera pemerintah perlu membuka proses penetapan pedoman-pedoman yang dilakukan oleh Tim Percepatan dan Tim Pelaksana Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PTKH), yang tentunya merupakan turunan dari Perpres nomor 88/2017, agar sejalan dengan kondisi di lapangan, serta melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan dan kelembagaan ini, guna dapat melakukan penyesuaian kelembagaan jika dianggap tidak dapat efektif dijalankan.

Mengingat tingginya urgensi dan besarnya tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaannya, Konferensi Tenure 2017 merekomendasikan agar Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) perlu diposisikan setara dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang memungkinkan dilakukan pengecualian (diskresiuntuk percepatan dan pengendalian pelaksanaannya

Adapun komponen kebijakan dan/atau regulasi yang perlu adalah:

  • membuka jalan lebih luas (selain Perda) bagi penetapan hutan adat/MHA serta wilayah adat yang berada di luar kawasan hutan,
  • menetapkan perhatian pada aspek Hak Asasi Manusia (HAM) dan prinsip keadilan gender bagi pelaksanaan kebijakan RAPS dan usaha yang berbasis tanah/hutan, mendorong sektor/Pemda dan swasta untuk mewujudkan pengembangan ekonomi masyarakat
  • mendorong Pemda merespon secara aktif dalam penyelesaian beragam konflik agraria, perlaksanaan reforma agraria maupun perhutanan sosial,
  • menetapkan pedoman baku bagi aparat keamanan dan penegakan hukum dalam penanganan konflik tenurial secara khusus dan adil, dan 
  • mendorong peluang dibangunnya tata kelola inovatif pelaksanaan RAPS dengan pendekatan-pendekatan baru dalam pengelolaan kawasan konservasi, lindung,  produksi, dan dikembangkan dalam multi sektoral lainnya (non-kehutanan) mencakup perkebunan, pesisir, kelautan, pulau-pulau kecil dan wilayah agraria perkotaan,
  • inkubasi dan inovasi kelembagaan untuk penguatan dan percepatan RAPS serta penyelesaian konflik hutan/lahan. Bentuk kelembagaan saat ini sebagai proses awal untuk menentukan pedoman-pedoman pelaksanaan RAPS, perlu penguatan kelembagaan yang mempunyai posisi kuat dalam mengatasi besarnya tantangan yang dihadapi. 

Selanjutnya, Konferensi Tenurial 2017 ini mengusulkan perbaikan dalam pelaksanaan operasional berbasiskan inovasi kelembagaan terutama yang terkait dengan pengembangan norma dan kepemimpinan yang dapat mengusung pembaruan pendekatan-pendekatan dalam pengelolaan semua fungsi kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan (di berbagai lembaga/organisasi terutama pemerintah, swasta, organisasi masyarakat sipil (CSO)dan masyarakat)

Agar berhasil, yang diperlukan adalah:

  • pelaksanaan tahapan-tahapan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) dilakukan secara bottom up(seperti yang dikembangkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria dengan usulan Lokasi Prioritas Reforma Agraria) sehingga menjadi tepat sasaran
  • penguatan kapasitas organisasi masyarakat sipil dan Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) dalam melakukan pendampingan untuk menentukan subyek dan obyek RAPS di lapangan secara tepatpengembangan kerjasama dengan swasta (pemegang izin) dan perbankkan untuk peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengembangan ekonomi, 
  • pengembangan organisasi pembelajar (learning organization) dalam pengelolaan hutan konservasi, lindung dan produksi dan perlu dikembangkan untuk pengelolaan sumberdaya alam lainnya, dan  
  • penguatan dukungan penguatan SDM dan pembiayaan.

Keberhasilan Konferensi Tenurial 2017 menghasilkan rumusan kerangka kerja reformasi dan peta jalan dimungkinkan karena kualitas partisipasi dari para peserta konferensi, yang sebagian berperan sebagai pembicara kunci, narasumber, moderator, dan discussants, dan kerja panitia pengarah dan pelaksana konferensi, serta Tim Perumus Hasil Konferensi. Kami menghaturkan terima kasih atas andil dan jasa baik pemikiran, tenaga maupun material. Terima kasih pula pada para donatur yang memungkinkan biaya-biaya pelaksanaannya terpenuhi. Secara khusus, kami berterima kasih pada Bapak Drs. Teten Masduki, Kepala Staf Kepresidenan, dan Ibu DR. Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas perkenan, arahan dan andil mengerahkan sumber daya organisasinya untuk Konferensi ini.                           

                                                                                                Jakarta, 21 Agustus 2018

Noer Fauzi Rachman, PhD. (Ketua Panitia Pengarah Konferensi Tenurial 2017)  


 ______

Buku Kesimpulan dan Rekomendasi Konferensi Tenurial 2017 dapat diunduh secara keseluruhan dan bebas: 

https://drive.google.com/file/d/1vAQnTSFxRnL-VkkLyUku-Y1hDgSaMqvU/view?usp=share_link 




Pengantar Noer Fauzi Rachman untuk buku Toto Raharjo (2018) Sekolah Biasa Saja (Yogyakarta: Insist Press).
 

...

            Sekolah-sekolah telah menjadi pembentuk komodifikasi sumber daya manusia. Manusia dinilai sebagai sumber daya yang diperdagangkan. Apa yang sedang terjadi dan mau kemana semua ini? 

Semakin tinggi tingkat sekolah orang-orang desa, semakin kuat pula aspirasi, motif dan dorongan mereka untuk meninggalkan kampung halamannya untuk mendapatkan harga tenaga kerja yang lebih tinggi dan sesuaiSekolahnya mengajarkan ilmu-ilmu pergi. Desa ditinggalkan pemuda-pemudi yang pandai, untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.  Semua itu akibat aspirasi, motif dan dorongan untuk punya suatu cara dan gaya hidup modern, yang dianggap sebagai keniscayaan yang harus ditempuh. Pemuda-pemudi sekarang ini telah dan sedang menganut ideologi bahwa tenaga kerja manusia adalah komoditi, barang yang diperdagangkan. Bagi mereka yang tinggal di desa, kota menjadi daya tarik, magnet yang luar biasa. Badan mereka di desa, tapi imajinasinya  hidup di kota-kota. Lulusan sekolah menjadi tenaga kerja urban. Mereka berpikir, dan bertindak berbeda dengan orang tua mereka. Di jaman sekarang terbuka lebar akses pada ruangvirtual melalui teknologi informatika dan pasar barang komputer dan cell phone. Komunikasi internet, budaya tontonan dan e-commerce semakin mengisi waktu para pemuda-pemudi, mulai bangun tidur hingga tidur lagi.  

Pada gilirannya, mereka inilah yang semakin memenuhi kota-kota kabupaten, provinsi dan metropolitan. Migrasi ke kota-kota dan pertumbuhan kota semakin dipadati oleh orang-orang dari desa. Mereka dari desa yang terdidik dan berhasil menjadi kelas menengah di kota-kota tidak kembali ke desa. Mereka menjadi bagian dari penduduk konsumtif, dengan membeli tanah dan/atau rumah untuk tinggal di pinggiran kota, serta motor dan mobil baru untuk transportasi, yang pada gilirannya membuat infrastuktur jalan di kota-kota provinsi dan metropolitan tidak lagi memadai. Di kota-kota metropolitan, terjadi macet di mana-mana setiap pagi pada jam pergi menuju pusat kota dan jam pulang menuju pinggiran kota. 

Di sebagian wilayah pedesaan, kita menyaksikan tanah, wilayah dan dan sumber daya alam di desa-desa diincar sebagai kapling-kapling perusahaan-perusahaan yang bergerak di usaha perkebunan, kehutanan hingga pertambanganPerusahaan-perusahaan itu membentuk konsesi-konsesi penguasaan tanah, cara-cara produksi, sistem pengaturan tenaga kerja, hingga sirkuit rantai komoditas global mulai dari saat diproduksinya hingga sampai ke konsumen, dengan motif efisiensi mencari keuntungan dan akumulasi kekayaan.Kepemilikan dan tataguna lahan  kampung, ladang, sawah, hutan, sungai, dan pantai telah, sedang dan akan terus diubah oleh perusahaan pengerukan (batu bara, timah, nikel, pasir besi, bauksit, emas, semen, marmer, dsb), pulp and paper, perkebunan (kelapa sawit dll), perumahan, industri manufaktur, kompleks infrastruktur pariwisata, dan lain sebagainya. Desa menjadi reservoir atau tempat persediaan tenaga kerja. 

            Kesempatan kerja di sektor pertanian semakin sempit dari tahun ke tahun. Hal ini berbanding terbalik dengan mereka yang membutuhkan pekerjaan. Minat bekerja pada bidang pertanian juga semakin menipis. Banyak sekali lapisan orang miskin di pedesaan, yang mayoritas tidak bertanah dan tidak bisa menikmati sekolah tinggi, harus mengambil risiko dengan memilih pergi ke luar desa untuk mendapatkan pekerjaan melalui kerja migran di kota-kota provinsi, metropolitan hingga ke luar negeri. Sebagian besar rakyat pekerja migran ini sesungguhnya berhasil memperoleh upah kerja yang lebih baik, mengirimkan pendapatannya ke desa, dan kemudian menjadi daya tarik bagi pemuda-pemudi desa generasi berikutnya untuk mengikuti jejak langkah mereka. Pengalaman pahit hidup kerja sebagai migran, mulai kesulitan pekerjaan atau kondisi kerja yang tidak layak, penipuan, diskriminasi, hingga jadi korban perlakuan kekerasan, umumnya dipersepsi sebagai nasib buruk. Informasi nasib buruk ini tidak mencegah rombongan lain untuk pergi. 

            Adakah sekolah yang tidak mengajarkan ilmu-ilmu pergi yang membuat siswa meninggalkan kampung halaman yang menjadi tanah airnya?  Ya, ada. Sekolah Sanggar Anak Alam (SALAM) contohnya. Kita bisa pelajari prinsip-prinsip metodologis yang berasal dari pengalaman praktek para pengelola Sekolah Sanggar Anak Alam (SALAM), sebagaimana secara sederhana diungkap dalam buku Sekolah Biasa Saja ini.

Yang terpenting adalah hubungan guru-murid. Yang pertama-tama dipegang erat-erat oleh pengelola sekolah SALAM adalah bagaimana membuat hubungan murid dan gurunya diperantarai oleh tema-tema belajar yang berasal dari situasi dari masyarakat dan alam lingkungan sekolah. Sejak mula, murid dibekali dengan motif untuk mengamati dan memeriksa keadaan lingkungan sosial dan fisik sekolah. Selanjutnya, sesuai dengan umurnya, murid diperlengkapi dengan cara-cara kodifikasi yang berujung pada tugas yang diminati oleh mereka sendiri. Sesungguhnya, inilah dasar dari budaya ilmiah itu, yakni pembentukan rasa ingin tahu dan memenuhinya dengan cara-cara memenuhi rasa ingin tahu itu. Jadi dasarnya adalah mengalami sendiri. SALAM memberi kesempatan siswanya aktif membangun rasa terpanggil dan membangun suatu ikatan batin melalui pengalaman-pengalaman baru. Memang mula-mula siswa mengusahakan secara coba-coba, tapi lama-lama ia menyadari kekuatan daya cipta sebagai motor penggerak perubahan. 

Apa yang sudah dilakukan SALAM ini pada gilirannya dapat menjadi dasar untuk mempelajari sejarah geografi lokal. Pembabakan perjalanan kampung bisa dibuat sendiri, dan tidak perlu mengikuti babak-babak nasional. Ini bisa dilakukan dengan menyelidiki peristiwa-peristiwa penting yang mengubah situasi sosial dan alam dari kampung. Hasil wawancara itu bisa dikodifikasi menjadi narasi maupun visualisasi  dengan garis waktu tersendiri. Lokal bukan sekedar merupakan akibat dari kebijakan dan kekuatan yang bergerak di atas lokal hingga nasional, tapi lokal juga memiliki dinamika tersendiri sendiri, yang perlu dihubungkan dengan kekuatan supra lokal itu.   Begitulah, SALAM memberi bekal bagi siswa untuk menjadi pemuda-pemudi yang bersarang di kampung halaman tempat sekolah berada.   

Saya menjadi ingat pada sebagian kata-kata dalam teks lagu kebangsaan Indonesia Raya. Karena “Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku”, maka “di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku” (dari bait pertama dari stanza pertama); Karena “Indonesia tanah yang mulia, tanah kita yang kaya”, maka “di sanalah aku berdiri untuk selama-lamanya” (dari bait pertama dari stanza kedua); dan  karena “Indonesia tanah yang suci, tanah kita yang sakti,” maka “di sanalah aku berdiri, menjaga ibu sejati” (dari bait pertama dari stanza ketiga).  

            Sebagai penutup, saya akan kembali ke pesan utama tulisan ini: sekolah-sekolah kita  perlu didekolonisasi, dan diisi oleh gagasan dan rintisan kembali merawat dan mengurus tanah air, dengan benar-benar menimbang sejarah dan geografi mulai dari masing-masing kampung/desa, lalu kawasan, lalu pulau, hingga mengurus kembali Indonesia sebagai bangsa agraris sekaligus maritim terbesar di dunia.  Ini adalah ekspresi dari suatu kesadaran kritis dan sekaligus semangat mengubah nasib. Para siswa pada gilirannya menjadi pemuda dan pemudi, yang merintis dan membangun arus balik atas gelombang komodifikasi sumber daya manusia, dengan menjadikan tempat kita berasal sebagai tempat berangkat dan sekaligus tempat kita mengabdi.  Selamat membaca.

 

Bandung, 11 Juni 2018

Meninjau Kembali Teorisasi Mengenal Desentralisasi, Community Driven Development, dan Kapitalisasi Agraria

                                                                                         


Noer Fauzi Rachman (2018)    Meninjau Kembali Teorisasi Mengenal Desentralisasi, Community Driven Development, dan Kapitalisasi Agraria”. Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional – STPN 4(1):1-23. 
https://doi.org/10.31292/jb.v4i1

Untuk unduh seluruh isi artikel  ini secara bebas, kunjungi : https://jurnalbhumi.stpn.ac.id/index.php/JB/article/view/213/0  



“My point is not that everything is bad, but that everything is dangerous, which is not exactly the same as bad” (Foucault, 1994:256).

 

 

Pendahuluan

Seperti secara jelas dikemukakan dalam judul di atas, artikel ini hendak meletakkan kebijakan desentralisasi dan proyek-proyek Community Driven Development (untuk selanjutnya disingkat CDD) dalam konteks pembangunan kapitalis.  Yang dituju oleh kebijakan desentralisasi adalah transformasi dari birokrasi pemerintah daerah agar menjadi lebih responsif dan bertanggungjawab. Sementara itu, proyek-proyek CDD ditujukan untuk memfasilitasi komunitas-komunitas pedesaan dan perkotaan ‘mengatur diri sendiri’ dalam menanggulangi kemiskinannya.  Penulis tidak memperlakukan keduanya secara terpisah. Keduanya sama-sama dipromosikan oleh Bank Dunia pada suatu periode yang sama dan berada di bawah suatu haluan yang saling mengikat satu sama lainnya. Badan-badan pemerintahan daerah dan komunitas-komunitas itu, terus ditempa menjadi agen-agen aktif penyokong apa yang dikenal dengan istilah “tata pemerintahan yang baik” (good governance). Selain berusaha untuk mengkritisi haluan itu, tulisan ini juga mengemukakan konsekuensi-konsekuensinya.

Setelah mengemukakan potret mengenai kebijakan desentralisasi dan proyek CDD di Indonesia, penulis mengemukakan cara bagaimana Bank Dunia bisa tiba pada agenda kebijakan desentralisasi dan partisipasi masyarakat. Secara sangat padat disajikan pemikiran-pemikiran Vedi Hadiz, Toby Carroll, Tania Li, dan Frederich Rawski yang dengan perspektif masing-masing mengkritik teorisasi dan praktek Bank Dunia tersebut. 

Dengan meninjau kembali debat teoritik mengenai kebijakan desentralisasi dan proyek CDD itu, penulis bermaksud secara eksplisit menghubungkan keduanya dengan konteks pembangunan kapitalis.  Dalam hal ini penulis mengerjakan kembali alat kerja analitik yang dikembangkan oleh Gillian Hart (2001), khususnya mengenai pembedaan antara Pembangunan (dengan huruf “P” besar), atau Development,  sebagai “suatu proyek intervensi paska-perang dunia kedua terhadap negara-negara ‘dunia ketiga’ yang berkembang dalam konteks dekolonisasi dan perang dingin (cold war), dengan pembangunan (dengan “p”  kecil) yang merupakan pembangunan kapitalis, capitalist development, sebagai suatu rangkai proses sejarah yang dipenuhi dengan beragam kontradiksi dan secara geografis perkembangannya tidak sama antara satu lokasi dengan lokasi lainnya” (Hart 2001:650 yang merujuk di antaranya pada karya Cowen and Stanton 1996; lihat juga Hart 2002, 2004, 2006).[2]

Untuk memahami pembangunan kapitalis yang tidak sama (uneven capitalist development), penulis menunjukkan pentingnya apa yang Karl Marx kemukakan mengenai ‘akumulasi primitif’, yang baru-baru ini memperoleh tempatnya kembali melalui penafsiran baru dari Michael Perelman, Massimo de Angelis dan David Harvey. Pokok tafsiran mereka ini akan disajikan secara ringkas dalam hubungan satu sama lain, dan kemudian disambung dengan bagaiamana Paul Cammack menghubungan proses ‘akumulasi primitive’ ini dengan peran proyek-proyek Bank Dunia. Muara dari kajian ini adalah undangan untuk pemeriksaan bagaimana proyek-proyek itu berhubungan dengan proses-proses akumulasi primitif itu dalam rangka di satu pihak menghasilkan konsep-konsep yang kongkrit, dan hubungan-hubungan di antaranya, yang lebih mampu menjelaskan kenyataan-kenyataan yang baru berkembang. 

Bagi penulis, dengan memahami debat teoritik mengenai kebijakan desentralisasi dan CDD itu dan menempatkan keduanya dalam pembangunan kapitalis yang tidak sama, menjadi jelas terlihat bahwa badan-badan pemerintah daerah dan kelompok-kelompok komunitas sedang ditempa melalui cara sedemikian rupa sehingga mereka menjadi pelaku-pelaku yang diatur dan mengatur dirinya sendiri sebagai neoliberal subject – yang dibutuhkan bagi kelanjutan dari pembangunan kapitalis yang lebih luas. Bagaimana proses ini bisa terlihat adalah satu hal, sedangkan bagaimana proses ini mencapai tujuannya adalah hal lain. Tidak ada jaminan bahwa skenario itu akan dengan sendirinya bisa terlihat dan dapat tercapai. 

Argumen utama penulis, seperti akan ditunjukkan nanti, yang dapat dipastikan adalah tersedianya berbagai ruang pertarungan dan perundingan (spaces of contestation and negotiation) baru dimana berbagai kekuatan sosial – baik yang berasal dari kekuatan dari pihak masyarakat politik, pengusaha kapitalistik, organisasi masyarakat sipil maupun gerakan sosial -- dapat aktif terlibat, atau juga dapat menolak, atau tidak memiliki kapasitas untuk terlibat, membentuk, mengisi ruang-ruang itu, serta untuk selanjutnya secara dialektis dibentuk kembali oleh arah, dinamika dan hasil pertarungan dan perundingan beragam kekuatan-kekuatan tersebut. Ruang-ruang itu senantiasa bergerak dan berubah dari waktu-ke waktu.  

Bagi penulis, merupakan salah satu tugas utama dari ilmuan sosial yang menstudi proyek Pembangunan adalah mengikuti dan menganalisa secara kongkrit pergerakan menyempit dan meluasnya ruang-ruang itu, rute perjalanan berbagai kekuatan sosial dan cara bagaimana berbagai kekuatan itu bekerja dalam ruang-ruang itu dari waktu ke waktu, dan menghubungkan kesemuanya itu dengan pembangunan kapitalis yang secara geografis dan historis berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Penulis akan merasa telah berhasil bila hal itu diterima sebagai undangan untuk menyemarakkan ilmu sosial Indonesia.


Potret Kebijakan Desentralisasi dan CDD di Indonesia

Saya menempatkan kebijakan desentralisasi, dan juga proyek-proyek CDD, bukanlah khas Indonesia, melainkan suatu bentuk kontemporer dari Pembangunan saat ini. Kebijakan desentralisasi di Indonesia yang mulai diberlakukan pada tahun 2001 merupakan kasus yang diamati secara khusus, karena kemanjurannya dengan cepat mengubah Indonesia dari negara unitaris dengan sistem paling sentralis menjadi negara dengan sistem paling desentralistis di dunia. Demikian klaim dua ahli dari Bank Dunia, Hofman dan Kaisser, yang menyebutnya sebagai Big Bang Desentralisation karena karakteristik-karakteristik berikut:

a.    Perundang-undangan baru tentang desentralisasi menyediakan otonomi luas untuk seluruh gugus tugas kecuali beberapa gugus tugas yang secara tegas ditetapkan oleh pusat – termasuk pertahanan, pengadilan, kepolisian dan perencanaan pembangunan. 
b.    Pada tahun 2002 andil pengeluaran pemerintah daerah meningkat 40 persen, meningkat  tajam dibanding rata-rata 15 persen di tahun 90an
c.    Selain pengeluaran, banyak apparatus pemerintah berada dibawah kendali daerah-daerah. Lebih dari 2,1 pegawai negeri sipil atau hampir 2/3 tenaga kerja pemerintahan pusat dialihkan pada wilayah-wilayah. Kini, sekitar 2,8 juta dari 3,9 juta pegawai negeri sipil dikategorikan sebagai pegawai negeri sipil wilayah. Dan, 
d.     239 kantor-kantor perwakilan pemerintah pusat tingkat provinsi, 3,933 kantor-kantor tingkat lokal, lebih dari 16.000 fasilitas pelayanan seperti sekolah, rumah sakit, pusat pelayanan kesehatan, sepenuhnya dialihkan pada pemerintahan daerah di seluruh Indonesia (Hofman dan Kaiser 2002:1).

Naskah ini tidak akan menelusuri asal usul kebijakan desentralisasi itu atau menelusuri perubahan kebijakan-kebijakan yang  terus menerus terjadi, ataupun mengevaluasi keberhasilan atau kegagalan implementasinya. Akan tetapi saya akan menyajikan dengan padat beberapa perdebatan akademis seputar arah dan konsekuensi dari desentralisasi tersebut dikaitkan dengan CDD, yang juga sejak awal diprogramkan oleh Bank Dunia, dan saya menempatkan kedua jenis proyek Pembangunan itu dalam konteks pembangunan kapitalis yang formasi sosial dan sejarahnya berbeda-beda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya.  

CDD adalah fenomena Big Bang lainnya yang melanjutkan berbagai bentuk Social Fund, yang dimulai dalam bentuk kucuran dana-dana Jaring Pengaman Sosial (JPS), social safety net, untuk menanggulangi ketidakmampuan daya beli masyarakat miskin akibat krisis ekonomi 1997 dan mencegahnya berpartisipasi dalam kerusuhan (Bank Dunia 2001). Para antropolog dalam Bank Dunia di Indonesia kemudian mengembangkan social fund ini sedemikian rupa sehingga menjadi apa yang dikenal dalam kosa kata Bank Dunia sekarang ini dengan nama Community Driven Development (CDD). Dua proyek CDD terbesar adalah Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dan  Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Menurut perhitungan staf Bank Dunia, seluruh pinjaman Bank Dunia untuk proyek tersebut “telah melonjak dari 325  juta dolar AS di tahun 1996 menjadi 2 milyar dolar di tahun 2003 – atau jika turut disertakan dengan pinjaman untuk menyiapkan kondisi yang layak bagi keberlangsungan proyek tersebut pinjaman itu mencapai 3 Miliar dollar di tahun 1996 meningkat menjadi 7 Milyar dollar di tahun 2003 (Mansuri and Rao 2004:2). Saat itu proyek-proyek CDD di Indonesia merupakan sebuah pinjaman pembangunan Bank Dunia yang paling besar, paling penting dan paling utama. 

Di Indonesia, proyek CDD yang terbesar adalah Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Cakupan wilayah PPK membengkak, meluas dari sebuah pelaksanaan percontohan kecil di 25 desa pada tahun 1997 dan tahun 2003 menjadi lebih dari 28,000 desa (Guggenheim, Wiranto, Prasta, and Wong 2004). Program ini terutama menyediakan mekanisme jalan baru bagi masyarakat untuk dapat mengakses dana pembangunan secara langsung. Tidak seperti proyek-proyek Bank Dunia sebelumnya yang menempatkan pemerintah Indonesia sebagai pemilik proyek dan rakyat didudukkan sebagai penerima manfaat, dalam CDD kelompok-kelompok masyarakatlah yang memiliki proyek itu. Dengan bantuan fasilitator, satu kelompok masyarakat memprakarsai, merencanakan proyek dan menyampaikannya pada forum antar desa di kecamatan. Pada setiap forum terjadi diskusi tentang alasan pentingnya, pengelolaan,  dan kapasitas menjalankannya. Juga ada penilaian keuangan dan ahli teknik lokal (antara lain seorang insinyur di kabupaten) yang kemudian akan membuat daftar urutan proyek-proyek yang akan didanai. Karena jumlah alokasi uang bagi setiap kecamatan relatif tetap, maka terbentuklah kompetisi antar proposal.  Bagi yang mendapatkan proyek, kelompok itu membuat rekening Bank sendiri dan dapat menarik uang secara langsung dari sebuah Bank. Mereka akan menerima uang proyek kira-kira paling lambat tiga bulan setelah perjanjian kontrak ditandatangani di forum perencanaan pembangunan di tingkat kecamatan. 

Di tahun 2007, pemerintah Indonesia telah meningkatkan skala CDD ini menjadi program nasional bernama Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri), sebagai andalan untuk pengentasan kemiskinan, dengan jangkauan 2.827 kecamatan dengan alokasi anggaran sekitar Rp 3,6 trilyun.  Pada tahun 2008 jumlah kecamatan yang dijangkau akan menjadi 3,999 kecamatan dengan anggaran yang disediakan sekitar 13 trilyun.  Sedangkan pada tahun 2009 diagendakan seluruh kecamatan di Indonesia yang berjumlah sekitar 5,263 kecamatan akan mendapat PNPM Mandiri. Besarnya bantuan langsung jika pada tahun 2007  antara Rp 750 juta s/d Rp 1,5 milyar per kecamatan, maka pada tahun 2008 besarnya bantuan per kecamatan sudah ada yang mencapai Rp 3 milyar (Menko Kesra 2008).  

Proyek-proyek CDD ini diklaim telah berhasil menata ulang kepemerintahan lokal Indonesia.  Pada tahun 2004, berdasarkan implementasi dan hasil-hasil proyek, program-program CDD mampu meningkatkan kualitas kerangka kerja desentralisasi dengan cara:

a.   Lebih mendorong partisipasi warga negara, suara, dan akuntabilitas pemerintahan lokal; 
b.   Menyediakan cara yang efektif untuk menyampaikan pelayanan-pelayanan yang amat dibutuhkan dalam konteks desentralisasi dengan biaya yang lebih efektif dan waktu yang lebih efisien; serta
c.    Secara langsung menginformasikan dan membentuk aturan-aturan desentralisasi (Wong dan Guggenheim 2005:254).

________________

Link untuk unduh seluruh isi artikel  ini secara bebas: https://jurnalbhumi.stpn.ac.id/index.php/JB/article/view/213/0  


[2] Sudah menjadi pegangan dalam pengajaran Studi Pembangunan bahwa Pembangunan adalah suatu proyek internasional merupakan suatu bentuk intervensi yang khusus yang dijalankan secara masif setelah Perang Dunia Kedua di negara-negara yang baru merdeka. Perang Dingin maupun hubungan internasional  setelah itu sangat kuat memberi pegaruh pada bentuk-bentuk dari proyek Pembangunan (Lihat misalnya Craigh and Porter 2006, McMichael 2008).