Meninjau Kembali Teorisasi Mengenal Desentralisasi, Community Driven Development, dan Kapitalisasi Agraria

 


Noer Fauzi Rachman
[1]                            


Dimuat
 sebagai "Meninjau Kembali Teorisasi
 Mengenal Desentralisasi, Community Driven Development, dan Kapitalisasi Agraria”. Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional – STPN 2018  4(1):1-23. https://jurnalbhumi.stpn.ac.id/index.php/JB/article/view/213/0   

 


                                                              “My point is not that everything is bad, but that everything is dangerous, which is not exactly the same as bad”. 

(Foucault, 1994:256)


Pendahuluan

Seperti secara jelas dikemukakan dalam judul di atas, artikel ini hendak meletakkan kebijakan desentralisasi dan proyek-proyek Community Driven Development (untuk selanjutnya disingkat CDD) dalam konteks pembangunan kapitalis.  Yang dituju oleh kebijakan desentralisasi adalah transformasi dari birokrasi pemerintah daerah agar menjadi lebih responsif dan bertanggungjawab. Sementara itu, proyek-proyek CDD ditujukan untuk memfasilitasi komunitas-komunitas pedesaan dan perkotaan ‘mengatur diri sendiri’ dalam menanggulangi kemiskinannya.  Penulis tidak memperlakukan keduanya secara terpisah. Keduanya sama-sama dipromosikan oleh Bank Dunia pada suatu periode yang sama dan berada di bawah suatu haluan yang saling mengikat satu sama lainnya. Badan-badan pemerintahan daerah dan komunitas-komunitas itu, terus ditempa menjadi agen-agen aktif penyokong apa yang dikenal dengan istilah “tata pemerintahan yang baik” (good governance). Selain berusaha untuk mengkritisi haluan itu, tulisan ini juga mengemukakan konsekuensi-konsekuensinya.

Setelah mengemukakan potret mengenai kebijakan desentralisasi dan proyek CDD di Indonesia, penulis mengemukakan cara bagaimana Bank Dunia bisa tiba pada agenda kebijakan desentralisasi dan partisipasi masyarakat. Secara sangat padat disajikan pemikiran-pemikiran Vedi Hadiz, Toby Carroll, Tania Li, dan Frederich Rawski yang dengan perspektif masing-masing mengkritik teorisasi dan praktek Bank Dunia tersebut. 

Dengan meninjau kembali debat teoritik mengenai kebijakan desentralisasi dan proyek CDD itu, penulis bermaksud secara eksplisit menghubungkan keduanya dengan konteks pembangunan kapitalis.  Dalam hal ini penulis mengerjakan kembali alat kerja analitik yang dikembangkan oleh Gillian Hart (2001), khususnya mengenai pembedaan antara Pembangunan (dengan huruf “P” besar), atau Development,  sebagai “suatu proyek intervensi paska-perang dunia kedua terhadap negara-negara ‘dunia ketiga’ yang berkembang dalam konteks dekolonisasi dan perang dingin (cold war), dengan pembangunan (dengan “p”  kecil) yang merupakan pembangunan kapitalis, capitalist development, sebagai suatu rangkai proses sejarah yang dipenuhi dengan beragam kontradiksi dan secara geografis perkembangannya tidak sama antara satu lokasi dengan lokasi lainnya” (Hart 2001:650 yang merujuk di antaranya pada karya Cowen and Stanton 1996; lihat juga Hart 2002, 2004, 2006).[2]

Untuk memahami pembangunan kapitalis yang tidak sama (uneven capitalist development), penulis menunjukkan pentingnya apa yang Karl Marx kemukakan mengenai ‘akumulasi primitif’, yang baru-baru ini memperoleh tempatnya kembali melalui penafsiran baru dari Michael Perelman, Massimo de Angelis dan David Harvey. Pokok tafsiran mereka ini akan disajikan secara ringkas dalam hubungan satu sama lain, dan kemudian disambung dengan bagaiamana Paul Cammack menghubungan proses ‘akumulasi primitive’ ini dengan peran proyek-proyek Bank Dunia. Muara dari kajian ini adalah undangan untuk pemeriksaan bagaimana proyek-proyek itu berhubungan dengan proses-proses akumulasi primitif itu dalam rangka di satu pihak menghasilkan konsep-konsep yang kongkrit, dan hubungan-hubungan di antaranya, yang lebih mampu menjelaskan kenyataan-kenyataan yang baru berkembang. 

Bagi penulis, dengan memahami debat teoritik mengenai kebijakan desentralisasi dan CDD itu dan menempatkan keduanya dalam pembangunan kapitalis yang tidak sama, menjadi jelas terlihat bahwa badan-badan pemerintah daerah dan kelompok-kelompok komunitas sedang ditempa melalui cara sedemikian rupa sehingga mereka menjadi pelaku-pelaku yang diatur dan mengatur dirinya sendiri sebagai neoliberal subject – yang dibutuhkan bagi kelanjutan dari pembangunan kapitalis yang lebih luas. Bagaimana proses ini bisa terlihat adalah satu hal, sedangkan bagaimana proses ini mencapai tujuannya adalah hal lain. Tidak ada jaminan bahwa skenario itu akan dengan sendirinya bisa terlihat dan dapat tercapai. 

Argumen utama penulis, seperti akan ditunjukkan nanti, yang dapat dipastikan adalah tersedianya berbagai ruang pertarungan dan perundingan (spaces of contestation and negotiation) baru dimana berbagai kekuatan sosial – baik yang berasal dari kekuatan dari pihak masyarakat politik, pengusaha kapitalistik, organisasi masyarakat sipil maupun gerakan sosial -- dapat aktif terlibat, atau juga dapat menolak, atau tidak memiliki kapasitas untuk terlibat, membentuk, mengisi ruang-ruang itu, serta untuk selanjutnya secara dialektis dibentuk kembali oleh arah, dinamika dan hasil pertarungan dan perundingan beragam kekuatan-kekuatan tersebut. Ruang-ruang itu senantiasa bergerak dan berubah dari waktu-ke waktu.  

Bagi penulis, merupakan salah satu tugas utama dari ilmuan sosial yang menstudi proyek Pembangunan adalah mengikuti dan menganalisa secara kongkrit pergerakan menyempit dan meluasnya ruang-ruang itu, rute perjalanan berbagai kekuatan sosial dan cara bagaimana berbagai kekuatan itu bekerja dalam ruang-ruang itu dari waktu ke waktu, dan menghubungkan kesemuanya itu dengan pembangunan kapitalis yang secara geografis dan historis berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Penulis akan merasa telah berhasil bila hal itu diterima sebagai undangan untuk menyemarakkan ilmu sosial Indonesia.

Potret Kebijakan Desentralisasi dan CDD di Indonesia

Saya menempatkan kebijakan desentralisasi, dan juga proyek-proyek CDD, bukanlah khas Indonesia, melainkan suatu bentuk kontemporer dari Pembangunan saat ini. Kebijakan desentralisasi di Indonesia yang mulai diberlakukan pada tahun 2001 merupakan kasus yang diamati secara khusus, karena kemanjurannya dengan cepat mengubah Indonesia dari negara unitaris dengan sistem paling sentralis menjadi negara dengan sistem paling desentralistis di dunia. Demikian klaim dua ahli dari Bank Dunia, Hofman dan Kaisser, yang menyebutnya sebagai Big Bang Desentralisation karena karakteristik-karakteristik berikut:

a.     Perundang-undangan baru tentang desentralisasi menyediakan otonomi luas untuk seluruh gugus tugas kecuali beberapa gugus tugas yang secara tegas ditetapkan oleh pusat – termasuk pertahanan, pengadilan, kepolisian dan perencanaan pembangunan. 

b.    Pada tahun 2002 andil pengeluaran pemerintah daerah meningkat 40 persen, meningkat  tajam dibanding rata-rata 15 persen di tahun 90an

c.     Selain pengeluaran, banyak apparatus pemerintah berada dibawah kendali daerah-daerah. Lebih dari 2,1 pegawai negeri sipil atau hampir 2/3 tenaga kerja pemerintahan pusat dialihkan pada wilayah-wilayah. Kini, sekitar 2,8 juta dari 3,9 juta pegawai negeri sipil dikategorikan sebagai pegawai negeri sipil wilayah. Dan, 

d.    239 kantor-kantor perwakilan pemerintah pusat tingkat provinsi, 3,933 kantor-kantor tingkat lokal, lebih dari 16.000 fasilitas pelayanan seperti sekolah, rumah sakit, pusat pelayanan kesehatan, sepenuhnya dialihkan pada pemerintahan daerah di seluruh Indonesia (Hofman dan Kaiser 2002:1).

Naskah ini tidak akan menelusuri asal usul kebijakan desentralisasi itu atau menelusuri perubahan kebijakan-kebijakan yang  terus menerus terjadi, ataupun mengevaluasi keberhasilan atau kegagalan implementasinya. Akan tetapi saya akan menyajikan dengan padat beberapa perdebatan akademis seputar arah dan konsekuensi dari desentralisasi tersebut dikaitkan dengan CDD, yang juga sejak awal diprogramkan oleh Bank Dunia, dan saya menempatkan kedua jenis proyek Pembangunan itu dalam konteks pembangunan kapitalis yang formasi sosial dan sejarahnya berbeda-beda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. 

 

CDD adalah fenomena Big Bang lainnya yang melanjutkan berbagai bentuk Social Fund, yang dimulai dalam bentuk kucuran dana-dana Jaring Pengaman Sosial (JPS), social safety net, untuk menanggulangi ketidakmampuan daya beli masyarakat miskin akibat krisis ekonomi 1997 dan mencegahnya berpartisipasi dalam kerusuhan (Bank Dunia 2001). Para antropolog dalam Bank Dunia di Indonesia kemudian mengembangkan social fund ini sedemikian rupa sehingga menjadi apa yang dikenal dalam kosa kata Bank Dunia sekarang ini dengan nama Community Driven Development (CDD). Dua proyek CDD terbesar adalah Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dan  Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Menurut perhitungan staf Bank Dunia, seluruh pinjaman Bank Dunia untuk proyek tersebut “telah melonjak dari 325  juta dolar AS di tahun 1996 menjadi 2 milyar dolar di tahun 2003 – atau jika turut disertakan dengan pinjaman untuk menyiapkan kondisi yang layak bagi keberlangsungan proyek tersebut pinjaman itu mencapai 3 Miliar dollar di tahun 1996 meningkat menjadi 7 Milyar dollar di tahun 2003 (Mansuri and Rao 2004:2). Saat itu proyek-proyek CDD di Indonesia merupakan sebuah pinjaman pembangunan Bank Dunia yang paling besar, paling penting dan paling utama. 

Di Indonesia, proyek CDD yang terbesar adalah Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Cakupan wilayah PPK membengkak, meluas dari sebuah pelaksanaan percontohan kecil di 25 desa pada tahun 1997 dan tahun 2003 menjadi lebih dari 28,000 desa (Guggenheim, Wiranto, Prasta, and Wong 2004). Program ini terutama menyediakan mekanisme jalan baru bagi masyarakat untuk dapat mengakses dana pembangunan secara langsung. Tidak seperti proyek-proyek Bank Dunia sebelumnya yang menempatkan pemerintah Indonesia sebagai pemilik proyek dan rakyat didudukkan sebagai penerima manfaat, dalam CDD kelompok-kelompok masyarakatlah yang memiliki proyek itu. Dengan bantuan fasilitator, satu kelompok masyarakat memprakarsai, merencanakan proyek dan menyampaikannya pada forum antar desa di kecamatan. Pada setiap forum terjadi diskusi tentang alasan pentingnya, pengelolaan,  dan kapasitas menjalankannya. Juga ada penilaian keuangan dan ahli teknik lokal (antara lain seorang insinyur di kabupaten) yang kemudian akan membuat daftar urutan proyek-proyek yang akan didanai. Karena jumlah alokasi uang bagi setiap kecamatan relatif tetap, maka terbentuklah kompetisi antar proposal.  Bagi yang mendapatkan proyek, kelompok itu membuat rekening Bank sendiri dan dapat menarik uang secara langsung dari sebuah Bank. Mereka akan menerima uang proyek kira-kira paling lambat tiga bulan setelah perjanjian kontrak ditandatangani di forum perencanaan pembangunan di tingkat kecamatan. 

Di tahun 2007, pemerintah Indonesia telah meningkatkan skala CDD ini menjadi program nasional bernama Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri), sebagai andalan untuk pengentasan kemiskinan, dengan jangkauan 2.827 kecamatan dengan alokasi anggaran sekitar Rp 3,6 trilyun.  Pada tahun 2008 jumlah kecamatan yang dijangkau akan menjadi 3,999 kecamatan dengan anggaran yang disediakan sekitar 13 trilyun.  Sedangkan pada tahun 2009 diagendakan seluruh kecamatan di Indonesia yang berjumlah sekitar 5,263 kecamatan akan mendapat PNPM Mandiri. Besarnya bantuan langsung jika pada tahun 2007  antara Rp 750 juta s/d Rp 1,5 milyar per kecamatan, maka pada tahun 2008 besarnya bantuan per kecamatan sudah ada yang mencapai Rp 3 milyar (Menko Kesra 2008).  

Proyek-proyek CDD ini diklaim telah berhasil menata ulang kepemerintahan lokal Indonesia.  Pada tahun 2004, berdasarkan implementasi dan hasil-hasil proyek, program-program CDD mampu meningkatkan kualitas kerangka kerja desentralisasi dengan cara:

  1. Lebih mendorong partisipasi warga negara, suara, dan akuntabilitas pemerintahan lokal; 
  2. Menyediakan cara yang efektif untuk menyampaikan pelayanan-pelayanan yang amat dibutuhkan dalam konteks desentralisasi dengan biaya yang lebih efektif dan waktu yang lebih efisien; serta
  3. Secara langsung menginformasikan dan membentuk aturan-aturan desentralisasi (Wong dan Guggenheim 2005:254).

 

Debat Teoritik Mengenai Desentralisasi dan CDD

Argumen Bank Dunia 

Dimulai sejak awal abad 21, Bank Dunia  telah banyak sekali mengubah pendekatan pembangunan dari Structural Adjustment (Penyesuaian Struktural)  menjadi Comprehensive Development Framework(Kerangka Pembangunan Komprehensif).  Meski diluncurkan di tahun 1999, CDF bukanlah hal baru. Yang baru adalah kombinasi seluruh komponen-komponen menjadi sebuah kerangka untuk mengarahkan bantuan pembangunan, yakni:

a)    Hambatan-hambatan pembangunan itu bersifat sosial dan struktural, yang tidak bisa hanya diatasi semata-mata melalui stabilitas ekonomi dan kebijakan penyesuaian kebijakan belaka. Pembangunan membutuhkan visi kebutuhan dan solusi yang holistik dan berjangka panjang. 

b)    Reformasi kebijakan dan pelembagaan pembangunan tidak bisa diimpor atau dipaksakan; tanpa kepemilikan domestik, reformasi dan investasi tidak akan bertahan lama.

c)    Keberhasilan pembangunan mensyaratkan kemitraan antara pemerintah, masyarakat lokal, sektor swasta, masyarakat sipil serta pelaku-pelaku pembangunan lainnya; dan

d)    Aktivitas-aktivitas pembangunan harus diarahkan dan dinilai berdasarkan hasil yang telah dicapai sebelumnya. 

 

Perubahan ini dapat dipahami sebagai respon Bank Dunia terhadap pengalaman negatif kegagalan resep kebijakan mereka, terlihat nyata setelah krisis keuangan Asia-Timur (Pender 2001). Juga sebagai suatu konsekuensi dari “paradigma baru pembangunan” yang meletakan“ pembangunan sosial” sepenting “ pembangunan ekonomi” (Stiglitz 2002).  Akan tetapi, mengapa perubahan ini terjadi tepat saat hadirnya demokrasi liberal pasca kejatuhan rejim otoriter sentralis seiring  dengan semakin meluasnya kemiskinan, saat semakin terkonsentrasinya kekayaan pada perusahaan transnasional, dan semakin menjamur dan besarnya peran LSM dalam pembangunan lokal, dan – yang terakhir namun tidak kalah pentingnya – saat gerakan protes mendunia menentang institusi dan juga kebijakan neoliberal? Untuk mendapat jawaban yang lebih memuaskan kita bisa merujuk pada karya-karya Michael Goldman (2005a, 2005b), Penny Griffin (2006), David Craigh dan Doug Porter (2006) yang memberi penjelasan penting tentang cara bagaimana Bank Dunia menjalani rute-rute tertentu, menggunakan dan mengubah paradigma Pembangunannya dari waktu ke waktu hingga pada giliriannya sampai pada yang disebut sebagai Post-Washington Consensus.[3] 

Sekelompok ekonom makro di Bank Dunia mengkerangkakan desentralisasi dalam konteks Comprehensive Development Framework itu dengan menggunakan Teori Rational Choice, dan memperlakukan pemerintah lokal bersifat fungsional terhadap ruang ekonomi lokal dengan cara mengefisienkan pelayanan pada masyarakat. Mereka menetapkan bahwa desentralisasi sekedar memfasilitasi efisiensi ekonomi-ekonomi lokal ini. Mereka sangat menyadari bahwa kebijakan-kebijakan desentralisasi tidak selalu mencapai tujuan untuk menjadikan pemerintah lokal lebih resposif dan bertanggungjawab, terutama karena lemahnya rancangan, korupsi dan pembajakan oleh elit (elite capture). Berdasarkan studi empiris komparatif, mereka berteori bahwa mendekatkan pemerintah pada warga negara serta memberikan kesempatan partisipasi warga negara dalam pengambilan keputusan niscaya akan menciptakan kondisi di mana desentralisasi akan mampu memenuhi janji-janjinya (Crook and Manor 2000; Manor 1999; World-Bank 2001). 

Sumbangan Vedi Hadiz dan Toby Carroll

Vedi Hadiz menempatkan konsekuensi desentralisasi sebagai pokok perdebatannya dengan literatur-literatur neo-institusionalist, yang merupakan  aliran pemikiran sejumlah besar orang dalam organisasi-organisasi pembangunan seperti Bank Dunia dan badan dana bantuan Amerika Serikat, USAID (Hadiz 2004a:698). Mengkritik pandangan kaum Neo-institusionalist yang tampil dalam pemikiran teoritisi Bank Dunia di atas,[4] Hadiz menegaskan bahwa pengalaman kebijakan desentralisasi di Indonesia hanya sedikit mampu mencapai apa yang diyakini para pembaru tata pemerintahan. Yang nyatanya, desentralisasi itu telah berfungsi melayani perkembangan dari apa yang diistilahkannya dengan “newly decentralized, predatory networks of patronage” (Hadiz 2004a:699). Dalam bahasa sehari-hari, mungkin maksud dari julukan ini adalah seperti yang diungkap dalam keluhan umum bahwa “bila dahulu kita berhadapan dengan satu Soeharto dengan kroninya, di masa desentralisasi ini Soeharto-nya dan kroni-kroninya ada di mana-mana.”  

Dalam karyanya bersama dengan Richard Robison, Hadiz juga dengan lugas mengkritik argumentasi Crok dan Manor (1998) dan Manor (2002), dengan menunjukkan bahwa institusi-institusi demokrasi telah dipakai oleh banyak unsur rejim yang terdahulu, yang tamak dan otoriter (Hadiz dan Robison 2005). Hadiz dan Robison menjabarkan bahwa anggota rejim otoriter dan oligarki sebelumnya telah berhasil membentuk kembali diri mereka layaknya aktor demokratik melalui partai-partai politik dan parlemen yang mereka pimpin. “Karena proses demokratisasi Indonesia telah dibajak oleh kepentingan mereka … hasil-hasil dari desentralisasi tidak seperti yang diduga literatur-literatur neo-institutionalist” (Hadiz 2004a:699).  “Kaum Neo-institutionalistmengabaikan fakta bahwa demokratisasi, partisipasi publik, akuntabilitas serta hak-hak ekonomi dan sosial benar-benar terikat secara historis dengan hasil perjuangan kepentingan-kepentingan dan kekuatan-kekuatan sosial ... hasil perubahan sosial yang berlangsung selama berabad-abad, seringkali diwarnai oleh konfrontasi kekerasan dan berdarah-darah, tidak kecuali pertarungan antara kelas-kelas sosial.” (Hadiz 2004a:702). 

Berdasarkan penelitian lapangan di Sumatera Utara, Hadiz menyimpulkan bahwa ketimbang menghasilkan semacam technocratic ‘good’ governance seperti yang diidealkan oleh kaum neo-institutionalist, yang terjadi  “justru meningkatkan bandit-bandit dan preman politik dalam kepemimpinan partai-partai, parlemen-parlemen dan lembaga-lembaga eksekutif yang mengendalikan agenda desentralisasi”. Hadiz menyebut mereka  sebagai “predator desentralisasi“. Sementara kaum neo-institutionalist cenderung menekankan aspek-aspek teknis desentralisasi, studi kasusnya itu menunjukan bahwa pertarungan kekuasaan lebih berpengaruh pada bagaimana desentralisasi berkiprah dari pada niat dan isi kebijakannya itu sendiri. Lebih dari itu, berbeda dengan kecenderungan para neo-institutionalist yang menghubungkan proses-proses seperti desentralisasi, demokrasi, partisipasi, akuntabilitas dan peran masyarakat sipil/modal  sosial, dalam kasus Indonesia jelas terlihat  bahwa desentralisasi jelas-jelas direbut dan dikuasai oleh ‘uncivil’ groups (Hadiz 2004a:716). Dan akhirnya, “sementara kaum neo-institutionalist memimpikan, meskipun tidak diakuinya, desentralisasi sebagai bagian dari politik yang lebih luas di mana keahlian dan ‘rasionalitas’ teknokratik jalan menurut kehendaknya sendiri, dinamika politik yang nyata menunjukkan ‘para ahli’ teknokratik dan sekutu-sekutu mereka telah dilecehkan karena program-program mereka direbut oleh mereka yang lebih kukuh, terorganisir lebih baik dan tentu lebih berkuasa” (Hadiz 2004a:717). 

Kritik Hadiz memiliki kesamaan sasaran dengan kritik Toby Carroll (2005, 2006, 2007) yakni pandangan para neo-institutionalist. Bila Hadiz memperhatikan bahaya desentralisasi yang terlaksana dalam konstelasi kekuatan sosial tertentu, Carroll melihat melihat Program Pengembangan Kecamatan (PPK) satu contoh evolusi dan reproduksi neoliberalisme. [5] Dalam satu karyanya Carroll merangkum dasar teoritis yang disebut sebagai the Post-Washington Consensus’ Socio-Institutional Neoliberalism (PWC-SIN)  dan menunjukan bahwa “gagasan-gagasan teoritis  di dalamnya sungguh mempengaruhi bentuk tampilan programnya” (2005:2). Ia dengan cerdik membuka simpul teoritik mereka dan mengurai unsur demi unsur untuk kemudian secara kritis membongkar hubungan-hubungan betapa dekatnya Post-Washington Concensus (PWC) pada ekonomi neo-klasik, dan pada neoliberalisme bila dilihatnya sebagai suatu proses politik yang bertumbuh. 

“ (D)asar teoritis dari socio-institutional neoliberalism sesungguhnya melayani neoliberalisme dengan ‘suatu kehidupan baru’ dan kesempatan baru untuk kembali terlibat (di bawah panduan-panduan teknokratis tentunya) dalam wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak dapat mereka jangkau, misalnya tata pemerintahan dan kelembagaan sosial” (2005:3). 

Selanjutnya, Carrol menggunakan karya Cammack[6]  (Cammack 2001b; Cammack 2002; Cammack 2003; Cammack 2004) untuk menegaskan bahwa “berpasangan dengan sumber ketidakadilan struktural dan struktur program yang dibiayai hutang, PPK dapat menjadi contoh yang gemilang … dari meluaskan proletarisasi di dunianya orang miskin” (Carroll 2005:2).  Memang, karya Cammack telah menawarkan analisis terhadap Bank Dunia dari perspektif Marxist, yang ingin ia sebut   sebagai new materialist, dan mulai dengan penegasan bahwa Bank Dunia terus menerus terlibat dalam ”sebuah program sistematis untuk membentuk dan mengkonsolidasikan kapitalisme pada tataran global” (Cammack 2002:127).

 Sumbangan Tania Li dan Frederich Rawski

Dua kajian terbaru yang secara serius mempertimbangkan rasionalitas baru dari proyek-proyek Bank Dunia, dengan memeriksa KDP sebagai contoh luar biasa di mana Bank Dunia mendefinisikan ulang pendekatan neoliberalnya adalah karya Tania Li dan Frederich Rawski.

Tania Li (2006, 2007, 2009) menggunakan tafsir Anglo-Foucaultian dari Nicolas Rose tentang governmentality dan menggunakan konsep government through community, “memerintah melalui komunitas”, untuk menunjukan betapa di tengah  gilang-gemilang program pemberdayaan (empowerment)dan partisipasi, Bank Dunia telah berhasil menciptakan kondisi yang memungkinkan masyarakat mengatur ulang  aspirasi, keyakinan, perilaku, tindakan, dan hal-hal mental lainnya. Singkatnya, Li merujuk pada karya David Scott tentang colonial governmentality bahwa kesemua itu “sedemikian rupa dibuat sehingga rakyat hanya mengikuti apa yang mereka yakini sebagai kepentingan mereka sendiri, dan akan melakukan apa yang mereka sendiri haruskan (Scott 1995:202 sebagaimana dikuti Li 2006:3. Lihat juga Li 2007:230-269). Scott menggunakan gagasan Foucault tentang governmentality dan berpendapat bahwa “untuk memahami proyek-proyek kekuasaan kolonial pada setiap peristiwa sejarah tertentu, seseorang harus memahami karakter dasar rasionalitas politik yang membentuknya. Dan apa yang dipentingkan bukanlah memahami bagaimana tindakan penjajah terhadap terjajah, bukan pula memahami bagaimana kolonialisme menyingkirkan dan merangkul penduduk asli sebagaimana mereka rancang. Melainkan mencoba mengungkap berbagai cara penggunaan kekuasaan kolonial, target-targetnya, dan berbagai bidang discursive dan non-discursive yang dicakupnya (Scott 1995:204). 

Cara kerja PPK memungkinkan Li (2006, 2007, 2009) untuk melihat bahwa aturan-aturan keproyekkan – yang diistilahkannya law of the project, telah dipergunakan sebagai “taktik-taktik untuk mengubah tingkah laku para pelaku yang tetap memelihara kebebasannya untuk memilih. … (K)ebebasan bukanlah lawannya pemerintah, (tapi) itu adalah peralatan kerjanya. … Ketika para ahli di Bank Dunia merancang intervensinya, mereka telah menetapkan tujuan pasti dalam pemikirannya: mereka akan menempa pemerintahan kabupaten dan provinsi (yang memiliki kewenangan-kewenangan besar akibat) desentralisasi itu menjadi akuntabel dan ‘pro-poor’; mereka akan mengentaskan kemiskinan; mereka akan memulihkan kapasitas-kapasitas alamiah dan modal sosial penduduk desa, dan mereka akan menggunakan pengalaman penduduk desa yang telah menikmati proses perencanaan yang efisien dan transparan untuk mereformasi apparatus negara dengan tekanan dari bawah” (2009:253-254). Jadi, lebih dari sekedar mencoba memahami rasionalitas politik yang mampu menjadikan CDD itu sebagai suatu bentuk baru proyek Pembangunan neoliberal, seperti dieksplisitkannya dalam karya terbarunya, ia mengungkap cara bagaimana “suatu rangkaian khusus dari kekuasaan dipergunakan oleh para ahli yang merancang mentransformasikan masyarakat dengan terencana, by design.” (Li 2009:254).

Sejalan dengan karya Li itu adalah karya Frederich Rawski (2005). Rawski mengakui bahwa CDD di Indonesia dan juga di Timor Timur membentuk apa yang ia sebut the community-based administrative regime (rejim administratif berbasis masyarakat) dan pengaruhnya dirasakan bukan hanya memberlakukan syarat-syarat prosedural, tapi juga melalui pembentukan dan penyebaran kerangka normatif yang menentukan ruang lingkup interaksi-interaksi masyarakat.  Penerapan CDD itu telah memungkinkan Rawski untuk melihat rejim administrasi berbasis masyarakat itu merupakan kondisi bagi datangnya dana-dana pembangunan internasional, dan sekaligus dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan mengatur diri sendiri berdasarkan kebebasan memilih. Rawski menyimpulkan bahwa proyek-proyek CDD “ bukan hanya bertujuan memaksimalkan efisiensi penyaluran dana internasional maupun menyokong lembaga-lembaga pemerintahan lokal, melainkan juga mempengaruhi cara orang-orang berfikir mengenai hubungan sosial dalam komunitas mereka dan antar komunitas, negara maupun lembaga-lembaga internasional” (Rawski 2006:920).  Dalam artikel tersebut, ia menunjukkan bagaimana struktur administratif PPK yang membuka persaingan antara kelompok-kelompok individu dalam proses penyampaian proposal proyek untuk perolehan dana  “mencerminkan penekanan neoliberal terhadap kewirausahaan, inovasi individual, dan kompetisi pasar bebas. … Norma-nilai demikian itu menyertakan prinsip-prinsip, seperti akuntabilitas (dilaksanakan melalui aturan-aturan maupun prosedur yang mensyaratkan transparansi dalam pengambilan keputusan), dan hak partisipasi individu (yang dilaksanakan melalui aturan maupun prosedur seperti voting, sistem kuota, dan kewajiban konsultasi)” (Rawski 2006:942).

Dari Pembangunan ke Pembangunan Kapitalis: Interpretasi Kembali Konsep “Akumulasi Primitif”  

 Bentuk-bentuk proyek Pembangunan berubah dari waktu ke waktu. Pasangan kebijakan Desentralisasi dan proyek-proyek CDD adalah bentuk terbaru dari Pembangunan di Indonesia. Kajian teoritik di atas menampak dengan jelas bahwa badan-badan pemerintah daerah dan kelompok-kelompok komunitas telah, sedang dan akan terus ditempa dan menempa diri dalam proses menjadi neoliberal subjects, pelaku-pelaku yang ramah terhadap prinsip-prinsip pasar bebas, di antaranya seperti mengatur diri sendiri, kebebasan memilih, kewirausahaan, inovasi individual, kompetisi, transparansi dan akuntabilitas. Penulis mengedepankan studi-studi yang dilakukan Hadiz dalam rangka telah memperjelas konsekuensi dari proses kebijakan desentralisasi itu dalam konteks konfigurasi kekuatan oligarki tertentu. Lalu dari studi Carroll dapat terlihat dengan jelas motivasi dari hadirnya pendekatan yang melahirkan CDD dalam konteks perubahan paradigmatik di dalam politik wacana di Bank Dunia. Sementara itu, dengan mengedepankan studi-studi governmentality yang dilakukan oleh Li dan Rawski menjadi nampak jelas bagaimana penempaan diri tersebut dilakukan melalui cara bagaimana kelompok-kelompok masyarakat melakukan aktivitas yang berangkat dari kebutuhan dan inisiatifnya sendiri.

Selanjutnya, dalam rangka mengeksplisitkan hubungan antara kedua proyek itu dengan pembangunan kapitalisme yang secara historis dan geografis tidak sama antara satu lokasi dengan lokasi lainnya, penulis akan mengkaji debat teori mengenai “apa yang disebut” sebagai akumulasi primitif (primitive accumulation), yang untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh Karl Marx (1976/1898) dalam Capital vol 1, Bagian VIII. Dalam bab itu, analisis Marx utamanya membahas  fenomena historis di Inggris selama periode  awal pembentukan cara berproduksi kapitalis, sesuatu yang Marx anggap sebagai bentuk yang klasik dari akumulasi primitif. Marx mengutip karya Adam Smith mengenai akumulasi kekayaan yang dilakukan untuk pertama kalinya (previous accumulation), dan menggerjakan kembali istilah previous accumulation itu bukan sekedar untuk menganalisis proses akumulasi kekayaan untuk pertama kalinya. 

Kalimat-kalimat favorit dari Marx dalam bab akumulasi primitif itu yang seringkali dirujuk antara lain: “akumulasi primitif berperan dalam ekonomi politik kira-kira sama seperti dosa asal pada teologi”; “tidak lain dari pada proses sejarah pemisahan produser dari alat produksinya”; “Ketika sejumlah besar orang tiba-tiba dipisahkan secara paksa dari caranya melanjutkan hidup, dan terlempar menjadi proletariat bebas dan ‘bergantung melulu’ pada pasar tenaga kerja”; “Perampasan tanah dari para produser pertanian, dari para petani, adalah fondasi dari seluruh proses (pembentukan kapitalisme)”;  “sebuah sejarah yang musti ditulis dalam almanak manusia dengan tinta darah dan api.”

 

Menurut Ellen Meiksins Wood (2002:36) dalam bab itu Marx mengunakan istilah “so-called” sebagai upayanya untuk dimengerti hal itu bukan sekedar sebagai suatu bentuk akumulasi kekayaan atau keuntungan seperti yang dipakai Adam Smith. Memang betul bahwa akumulasi kekayaan dan keuntungan itu merupakan syarat perlu untuk tumbuhnya kapitalisme. Tapi, itu sama sekali tidak cukup dan menentukan. Yang menentukan bagaimana kekayaan diakumulasikan adalah suatu transformasi hubungan-hubungan sosial dalam proses produksi, terutama hubungan kepemilikan (property relations).  Dalam konteks inilah untuk pertama kalinya tanah-tanah dan kekayaan alam diputuskan dari hubungan sosial pra-kapitalis, dan dijadikan bagian modal sirkuit cara berproduksi kapitalis. Di lain pihak, mereka yang tadinya punya hubungan erat dengan tanah dan kekayaan alam itu dilepaskan secara brutal, dan kemudian dibebaskan menjadi tenaga kerja bebas.

Kebangkitan penggunaan kembali konsep analitik “akumulasi primitif” bisa dipahami melalui tiga inisiatif terkemuka:[7] (1) Sumbangsih pemikiran Michael Perelman, terutama dalam buku hebat, The Invention of Capitalism, Classical Political Economy and Secret History of Primitive Accumulation (Perelman 2000), (ii) sumbangsih pemikiran Massimo de Angelis (de Angelis 2000, 2001, 2007) serta debat pada Jurnal The Commoner di mana ia menjadi editor utama,  (iii) sumbangsih pemikiran David Harvey (Harvey 2003, 2004 2005; 2006c)

Tiga pemikiran ini berangkat dari semacam kesepakatan bahwa yang disebut “akumulasi primitif” bukanlah fenomena sejarah yang hanya terjadi sekali saja, melainkan transformasi itu adalah proses yang berjalan terus menerus (on-going processes). Keberadaannya selalu menjadi ada dan penting dalam perkembangan kapitalisme. Maka, ada soal besar dalam mengapa banyak sarjana cenderung menafsirkan akumulasi primitif hanya sebagai peristiwa sejarah, dan bukan sebagai fenomena yang berlangsung terus-menerus. 

Berikut ini disajikan secara ringkat sumbangan masing-masing, dan setelah itu disajikan pandangan dari Paul Cammack yang menghubungan proses akumulasi primitif itu dengan peran proyek-proyek Bank Dunia.

 

Sumbangan Michael Perelman

Michael Perelman lah yang bertanya mengapa Marx tidak lebih lugas mengemukakan sifat keberlangsungan akumulasi primitif. Ia menganggap bahwa cara Marx merumuskan akumulasi primitif sebagai kenyataan masa lampau sungguh dapat dimengerti, karena ”Marx mengabdikan keterangannya mengenai akumulasi primitif sebagai kritik yang meyakinkan terhadap kapitalisme, yakni sekali kapitalisme memegang kendali, kaum kapitalis belajar bahwa tekanan-tekanan pasar sungguh lebih efektif dalam mengeksploitasi tenaga kerja ketimbang tindakan brutal akumulasi primitif (Perelman 2000:30). Perelman juga yang memecahkan misteri ”primitif” dalam  ”akumulasi primitif”. Seperti yang secara tegas  tercantum dalam tulisan Marx, kata primitif berasal dari istilahnya Adam Smith previous accumulation. Dalam karyanya, Perelman menunjukkan kalimat lengkap dimana Marx mengambil dari Adam Smith, yakni ”the accumulation of stock must, in the nature of things, be previous to the division of labour”. Marx yang menulis dalam bahasa Jerman menerjemahkan kata ’previous’ dari karya Adam Smith menjadi ”ursprunglich”, di mana penerjemah bahasa Inggris Marx kemudian menerjemahkannya menjadi ”primitive” (Perelman 2000:25)

Sumbangsih yang lebih besar dari karya Perelman itu adalah secara lugas mengungkap hal yang ia sebut sebagai ”siasat terselubung” (dark design) dari karya ekonom politik klasik seperti Adam Smith, David Ricardo, Sir James Steuart dan berbagai pemikiran lain yang kurang seterkenal mereka. Perelman menegaskan bahwa mereka ”mengaburkan peran akumulasi primitif dalam karya teoritis mereka. Namun ... ketika kita merujuk pada surat, catatan harian, dan berbagai rekomendasi kebijakan mereka, arti penting akumulasi primitif menjadi jauh lebih jelas... Para penulis tersebut sepertinya dengan sengaja telah sejauh mungkin mengaburkan makna, supaya makna tersebut tidak melemahkan klaim-klaim keberlakukan teori mereka. Perjuangan masyarakat pedesaan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara mandiri hanya lah menjadi bayang-bayang sekilas saja di seluruh karya ekonomi politik klasik di mana cara hidup yang ditampilkan seara sekilas itu telah dihapuskan sepenuhnya oleh proses akumulasi primitif.  Akibatnya, proses ini benar-benar tidak diperhatikan oleh para pembaca modern karya klasik ekonomi politik” (Perelman 2000:10-11). Kemudian Perelman menyimpulkan ”ekonomi politik klasik sungguh mengutamakan akumulasi primitif guna mempercepat pembangunan kapitalis, meski logika akumulasi primitif bertentangan sepenuhnya dengan apa yang dicanangkan oleh para ekonom politik klasik berupa nilai-nilai laissez-faire ”(Perelman 2000:12)

Sumbangan Massimo de Angelis 

Sejalan dengan Perelman, Massimo de Angelis  mendesak sebuah tafsir ulang  gagasan-gagasan Marx tentang akumulasi primitif, yang dipahaminya tidak sekedar sebagai sebuah peristiwa masa lampau di awal perkembangan kapitalisme, tapi juga sebagai sebuah proses tak terpisahkan dengan berjalannya cara produksi kapitalis. Pendiriannya adalah bahwa:

a)    pemisahan antara produser dan alat-alat produksi merupakan ”suatu ciri umum akumulasi maupun akumulasi primitif” dan ”berdasar intepretasi Marx ... tidak ada yang menunjukan bahwa pemisahan ini tidak terjadi setiap saat, bahkan dalam situasi cara produksi yang telah ’matang’, ketika kondisi pemisahan ex novo telah berlangsung” (de Angelis 2000:12);

b)    ”Perbedaan antara akumulasi dengan akumulasi primitif berdasarkan pada kondisi-kondisi berlangsungnya pemisahan tersebut,” maka pada akumulasi primitif, pemisahan itu berlangsung utamanya melalui kekuatan-kekuatan ekstra-ekonomi langsung oleh negara, kelompok kelas sosial tertentu, dan lain-lain (de Angelis 2000:12).

 

De Angelis menyatakan  bahwa dua butir yang dimaksudkan di atas mengungkit pertanyaan empiris untuk menyelidiki berbagai perbedaan bentuk dari akumulasi primitif. De Angelis memperluas argumentasi ini – dan lebih memilih menggunakan istilah lain yakni ”enclosure” – dan menyajikan suatu taksonomi yang lengkap berbagai tipe dan model baru dari enclosure tersebut dalam kapitalisme global saat ini (De Angelis 2004). Dalam artikel tersebut, ia tidak hanya mencantumkan bentuk klasik enclosure tanah dan sumberdaya alam, akan tetapi juga beragam enclosure dalam ruang kota, kepemilikan bersama (social common), dan pengetahuan serta kehidupan. 

Menurut de Angelis, modal harus dipahami sebagai sebuah kekuatan (force). Sehingga sehubungan dengan eclosure, modal harus dipahami sebagai enclosing social force (De Angelis 2004:59, n . 5). Oleh sebab itu enclosure diartikan sebagai ciri yang melekat pada cara produksi kapitalisme karena modal cenderung mengkolonialisasi seluruh kehidupan, sementara itu rakyat yang bermukim di dunia tempat mereka hidup sesungguhnya mampu mengembangkan alternatif  menghadapi komodifikasi hubungan-hubungan sosial. Ia mengelompokkan enclosure menjadi dua model implementasi, yakni: ”(i) enclosure sebagai sebuah rancangan ”kekuasaan atas” (power over), dan (ii) enclosure sebagai sebuah akibat dari proses akumulasi.  Pada  yang pertama ... menunjukkan berbagai macam strategi yang sungguh-sungguh dirancang dengan berbagai bentuk dan nama (privatisasi, promosi ekspor, pengetatan anggaran dsb.). Sedangkan pada yang dua, enclosure merupakan akibat yang tak direncanakan (unintended by-product) dari akumulasi yang (dalam bahasa ekonomi) dikenal sebagai ”negative externalities”, yang tak dikalkulasi dalam harga pasar dari barang-barang yang dihasilkan, karena biaya-biaya yang dikeluarkan oleh para penghasil barang itu itu memang berada di luar perusahaan yang memiliki barang itu (de Angelis 2004:77-78). 

Jika modal dipahami sebagai sebuah enclosing social force, kekuatan sosial yang senantiasa melakukan enclosure, bagaimana de Angelis menteorisasi sesuatu ”yang berada di luar modal itu”? Ia memikirkan  pertanyaan itu secara serius, bukan sekedar pertanyaan analitis, tapi juga pertanyaan politis. Ia menegaskan posisinya bahwa ”apa yang berada di luar modal adalah suatu proses untuk menjadi yang lain, yang bukan modal, dan dengan demikian menghadirkan dirinya sebagai suatu halang-rintang terhadap proses akumulasi tanpa batas dan, sejak mula, proses enclosure, harus menghadapi … berbagai bentuk perlawanan konkrit serta berbagai sikap manusia yang menyertainya. Dan jelaslah, bahwa, munculnya berbagai hal di luar modal ini tidak  menjamin kepastian keberlangsungan dan reproduksi modal dengan sendirinya” (De Angelis 2007:229). Kemudian, uraiannya sampai pada perbandingan dan kritik yang sungguh penting dan menarik  terhadap cara bagaimana kaum Marxist menempatkan ”hal-hal di luar modal dalam konteks kehadiran maupun ketidakhadirannya sebagai suatu fungsi dari sesuatu yang terbentuk secara ex ante dan dalam hal ini akan sampai juga pada posisi akhirnya dalam proses perkembangan kapitalisme (Wolpe, Hart dan Negri) atau hal ini dalam proses menuju kematiannya melalui accumulation by dissposessions yang berlangsung terus (Harvey) (de Angelis 2007:232). Ia melontarkan kritik pada sarjana-sarjana Marxian tersebut  yang tidak memandang serius cara bagaimana hal-hal di luar modal itu dihasilkan secara terus menerus melalui perjuangan yang berkelanjutan. Ia mengenali adanya tiga dimensi penting dari perjuangan berkelanjutan ini : (a) watak  komunitariannya, (b) proses artikulasinya, dan (c) pada sifat dan keefektifan tantangannya terhadap modal. 

Sumbangan David Harvey

Tokoh lain yang mengerjakan kembali konsep akumulasi primitif ini adalah geografer ternama, David Harvey. Apa yang dikemukakan Harvey mengenai accumulation by disposession harus dilihat sebagai sebuah tema baru yang muncul  dari upayanya selama hampir tiga dekade tanpa henti menunjukkan betapa pentingnya geography dalam analisa Marxian, yang kemudian usahanya ini dikenal dengan nama historical geographical materialism, suatu upaya sungguh-sungguh membawa ruang (space) sebagai kata kuncinya (Harvey 2006b), suatu usaha yang pada mulanya dirintis oleh Henry Lefebrve, seorang filsuf Marxian dari Perancis, yang dalam karya klasiknya The Production of Space (1974/1991) dengan brilian menunjukkan secara eksplisit mengusulkan suatu kosa kata ”ruang” dan ”produksi ruang” ke dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. 

Di sini kita akan mengedepankan sumbangsih pemikiran Harvey sebagai tafsir kontemporer atas akumulasi primitif, yang dia jabarkan berangkat dari elaborasinya mengenai capital overaccumulation dan tenaga kerja. Overaccumulation terjadi pada saat surplus modal (terlihat saat komoditas-komoditas berlimpah di pasar sehingga tidak dapat terjual tanpa rugi, saat kapasitas produktif ideal dan/atau ketika surplus modal uang kekurangan saluran untuk investasi produktif dan menguntungkan), dan surplus buruh (pengangguran meningkat) tidak lagi dapat diinvestasikan kembali pada tingkatan keuntungan rata-rata pada wilayah atau tempat asalnya. Menurut Harvey, ”surplus-surplus demikian bisa  terserap melalui  (a) pemindahan sementara investasi proyek-proyek modal atau pembiayaan sosial berjangka panjang (seperti pendidikan dan penelitian) yang pada gilirannya nilai modal itu akan masuk dalam sirkulasi modal di masa mendatang, (b) pengalihan ruang dengan membuka pasar baru, kapasitas produksi baru, dan kemungkinan-kemungkinan perolehan sumber daya, maupun tenaga kerja baru di lain tempat, atau (c) beberapa kombinasi dari butir (a) dan (b)” (Harvey 2003;106). Selanjutnya, ”produksi ruang, organisasi pembagian kerja yang secara keseluruhannya baru dalam wilayah yag baru pula, pembukaan berbagai macam cara perolehan sumber daya  baru yang jauh lebih murah, pembukaan wilayah-wilayah baru sebagai bagian dari dinamika ruang-ruang akumulasi modal, dan penetrasi terhadap formasi sosial yang ada oleh hubungan-hubungan sosial kapitalis dan tatanan kelembagaannya (contohnya aturan kontrak dan kepemilikan pribadi) membuka jalan bagi penyerapan surplus modal maupun tenaga kerja. Namun, ekspansi re-organisasi dan rekontruksi geografis sering menjadi ancaman bagi nilai-nilai yang telah menancap dalam pada tempat-tempat itu (terikat secara sosial pada tanah), dan juga bagi nilai-nilai yang belum mewujud (Harvey 2003;116)

Accumulation by dispossession merupakan reformulasi Harvey atas ”akumulasi primitif” setelah ia mengolah teori underconsumption dari Rosa Luxemberg dalam karyanya The Accumulation of Capital (1968). Menurutnya, banyak teori-teori Marxist mengenai akumulasi ”mengabaikan proses akumulasi yang terbentuk melalui berbagai macam tindakan perampasan, penipuan, dan kekerasan yang diperlakukan atas berbagai hal di ”keadaan awal” yang dianggap tidak lagi relevan atau – di sini ia kemudian merujuk pada Rosa Luxemberg – yang diperlakukan terhadap yang berada ”di luar dari” kapitalisme yang berlaku bagaikan suatu sistem tertutup. Selanjutnya, ”mengevaluasi kembali peran yang menetap dan terus berkelanjutan dari praktek-praktek buas dari ”akumulasi primitif” atau ”akumulasi awal-mula” dalam sebuah geografi sejarah akumulasi modal, sungguh merupakan tugas yang mendesak sebagaimana akhir-akhir ini disampaikan oleh para komentator”. Harvey merujuk pada Parelman (2000) , de Angelis (2000) dan perdebatan besar-besaran dalam The Commoner. Menurutnya ”apa yang dilakukan melalui accumulation by disposession adalah melepaskan serangkaian aset (termasuk tenaga kerja) dengan biaya yang sangat rendah (dan dalam banyak hal sungguh tanpa biaya). Modal yang telah terakumulasi berlebihan dapat dipakai untuk merampas rangkaian aset tersebut dan segera dapat membawanya ke dalam suatu penggunaan yang menguntungkannya” (Harvey 2003: 149)

Harvey  memutuskan untuk meluaskan dan menamakannya accumulation by disposession (akumulasi dengan cara perampasan), karena ia merasa ”adalah janggal  untuk menyebut suatu proses yang berkelanjutan dari ”akumulasi primitif” atau ”akumulasi awal-mula” (Harvey 2003:144). Dalam karyanya ”Comment in Commentaries” (Harvey 2006a), yang ditulisnya sebagai tanggapan atas sejumlah komentar serta kritik atas New Imperialism (Ashman dan Calinicos 2006; Brenner 2006; Brenner 2006; Castree 2006; Fine 2006; Suteliffe 2006; Wood 2006), ia berkeras bahwa ”praktek-praktek kanibalistik dan predatoris yang terjadi terus di negara-negara kapitalis maju dengan kedok privatisasi, reformasi pasar, pengetatan anggaran kesejahteraan dan neoliberalisasi lebih cocok bila ditampilkan sebagai accumulation by disposessionAccumulation by disposession secara kualititaf dan teoritis berbeda dengan apa yang terjadi di masa awal kapitalisme.” (Harvey 2006a:158) 

Pada The New Imperialism, ia menampilkan  beragam contoh kontemporer baik di negara maju maupun negara berkembang yang disebutnya  sebagai the cutting edge of accumulation by dispossession: ”Aset-aset yang dipegang  oleh negara atau dikelola secara bersama oleh penduduk dilepas ke pasar ketika masa modal-modal yang berkelebihan itu sanggup berinvestasi, memperbaharui dan berspekulasi dengan menggunakan aset-aset tersebut. Dalam A Brief History of Neoliberalism, ia memperinci akumulasi lewat perampasan itu menjadi: 

a)    Privatisasi dan komodifikasi,

b)    Finansialisasi,

c)    Pengelolaan dan manipulasi krisis, dan 

d)    Redistribusi aset negara (Harvey 2005: 157-158)

 

Sumbangan Paul Cammack 

Karya-karya Paul Cammack (2001a; 2002; 2003; 2004) menegaskan keharusan memahami peran kontemporer Bank Dunia yang telah dan terus terlibat dalam ”serangkaian program-program sistematis dalam pembentukan dan konsolidasi kapitalisme di tingkat global” (Cammack 2002:127). Penegasannya yang lebih spesifik adalah ”Bank Dunia telah menjalankan misi baru untuk dirinya selama beberapa dekade terakhir... untuk menyelesaikan proses akumulasi primitif di tingkat global (Cammack 2001b:198).

Menurut Cammack, secara umum Bank Dunia membutuhkan terciptanya  pasar tenaga kerja, penyelenggaran hak kekayaan intelektual, mengatur kelembagaan agar pasar dapat tempat semestinya, layanan infrastruktur, pendidikan dan kesehatan yang diperlukan agar ekonomi pasar bekerja dan sebagainya. Semua ini mengambarkan sebuah proyek perluasan dan konsolidasi kapitalisme di negara berkembang. Yang lebih spesifik, ”sumber daya Bank Dunia dipakai untuk memperdalam kebijakan-kebijakan pemerintah yang melancarkan proletarisasi, memudahkan eksploitasi dan meningkatkan ketergantungan pasar” (Cammack 2001b: 198). Cammaks menegaskan bahwa alasan mendasar strategi ini adalah kebutuhan untuk menciptakan ’cadangan tenaga kerja’ (reserved army of labour) dalam skala global: ”Kapitalisme yang matang itu membutuhkan dan terus membentuk ’penduduk yang menganggur’ yang tanpanya proses pendisiplinan kapitalisme tidak akan bekerja; kehadiran ’cadangan tenaga kerja industrial’ itu akan mempertahankan upah yang rendah, dan cenderung membuat tenaga kerja hanya hidup sekedar hidup; dan mereka yang menganggur berada dalam kondisi miskin absolut. Singkatnya, untuk menghapuskan kemiskinan harus menghapuskan sistem  kapitalisme itu sendiri” (Cammack 2001b : 195). Upaya melancarkan proses proletarisasi dilakukan oleh Bank Dunia dengan bekerja pada ”cadangan tenaga kerja” tersebut melalui upaya-upaya memelihara disiplin pasar, membatasi meningkatnya upah mereka dalam pasar, dan memelihara tingkat keuntungan yang diinginkannya. ”Kapitalisme membutuhkan orang-orang yang dipersiapkan untuk menjadi para pekerja potensial, di wilayah-wilayah di mana pendisiplinan tersebut belum berlangsung ... Dalam masa di akhir abad dua puluh dan awal abad duapuluh satu, Bank Dunia memikul tanggungjawab untuk mengkerangkakan dan menguatkan kebijakan-kebijakan yang diperlukan untuk sedemikian rupa membuat disiplin-disiplin itu terwujud”  (Cammack 2001b:195).

Mendaratkan Debat mengenai Akumulasi Primitif  

Dengan merujuk pada karya-karya Cammack tersebut di atas, dapatkah  kita langsung menarik kesimpulan menyeluruh bahwa di manapun dan kapanpun Bank Dunia telah dan terus-menerus berorentasi untuk membentuk dunia ’di luar modal ’ dalam rangka pendisplinan rakyat, memperbesar kontrol pasar sumber dari cadangan tenaga kerja (reserve army of labor) agar lebih siap mengisi pos-pos pekerjaan yang dibutuhkan secara spesifik sebagai konsekuensi dari perkembangan kapitalisme dan untuk pada gilirannya berada secara permanen dalam putaran modal, capital circuit?  Bisakah kita menggariskan gerakan-gerakan sosial dewasa ini sebagai bagian perjuangan melawan accumulation by disposession seperti diramal Harvey bahwa accumulation by disposession akan langsung mendorong  terciptanya gerakan sosial melawan kecenderungan yang akan memusuhi kapitalisme? Dapatkah kita mempertegas bahwa – menggunakan kerangka pikir  de Angelis – gerakan-gerakan sosial pedesaan yang ada sekarang ini merupakan bagian dari memperjuangkan kepentingan bersama yang akan membawa masyarakat ke rute perjalanan yang berbeda dari kapitalisme , dan membangun halang-rintang yang permanen bagi proses enclosure selanjutnya? 

David Harvey, Massimo de Angelis dan Gillian Hart telah mendebatkan beberapa aspek terkait dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, khususnya mengenai kekuatan “di luar modal” dan perjuangan melawan accumulation by disposession. Harvey menegaskan, ”kapitalisme membutuhkan dan selalu menciptakan ”kekuatan di luar modal ini”. Gagasan  ”kekuatan di luar modal”  ini sangat lah relevan. Akan tetapi kapitalisme dapat juga memanfaatkan kekuatan di luar modal ini, baik formasi sosial non-kapitalis maupun atau beberapa sektor dalam kapitalisme – seperti pendidikan – yang belum sepenuhnya terproletarisasi,  atau kapitalisme juga dapat menciptakannya secara aktif (Harvey 2003:141).  Namun, berbeda dengan Harvey, de Angelis merujuk kepada Hart (2002; 2005) dan lainnya bahwa “tidak ada jaminan bahwa setelah tenaga kerja dilepaskan dari ikatan-ikatan non-kapitalisnya maka mereka akan mendapatkan pekerjaan, dengan demikian mereka sanggup mereproduksi diri melanjutkan hidup, dan ikut ke dalam sirkut kapitalis”. Berarti, proses enclosure selalu menyertakan krisis reproduksi sosial dan berbagai bentuk perjuangan di seputar reproduksi sosial tersebut (De Angelis 2007:232). 

Lebih jauh lagi, de Angelis memandang teorisasi Harvey mengenai “kekuatan di luar modal” dalam konteks accumulation by disposession memiliki kelemahan, karena Harvey menempatkannya semata-mata sebagai sebuah objek akumulasi dan disposession dipandang melulu sebagai suatu cara dari akumulasi modal.  De Angelis menunjukkan kekuatan dan sekaligus kelemahan dari cara bagaimana ”kekuatan di luar modal” itu diteorisasi. De Angelis  mengusulkan untuk menambal lubang teoritis itu dan mencoba memahami kekuatan di luar modal  itu sebagai sebuah ruang (space)[8], yang merupakan ”suatu kondisi material yang dimiliki bersama … di mana problematik reproduksi sosial  itu sungguh-sungguh bergantung pada kaum yang tersingkir, baik yang telah dapat pekerjaan maupun belum itu, dan tentunya daya jangkau organisasi mereka” (Huruf miring berasal dari kutipan asalnya. De Angelis 2007:232). Dengan kata lain, reproduksi sosial kekuatan di luar modal itu benar-benar bergantung pada efektivitas, jangkauan organisasional dan cara bagaimana kelompok-kelompok masyarakat itu memperjuangkan dan membentuk ruang yang dimiliki bersama tersebut. 

Problematisasi ”ruang di luar modal” dan bagaimana perjuangan-perjuangan untuk memproduksi, mengisinya dan mengubahnya yang dilakukan, hampir tidak mucul dalam kerangka pikiran Harvey. Pada perspektif Harvey, accumulation by dispossession dapat diramalkan secara otomatis memicu bangkitnya gerakan sosial penentang pelaku dispossession itu. Selanjutnya, ketika gerakan sosial telah menguat dan tampil sebagai suatu hambatan tersendiri bagi modal, berbagai mesin kelembagaan kapitalis akan melangkah untuk membongkar halang-rintang itu. Mesin-mesin kapitalis pun mendesak pemerintah dan lainnya untuk menggunakan kekuatannya demi menciptakan sebuah syarat-syarat yang kondusif bagi proses enclosure selanjutnya. Namun, wawasan makro Harvey mengabaikan bagaimana proses-proses kongkrit yang menghubungkan keduanya. Hart berpendapat bahwa gerakan-gerakan perlawanan tidak dapat ditebak secara otomatis  dari accumulation by dispossession (Hart 2006). Selain itu, “fakta-fakta material yang menghubungkan dispossession itu dengan gerakan perlawanan perlu dianalisis apa maknanya, yang benar-benar memperhitungkan beragam cara determinasi, hubungan dan artikulasi historis/geografisnya” (Hart 2006:11)

 

Jadi, muara dari debat di muka itu adalah ajakan penulis untuk menjawabnya melalui pemeriksaan atas proses nyata yang berlangsung,  dan dari padanya dapat dihasilkan konsep-konsep yang kongkrit (concrete concepts)untuk menghadapi realitas konkrit yang berbeda di berbagai tempat dan berubah dari waktu-ke-waktu (concrete in history), seperti yang diusulkan Stuart Hall dalam mendiskusikan metode kerja Marx (Hall 2003). Hall merumuskan kembali apa yang oleh Marx kemukakan dalam ”1857 Introduction” (Marx 1973/1857):

”Yang kongkrit itu kongkrit dalam sejarah, dalam produksi sosial, dan selanjutnya dalam konsepsi, bukan karena (yang kongkrit) itu sederhana dan empiris, akan tetapi karena itu mempertunjukkan sesuatu kompleksitas tertentu yang diperlukan. Marx membuat suatu pembedaan yang pasti antara ’apa yang tersedia secara empiris’, dan yang kongkrit. Dalam usaha ’memikirkan kenyataan, kompleksitas yang konkrit secara historis, pemikiran kita musti merekonstruksi determinasi yang membentuk kenyataan itu. Jadi, apa yang dideterminasi secara bhineka dan bertunggal-ika dalam sejarah itu telah muncul sebagai hasil dalam pemikiran sebagai teori, bukan sebagaimana ’asalnya tempa kita bertolak’ tetapi sebagaimana layaknya (hal itu) harus dihasilkan.  Jadi, ’determinasi yang abstrak itu memandu menuju suatu reproduksi dari yang kongkrit (secara historis) itu melalui pemikiran.’ Lebih dari itu, bagi Marx, yang-kongkrit-dalam-sejarah itu menampilkan diri sekali lagi, sebagai suatu lembaran sejarah lagi, pada pemikiran (kita). Memikirkan yang-kongkrit-dalam-sejarah tidak dapat menjadi tempat bertolak demi suatu pertunjukan teori, (tapi) itu adalah prasyarat mutlak bagi semua proses konstruksi teoritis: itu adalah ’tempat bertolak dalam kenyataan dan oleh karena itu juga adalah tempat bertolak untuk pengamatan dan konsepsi’” (Hall 2003:129; kalimat dalam ’…’ berasal dari Marx, sedangkan huruf miring dari Hall).   

 

Ruang-ruang Pertarungan dan Perundingan Baru

 Vedi Hadiz mengemukakan bahwa arus utama skenario neo-institutionalist untuk membentuk tata kepemerintahan ’yang baik’, ’good’ governance,  antar badan pemerintah, antara pemerintah dengan kelompok masyarakat, dan antar kelompok masyarakat itu mungkin hanya sedikit yang berjalan seperti yang dirancang, dan tak disangka-sangka, ternyata telah dibajak oleh elite-elite dalam jaringan oligarki kapitalis cum politico-birokrat otoritarian lama yang mampu bekerja dalam alam demokrasi; Aliansi elite kapitalis dan politico-birokrat itu ternyata sanggup terus bercokol dan menjalankan kuasanya yang bersifat predatoris melintasi batas-batas hidup dari tatanan kelembagaan politik otoritarian di masa lampau; Mereka sanggup mengatasi turbulansi masa transisi demokrasi dan pada gilirannya menyenangi serta menjadi pemain utama dalam tatanan politik demokratis di masa kini (Hadiz 2004a; 2004b; 2006).

Pengamatan Hadiz itu tidaklah secara eksplisit mengungkap bagaimana kesemua itu bukanlah berupa ruang-ruang yang sepenuhnya telah dikuasai sebelumnya dan sepenuhnya oleh kekuatan jaringan oligarkis itu. Menurut penulis, sesungguhnya ruang-ruang itu adalah ruang-ruang pertarungan dan perundingan (spaces of contestation and negotiation), yang pada dasarnya bersifat relatif terbuka dapat juga dibentuk oleh mereka yang dapat memasukinya. Penulis melihat proses kebijakan desentralisasi sesungguhnya juga membuka ruang bagi pertarungan dan perundingan beragam visi, agenda, dan skenario, di mana berbagai kemungkinan baru dapat terwujud bergantung pada sejauh mana hubungan-hubungan antar kekuatan-kekuatan sosial yang bekerja pada ruang itu dapat ditempa, dipertemukan dan disinergikan untuk perjuangan sosial yang transformatif. Seperti yang dicontohkan pada tulisan kami yang sebelumnya (Fauzi dan Zakaria 2001, 2002, Zakaria et al 2001), kebijakan desentralisasi ternyata memberikan ruang bagi kelompok-kelompok gerakan petani dan masyarakat adat untuk memberdayakan dan menampilkan diri untuk mengusung kepentingannya serta mengintervensi pembentukan kebijakan lokal di tingkat kabupaten serta desa-desa di Kabupaten Garut (Jawa Barat), Kabupaten Toraja (Sulawesi Tengah), dan Kabupaten Sanggau (Kalimantan Barat). Yang dapat mereka hasilkan adalah suatu pengakuan atas pentingnya agenda untuk mempertahankan atau merebut kembali akses pada wilayah yang disebut ”tanah/hutan negara” yang dikuasai perusahaan perkebunan dan badan usaha kehutanan. Akses itu dipertahankan atau diperoleh kembali melalui penggarapan tanah secara langsung, pengubahan tata guna tanah dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan setempat.  

Dengan pedekatan yang sama penulis melihat bahwa proyek-proyek CDD juga memungkinkan komunitas untuk mereorganisasi diri bukan untuk terseret ke arah yang dirancang oleh kaum neo-institutionalist, bukan pula sekedar menerima menjadi korban aliansi dari elite-elite kapitalis cum politico-birokrat yang predatoris itu, atau menyiapkan diri sendiri menjadi tenaga kerja yang telah terdisiplinkan. Akan tetapi proyek-proyek tersebut juga membuka ruang baru bagi kerja pemberdayaan rakyat yang lemah secara politik. Seperti yang telah ditunjukkan oleh sekelompok  aktivis gerakan perempuan yang secara cemerlang telah berhasil mengerjakan kembali skema CDD menjadi ruang yang dipergunakan untuk pemberdayaan bagi para perempuan kepala keluarga, yang menjanda karena proses-proses perang, kekerasan etnis, maupun migrasi.  Hanya dengan mengerjakan kembali CDD, mereka dimungkinkan untuk memperjuangkan pengakuan atas status, identitas dan martabatnya menjadi Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA). Lebih dari itu, mereka telah sanggup menunjukkan kemampuan untuk mengatur diri sendiri dan mengelola proyek-proyek secara lebih baik dari pada yang dikelola kelompok-kelompok pengelola CDD lainnya. Pada perkembangan terakhir, di awal tahun 2009 ini kelompok-kelompok pengelola proyek yang tersebar di dua puluh tiga kabupaten dan delapan propinsi ini telah bermetamorofsa menjadi Serikat Perempuan Kepala Keluarga. Dengan organisasi massa ini mereka meneguhkan diri untuk menjadi pejuang yang ikut dalam proses-proses kebijakan pembangunan di tingkat desa hingga pemerintahan provinsi (selengkapnya lihat http://www.pekka.or.id/).  

Studi-studi governmentality terhadap PPK yang menggunakan pendekatan ”memerintah melalui komunitas” seperti yang dilakukan oleh Tania Li and Frederich Rawski telah memberi pelajaran bahwa memahami apa yang dilakukan melalui intervensi secara top-down dan tumbuh secara bottom-up bukanlah sesuatu yang perlu diperhadapkan secara diametral. Hans Antlov (2002, 2004) telah mengeksplisitkan kemungkinan komplementaritas itu. Ia mengibaratkan roti sandwich bahwa ada dua jenis kekuatan pembentuk pemerintahan lokal saat itu: proses desentralisasi dari pusat ke daerah (top-down) dan proses partisipasi warga Negara dari masyarakat ke pusat (bottom-up). Dibayangkannya proses ini akan “bertemu di pertengahan” dan mampu membentuk kontrak sosial baru serta membangun kepercayaaan pemerintah lokal yang vital bagi keberlangsungan Indonesia; Demokratisasi di tingkat nasional tidak akan bertahan lama tanpa memahami kebutuhan khusus masyarakat di tingkat lokal; Pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan seiring dengan stabilitas politik hanya dapat terpenuhi melalui sebuah proses penguatan masyarakat dengan seksama dan devolusi kekuasaan dari pusat ke tingkat lokal, dan sejumlah kewenangan, kebijakan, dan pengaturan dialihkan ke badan-badan lokal yang bertanggungjawab dan mampu mendekatkan pengambilan keputusan, formulasi kebijakan, ketetapan-ketetapan kepada rakyat (Antlov 2002:3).[9] 

Jadi pendekatan bottom-up dan top-down dapat diniatkan saling menguatkan satu sama lainnya, yakni Pemerintahan daerah dan kelompok-kelompok komunitas ditempa secara simultan diatur dan mengatur diri sendiri membuat suatu tata kepemerintahan yang diidam-idamkan itu. Memasuki dan bekerja dalam ruang-ruang demikian itu memiliki konsekuensi untuk berhadapan dengan berbagai agenda lain yang tidak dengan sendiri sejalan dengan maksud pemberdayaan kelompok-kelompok masyarakat yang lemah itu, dan dengan demikian tidak akan ada jaminan bahwa pertarungan dan perundingan tersebut akan dengan sendirinya bersifat transformatif terhadap ketidakadilan dalam hubungan kekuasaan yang melingkupinya. 

Apakah proyek-proyek pemberdayaan demikian itu pada kenyataannya berproses atau menghasilkan efek yang komplementer dan beresonansi dengan arus utama, atau bersifat transformatif dan memberi ruang bagi apa yang dimaksud oleh Nancy Fraser (1995) dengan perjuangan untuk pengakuan identitas (struggle for recognition) dan perjuangan untuk meredistribusi sumber daya yang terkonsentrasi (struggle for redistribution),  semua itu membutuhkan pemeriksaan yang teliti.  Pada titik ini penulis hendak kembali ke kutipan di  awal artikel ini, bahwa yang dilakukan dalam membentuk dan bekerja di dalam ruang-ruang pertarungan dan perundingan itu sesungguhnya ”sesesuatu yang membahayakan, yang tidak persis sama dengan  sesuatu yang buruk” (Foucault 1994:256). Penulis melihat bahwa hal ini bersifat berbahaya karena ruang ini bisa juga dibentuk dan diisi oleh kekuatan-kekuatan yang bekerja melancarkan proses akumulasi primitif, terutama oleh mereka yang selama ini menikmati keistimewaan untuk berkuasa dan menikmati surplus dari kerja-kerja rakyat selama ini dan hendak terus melanjutkan dan memperbesar kenikmatan itu. Selain itu, proyek-proyek pemberdayaan  itu juga membahayakan karena dimungkinkan adanya interaksi langsung dengan berbagai macam kekuatan sosial lainnya yang dapat saja mengubah cita-cita sosial dan rute transformasi sosial dari para pejuang sosial yang dimaksudkan oleh Nancy Fraser di atas. 

 

Refleksi Penutup

Ketika kita mendebatkan berbagai teori dan memperhadapkan satu sama lainnya mungkin muncul pertanyaan, untuk apa hal itu dilakukan.  Di sini kita juga menghadapi tujuan teorisasi kita sendiri. Penulis teringat pada pendirian Stuart Hall ketika ia benar-benar memikirkan dan terlibat dalam debat mengenai Thatcherisme yang mampu secara hegemonik menguasai kesadaran rakyat di Inggeris semenjak tiga dekade lalu. Ia menegaskan bahwa “tujuan teorisasi bukan untuk meningkatkan reputasi intelektual atau akademis seseorang, melainkan  untuk membuat kita mampu menangkap, memahami dan menjelaskan, singkatnya untuk mendapatkan pengetahuan yang memadai mengenai, dunia yang menyejarah serta proses-prosesnya sedemikian rupa sehingga memberikan kita informasi cara bagaimana (kita) mentransformasikannya” (Hall 1988:36).

 Dengan artikel ini penulis menawarkan suatu pendekatan yang dapat dijadikan pegangan untuk secara konkrit mengenali produksi ruang-ruang perundingan dan pertarungan baru di tingkat lokal, yang terbentuk dari proses akumulasi primitif dan cara bagaimana proyek Pembangunan, dalam hal ini adalah proses-proses kebijakan desentralisasi dan proyek-proyek CDD dalam menempa karakter pemerintahan daerah dan kelompok-kelompok komunitas lokal agar bisa cocok dengan apa yang dibutuhkan untuk pembangunan kapitalis yang perkembangannya tidak sama antara satu lokasi dengan lokasi lainnya.

Visibilitas dari hal ini bergantung pada posisi dan cara pandang yang melekat pada posisi masing-masing itu. Dalam konteks ini perlu ditegaskan terlebih dahulu bahwa cara pandang kita benar-benar akan dipengaruhi oleh koordinat tempat di mana kita berangkat dan ke mana kita akan pergi. Pentingnya posisi dan kesadaran akan posisi ini akan mempengaruhi isi dan cara pengetahuan dihasilkan dan disajikan. Hal telah disadari lama oleh sejumlah penulis kalangan antropologi refleksif, sosiologi ilmu, dan feminis di tengah tahun 1980-an (misalnya Clifford dan Marcus 1986; Haraway 1988; Hartsock 1987). Argumen utama yang mereka kemukakan adalah bahwa semua pengetahuan akademik, juga pengetahuan lainnya, senantiasa bergantung situasi (are always situated), dan selalu dihasilkan oleh pelaku yang berposisi tertentu (are always produced by positioned actors), yang bekerja di dalam berbagai hubungan sosial dan di antara berbagai posisi lain yang dihadapinya. Semua inilah yang membuat satu pengetahuan yang satu berbeda dengan pengetahuan lainnya, sebagai akibat dari proses pembuatannya (dilakukan oleh siapa, bagaimana dan juga untuk siapa bentuk akhir pengetahuan itu mau disajikan) (Cook et al 2005:16). 

Penulis yakin bahwa justru dengan kesadaran dan pengakuan bahwa pengetahuan yang dihasilkan senantiasa bersifat kontekstual dan relasional inilah yang akan dinilai lebih jujur, meyakinkan dan memberdayakan para pembaca untuk melihat hubungan-hubungan baru yang sering tidak terduga, termasuk yang memberi kemungkinan untuk aksi-aksi kolektif yang baru pula. Penegasan ini sangatlah penting untuk diperhadapkan dengan klaim bahwa teori dan proses produksi teori dalam ilmu sosial dan humaniora itu bebas-posisi alias netral. Dalam hal ini yang musti diselidiki adalah bukan benar salahnya klaim akan netralitas tersebut, melainkan dalam kondisi apa klaim itu dimunculkan, bagaimana klaim itu disebarluaskan, dan kemudian dianut oleh berbagai komunitas tertentu, serta kepentingan apa yang diemban oleh pengetahuan dan penyebar-penganut klaim tersebut.

Berkeley, 22 Agustus 2009,

Revisi 12 Januari 2018

 

Ucapan Terima Kasih

Naskah ini tidak mungkin dibuat tanpa kuliah-kuliah maupun konsultasi individual dengan Nancy Peluso dan Gillian Hart dari University of California, Berkeley. Naskah ini memperoleh apresiasi, kritik dan komentar dari Bonnie Setiawan, R. Yando Zakaria, Paramita Iswari, Mohamad Shohibudin, dan Laksmi Savitri. Terima kasih pula pada Vedi Hadiz yang memberi komentar dan usulan yang berharga pada draft terakhir dari naskah ini yang mendorong penulis memperbaikinya. Seperti biasanya, tanggungjawab naskah ini sepenuhnya berada pada penulis.

   

Bibliografi

Antlöv, Hans. 2002. The Making of Democratic Local Governance in Indonesia. Logo-Link International Workshop on Participatory Planning Approaches for Local Governance, Bandung, Indonesia, January 20-27, 2002. Available from http://www2.ids.ac.uk/logolink/resources/casestudies.htm#asia (Last downloaded on 08/21/2009).

_. 2004. "Filling the Democratic Deficit: Deliberative Forums and Political Organizing in Indonesia." in Democracy, Globalization and Decentralization in Southeast Asia, edited by F. L. K. Wah, and Joakim Öjendal. Copenhagen: NIAS Press. Pp. 233-258.

Ashman, Sam and Alex Callinicos. 2006. "Capital Accumulation and the State System: Assessing david Harvey's The New Imperialism." Historical Materialism 14:107-131.

Aspinall, Edward. 2004. "Indonesia: Civil Society and Democratic Breakthrough." Pp. 61-96 in Civil Society and Political Change in Asia: Expanding and Contracting Democratic Space, edited by M. Alagappa. Stanford: Stanford University Press.

Brenner, Robert. 2006. "What Is and What Is Not, Imperialism?" Historical Materialism 14:79-105.

Cammack, Paul. 2001a. "Making Poverty Work." in Socialist register 2002: A World of Contradictions, edited by L. Panitch and C. Leys. London: Merlin Press.

—. 2001b. "Making the Poor Work for Globalization." New Political Economy 6:397-408.

—. 2002. "Attacking The Poor." New Left Review 13:125-134.

—. 2003. "The Governance of Global Capitalism: A New Materialist Perspective." Historical Materialism 11:37-59.

—. 2004. "What the World Bank Means by Poverty Reduction, and Why It Matters." New Political Economy 9:189-211.

Carroll, Toby. 2005. "Efficiency of What and for Whom? The Theoretical Underpinnings of the Post-Washington Concensus' Socio-Institutional Neoliberalism." in Working Paper No. 122. Perth: Murdoch University.

—. 2006. "The World Bank’s Socio-institutional Neoliberalism: A Case Study from Indonesia." in The Workshop on the World Bank, Lee Kwan Yew School of Public Policy, National University of Singapore. Singapore.

_. 2007. "Politics of The World Bank's Socio-Institutional Neoliberalism". Dissertation Thesis. Murdoch University. 

Castree, Noer. 2006. "David Harvey's Symptomatic Silence." Historical materialism 14:35-57.

Clifford, James, and George Marcus (eds), 1986, Writing Culture: The Poetics and Politics of Ethnography, Los Angeles & Berkeley: University of California Press.

Cook, 2005, Positionality/Situated Knowledgedalam D. Atkinson et.al. (eds.), Cultural Geography: A Critical Dictionary of Key Concepts halaman 16-26, London: I.B. Tauris. 

Cowen, M.P. and Shenton, R.W. 1996: Doctrines of Development. London: Routledge

Craigh, David and Doug Porter. 2006. Development Beyond Neoliberalism? Governance, Poverty Reduction and Political Economy. London: Routledge.

Cribb, Robert. 1990. "The Indonesian Killings 1965-1966." Clayton: Centre for Southeast Asian Studies, Monash University.

—. 2001. "Genocide in Indonesia 1965-1966." Journal of Genocide Research 3:219-239.

Crook, Richard and James Manor. 2000. Democratic Decentralization. OECD Working Paper Series. Washington, DC.: The World Bank.

De Angelis, Massimo. 2000. " Marx’s Theory of Primitive Accumulation: A Suggested Reinterpretation." in Working Paper No. 29.  Departement of Economics.  University of EastAnglia London. Available athttp://homepages.uel.ac.uk/M.DeAngelis/PRIMMACCA.htm.

—. 2001. " Marx and Primitive Accumulation: The Continuous Character of Capital’s ‘Enclosures’." The Commoner 2 (September) (available at www.thecommoner.org).

—. 2004. "Separating the Doing and the Deed: Capital and the Continuous Character of Enclosures." Historical Materialism 12:57-87.

—. 2007. The Begining of History. Vaule Struggles and Global Capital. London: Pluto Press.

Engel, Susan. 2006. "Where to Neoliberalism? The World Bank and the Post-National Washington Consensus in Indonesia and Vietnem." in the 16th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia. Wollongong, 26 - 29 June 2006.

Fauzi, Noer. 1999. Petani dan PenguasaDinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria.

Fauzi, Noer dan R. Yando Zakaria. 2001, Mensiasati Otonomi Daerah, Panduan Fasilitasi Pengakuan dan Pemulihan Hak-hak Rakyat, Yogyakarta: Insist Press bekerjasama dengan Konsorsium Pembaruan Agraria.

_. 2002 “Democratizing Decentralization: Local Initiatives from Indonesia”. Paper submitted for the International Association for the Study of Common Property 9th Biennial Conference, Zimbabwe, 2002. http://dlc.dlib.indiana.edu/documents/dir0/00/00/08/18/dlc-00000818-01/fauzin170502.pdf .

Farid, Hilmar. 2005a. "Indonesia's Original Sin: Mass Killings and Capitalist Expansion, 1965-66." Inter-Asia Cultural Studies 6:3-16.

_. (2005b) The class question in Indonesian social sciences. V. R. Hadiz and D. Dhakidae (editors) Social science and power in Indonesia (pp. 167-195) Jakarta: Equinox Pub. And Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Fine, Ben. 2006. "Debating the 'New' Imperialism." Historical Materialism 14:133-156.

Foucault, Michael. 1994. "On the genealogy of ethics." In P. Rabinow (Ed.), Ethicssubjectivity and truth, Essential works of Foucault 1954-1984, Volume I  (pp. 253-280). New York: The New Press.

Fraser, Nancy. 1995 “From Redistribution to Recognition? Dilemmas of Justice in a ‘Post-Socialist’ Age,” New Left Review. July/August 1995:67-93.

Goldman, Michael. 2005a. Imperial Nature: The World Bank and Strugle for Social Justice in the Age of Globalization. New Haven, CT: Yale Uniersity Press.

—. 2005b. "Tracing the Roots/Routes of World Bank Power." International Journal of Sociology and Social Policy 25:10-29.

Gramsci, Antonio. 1971. Selections form the Prision Notebook, edited and translated by Quintin Hoare & Goffrey Nowell Smith, Lawrence and Wishart, London.

Griffin, Penny. 2006. "The World Bank." New Political Economy 11:571-581.

Guggenheim, Scott, Tatag Wiranto, Yogana Prasta, and Susan Wong. 2004. "Indonesia's Kecamatan Development Program: A Large-Scale Use of Community Development to Reduce Poverty." in Scaling Up Poverty Reduction: A Global Learning Processes and Conference. Shanghai.

Hadiz, R. Vedi and Richard Robison. 2005. "Neo-liberal Reforms and Illiberal Consolidations: The Indonesia Paradox." The Journal of Development Studies 41:220-241.

Hadiz, Vedi. 2001. "Capitalism, Oligarchic Power and the State in Indonesia". Historical Materialism. 8:119-151.

_. 2004a. "Decentralisation and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-Institutionalist Perpectives." Development and Change35:697-718.

—. 2004b. "Indonesian Local Party Politics: A Site of Resistance to Neo-Liberal Reform." Critical Asian Studies 36:615-636.

_. 2006. "Corruption and Neo-liberal Reform: Market and Predatory Power in indonesia and Southeast Asia". In The Neo-Liberal Revolution, Forging the Market State. Edited by Richard Robison. New York, Pagrave Macmillan. Pp. 70-97.

Hall, Stuart. 2003. "Marx's Notes on Method: A "Reading" Of the "1857 Introduction"."Cultural Studies (17(2):113-149.

Haraway, Donna, 1988, "Situated Knowledges: The Science Question in Feminism and Privilege of Partial Perspective", dalam Feminist Studies 14, p.575-99.

Hartsock, Nancy, 1987, The Feminist Standpoint dalam Sandra Harding (ed.), Feminism and Methodology, Milton Keynes: Open University Press.

Hart, Gillian. 2001. Development Debates in the 1990s: Culs de sac and Promising Paths. Progress in Human Geography 25, 605–14.

_. 2002. Disabling Globalization: Places of Power in Post-apartheid South Africa.. Berkeley: University of California Press

_. 2004. Geography and Development: Critical Ethnography. Progress in Human Geography 28:91–100

_.2006. "Denaturalizing Dispossession: Critical Ethnography in the Age of Resurgent Imperialism." Antipode 38:977-1004.

Harvey, David. 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press.

—. 2004. "The 'New' Imperialism: Accumulation by Disposession." in Socialist Register 2004, edited by L. Panitch and C. Leys. New York: Monthly Review Press.

—. 2005. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press.

—. 2006a. "Comment on Commentaries." Historical Materialism 14:157-166.

—. 2006b. Space of Global Capitalism: Toward a Theory of Uneven Geographical Development. London: Verso.

—. 2006c. Spaces of Global Capitalism. London: Verso.

Hofman, Bert and Kai  Kaiser. 2002. "The Making of the Big Bang and its Aftermath, A Political Economy Perspective." Paper presented at the conference "Can Decentralization Help Rebuild Indonesia?" The International Studies Program, Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta. http://www1.worldbank.org/publicsector/LearningProgram/Decentralization/Hofman2.pdf   Last accesed on 07/08/2009.   

Lefebvre, Hendry. 1974/1991. The Production of Space. D. Nicholson-Smith trans., Oxford: Basil Blackwell.

Li, Tania. 2006. "Neoliberal Strategies of Government Through Community: The Social Development Program of the World Bank in Indonesia." in International Law and Justice Working Papers. New York: Institute for International Law and Justice, New York University School of Law.

_. 2007. The Will to Improve: Governmentality, development and the Practice of Politics. Duke: Duke University Press.

_.2009. "The Law of the Project: Government and 'Good Governance' at the World Bank in Indonesia", Rule of Law and Laws of RulingOn Governance of Law. Edited by Frans von Benda-Beckman, Keebet von benda-Beckman, and Juliet Eckert. Burlington, Ashgate Publishing Company. Pp.237-256. 

Marx, Karl. 1973/1857 "Introduction" in The Grundrisse, Foundations of the Critique of Political Economytrans. Martin Nicolaus. Harmondsworth, Penguin Books.

Marx, Karl. 1976/1898. Capital, Vol. One, trans. Ben Fowkes. Harmondsworth, Penguin Books.

Manor, James. 1999. The Political Economy of Democratic Decentralization. Washington, DC.: The World Bank.

Mansuri, Ghazala and Vijayendra Rao. 2004. "Community-Based and -Driven Development: A Critical Review." The World Bank Research Obserer 19:1-39.

Mohan, Giles and Stokke, Kristian. 2000.. Participatory development and empowerment: the dangers of localism. Third World Quarterly, 21(2):247-268.

McMichael, Philip 2008 Development and Social Change: A Global Perspective. Forth Edition. Thousand Oaks, CA: Pine Forge Press/Sage Publications,

Pender, John. 2001. "From 'Structural Adjustment' to 'Comprehensive Development Framework': Conditionality Transformed?" Third World Quarterly 22:397-411.

Perelman, Michael. 2000. The Invention of Capitalism: Classical Political Economy and the Secret History of Primitive Accumulation. Durham: Duke University Press.

Rawski, Frederick. 2005. "World Bank Community-Driven Development Programming in Indonesia and East Timor:  Implications for the Study of Administrative Law." New York University Journal of International Law and Politics 37:919-951.

Robison, Richard and Vedi R. Hadiz. 2004. Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: Routledge.

Scott, David. 1995. "Colonial Governmentality." Social Text 43:161-220.

Stiglitz, Joseph E. 2002. "Participation and Development: Perspective from Comprehensive Development Paradigm." Review of Development Economics 6:163-182.

Sutcliffe, Bob. 2006. "Imperialisme Old and New: A Comment on David Harvey's The New Imperialism and Ellen Meiksins Wood's Empire of Capital." Historical Materialism 14:59-78.

Willis, Paul.1981. "Cultural Production is Different from Cultural Reproduction is Different from Social Reproduction is Different from Reproduction." Interchange, 12(2-3): 48 -67

Wong, Susan and Scott Guggenheim. 2005. "Community-Driven Development: Decentralization's Accountability Challenge." Pp. 253-267 in East Asia Decentralizes: Making Local Government Work, edited by T. W. Bank. Washington: The World Bank.

Wood, Ellen Meiksins. 2002. The Origin of CapitalismA Longer View. London, Verso.

_. 2006. "Logics of Power: A Converation with David Harvey." Historical Materialism 14:9-34.

World-Bank. 2001. "Promoting Good Governance with Social Funds and Decentralization." PREM Notes Public Sector 51. 

Zakaria, R. Yando, et al. 2001. Men-siasat-i Otonomi Daerah, Demi Pembaruan Agraria, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama bekerjasama dengan Konsorsium Pembaruan Agraria.

 



[1] Saat ini  adalah PhD Candidate di Department of Environmental Science, Policy and Management (ESPM), University of California, Berkeley.

[2] Sudah menjadi pegangan dalam pengajaran Studi Pembangunan bahwa Pembangunan adalah suatu proyek internasional merupakan suatu bentuk intervensi yang khusus yang dijalankan secara masif setelah Perang Dunia Kedua di negara-negara yang baru merdeka. Perang Dingin maupun hubungan internasional  setelah itu sangat kuat memberi pegaruh pada bentuk-bentuk dari proyek Pembangunan (Lihat misalnya Craigh and Porter 2006, McMichael 2008). 

[3] Carroll (2005) telah menganalisis secara mendalam Post-Washington Consensus yang memberi tempat besar bagi pembasisan teori-teori social capital yang mendasari proyek-proyek CDD, dan teori-teori rational choice yang mendasari kebijakan desentralisasi.

[4] Mohan dan Stokke (2000) menjuluki pandangan-pandangan neo-institutionalist ini sebagai revisionist neo-liberalism, yang pada pokoknya berposisi menganjurkan suatu strategi badan pembangungan internasional, pemerintah dan non-pemerintah untuk mengusahakan kelembagaan-kelembagaan kepemerintahan yang ada lebih efisien dan mengikutkan kelompok-kelompok komunitas tertentu dalam proses-proses kebijakan pembangunan. Konseptualisasi partisipasi dan pemberdayaan model demikian ini didasarkan pada model tatanan kekuasaan yang seimbang. Kekuasaan melekat di dalam anggota-anggota individual suatu komunitas dan dapat meningkat seiring dengan keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan individual dan kolektif. Hal ini menunjukkan bahwa pemberdayaan dari kaum yang tak berdaya dapat dicapai melalui tatanan sosial yang ada tanpa akibat negatif apapun terhadap kekuasaan pihak yang berkuasa” (hal. 249).

[5].  Pandangan Carroll terhadap PPK ini memiliki kesamaan dengan yang dibuat oleh Engels (2006) yang sepenuhnya menempatkan PPK sebagai sebuah contoh neoliberal versi baru dari Bank Dunia. Disini saya tidak mengkaji analisanya, karena topik bahasannya terhadap PPK ini sangat tipis. 

[6].  Saya akan kembali kepada perspektif Cammack untuk menjembatani perdebatan seputar desentralisasi dan CDD, dengan perdebatan di seputar akumulasi primitif.

[7] Terkecuali karya-karya Noer Fauzi (1999) dan Hilmar Farid (2005a, b), penulis belum menemukan karya sarjana Indonesia yang menggunakan konsepsi ini sebagai alat kerja analitiknya.

[8] De Angelis menggunakan istilah detritus yang dipinjamnya dari Chari (2005), dan kemudian mendefinisikannya sebagai “the layers of waste inscribed in the body and in the environment and that emerge out of articulation of life practices following their own conatus to capital’s loops (and their conatus)” (De Angelis 2007:232). Suatu penjelasan ilustratif mengenai conatus-detritus terdapat pada karya de Angelis (2007:234-237).

[9] Antlov memiliki argumentasi yang berbeda dengan kalangan mainstream Bank Dunia dalam hal menunjukkan pentingnya kebijakan desentralisasi. Antlov mengamati masalah utama di Indonesia bukan terletak pada tidak adanya pemerintah yang efektif (ia merujuk pada Negara-negara  Afrika dan Eropa Timur), bukan pula pemerintah kurang dekat dengan rakyat (ia merujuk pada Asia Timur).  Sebaliknya, ia menegaskan bahwa di bawah Orde Baru, pemerintah  terlalu dekat dengan rakyat dan terlalu efektif, mengintervensi seluruh aspek kehidupan publik dan pribadi. Tantangan masyarakat Indonesia adalah mereformasi lembaga-lembaga yang ada, bukan membuat institusi-institusi baru. Agendanya secara khusus adalah mendemokratiskan lembaga-lembaga Negara sehingga rakyat bisa percaya mereka (Antlov 2002:3). 

 

No comments:

Post a Comment