Dimuat sebagai Noer Fauzi Rachman (2013) "Rantai Penjelas Konflik-konflik Agraria yang Kronis, Sistemik, dan Meluas di Indonesia.". BHUMI: Jurnal Agraria Dan Pertanahan, (37), 1–14.
https://jurnalbhumi.stpn.ac.id/index.php/JB/article/view/148
Noer Fauzi Rachman*)
Abstrak
Artikel ini menawarkan sebuah kerangka penjelas untuk memahami
sebab-sebab, akibat-akibat, kondisi-kondisi yang melestarikan, dan akar-akar masalah dari konflik agraria ktruktural. Konflik agraria struktural didefinisikan sebagai pertentangan klaim
yang berkepanjangan mengenai siapa yang berhak atas akses terhadap
tanah, sumberdaya alam, dan wilayah antara satu kelompok rakyat pedesaan
dengan badan penguasa dan/atau pengelola tanah yang bergerak dalam
bidang produksi, ekstraksi, konservasi, dan lainnya. Pertentangan klaim
tersebut disertai pula dengan upaya dan tindakan menghilangkan
eksistensi, legitimasi, atau daya berlaku dari klaim pihak lain.
Berbeda
dengan banyak analisis yang mengutamakan pasar-sebagai-kesempatan,
penulis mendayagunakan pemikiran Ellen M. Wood mengenai pasar-sebagai-keharusan. Dengan menggunakan ilustrasi pada
konflik-konflik agraria berkenaan dengan ekspansi perkebunan kelapa
sawit di Indonesia, artikel ini menempatkan konflik agraria sebagai
konsekuensi dari perkembangan pasar kapitalis.
Kata-kata Kunci: konflik agraria, pasar, kapitalisme agraria.
Pengantar
Konflik agraria struktural yang dimaksud dalam artikel ini merujuk pada pertentangan klaim yang berkepanjangan mengenai siapa yang berhak atas akses pada tanah, sumber daya alam (SDA), dan wilayah antara suatu kelompok rakyat pedesaan dengan badan penguasa/pengelola tanah[2] yang bergerak dalam bidang produksi, ekstraksi, konservasi, dan lainnya; dan pihak-pihak yang bertentangan tersebut berupaya dan bertindak, secara langsung maupun tidak, menghilangkan klaim pihak lain. Konflik agraria yang dimaksud dimulai oleh surat keputusan pejabat publik, termasuk Menteri Kehutanan, Menteri ESDM (Energi Dan Sumber Daya Mineral), Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional), Gubernur, dan Bupati, yang memberi ijin/hak/lisensi pada badan usaha tertentu, dengan memasukkan tanah, SDA, dan wilayah kepunyaan rakyat ke dalam konsesi-konsesi agraria yang bergerak dalam bidang ekstrasi, produksi, maupun konservasi berbasiskan sumberdaya alam.
Konflik agraria yang dimaksud dalam artikel ini dimulai dengan pemberian
ijin/hak pemanfaatan oleh pejabat publik yang mengekslusi sekelompok
rakyat dari tanah, SDA, dan wilayah kelolanya. Akses yang telah dipunyai
sekelompok rakyat itu dibatasi, atau dihilangkan sepenuhnya. Dalam literature studi agraria terbaru, konsep akses dan ekslusi adalah
dua konsep yang diletakkan sebagai dua sisi dari satu mata uang. Akses
diberi makna sebagai “kemampuan untuk mendapat manfaat dari sesuatu,
termasuk objek-objek material, orang-orang, institusi-institusi dan
simbol-simbol” (Ribot and Peluso: 2003: 153), sedangkan eksklusi
dimaknakan sebagai “cara-cara dimana orang
lain dicegah untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu
(lebih khususnya, tanah)” (Hall dkk. 2011: 7). Proses eksklusi ini menggunakan regulasi, pasar, kekuatan, dan legitimasi,
sebagaimana dijelaskan dengan panjang lebar dan secara ilustratif dalam
buku Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Murray Li (2011) Power of Exclusion, Land Dilemmas in Southeast Asia.
Naskah ini akan secara lugas mengungkap dan membahas rantai penjelas dari
konflik agraria (sebab langsung, sebab struktural, dan
kondisi-kondisi yang melestarikannya—lihat Bagan 1 di bawah), dengan
mengambil ilustrasi konflik agraria yang diakibatkan oleh ekspansi
perkebunan kelapa sawit.
Kerangka Rantai Penjelas Konflik-konflik Agraria
Konflik agraria akan terus-menerus meletus di sana-sini, bila
sebab-sebabnya belum dihilangkan. Dengan tetap adanya kondisi-kondisi yang
melestarikannya, konflik-konflik agraria ini menjadi kronis dan berdampak
luas. Pelajaran pokok yang hendak dikemukakan tulisan ini adalah bahwa
dalam menangani konflik-konflik agraria struktural, yang kronis, sistemik
dan berdampak luas, kita tidak bisa mengandalkan cara-cara tambal-sulam
dengan sekedar mengatasi secara cepat dan darurat, terutama sehubungan
dengan eskalasi dan ekses yang tampak dari konflik-konflik itu. Artikel
ini menganjurkan bahwa untuk memahami konflik-konflik agraria seperti ini
secara memadai, kita memerlukan pendekatan yang memadai pula, yang
mendasarkan diri pada rerantai sebab-akibat dan kondisi-kondisi yang
melestarikannya.
Bagan 1.
Kerangka penjelas sebab-akibat konflik agraria struktural,
kondisi-kondisi yang melestarikan, dan akar masalahnya
Sebab-sebab
-
Pemberian ijin/hak/konsesi oleh pejabat publik (Menteri kehutanan,
Menteri ESDM, Kepala BPN, Gubernur dan Bupati) yang memasukkan
tanah/wilayah kelola/SDA kepunyaan sekelompok rakyat ke dalam konsesi
badan-badan usaha raksasa dalam bidang produksi, ekstraksi, maupun
konservasi.
-
Penggunaan kekerasan, manipulasi, dan penipuan dalam pengadaan tanah
skala besar untuk proyek-proyek pembangunan, perusahaan-perusahaan
raksasa, dan pemegang konsesi lain dalam bidang produksi, ekstraksi,
konservasi.
-
Ekslusi sekelompok rakyat pedesaan dari tanah/wilayah kelola/SDA yang
dimasukkan ke dalam konsesi badan usaha raksasa tersebut.
-
Perlawanan langsung dari kelompok rakyat sehubungan ekslusi
tersebut.
Akibat-akibat
-
Ekslusi rakyat, perempuan dan laki-laki, atas tanah, wilayah, dan SDA
yang diperebutkan secara langsung berakibat hilangnya (sebagian) wilayah
hidup, mata pencaharian, dan kepemilikan atas harta benda.
-
Menyempitnya ruang hidup rakyat, yang diiringi menurunnya kemandirian
rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, utamanya pangan.
-
Last but not least, transformasi dari petani menjadi buruh upahan.
Akibat-akibat Lanjutan
-
Konflik yang berkepanjangan menciptakan krisis sosial ekologi yang
kronis, termasuk mendorong penduduk desa bermigrasi ke wilayah-wilayah
baru untuk mendapatkan tanah pertanian baru atau pergi ke kota menjadi
golongan miskin perkotaan.
-
Dalam krisis sosial ekologis ini secara khusus perhatian perlu
diberikan pada berbagai bentuk ketidakadilan gender, dimana perempuan
dari kelompok marginal menghadapi dan menanggung beban yang jauh lebih
besar.
-
Merosotnya kepercayaan masyarakat setempat terhadap pemerintah yang
pada gilirannya dapat menggerus rasa ke-Indonesia-an para korban.
-
Meluasnya artikulasi konflik agraria ke bentuk-bentuk konflik lain
seperti: konflik etnis, konflik agama, konflik antar kampung/desa, dan
konflik antar “penduduk asli” dan pendatang.
Kondisi-kondisi yang Melestarikan
-
Tidak adanya koreksi atas putusan-putusan pejabat publik yang
memasukkan tanah/wilayah kelola/SDA rakyat ke dalam konsesi badan usaha
atau badan pemerintah raksasa untuk produksi, ekstraksi, maupun
konservasi, dan di sisi lain, berlangsungnya terus-menerus proses
pemberian ijin/hak pada badan-badan raksasa tersebut.
-
Lembaga-lembaga pemerintah tidak pernah membuka informasi kepada
publik, apalagi dikontrol oleh publik, perihal penerbit hak/ijin/lisensi
yang berada pada kewenangannya.
-
Ketiadaan kelembagaan yang memiliki otoritas penuh, lintas sektor dalam
lembaga pemerintah, yang memadai dalam menangani konflik agraria yang
telah, sedang, dan akan terjadi.
-
Badan-badan usaha atau badan-badan pemerintah bersikap defensif apabila
rakyat mengartikulasikan protes sebab hilang atau berkurangnya akses
rakyat atas tanah, sumber daya alam, dan wilayahnya, sebagai akibat dari
hak/ijin/lisensi yang mereka dapatkan itu. Lebih lanjut, protes rakyat
disikapi dengan kekerasan, kriminalisasi, dan intimidasi.
-
Sempitnya ruang lingkup dan terhambatnya pelaksanaan program yang
disebut “Reforma Agraria” dalam membereskan ketimpangan penguasaan tanah
dan SDA. Lebih dari itu, kita menyaksikan berbagai skandal dalam
implementasi redistribusi tanah, misalnya pemberian tanah bukan pada
mereka yang memperjuangkan, pengurangan jumlah tanah yang seharusnya
diredistribusi, penipuan dan manipulasi nama-nama penerima maupun objek
redistribusi, dan tanah-tanah yang diredistribusi dikuasai oleh
tuan-tuan tanah (rekonsentrasi).
Akar Masalah
-
Tidak adanya kebijakan untuk menyediakan kepastian penguasaan (tenurial security) bagi akses atas tanah-tanah/SDA/wilayah kelola masyarakat, termasuk
pada akses yang berada dalam kawasan huatn negara.
-
Dominasi dan ekspansi badan-badan usaha raksasa dalam industri
ekstraktif, produksi perkebunan dan kehutanan, serta
konservasi.
-
Instrumentasi badan-badan pemerintahan sebagai “lembaga pengadaaan
tanah” melalui rejim-rejim pemberian hak/ijin/lisensi atas tanah dan
sumber daya alam.
-
UUPA 1960 yang pada mulanya ditempatkan sebagai UU Payung, pada
prakteknya disempitkan hanya mengurus wilayah non-hutan (sekitar 30%
wilayah RI), dan prinsip-prinsipnya diabaikan. Peraturan
perundang-undangan mengenai pertanahan/kehutanan/ PSDA lainnya tumpang
tindih dan bertentangan antara satu dengan yang lain.
-
Hukum-hukum adat yang berlaku di kalangan rakyat diabaikan atau
ditiadakan keberlakuannya oleh perundang-undangan agraria, kehutanan dan
pertambangan.
-
Sektoralisme kelembagaan, sistem, mekanisme, dan administrasi yang
mengatur pertanahan/kehutanan/SDA lainnya yang semakin menjadi-jadi.
-
Last but not least, Semakin menajamnya ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
peruntukan tanah/hutan/SDA lainnya.
Ilustrasi Konflik-konflik Agraria sebagai Akibat Ekspansi Perkebunan
Kelapa Sawit
Produksi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia terus tumbuh pesat dari tahun ke tahun. Indonesia
adalah penghasil CPO terbesar di dunia. Pemantauan dari Indonesian Commercial News Letter (Juli 2011) produksi CPO meningkat menjadi 21,0 juta pada 2010 dari
tahun sebelumnya 19,4 juta ton. Pada 2011 produksi diperkirakan akan naik
4,7% menjadi sekitar 22,0 juta ton. Sementara itu, total ekspor juga
meningkat, yakni pada 2010 sekitar 15,65 juta ton, dan diperkirakan akan
melonjak menjadi 18,0 juta ton pada 2011. Dari total produksi tersebut
diperkirakan hanya sekitar 25% atau sekitar 5,45 juta ton yang dikonsumsi
oleh pasar domestik. Produksi CPO sebanyak itu ditopang oleh total luas
konsesi perkebunan kelapa sawit yang terus bertambah yaitu menjadi 7,9
juta hektar pada 2011 dari 7,5 juta hektar pada 2010.
Data Dirjenbun menunjukkan bahwa luasan perkebunan kelapa sawit di
Indonesia adalah 8,1 juta (Dirjenbun 2012 sebagaimana dikutip oleh Sawit
Watch 2012). Luas perkebunan ini, lebih kecil dari yang sesungguhnya sebagaimana
diperkirakan oleh Sawit Watch (2012), telah mencapai 11,5 juta hektar.
Perkebunan-perkebunan kelapa sawit sering lebih luas dari konsesi
legalnya. Dari luasan ini berapa persen partisipasi petani-petani yang
bertanam kelapa sawit di tanahnya sendiri. Menurut Dirjen Perkebunan,
Departemen Pertanian, luasan kebun sawit milik petani di atas 40 % (sebagaimana dikutip oleh
Sawit Watch 2012). Sementara menurut Sawit Watch sendiri
(2012), jumlahnya adalah kurang dari 30 %. Dengan percepatan luasan 400.000 ha per tahun, luasan kebun sawit
Indonesia yang digenjot pemerintah, perusahaan-perusahaan swasta, dan
petani-petani sawit, luasan kebun sawit di Indonesia dicanangkan mencapai
20 juta hektar pada tahun 2025.
Menarik sekali memperhatikan data dari Direktur Pascapanen dan Pembinaan
Usaha Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan pada Kementerian Pertanian,
Herdradjat Natawidjaja (2012), sebagaimana dimuat
dalam Kompas 26 Januari 2011, “Lahan Sawit Rawan
Konflik“. Dalam rapat koordinasi perkebunan berkelanjutan di Kota
Pontianak, Kalimantan Barat, pada tanggal 25 Januari 2012, ia menyampaikan
data bahwa sekitar 59 % dari 1.000 perusahaan kelapa sawit di seluruh
daerah Indonesia terlibat konflik dengan masyarakat terkait lahan. Tim
dari Ditjen Perkebunan sudah mengidentifikasi konflik itu di 22 provinsi
dan 143 kabupaten. Totalnya ada sekitar 591 konflik: Kalimantan Tengah
menempati urutan pertama dengan 250 kasus konflik, disusul Sumatera Utara
101 kasus, Kalimantan Timur 78 kasus, Kalimantan Barat 77 kasus, dan
Kalimantan Selatan 34 kasus.
Dalam
banyak konflik-konflik agraria kita juga menyaksikan instrumentasi hukum,
penggunaan kekerasan, kriminalisasi (tokoh) penduduk, manipulasi,
penipuan, dan pemaksaaan persetujuan, yang dilakukan secara sistematik dan
meluas. Kesemua ini sering menyertai upaya penghilangan klaim rakyat atau
pengalihan penguasaan atas tanah, SDA dan wilayah kelola rakyat setempat
ke konsesi yang dipunyai oleh badan-badan usaha raksasa
termaksud. Hal ini sekaligus merupakan ekslusi atau pembatasan
akses rakyat terhadap tanah, SDA, maupun wilayah kelolanya. Sebaliknya,
terjadi perlawanan langsung dari rakyat maupun yang difasilitasi oleh
organisasi-organisasi gerakan sosial, lembaga swadaya masyarakat (LSM),
maupun elite politik, dilakukan untuk menentang eksklusi, atau pembatasan
paksa akses rakyat tersebut.
Sudah diakui bahwa masalah pengadaan tanah untuk perkebunan sawit di
Indonesia cenderung berujung pada konflik agraria. Pertentangan klaim hak
atas tanah terjadi antara pengusaha yang telah mengantongi Hak Guna Usaha
(HGU) dari pemerintah dengan masyarakat petani yang telah hidup
bertahun-tahun di sebuah wilayah dengan sistem tenurialnya sendiri
(Colchester dkk., 2006).
Sebab-sebab Struktural Konflik Agraria
Konflik agraria belum banyak diungkap sebab-sebab strukturalnya, yakni
yang berhubungan dengan bagaimana ekonomi pasar kapitalistik
bekerja. Harus dipahami bahwa ekonomi pasar kapitalistik bekerja sama sekali
berbeda dengan ekonomi pasar sederhana dimana terjadi tukar-menukar barang
melalui tindakan belanja dan membeli yang diperantarai oleh uang. Dalam
ekonomi pasar kapitalis, “bukanlah ekonomi yang melekat ke dalam
hubungan-hubungan sosial, melainkan hubungan-hubungan sosial lah yang
melekat ke dalam sistem ekonomi kapitalis itu” (Polanyi 1944/1957:57).
Pasar kapitalis memiliki kekuatannya sendiri yang dipercayai bisa mengatur
dirinya sendiri. Tapi, sebagaimana ditunjukkan oleh Polanyi, badan-badan
negara lah yang sesungguhnya membuat pasar kapitalis demikian itu bisa
bekerja.
Ekonomi pasar kapitalis terus bergerak. Kalau tidak bergerak dia
mati. Gerakan pasar dapat dibedakan sebagai penyedia kesempatan dan juga dapat
sebagai kekuatan pemaksa. Ellen Wood (1994) mengistilahkannya
sebagai market-as-opportunity (pasar-sebagai-kesempatan),
dan market-as-imperative(pasar-sebagai-keharusan). Pasar
sebagai kesempatan bekerja melalui proses sirkulasi barang dagangan. Kebutuhan manusia pada
gilirannya dibentuk agar dapat mengkonsumsi apa-apa yang diproduksi.
Sebagai suatu sistem produksi yang khusus, ia mendominasi cara pertukaran
komoditas melalui pasar. Lebih dari itu, perusahaan kapitalisme sanggup
membentuk bagaimana cara sektor ekonomi dikelola oleh badan-badan
pemerintahan hingga ke pemikiran cara bagaimana cara ekonomi pasar itu
diagung-agungkan. [3]
Negara Indonesia secara terus-menerus dibentuk menjadi negara neoliberal
dalam rangka melancarkan bekerjanya ekonomi pasar kapitalis di zaman globalisasi sekarang ini. Hal ini perlu dipahami dengan kerangka
pasar-sebagai-keharusan. Pasar-sebagai-keharusan dapat dipahami mulai dari karakter sistem produksi
kapitalis sebagai yang paling mampu dalam mengakumulasikan keuntungan
melalui kemajuan dan sofistikasi teknologi, serta peningkatan
produktivitas tenaga kerja per-unit kerja, dan efisiensi hubungan sosial
dan pembagian kerja produksi dan sirkulasi barang dagangan. Kesemuanya
mengakibatkan penggantian pabrik-pabrik yang telah usang, sektor-sektor
ekonomi yang tidak kompetitif, hingga ketrampilan para pekerja yang tidak
lagi dapat dipakai.
Sebagai sistem produksi yang khusus, kapitalisme ini memberi tempat hidup
dan insentif bagi semua yang efisien, dan menghukum mati atau membiarkan
mati hal-hal yang tidak sanggup menyesuaikan diri dengannya. Selanjutnya,
di atas apa-apa yang telah dihancur-leburkan itulah dibangun sesuatu yang
baru, yang dapat lebih menjamin keberlangsungan akumulasi keuntungan.
Schumpeter (1944/1976:81-86) menyebut hal ini sebagai the process of creative destruction (proses penghancuran yang kreatif).
Sejarah penguasaan agraria di Indonesia hampir mirip dengan sejarah yang
terjadi di negara-negara pasca-kolonial di Asia, Amerika Latin hingga Afrika. Pemberlakuan hukum agraria
yang baru, termasuk di dalamnya hukum yang mengatur usaha-usaha
perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, merupakan suatu cara agar perusahaan-perusahaan kapitalis dari negara-negara
penjajah di Eropa maupun Amerika dapat memperoleh akses eksklusif atas tanah dan kekayaan alam, yang
kemudian mereka definisikan sebagai modal perusahaan-perusahaan
itu.
Di Indonesia pasca-kolonial, kran liberalisasi sumberdaya alam tersebut sangat jelas ketika
Orde Baru pimpinan Jenderal Soeharto mulai berkuasa, tahun 1967. Liberalisasi ini telah merampas
kedaulatan rakyat atas tanah untuk kedua kalinya setelah pemerintah
kolonial melakukan cara serupa semasa penjajahan sebelumnya. Badan-badan pemerintahan dan perusahaan-perusahaan mulai mengkapling-kapling tanah-air Indonesia untuk konsesi perkebunan, kehutanan dan pertambangan, dan mengeluarkan penduduk yang hidup di dalam konsesi itu. Hubungan dan
cara penduduk menikmati hasil dari tanah dan alam telah diputus melalui
pemberlakuan hukum, penggunaan kekerasan, pemagaran wilayah secara fisik,
hingga penggunaan simbol-simbol baru yang menunjukkan status kepemilikan
yang bukan lagi dipangku oleh mereka. Bila saja sekelompok rakyat
melakukan protes dan perlawanan untuk menguasai dan menikmati kembali
tanah dan wilayah yang telah diambil alih pemerintah dan
perusahaan-perusahaan itu, mereka akan merasakan akibat yang sangat nyata:
kriminalisasi, sanksi oleh birokrasi hukum, atau tindakan kekerasan
lainnya yang seringkali dibenarkan secara hukum.
Pengkaplingan dan pemutusan hubungan itu pada intinya adalah penghentian
secara paksa akses petani atas tanah dan kekayaan alam tertentu, lalu
tanah dan kekayaan alam itu masuk ke dalam modal perusahaan-perusahaan
kapitalistik.[4] Jadi, perubahan dari alam menjadi “sumber daya alam” ini berakibat
sangat pahit bagi rakyat petani yang harus tersingkir dari tanah asalnya
dan sebagian dipaksa berubah menjadi tenaga kerja/buruh upahan. Ini adalah
proses paksa menciptakan orang-orang yang tidak lagi bekerja terikat pada
tanah dan alam. Orang-orang ini mengandalkan hanya pada tenaga yang
melekat pada dirinya saja, lalu menjadi para pekerja bebas. Sebagian
mereka pergi dari tanah mereka di desa-desa ke kota-kota untuk mendapatkan
pekerjaan. Kantung-kantung kemiskinan di kota-kota dilahirkan oleh proses demikian ini (Davis 2006).
David Harvey (2003, 2005) mengemukakan istilah accumulation by dispossession (akumulasi dengan cara perampasan) yang dibedakan dengan accumulation by exploitation, yakni akumulasi modal secara meluas melalui eksploitasi
tenaga kerja dalam proses produksi dan sirkulasi barang dagangan. Dalam proses akumulasi dengan cara perampasan, dia menekankan pentingnya ”produksi ruang, organisasi pembagian kerja yang
secara keseluruhannya baru dalam wilayah yang baru pula, pembukaan
berbagai macam cara perolehan sumberdaya baru yang jauh lebih murah,
pembukaan wilayah-wilayah baru sebagai bagian dari dinamika ruang-ruang
akumulasi modal, dan penetrasi terhadap formasi sosial yang ada oleh
hubungan-hubungan sosial kapitalis dan tatanan kelembagaannya (contohnya
aturan kontrak dan kepemilikan pribadi) membuka jalan bagi penyerapan
surplus modal maupun tenaga kerja” (Harvey 2003: 116). Reorganisasi dan rekonstruksi geografis untuk
pembukaan ruang-ruang baru bagi sistem produksi kapitalis ini dimulai
dengan menghancur-lebur hubungan kepemilikan rakyat pedesaan dengan tanah,
kekayaan alam, dan wilayahnya, dan segala hal-ihwal kebudayaannya yang
hidup, melekat secara sosial pada tempat-tempat itu.
Reorganisasi dan rekonstruksi geografis inilah yang sedang kita
alami dengan pemberian konsesi-konsesi tanah dan sumber daya alam untuk
menghasilkan komoditas-komoditas global seperti yang dirancang secara
terpusat dengan Masterplan Percepatan dan Pengembangan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) 2011-2025. Dalam MP3EI itu, tiap koridor ekonomi dirancang untuk
menghasilkan andalan-andalan komoditas global tertentu (lihat table 1 di
bawah).
Tabel 1. Pembagian Koridor Ekonomi menurut MP3EI
Koridor Ekonomi |
Produksi Komoditas Global yang Diandalkan |
Sumatera, Banten Utara |
Sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi
nasional dengan fokus sektor pada minyak kelapa sawit/CPO, Karet,
dan Batubara |
Jawa |
Pendorong industri dan jasa nasional dengan fokus sektor pada
produk makanan, tekstil dan industri alat angkut |
Kalimantan |
Pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi
nasional dengan fokus sektor pada migas, minyak kelapa sawit, dan
batubara |
Sulawesi, Maluku Utara |
Pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan
perikanan nasional dengan fokus sektor pada tanaman pangan,
perkebunan, perikanan, dan pertambangan nikel |
Bali, Nusa Tenggara |
Pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional dengan
fokus sektor pada pariwisata serta pertanian dan peternakan |
Papua, Maluku |
Pengolahan sumber daya alam yang melimpah dan SDM yang sejahtera
dengan fokus sektor pada pertambangan serta pertanian dan
perkebunan |
Pasar kapitalis membuat segala hal dikomodifikasi menjadi barang
dagangan. Namun, khusus untuk tanah (atau lebih luas alam), pasar kapitalis tidak akan pernah berhasil mengkomodifikasi
sepenuhnya. Karl Polanyi percaya bahwa tanah (atau lebih luasnya: alam)
sesungguhnya bukanlah komoditi atau barang dagangan, dan tidak dapat
sepenuhnya diperlakukan sebagai komoditi (barang dagangan). Tanah melekat
sepenuhnya dengan relasi-relasi sosial. Jadi mereka yang memperlakukan
tanah (alam) sepenuhnya sebagai komoditi, sesungguhnya bertentangan dengan
hakekat tanah (alam) itu sendiri. Tanah (alam) dapat dibayangkan sebagai komoditi. Polanyi
mengistilahkannya: fictitious commodity (barang dagangan
yang dibayangkan). Menurut Polanyi memperlakukan tanah (alam) sebagai
barang dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial
yang melekat padanya, niscaya akan menghasilkan guncangan-guncangan yang
menghancurkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masyarakat itu, dan kemudian
akan ada gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang
lebih parah.
Tanah (dan juga tenaga kerja) merupakan syarat hidup dari masyarakat.
Memasukkan tanah (dan juga tenaga kerja) dalam mekanisme pasar adalah
merendahkan hakekat masyarakat, dan dengan demikian menyerahkan begitu
saja spengaturan kehidupan masyarakat pada mekanisme pasar. Hal ini dengan
sendirinya, akan menimbulkan gejolak perlawanan, demikian Polanyi
menyebutkan. Polanyi pun menulis bahwa kelembagaan pasar demikian “tak
dapat hidup lama tanpa melenyapkan hakekat alamiah dan kemanusiaan dari
masyarakat; Ia akan secara fisik merusak manusia dan mengubah
lingkungannya menjadi demikian tak terkendalikan. Tak terelakkan lagi,
masyarakat melakukan upaya perlindungan diri” (Polanyi 1944:3).
Dalam bagian lain bukunya, Polanyi menulis “selama berabad dinamika masyarakat modern diatur oleh
suatu gerakan ganda (double movement): pasar yang terus ekspansi
meluaskan diri, tapi gerakan (pasar) ini bertemu dengan suatu gerakan
tandingan (counter-movement) menghadang ekspansi ini agar jalan ke
arah yang berbeda. Apa yang diutamakan oleh gerakan tandingan ini adalah
untuk melindungi masyarakat, yang pada akhirnya (gerakan tandingan itu)
tak cocok dengan prinsip pengaturan diri-sendiri dari pasar, dan dengan
demikian tidak cocok pula dengan sistem pasar itu sendiri” (Polanyi
1944:130). Protes-protes itu adalah perlawanan balik yang sesaat atau bisa juga
berkepanjangan dari sekelompok rakyat untuk bertahan, melindungi diri dan
bahkan melawan proses komodifikasi yang dilancarkan oleh pasar kapitalis
itu (Fauzi 1999).
Kesimpulan dan Penutup
Merujuk pada puisi yang dikutip di awal tulisan ini, di kalangan kaum
terdidik, termasuk para ahli hukum, baik di Indonesia maupun di berbagai
belahan bumi lainnya, kita dihadapkan oleh dua macam pemikiran
yang bertentangan satu sama lain, yakni mereka yang mempelajari
“orang-orang yang mencuri seekor angsa dari tanah milik bersama”, dan
mereka yang mempelajari mereka “yang mencuri tanah milik bersama dari
angsa itu” (Ollman 2008:8). Tulisan ini mengajak kita mengerti
mereka yang “mencuri angsa” dari “tanah milik bersama” itu, dengan
berusaha mengemukakan cara kerja mereka ”yang mencuri tanah milik bersama dari angsa itu”.
Kita sudah saksikan bahwa jika konflik-konflik agraria struktural,
seperti yang terjadi sehubungan dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit,
dipahami hanya sebatas problem kriminalitas rakyat, maka pendekatan
polisionil yang diterapkan sebagai konsekuensi dari pemahaman itu
berakibat pada semakin rumitnya konflik-konflik agraria tersebut. Penulis
menganjurkan mendudukkan konflik-konflik agraria yang berhubungan dengan
perluasan perkebunan sawit di Indonesia dalam perspektif yang lebih luas.
Akibat lanjutan dari konflik agraria ini adalah meluasnya konflik itu
sendiri, dari sekedar konflik klaim atas tanah, sumberdaya alam dan
wilayah menjadi konflik-konflik lain. Konflik agraria yang berkepanjangan
menciptakan krisis sosial-ekologi, termasuk yang mendorong penduduk desa
bermigrasi ke wilayah-wilayah baru untuk mendapatkan tanah pertanian baru,
atau pergi dan hidup menjadi golongan miskin kota. Hal ini menjadi sumber
masalah baru di kota-kota.
Lebih jauh dari itu, artikulasi konflik agraria dapat membentuk-bentuk
konflik lain seperti konflik antara para petani pemilik asal tanah dengan
pekerja perkebunan, konflik antar kelompok etnis, antar “penduduk asli”
dan pendatang, bahkan hingga konflik antar kampung/desa. Ketika
konflik-konflik itu berlangsung dalam intensitas yang tinggi, rakyat
mencari akses ke organisasi gerakan sosial, LSM, DPRD, Badan Pertanahan
Nasional, Kementrian Kehutanan, hingga DPR Pusat, Komnas HAM, dll. Dalam
sejumlah kasus klaim dan keperluan rakyat korban bisa diurus sesuai dengan
kewenangan dan kapasitas masing-masing lembaga. Namun, tidak demikian
halnya untuk kasus-kasus dengan karakteristik konfliknya yang bersifat
struktural, dan sudah kronis, serta akibat-akibatnya telah
meluas.
Konflik agraria struktural macam ini dilestarikan oleh tidak adanya
koreksi/ralat atas putusan-putusan pejabat publik (Menteri Kehutanan,
Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri ESDM, Bupati dan Gubernur) yang
memasukkan tanah, SDA, dan wilayah hidup rakyat ke dalam konsesi badan
usaha raksasa untuk produksi, ekstraksi, maupun konservasi. Kita tahu
bahwa berdasarkan kewenangannya, pejabat publik itu dimotivasi oleh
keperluan perolehan rente maupun untuk pertumbuhan ekonomi, mereka
melanjutkan dan terus-menerus memproses pemberian ijin/hak pada
badan-badan usaha/proyek raksasa tersebut. Kita tahu pula bahwa bila suatu
koreksi demikian dilakukan, pejabat-pejabat publik dapat dituntut balik
oleh perusahaan-perusahaan yang konsesinya dikurangi atau apalagi
dibatalkan. Resiko kerugian yang bakal diderita bila kalah di Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) tentu dihindari oleh pejabat publik yang
bersangkutan.
Dalam situasi konflik agraria yang berkepanjangan, rakyat korban bertanya
mengenai posisi dan peran pemerintah. Rakyat bisa sampai pada perasaan
tidak adanya pemerintah yang melindungi dan mengayomi. Pada tingkat awal
mereka akan memprotes pemerintah. Ketika kriminalisasi diberlakukan
terhadap mereka, mereka merasa dimusuhi pemerintah. Kalau hal ini
diteruskan, mereka merasakan pemerintah di masa Reformasi berlaku sebagai
penguasa dan bertindak semaunya saja, termasuk menjadi pelayan pasar
kapitalis. Kalau hal ini diteruskan, yang akan terjadi adalah merosotnya
legitimasi pemerintah di mata rakyatnya. Hal ini tentunya akan membuat
negara kita semakin jauh dari yang dicita-citakan oleh proklamasi
kemerdekaan Negara Republik Indonesia sebagaimana dikemukakan dalam
pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Merosotnya legitimasi rakyat terhadap pemerintah itu membuat mereka yang
pada mulanya berada dalam posisi korban dalam konflik-konflik agraria itu
sampai pada pertanyaan apakah mereka “berhak mempunyai hak”?[5] Ilustrasi terbaik dari krisis legitimasi pemerintah dan pentingnya
“hak untuk memiliki hak” ini adalah apa yang diperjuangakan oleh Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sebagaimana terpantul dari motonya,
“Kalau negara tidak mengakui kami, kami pun tidak mengakui negara”.
Menurut penulis, tuntutan AMAN agar negara mengakui eksistensi masyarakat
adat beserta pemastian hak atas tanah-air masyarakat adat adalah
suatu panggilan untuk pejabat dan badan-badan negara untuk memenuhi
kewajiban konstitusional untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum” demi tujuan
“mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Hasil
amandemen atas Undang-undang Dasar 1945 menghasilkan tiga ketentuan baru
berkenaan dengan eksistensi dan hak-hak masyarakat adat, yaitu pasal 18B
ayat (2), pasal 28i ayat (3), dan ayat (2). Pengakuan eksistensi dan
perlindungan hak-hak masyarakat adat ini dipersyarati dengan empat
ketentuan, yakni sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan
masyarakat, sesuai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan diatur
dalam undang-undang. Namun pengakuan konstitusional ini tidak dengan
sendirinya (secara otomatis) mendorong penyesuaian perundang-undangan di
bawahnya. Masih banyak pekerjaan pembaruan perundang-undangan untuk
meralat penyangkalan dan mewujudkan pengakuan atas eksistensi masyarakat
adat itu dan segenap hak-hak dasarnya (Simarmata 2006, Arizona 2011, Safitri 2011).Lebih jauh, agenda utama perjuangan AMAN adalah (i) mendorong ralat
kebijakan-kebijakan yang menyangkal eksistensi masyarakat adat itu, dengan
memastikan bahwa masyarakat adat adalah suatu subjek hukum yang sah, dan
pemerintah Republik Indonesia wajib mengadministrasikan hak-hak khusus
yang melekat padanya, termasuk hak-hak atas tanah, kekayaan alam, dan
wilayah kelolanya; dan (ii) mewujudkan hak memperoleh pemulihan atas
kerusakan sosial-ekologis yang diderita masyarakat adat akibat kekeliruan
kebijakan pemerintah yang menyangkal eksistensinya sebagai subjek hukum,
dan hak-hak dasar yang melekat padanya (Rachman 2012a, 2012b).
Indonesia di bawah Orde Baru (1966-1998) mewariskan cara bagaimana
pemerintah yang berkuasa menekankan kewajiban-kewajiban sosial penduduk,
dan bukan memenuhi hak-hak sipil-politik dan ekonomi, sosial dan
budaya penduduk. Indonesia saat ini bukan hanya memerlukan Reformasi atas pemerintahan
yang otoritarian dan sentralistik dan digantikan oleh suatu pemerintahan
demokratis dan desentralistis, melainkan juga transformasi kelembagaan
yang menyeluruh (Saich dkk 2010, 2011). Dalam konteks pokok bahasan artikel ini, menjadi jelas
bahwa satu agenda utama dari transformasi kelembagaan itu adalah
memulihkan posisi kewarganegaran dari rakyat miskin pedesaan, termasuk
mereka yang berada dalam situasi konflik agraria dan dalam
kesatuan-kesatuan masyarakat-hukum adat.
Ucapan Terima kasih
Versi-versi terdahulu atau bagian-bagian tertentu dari naskah ini
disajikan sebagai briefing paper, bahan presentasi dan/atau
makalah di banyak forum diskusi/lokakarya/seminar semenjak penulis aktif
sebagai peneliti senior di Sajogyo Institute. Forum-forum itu
diselenggarakan oleh berbagai unit/proyek dalam organisasi-organisasi
sebagai berikut: Konsorsium Pembaruan Agraria, Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara, Perkumpulan Pembaruan Hukum berbasis Masyarakat dan
Ekologis (HuMA), Program Studi Paska Sarjana Sosiologi Universitas
Indonesia, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Yayasan Perspektif Baru, Badan
Legislative DPR-RI, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan lainnya.
Sebagian isi naskah ini telah disajikan dalam Rachman dan Swanvri
(2012). Versi lain akan dimuat dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan Universitas Indonesia, 2013.Terima kasih untuk Didi Novrian dan Mia Siscawati dan semua kolega lain
di Sajogyo Institute yang memberi banyak kritik, komentar, usulan dan
inspirasi untuk pengembangan naskah ini.
Daftar Pustaka
Arizona, Yance. 2010. Satu Dekade Legislasi Masyarakat Adat: Trend Legislasi Nasional tentang Keberadaan dan Hak-hak Masyarakat Adat atas Sumber Daya Alam di Indonesia (1999-2009). Kertas Kerja EPISTEMA No. 07/2010
Arendt, Hannah. 1951 (1968). The Origins of Totalitarianism. New York: Harcourt Brace Jovanovich.
Colchester, M., Jiwan, N., Sirait, M.T., Firdaus, A.Y., Surambo, A. & Pane, H. ( 2006). Promised Land: Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia - Implications for Local Communities and Indigenous Peoples(published by Forest People Programme (FPP), Sawit Watch, HUMA, World Agroforestry Centre (ICRAF) - SEA.
Davis, Mike. 2006. Planet of Slums. New York: Verso.
De Angelis, Massimo. 1999. “Marx's Theory of Primitive Accumulation: A Suggested Reinterpretation.” University of East London. Available online at http://homepages.uel.ac.uk/M.DeAngelis/PRIMACCA.htm(Unduh terakhir tanggal 04 Oktober 2012).
______. 2007. The Beginning of History: Value Struggles and Global Capital. London, Pluto Press
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa. Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta, Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria.
Hall, Derek, Philip Hirsch, dan Tania Li. 2011. Powers of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia. Singapore and Manoa: NUS Press.
Harvey, David. 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press.
_____. 2004. "The 'New' Imperialism: Accumulation by Disposession." in Socialist Register 2004, edited by L. Panitch and C. Leys. New York: Monthly Review Press.
_____. 2005. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press.
Indonesian Commercial Letter. 2011. “Indonesian Commercial Letter, July 2011” http://www.datacon.co.id/Sawit-2011Kelapa.html (Unduh terakhir tanggal 04 Oktober 2012).
_____. 2011. From Reformasi to Institutional Transformation: A strategic Assessment of Indonesia’s Prospects for Growth, Equity and Democratic Governance. Harvard Kennedy School Indonesia Program, Harvard, USA.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011 .
Kesby, Alison. 2012. The Right to Have Rights: Citizenship, Humanity, and International Law, Oxford University Press,.
Kloppenburg, Jack. 2010. “Impeding dispossession, enabling repossession: biological open source and the recovery of seed sovereignty”. Journal of Agrarian Change 10:3 (July): 367-388.
Ollman, Bertell. 2008. “Why Dialectics? Why Now?”, Dialectics for the New Century. Edited by Bertell Ollman dan Tony Smith. Hampshire: Palgrave Macmillan.
Perelman, Michael. 2000. The Invention of Capitalism: Classical Political Economy and the Secret History of Primitive Accumulation. Durham: Duke University Press.
Polanyi, Karl. 1967 (1944). The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time.Boston: Beacon Press.
_____. 2001 (1944) The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press.
Rachman, Noer Fauzi. 2012a. “Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah-Airnya”. Naskah kuliah dalam rangka Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Tobelo, 20 April 2012. http://www.kongres4.aman.or.id/2012/05/masyarakat-adat-dan-perjuangan-tanah-airnya.asp (Terakhir diunduh pada 10 Maret 2013).
_____. 2012b. “Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah-Airnya”. Kompas 11 Juni 2012.
Rachman, Noer Fauzi dan Swanvri. 2012. “Pasar-sebagai-Keharusan: Sebab Struktural Konflik Agraria”. Sawit Watch Journal. Vol.1:43-54.
Ribot, Jesse dan Nancy Lee Peluso. 2003. “A Theory of Access”. Rural Sociology 68(2):153-81.
Safitri, Myrna A. 2010. “Legislasi Hak-hak Masyarakat atas Tanah dan Kekayaan Alam dalam Peraturan Perundang-undangan Nasional Indonesia: Model, Masalah, dan Rekomendasi”, dalam Masa Depan Hak-hak Komunal atas Tanah: Beberapa Gagasan untuk Pengakuan Hukum: Rekomendasi Kebijakan. Universiteit Leiden dan BAPPENAS, hal 15-35.
Sawit Watch. 2012. “Menerka Luasan Kebun Sawit Rakyat” http://sawitwatch.or.id/2012/07/menerka-luasan-kebun-sawit-rakyat/ (Unduh terakhir tanggal 04 Oktober 2012).
Saich, Anthony, David Dapice, Tarek Masoud, Dwight Perkins, Jonathan Pincus, Jay Rosengard, Thomas Vallely, Ben Wilkinson, and Jeffrey Williams. 2010. Indonesia Menentukan Nasib: dari Reformasi ke Transformasi Kelembagaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Simarmata, Ricardo. 2006. Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia. Jakarta: UNDP.
Somers, Margaret R. 2008. Genealogies of Citizenship: Markets, Statelessness and the Right to Have Rights.Cambridge, Cambridge University Press.
Wood, Ellen Meiksins. 1994. “From Opportunity to Imperative: The History of the Market”. Monthly Review 46(3).
_____. 1995, Democracy against Capitalism: Renewing Historical Materialism, Cambridge: Cambridge University Press.
_____.1999a, “Horizontal Relations: A Note on Brenner’s Heresy”, Historical Materialism, 4(1): 171–9.
_____. 1999b, “The Politics of Capitalism”, Monthly Review, 51(4): 12–26.
_____. 2001. “Contradiction: Only in Capitalism?”, in The Socialist Register 2002, edited by Leo Panitch and Colin Leys, London: Merlin Press.
_____. 2002a. The Origin of Capitalism. A Longer View. London, Verso.
_____. 2002b, “The Question of Market Dependence”, Journal of Agrarian Change, 2: 50–87.
_____. 2009, “Getting What’s Coming to Us: Capitalism and Social Rights”, Against the Current, 140: 28–32.
*) Noer Fauzi Rachman, PhD adalah Direktur Sajogyo Institute, Bogor; Dewan
Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA); dan pengajar mata kuliah
“Politik dan Gerakan Agraria” pada Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat (SKPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA),
Institut Pertanian Bogor (IPB).
[1] “The law locks up the man or woman; Who steals the goose from off the
common; But leaves the greater villain loose; Who steals the common from
off the goose; … And geese will still a common lack; Till they go and
steal it back”, demikian bait-bait protes atas enclosure (perampasan tanah) yang
merupakan gejala umum di Inggris mulai abad 17. Dalam literature
terbaru, kalimat-kalimat ini dikutip kembali untuk menunjukkan relevansi
konsep analitik “enclosure’. Lihat misalnya Ollman (2008: 8),
Kloppenburg (2010: 367).
[2] Dalam pengertian badan penguasa/pengelola tanah ini mencakup baik
perusahaan-perusahaan milik Negara, maupun milik pribadi/swasta,
domestik maupun asing; dan juga badan-badan pemerintah pengelola tanah
luas, seperti taman-taman nasional yang berada langsung dibawah
Kementerian Kehutanan.
[3] Perihal asal-mula dari keharusan-pasar (market-imperatives), dan cara bagaimana keharusan-keharusan ini
membentuk kebijakan-kebijakan ekonomi utama saat ini silakan lihat
karya-karya Wood (1994, 1995:284–93; 1999a; 1999b; 2001,:283–6; 2002a:193–8; 2002b; and
2009)
[4] Karl Marx dalam Das Capital (1867) mengembangkan teori
“the so-called primitive accumulation”, yang mendudukkan proses
perampasan tanah ini sebagai satu sisi dari mata uang, dan kemudian
memasangkannya dengan sisi lainnya, yaitu penciptaan tenaga kerja bebas.
Marx mengerjakan kembali temuan Adam Smith (pemikir ekonomi
terkenal yang menteorikan mengenai “tangan-tangan tak terlihat” [invisible hands] yang bekerja dalam mengatur bagaimana pasar bekerja), bahwa
“akumulasi kekayaan alam harus terjadi dulu sebelum pembagian kerja”,
sebagaimana tertulis dalam karya terkenalnya The Weath of Nations (1776, I.3: 277). Michael Perelman memecahkan misteri penggunaan kata ”primitive”
dalam ”primitive accumulation”. Seperti yang secara tegas
tercantum dalam tulisan Marx, kata primitive berasal
dari istilah previous accumulation- Adam
Smith. Marx yang menulis dalam bahasa Jerman menerjemahkan
kata “previous” dari karya Adam Smith menjadi
”ursprunglich”, dimana penerjemah bahasa Inggris Das Kapital karya Marx kemudian menerjemahkannya menjadi kata ”primitive” (Perelman 2000:25). Uraian menarik mengenai konsep “original accumulation” dari Adam Smith
dan “primitive accumulation” dari Karl Marx, dan relevansinya untuk
memahami perkembangan kapitalisme dewasa ini, dapat ditemukan dalam
Perelman (2000) dan De Angelis (1999, 2007).
[5] Penulis mengambil konsep “hak untuk memiliki hak” (the rights to have rights) dari filsuf politik Hannah Arendt (1951) The Origins of Totalitarianism (1951). Arendt lah yang membuat konsep “hak untuk memiliki hak”
ini populer sebagai hak politik yang paling fundamental bagi seorang warganegara
(Arendt 1951/1968: 177. Untuk pembahasan terbaru mengenai konsep ini
dalam konteks perjuangan hak asasi manusia, kewajiban Negara, dan rejim
pasar bebas, lihat Somerr (2008), dan Kesby (2012).
No comments:
Post a Comment