Noer Fauzi Rachman (2018) "Demi Kepastian dan Keadilan Tenurial", Kompas pada 30 Agustus 2018.
Sejak 2015, awal masa kepemimpinan Jokowi-JK hingga sekarang ini, tidak sedikit para pejabat pemerintah, para ahli, dan pegiat masyarakat sipil tengah mengusahakan pemenuhan kebutuhan lokal dari perorangan dan kelompok penduduk untuk memperoleh legalitas status kepemilikan dan keamanan akses atas tanah mereka yang mereka manfaatkan. Akibat ketiadaan legalitas, status kepemilikan dan akses legal, ditambah akumulasi persoalan masa lalu, tatapemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatannya yang telah berjalan selama ini, telah menghadirkan ketidakadilan sosial, menyebabkan terjadinya konflik, maupun tidak terlindunginya masyarakat adat dan lokal, selain juga menurunnya fungsi-fungsi lingkungan hidup. Padahal pemenuhan kebutuhan perorangan dan kelompok penduduk terhadap status pemilikan dan akses legal sangat penting untuk keberlanjutan ruang hidup khususnya tempat tinggal, layanan alam, hingga untuk budi daya pertanian, perladangan, peternakan, dan perikanan untuk produksi makanan, maupun perdagangan hasil bumi mendapatkan uang. Kebutuhan ini semakin lama semakin membesar, menguat, dan tampil dalam bentuk tuntutan-tuntutan dan agenda partisipasi langsung mereka dalam proses-proses kebijakan maupun dalam pelaksanaan program-program nasional. Contohnya, Perhutanan Sosial dengan target 12,7 juta hektar, Legalisasi dan Redistribusi Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dengan target 9 juta hektar, dan lain-lainnya.
Artikel ini dimaksudkan untuk menunjukkan perjalanan dan hasil-hasil dari usaha-usaha mewujudkan “kepastian dan keadilan tenurial” yang dikerjakan oleh organisasi masyarakat sipil Indonesia bekerjasama dengan pejabat kementerian/lembaga pemerintah yang responsif. Pengalaman Indonesia ini akan menjadi fokus yang diperhatikan dan dipelajari secara internasional, dalam Global Land Forum, suatu acara tertinggi dari International Land Coalition (ILC) di Gedung Asia-Afrika, Bandung, yang akan diselenggarakan pada 24 - 26 September 2018.
Situasi Nasional
Tujuh tahun lalu, Konferensi Tenurial 2011 di Lombok, telah melahirkan naskah “Menuju Kepastian dan Keadilan Tenurial”, yang memandu reformasi kebijakan dan praktek kelembagaan dari pemerintah menata kawasan hutan, perluasan wilayah kelola rakyat, dan penyelesaikan konflik-konflik agraria hingga sekarang ini. Sebagai lanjutannya, pada 2017 Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Tenurial, Kantor Staf Presiden (KSP), dan Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan menyelenggarakan Konferensi Tenurial 2017, yang merupakan forum bersama untuk melihat kembali dan menilai hasil dan proses “mewujudkan hak-hak rakyat” melalui kerja-kerja reformasi penguasaan tanah dan pengelolaan hutan di Indonesia.
Konferensi Tenurial 2017 itu telah memberikan gambaran yang padat dan ringkas mengenai situasi yang kita dihadapi sekarang ini. Gambaran tersebut antara lain, tanah dan sumber daya alam lainnya di satu sisi jumlahnya terbatas, di sisi lain sangat terkait dengan ruang hidup dan hak asasi manusia bagi seluruh masyarakat yang jumlahnya terus meningkat. Selain itu, masih terdapat gap antara kebijakan berupa arahan dan komitmen di tingkat nasional dengan pelaksanaan kebijakan itu di tingkat praksis, antara lain berupa lambatnya respon pelaksanaan kebijakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah itu sendiri, respon swasta maupun pengelola hutan/lahan di lapangan yang masih terbatas. Penyelesaian gap itu memerlukan komitmen politik dan kompetensi profesional seluruh perangkat kementerian dan lembaga pemerintah hingga mewujud berupa langkah-langkah yang kongkrit di lapangan dan manjur karena memperhatikan kondisi-kondisi yang sangat kontekstual-spesifik yang memerlukan informasi akurat dan detail.
Upaya percepatan penyelesaian masalah tenurial, tidak terlepas dari upaya perbaikan sistem perizinan pemanfaatan sumber daya alam maupun penetapan alokasi ruang, pencegahan dan pengendalian korupsi, jaringan kekuasaan yang menghambat perbaikan, peningkatkan partisipasi maupun keterbukaan informasi bagi publik serta kelembagaan penyelesaian konflik yang menyeluruh. Lat but not least, yang diperlukan adalah perubahan konfigurasi hubungan-hubungan sosial melalui perkembangan teknologi media sosial maupun teknologi informasi, perlu didayagunakan untuk mewujudkan tata pengelolaan tanah/hutan dan sumber daya alam lainnya secara baik.
Kerangka Reformasi Tenurial
Yang terpenting untuk menjadi perhatian dan pedoman bersama dalam mengusahakan kepastian dan keadilan tenurial adalah pelaksanaan penyelesaian masalah tenurial harus dilandasi etika dan empati terhadap subyek utama, yaitu masyarakat yang selama ini menghadapi persoalan yang bersifat struktural dan kronis.
Konferensi Tenurial 2017 itu merekomendasikan reformasi kebijakan dan peraturan perundangan, khususnya pmencegah dan menyelesaikan terjadinya konflik tenurial secara komprehensif di semua sektor dan daerah. Mengingat tingginya urgensi dan besarnya tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaannya, Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial itu perlu diposisikan setara dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang memungkinkan dilakukan pengecualian (diskresi) untuk percepatan pelaksanaannya.
Adapun komponen kebijakan dan/atau regulasi yang terkait adalah membuka jalan lebih luas (selain Perda) bagi penetapan hutan adat/MHA serta wilayah adat yang berada di luar kawasan hutan, menetapkan perhatian pada aspek HAM dan prinsip keadilan gender bagi pelaksanaan kebijakan RAPS dan usaha yang berbasis tanah/hutan, mendorong sektor/Pemda dan swasta untuk mewujudkan pengembangan ekonomi masyarakat, mendorong Pemda merespon secara aktif dalam penyelesaian beragam konflik agraria yang akut. Selain itu, mendorong peluang dibangunnya tata kelola inovatif pelaksanaan RAPS dengan pendekatan-pendekatan baru dalam pengelolaan kawasan konservasi, lindung, produksi, dan dikembangkan dalam multi sektoral lainnya (non-kehutanan) mencakup perkebunan, pesisir, kelautan, pulau-pulau kecil dan wilayah agraria perkotaan. Penting pula disuburkan inkubasi dan inovasi kelembagaan untukpenguatan dan percepatan RAPS serta untuk penyelesaian konflik penguasaan dan pemanfaatan hutan/lahan. Bentuk kelembagaan saat ini sebagai proses awal untuk menentukan pedoman-pedoman pelaksanaan RAPS, perlu penguatan kelembagaan yang mempunyai posisi kuat dalam mengatasi besarnya tantangan yang dihadapi.
Sedang dinantikan tanggapan pemerintah pusat atas kritik dari sejumlah organisasi masyarakat sipil terhadap Perpres nomor 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan yang meminta agar solusi resettlement berupa pemindahan masyarakat adat dan komunitas lokal dari Kawasan Hutan Konservasi agar ditinjau kembali, sebab selain memakan biaya yang sangat besar, bila hal ini dijalankan secara paksa akan menimbulkan perlawanan atas penggusuran berupa protes sosial dan konflik yang berkepanjangan.
Rekomendasi Konferensi Tenure 2017 masih tetap relevan, yakni pembuatan dan penetapan pedoman-pedoman yang dilakukan oleh Tim Percepatan dan Tim Pelaksana Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PTKH),yang dikordinasi oleh Menko Perekonomian, agar memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat, sejalan dengan kondisi di lapangan, serta terus menerus melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan dan kelembagaan ini berdasarkan kemanjuran dari langkah-langkah pelaksanaannya memecahkan masalah tenurial yang structural dan kronis. Pemerintahsegera melakukan penyesuaian prosedur jika pelaksanaan terhambat atau tidak dapat efektif dijalankan.*)
No comments:
Post a Comment