Semenjak awal masa kepemimpinan Jokowi-JK akhir tahun 2014 hingga sekarang ini, tidak sedikit para pejabat pemerintah, akademisi, pegiat masyarakat sipil, dan tokoh masyarakat akar rumput tengah mengusahakan pemenuhan kebutuhan lokal dari perorangan dan kelompok penduduk untuk memperoleh status kepemilikan yang legal dan keamanan akses atas tanah mereka. Mereka mememerlukan tanah-tanah itu untuk ruang hidup khususnya tempat tinggal, memelihara keberlanjutan layanan alam, hingga budi daya pertanian, perladangan, peternakan, dan perikanan untuk produksi makanan, maupun untuk perdagangan hasil bumi menapatkan uang.
Kebutuhan ini semakin lama semakin membesar, menguat, dan tampil dalam bentuk tuntutan-tuntutan dan agenda partisipasi langsung mereka dalam proses-proses kebijakan maupun dalam pelaksanaan program-program nasional, seperti Perhutanan Sosial dengan targetnya adalah 12,7 juta hektar, Legalisasi dan Redistribusi Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dengan target 9 juta hektar, dan lain-lainnya. Partisipasi langsung sebagai pihak yang akan mendapatkan manfaat (benefeciaries) itu merupakan syarat sekaligus penentu keberhasilan.
Sesungguhnya, perjalanan dan hasil-hasil dari usaha-usaha mewujudkan “kepastian dan keadilan tenurial” (tenurial security and justice) yang dikerjakan oleh organisasi masyarakat sipil Indonesia bekerjasama dengan sektor yang responsif dari pemerintah telah dimulai tujuh tahun lalu oleh Konferensi Tenurial 2011 di Lombok. Konferensi itu telah melahirkan naskah “Menuju Kepastian dan Keadilan Tenurial”, yang telah memandu reformasi kebijakan dan praktek kelembagaan dari pemerintah menata kawasan hutan, perluasan wilayah kelola rakyat, dan penyelesaikan konflik-konflik agraria, hingga sekarang ini.
Enam tahun berikutnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Tenurial bersama Kantor Staf Presiden (KSP), dan Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK) menyelenggarakan Konferensi Tenurial 2017. Ini adalah forum bersama yang untuk pertama-tama mempelajari dan menilai proses dan hasil kerja-kerja reformasi penguasaan tanah dan pengelolaan hutan dalam mewujudkan hak-hak rakyat, memahami status permasalahan, dan menyusun kerangka kerja dan peta jalan untuk kerja-kerja berikutnya.
Konferensi ini menyadari penuh bahwa, pertama, tanah dan sumber daya alam lainnya di satu sisi jumlahnya terbatas, di sisi lain sangat terkait dengan ruang hidup dan hak asasi manusia bagi seluruh masyarakat yang jumlahnya terus meningkat. Namun demikian, dengan akumulasi persoalan masa lalu, tata pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatannya yang telah berjalan selama ini terlanjur menghadirkan ketidakadilan sosial, menyebabkan terjadinya konflik maupun tidak terlindunginya masyarakat adat dan lokal, selain juga menurunkan fungsi-fungsi lingkungan hidup.
Kedua, masalah tenurial tersebut telah menjadi perhatian pemerintah, masyarakat sipil, serta dunia usaha untuk diselesaikan, baik yang tercermin dalam pernyataan sebagai komitmen dalam Konferensi Tenurial 2017 itu, maupun kebijakan baru yang sudah ada dan yang sedang dijalankan. Pelaksanaan kebijakan ini diharapkan dapat mengoreksi sistem penguasaan tanah/hutan tersebut, baik berupa kebijakan maupun inovasi kelembagaannya, termasuk mengondisikan, terutama bagi pelaku dunia usaha dan birokrasi pemerintahan sendiri, agar secara aktif menjalankan pelaksanaan koreksi tersebut;
Ketiga, masih terdapat gap antara kebijakan di tingkat nasional dengan pelaksanaan kebijakan itu di tingkat praksis; antara lain berupa lambatnya respon pelaksanaan kebijakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah itu sendiri, respon swasta maupun pengelola hutan/lahan di lapangan yang masih terbatas. Sementara itu, adanya contoh-contoh praktek yang baik, yang digali dalam Konferensi ini, menjadi bukti bahwa masalah-masalah tenurial yang ada dapat diselesaikan. Penyelesaian itu memerlukan komitmen politik seluruh Kementerian dan Lembaga serta langkah-langkah kongkrit di lapangan dengan memperhatikan kondisi-kondisi yang sangat spesifik dan memerlukan informasi akurat dan detail.
Keempat, ruang lingkup pelaksanaan Perhutanan Sosial, penetapan Hutan Adat, maupun pelaksanaan Redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) tidak dapat dilaksanakan secara parsial, sebaliknya perlu dikaitkan dengan upaya memperbaiki ketimpangan struktur agraria yang diikuti dengan pemberdayaan masyarakat lebih luas di berbagai fungsi kawasan serta di luar kawasan hutan, dari Papua sampai Aceh, baik di wilayah daratan maupun perairan serta pulau-pulau kecil. Ada masalah hak dan akses masyarakat terhadap infrastruktur maupun sumber-sumber ekonomi, pendidikan maupun informasi dan pengetahuan, sehingga menjadi hambatan untuk mewujudkan kemandiriannya. Pelaksanaan penyelesaian masalah tenurial, untuk itu, perlu dilandasi etika dan empati terhadap subyek utama yaitu masyarakat yang selama ini menghadapi persoalan yang bersifat struktural itu.
Kelima, upaya percepatan penyelesaian masalah tenurial, tidak terlepas dari upaya perbaikan sistem perizinan pemanfaatan sumber daya alam maupun penetapan alokasi ruang, pencegahan dan pengendalian korupsi, jaringan kekuasaan yang menghambat perbaikan, peningkatkan partisipasi maupun keterbukaan informasi bagi publik serta kelembagaan penyelesaian konflik yang menyeluruh. Perubahan konfigurasi hubungan-hubungan sosial melalui perkembangan teknologi media sosial maupun teknologi informasi, perlu didayagunakan untuk mewujudkan tata pengelolaan tanah/hutan dan sumberdaya alam lainnya secara baik (good land/forest and natural resources governance).
Konferensi Tenurial 2017 mengusulkan kerangka kerja yang dimulai dengan perbaikan dalam kebijakan dan peraturan perundangan, khususnya merumuskan kebijakan nasional untuk mencegah dan menyelesaikan terjadinya konflik tenurial secara komprehensif di semua sektor dan daerah. Sayangnya, Perpres nomor 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, tidak mempertimbangkan kebijakan pencegahan dan penyelesaian konflik tenurial itu. Sejumlah Organsiasi Masyarakat Sipil meminta agar solusi resettlement berupa pemindahan masyarakat adat dan komunitas lokal dari Kawasan Hutan Konservasi agar ditinjau kembali, sebab selain memakan biaya yang sangat besar, bila hal ini dijalankan secara paksa akan menimbulkan protes sosial dan konflik yang berkepanjangan. Dalam waktu segera pemerintah perlu membuka proses penetapan pedoman-pedoman yang dilakukan oleh Tim Percepatan dan Tim Pelaksana Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PTKH), yang tentunya merupakan turunan dari Perpres nomor 88/2017, agar sejalan dengan kondisi di lapangan, serta melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan dan kelembagaan ini, guna dapat melakukan penyesuaian kelembagaan jika dianggap tidak dapat efektif dijalankan.
Mengingat tingginya urgensi dan besarnya tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaannya, Konferensi Tenure 2017 merekomendasikan agar Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) perlu diposisikan setara dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang memungkinkan dilakukan pengecualian (diskresi) untuk percepatan dan pengendalian pelaksanaannya.
Adapun komponen kebijakan dan/atau regulasi yang perlu adalah:
- membuka jalan lebih luas (selain Perda) bagi penetapan hutan adat/MHA serta wilayah adat yang berada di luar kawasan hutan,
- menetapkan perhatian pada aspek Hak Asasi Manusia (HAM) dan prinsip keadilan gender bagi pelaksanaan kebijakan RAPS dan usaha yang berbasis tanah/hutan, mendorong sektor/Pemda dan swasta untuk mewujudkan pengembangan ekonomi masyarakat,
- mendorong Pemda merespon secara aktif dalam penyelesaian beragam konflik agraria, perlaksanaan reforma agraria maupun perhutanan sosial,
- menetapkan pedoman baku bagi aparat keamanan dan penegakan hukum dalam penanganan konflik tenurial secara khusus dan adil, dan
- mendorong peluang dibangunnya tata kelola inovatif pelaksanaan RAPS dengan pendekatan-pendekatan baru dalam pengelolaan kawasan konservasi, lindung, produksi, dan dikembangkan dalam multi sektoral lainnya (non-kehutanan) mencakup perkebunan, pesisir, kelautan, pulau-pulau kecil dan wilayah agraria perkotaan,
- inkubasi dan inovasi kelembagaan untuk penguatan dan percepatan RAPS serta penyelesaian konflik hutan/lahan. Bentuk kelembagaan saat ini sebagai proses awal untuk menentukan pedoman-pedoman pelaksanaan RAPS, perlu penguatan kelembagaan yang mempunyai posisi kuat dalam mengatasi besarnya tantangan yang dihadapi.
Selanjutnya, Konferensi Tenurial 2017 ini mengusulkan perbaikan dalam pelaksanaan operasional berbasiskan inovasi kelembagaan terutama yang terkait dengan pengembangan norma dan kepemimpinan yang dapat mengusung pembaruan pendekatan-pendekatan dalam pengelolaan semua fungsi kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan (di berbagai lembaga/organisasi terutama pemerintah, swasta, organisasi masyarakat sipil (CSO), dan masyarakat).
Agar berhasil, yang diperlukan adalah:
- pelaksanaan tahapan-tahapan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) dilakukan secara bottom up(seperti yang dikembangkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria dengan usulan Lokasi Prioritas Reforma Agraria) sehingga menjadi tepat sasaran,
- penguatan kapasitas organisasi masyarakat sipil dan Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) dalam melakukan pendampingan untuk menentukan subyek dan obyek RAPS di lapangan secara tepat, pengembangan kerjasama dengan swasta (pemegang izin) dan perbankkan untuk peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengembangan ekonomi,
- pengembangan organisasi pembelajar (learning organization) dalam pengelolaan hutan konservasi, lindung dan produksi dan perlu dikembangkan untuk pengelolaan sumberdaya alam lainnya, dan
- penguatan dukungan penguatan SDM dan pembiayaan.
Keberhasilan Konferensi Tenurial 2017 menghasilkan rumusan kerangka kerja reformasi dan peta jalan dimungkinkan karena kualitas partisipasi dari para peserta konferensi, yang sebagian berperan sebagai pembicara kunci, narasumber, moderator, dan discussants, dan kerja panitia pengarah dan pelaksana konferensi, serta Tim Perumus Hasil Konferensi. Kami menghaturkan terima kasih atas andil dan jasa baik pemikiran, tenaga maupun material. Terima kasih pula pada para donatur yang memungkinkan biaya-biaya pelaksanaannya terpenuhi. Secara khusus, kami berterima kasih pada Bapak Drs. Teten Masduki, Kepala Staf Kepresidenan, dan Ibu DR. Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas perkenan, arahan dan andil mengerahkan sumber daya organisasinya untuk Konferensi ini.
Jakarta, 21 Agustus 2018
Noer Fauzi Rachman, PhD. (Ketua Panitia Pengarah Konferensi Tenurial 2017)
______
Buku Kesimpulan dan Rekomendasi Konferensi Tenurial 2017 dapat diunduh secara keseluruhan dan bebas:
https://drive.google.com/file/d/1vAQnTSFxRnL-VkkLyUku-Y1hDgSaMqvU/view?usp=share_link
No comments:
Post a Comment