Memberantas Kemiskinan Pedesaan

  


 

Naskah untuk pengantar  Buku Francis Wahono dan Theresia Puspitasari Desa Pancasila Petani Merdeka

 

Noer Fauzi Rachman 

 

 

Marcel Mazoyer and Laurence Roudart (2006) dalam buku A History of World Agriculture. From the Neolithic Age to the Current Crisis (diterjemahkan oleh James H. Membrez dari bahasa Perancis) menekankan pentingnya kita memperlakukan kemiskinan masif yang diderita mayoritas dari penduduk pedesaan sebagai ukuran dari gagal-atau-berhasilnya kita menghadapi mekanisme kerja yang kongkrit dan spesifik dari proses umum kapitalisme global yang menyejarah dalam geografi yang spesifik, seperti Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar. Banyak karya studi yang telah menunjukkan bagaimana kemiskinan pedesaan tercipta dalam hubungan dengan perkembangan kapitalisme di negeri-negeri yang dijajah.

Umumnya terdapat lima jalur yang ditempuh kebanyakan orang miskin pedesaan untuk keluar dari kemiskinan masif itu (cf. de Janvry and Sadoulet 2001 “Rural Poverty in Latin America: Determinants and Exit Paths”)

Pertama, kaum miskin pedesaan memperbanyak sumber pendapatan keluarga dari kegiatan non-pertanian di desa. Termasuk disini adalah kaum mayoritas penduduk tak bertanah di desa-desa. Seluruh anggota keluarga dikerahkan menjadi pelaku macam-macam kerjanya,  mulai dari menjadi menjadi tenaga kerja untuk bangunan, menjadi pembantu rumah tangga, usaha jasa perbaikan elektronika, jual-beli barang kelontong, warung makanan, dan sebagainya. Pada gilirannya, bagi yang telah menempuh jalur ini sedemikian lama, pertanian merupakan pekerjaan sambilan saja. 

Kedua, bagi mereka yang telah gagal mengusahakan perbaikan nasib diri dan keluarganya, namun tetap terperangkap atau terjerembab dalam kemiskinan yang kronis, akan menjadi populasi dan sasaran dari apa yang secara internasional diistilahkan social safety net (jaring pengaman sosial). Mereka ini hidup dalam kemiskinan yang kronis, dan berbagai bentuk jaring pengaman sosial diadakan agar mereka tidak jatuh lebih dalam ketika terdapat guncangan seperti anggota keluarga sakit hingga kematian shock keluarga (misalnya kepada keadaan yang rentan kelaparan. Pemerintah menjadi pelaku utama dalam bentuk-bentuknya berupa bantuan langsung tunai, atau pemberian beras miskin; atau organisasi sosial keagamaan dalam bentuk zakat, sodakoh, atau santunan lainnya. 

Ketiga, pemerintah atau bisnis membuat perbaikan produktifitas pertanian, baik melalui pengenalan spesies bibit baru,  teknologi dalam budidaya pertanian hingga pengolahan paska panen, dan lainnya. Investasi-investasi baru perusahaan dalam pertanian, termasuk melalui hubungan kemitraan, atau menyalurkan modal yang tidak bisa diinvestasikan dengan cara biasa menjadi donasi “tanggungjawab sosial”, dan lainnya.  Semua itu  mengandalkan para pemilik tanah yang punya tanah dan modal alam yang cukup, yang memungkinkan kekuatan pasar, kebijakan dan program pemerintah, dan kelembagaan pembangunan internasional membuat usaha pertanian rakyat bertanah berhasil meningkatkan produktifitas dan pada gilirannya menjadi bisnis yang menguntungkan. 

Keempat, mereka  memutuskan keluar dari kerja pertanian dan keluar dari desa, migrasi ke kota-kota (exit from agriculture and rural areas) mengisi kelas miskin kota, bekerja apa saja ketika gagal masuk ke dunia kerja dengan kontrak kerja yang formal). Membuat anak-anak dan pemuda-pemudi punya aspirasi keluar dari pertanian dan dari desa juga dilakukan melalui sekolah-sekolah. Di Sekolah inilah dilakukan pemutusan jalur sosialisasi dan magang kerja pertanian (agricultural deskilling).   Banyak sekali daya dukung dari jaringan keluarga hingga ikatan kekeluargaan sesama kampung halaman yang sangat membantu dalam kerja melanjutkan hidup di kota kecil hingga kota besar. orang-orang yang tetap mempertahankan sebagian anggota keluarganya di pedesaan, sehingga mereka ketika saat lebaran ada gelombang mudik yang luar biasa.   

Dan, kelima, petani tidak bertanah atau yang bertanah kurang dari kota-kota maupun desa-desa kembali menjadi petani (repeasantisation) baik melalui aksi-aksi pendudukan dan penggarapan tanah pemilik tanah luas, program redistribusi tanah pemerintah, hingga bentuk pembukaan wilayah baru atau akses baru untuk tanah pertanian, termasuk yang berasal dari kawasan hutan. 

Kelima jalur ini berjalan sendiri-sendiri, atau bersama, serentak atau terpencar-pencar, saling berkontes atau mengisi satu sama lain, berlangsung dimana-mana di seantero negara-negara miskin dan sedang berkembang, termasuk Indonesia.  Semua pihak yang benar-benar bekerja mengabdi pada -- dan bukan sekedar bekerja atas nama -- pemberantasan kemiskinan pedesaan sepatutnya menyadari kemanjuran dari usahanya, dan keterbatasan dari kemanjuran usahanya itu.

Saya sependapat dengan Jan Douwe van der Ploeg dalam karyanya The Art of Farming (2013), dan sebelumnya New Peasantries yang menegaskan pentingnya kita meruju ke karya-karya klasik dari Alexander Chayanov, terutama The Theory of Peasant Economy (1966/1925, sebagaimana diedit oleh Daniel Thorner et al.), yang pada konteks Indonesia telah didahului anjuran itu oleh di antaranya Prof. Boeke, Ir. Kaslan Tohir, Prof. Sajogyo, dan Ir. Gunawan Wiradi, M Soc Sc.   Chayanov telah mengembangkan pendekatan, teori dan metodologi untuk analisa mengenai karakteristik ekonomi petani, yang akan tetap relevan dimanapun dan kapanpun kita berhadapan dengan bentuk-bentuk produksi keluarga petani  

            Chayanov benar-benar berhasil menunjukkan bahwa usaha pertanian rakyat (peasant farm) hadir dan berlanjut hidup dalam suatu ekonomi yang didominasi oleh hubungan-hubungan sosial kapitalistik; keberlanjutan hidupnya bergantung pada andilnya sebagai suatu bentuk produksi barang dagangan yang khusus dalam sistem perekonomi kapitalis. Namun, pada saat ini sedang fokus pada  bagaimana macam-macam posisi petani dan pertanian rakyat dalam hubungan organiknya dengan perekonomian kapitalisme yang global itu. Dalam dominant-subordinate relations itulah perlu diselidiki secara khusus bagaimana petani dan cara produksi pertanian rakyat dapat berlanjut hidup, bahkan terpelihara secara struktural.

Pertanian rakyat sendiri tentu bukanlah unit produksi kapitalis. Dalam unit kerja pertanian rakyat, para petani yang bekerja bukanlah tenaga kerja upahan. Pertanian rakyat bekerja dalam cara yang benar-benar berbeda dengan cara bagaimana perusahaan kapitalis dikelola, yang berdasar hubungan kerja sosial modal-tenaga kerja. Perhatikanlah, misalnya sebagai petty commodity producer, jual beli barang nya secara umum berada dalam kisaran harga yang jauh lebih murah dibanding harga yang barang yang diproduksi dan diedarkan perusahaan kapitalis yang badan-badan usahanya mempergunakan modal dari hutang bank. Resiko harga jual murah ini ditanggung secara keseluruhan.  Struktur internal yang khusus dari pertanian rakyat inilah yang bisa membuat mereka bekerja ketika perusahaan kapitalis tidak bisa. Baik dengan menjual dengan harga murah itu, memperpanjang jam kerja anggota keluarga, mengambil bahan mentah secara gratis dari layanan alam, dan sebagainnya. Dalam kalimat Chayanov (1966: 89), “The peasant farm continues to produce where capitalist farms stop,” dan  mereka memiliki keunggulan bisa terus hidup dalam posisi berkompetisi-tapi- tersubordinasi. 

Hidup menjadi bagian yang penting sistem kapitalisme bukanlah sesuatu yang menyenangkan bagi petani. Sebagian petani berjuang untuk melanjutkan hidup pertanian rakyat dalam menghadapi ancaman nyata dari cara produksi kapitalis yang meluaskan diri dengan cara melenyapkan cara produksi pra-kapitalis dalam logika creative destructionsebagaimana dijelaskan oleh David Harvey dalam artikelnya “Neoliberalism and Creative Destruction” (2003). Sebagian petani yang lain mengikuti jalur mengubah pertanian rakyatnya menjadi pertanian komersial, seperti yang dipromosikan besar-besara oleh  pemerintah, yang memiliki kekhususan wewenang baik sebagai pembuat peraturan, pengambil dan penentu alokasi anggaran negara, dan kekuatan birokrasinya, hingga perusahaan-perusahaan negara. 

            Siapakah sekarang yang membaca buku Chayanov, dan menggunakan pendekatan Chayanovian untuk memahami keberlanjutan hidup dari sistem agraria dari pertanian rakyat (peasant farm)? Buku Francis Wahono dan Theresia Puspitasari “Desa Pancasila Petani Merdeka” ini penerus pemikiran Chayanov, setelah dipromosikan di Indonesia oleh diantaranya oleh Julius Herman Boeke, Gerard Juliaan Vink,  Kaslan Tohir, Gunawan Wiradi, dan Amri Marzali. Buku ini memuat kembali naskah-naskah yang sebelumnya terbit dalam berbagai jurnal maupun dan bahan ceramah  di sana-sini, pengantarnya telah sangat baik membantu pembaca mendapatkan manifesto perjuangan petani dan pertanian rakyat sekarang ini: Merdesa lah Petani dan Pertanian Rakyat di seantero nusantara. Butir-butir dalam manifestonya itu musti jadi pegangan para pemikir, pemimpin dan penggerak rakyat yang bekerja langsung secara konkrit untuk kemudian menemukan cara-cara baru yang mumpuni mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan itu. Juga untuk mereka mereka yang rajin berkampanye tentang hak-hak petani, kedaulatan pangan, dan reforma agrarian, serta para pelajar dan dosen di perguruan tinggi.  Saya sampaikan selamat dan terima kasih pada kedua penulis dan penerbit, selamat menghasilkan karya yang penting ini.  

 

Desa Mandala Mekar, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.

20 Oktober 2018

 

 



*) Peneliti, Pelajar dan Guru Politik Agraria, Pembangunan Pedesaan dan Gerakan Sosial

No comments:

Post a Comment