Arti Merdesa?

Naskah Noer Fauzi Rachman (2018) "Arti Merdesa", Sekapur Sirih untuk buku Francis Wahono dan Theresia Puspitasari (2018) Desa Pancasila Petani Merdeka. Yogyakarta: Cindelaras  

Umumnya diketahui terdapat lima jalur yang ditempuh kebanyakan orang miskin pedesaan untuk keluar dari kemiskinan (cf. de Janvry and Sadoulet 2001 “Rural Poverty in Latin America: Determinants and Exit Paths”). Pertama, kaum miskin pedesaan memperbanyak sumber pendapatan keluarga dari kegiatan non-pertanian di desa. Termasuk disini adalah kaum mayoritas penduduk tak bertanah di desa-desa. Seluruh anggota keluarga dikerahkan menjadi pelaku macam-macam kerjanya,  mulai dari menjadi menjadi tenaga kerja untuk bangunan, menjadi pembantu rumah tangga, usaha jasa perbaikan elektronika, jual-beli barang kelontong, warung makanan, dan sebagainya. Pada gilirannya, bagi yang telah menempuh jalur ini sedemikian lama, pertanian merupakan pekerjaan sambilan saja. 

Kedua, bagi mereka yang telah gagal mengusahakan perbaikan nasib diri dan keluarganya, namun tetap terperangkap atau terjerembab dalam kemiskinan yang kronis, akan menjadi populasi dan sasaran dari apa yang secara internasional diistilahkan social safety net (jaring pengaman sosial). Mereka ini hidup dalam kemiskinan yang kronis, dan berbagai bentuk jaring pengaman sosial diadakan agar mereka tidak jatuh lebih dalam ketika terdapat guncangan seperti anggota keluarga sakit hingga kematian shock keluarga (misalnya kepada keadaan yang rentan kelaparan. Pemerintah menjadi pelaku utama dalam bentuk-bentuknya berupa bantuan langsung tunai, atau pemberian beras miskin; atau organisasi sosial keagamaan dalam bentuk zakat, sodakoh, atau santunan lainnya. 

Ketiga, pemerintah atau bisnis membuat perbaikan produktifitas pertanian, baik melalui pengenalan spesies bibit baru,  teknologi dalam budidaya pertanian hingga pengolahan paska panen, dan lainnya. Investasi-investasi baru perusahaan dalam pertanian, termasuk melalui hubungan kemitraan, atau menyalurkan modal yang tidak bisa diinvestasikan dengan cara biasa menjadi donasi “tanggungjawab sosial”, dan lainnya.  Semua itu  mengandalkan para pemilik tanah yang punya tanah dan modal alam yang cukup, yang memungkinkan kekuatan pasar, kebijakan dan program pemerintah, dan kelembagaan pembangunan internasional membuat usaha pertanian rakyat bertanah berhasil meningkatkan produktifitas dan pada gilirannya menjadi bisnis yang menguntungkan. Sebagian kecil petani yang benar-benar berhasil mengkonsentrasi tanah dan modal lainnya sehingga menjadi pertanian komersial, seperti yang diidamkan oleh sebagian kalangan pemerintah, kelas menengah dan badan pembangunan internasional, dan direkyasa dengan kebijakan, peraturan, alokasi anggaran negara, dan fasilitasi kekuatan birokrasi dan perusahaan-perusahaan BUMN.  

Keempat, mereka  memutuskan keluar dari kerja pertanian dan keluar dari desa, migrasi ke kota-kota (exit from agriculture and rural areas) mengisi kelas miskin kota, bekerja apa saja ketika gagal masuk ke dunia kerja dengan kontrak kerja yang formal. Membuat anak-anak dan pemuda-pemudi punya aspirasi keluar dari pertanian dan dari desa juga dilakukan melalui sekolah-sekolah. Di Sekolah inilah dilakukan pemutusan jalur sosialisasi dan magang kerja pertanian (agricultural deskilling).   Banyak sekali daya dukung dari jaringan keluarga hingga ikatan kekeluargaan sesama kampung halaman yang sangat membantu dalam kerja melanjutkan hidup di kota kecil hingga kota besar. orang-orang yang tetap mempertahankan sebagian anggota keluarganya di pedesaan, sehingga mereka ketika saat lebaran ada gelombang mudik yang luar biasa.   

Dan, kelima, petani tidak bertanah atau yang bertanah kurang dari kota-kota maupun desa-desa kembali menjadi petani (repeasantisation) baik melalui aksi-aksi pendudukan dan penggarapan tanah pemilik tanah luas, program redistribusi tanah pemerintah, hingga bentuk pembukaan wilayah baru atau akses baru untuk tanah pertanian, termasuk yang berasal dari kawasan hutan. 

Kelima jalur ini berjalan sendiri-sendiri atau secara simultan berlangsung dimana-mana di seantero desa di kepulauan agraris Indonesia. Menurut Marcel Mazoyer and Laurence Roudart (2006) dalam buku A History of World Agriculture. From the Neolithic Age to the Current Crisis (diterjemahkan oleh James H. Membrez dari bahasa Perancis), pemberantasan kemiskinan pedesaan ini merupakan penanda/indikator dari gagal-atau-berhasilnya kita menghadapi mekanisme yang kongkrit dan spesifik dari ekonomi kapitalis global yang bekerja dalam lokalitas ruang geografik tertentu dan menyejarah dalam waktu.  

Semenjak masa kolonialisme, hidup sebagai petani dan menjadi bagian yang sistem ekonomi kapitalis bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Gelombang pemiskinan secara drastis petani telah berlangsung karena pemutusan hubungan kepemilikan oleh modal. Modal kapitalis meluaskan diri dengan beragam cara yang merusak keberlangsungan hidup petani, dengan cara produksi pra-kapitalis-nya, sebagaimana secara kontekstual dijelaskan oleh David Harvey (2007) dalam artikelnya “Neoliberalism and Creative Destruction” (2007). 

Petani dan ekonomi rumah tangga petani tetap berlanjut hidup, mempertahankan diri dan melawan gelombang pemusnahan oleh ekonomi kapitalis global itu. Saya sependapat dengan Jan Douwe van der Ploeg dalam karyanya The Art of Farming (2013), dan The New Peasantries, Struggles for Autonomy and Sustainability in an Era of Empire and Globalization (2008),  yang menegaskan pentingnya saat ini kita merujuk kembali ke karya-karya klasik dari Alexander Chayanov, terutama The Theory of Peasant Economy (1966/1925), sebagaimana diedit oleh Daniel Thorner et al. untuk memahami pilar-pilar ekonomi pertanian rumah tangga yang membuatnya dapat berlanjut hidup. Sekedar untuk memperjelas posisi, Chayanov jelas pro-petani dan pertanian rakyat. Ia tergolong tokoh aliran neo-populisme yang anti kapitalis. Tapi sama sekali bukan komunis. Para tokoh dunia dengan paham pemikiran ini adalah  M.K. Gandhi, Julius Nyirere, E.F. Schumacher, dan yang lebih kontemporer adalah David Koter. Praktek dari aliran neo-populisme ini senantiasa ditentang oleh paham komunis yang menjadikan tanah rakyat sebagai tanah negara dan pengusahaannya dilakukan oleh petani sebagai tenaga kerja kolektif. Dalam pengalaman Rusia di bawah penguasaan Joseph Stalin, pertanian rumah tangga a la Chayanov dianggap musuh revolusi Komunisme. A.V. Chayanov dibunuh oleh rejim penguasa Rusia di bawah Joseph Stalin. Di Indonesia, aliran neo-populisme dengan dasar pemikiran Chayanov ini dipromosikan di Indonesia diantaranya oleh Julius Herman Boeke, Van Vollenhoven, Gerard Juliaan Vink, Notonagoro, Iman Soetiknjo, Svein Aass, Kaslan Tohir, Sajogyo, SMP Tjondronegroro, Benjamin White, Ken Thomas, Amri Marzali, HS Dillon, dan Gunawan Wiradi.

Chayanov telah mengembangkan pendekatan, teori dan metodologi untuk analisa mengenai karakteristik ekonomi rumah tangga petani, yang akan tetap relevan dimanapun dan kapanpun kita berhadapan dengan bentuk-bentuk produksi keluarga petani.  Chayanov benar-benar berhasil menunjukkan bahwa usaha pertanian keluarga tani (peasant farm)  hadir dan berlanjut hidup sebagai suatu bentuk produksi makanan dan barang dagangan yang khusus bergantung pada posisi dan perannya dalam sistem perekonomi kapitalis. Perlu diselidiki secara khusus bagaimana petani dan cara produksi pertanian rakyat dapat berlanjut hidup, bahkan terpelihara secara struktural.

Pertanian rumah tangga sendiri tentu bukanlah unit produksi kapitalis. Dalam unit kerja pertanian rakyat, para petani yang bekerja bukanlah tenaga kerja upahan. Pertanian rakyat bekerja dalam cara yang benar-benar berbeda dengan cara bagaimana perusahaan kapitalis dikelola, yang berdasar hubungan kerja buruh upahan.  Perhatikanlah, misalnya sebagai petty commodity producer, jual beli barang yang dihasilkannya itu berada dalam kisaran harga yang jauh lebih murah dibanding harga yang barang yang diproduksi dan diedarkan perusahaan kapitalis yang badan-badan usahanya mempergunakan modal dari kredit bank (hutang). Harga bisa sedemikian murahnya, baik dengan menjual dengan harga murah itu, memperpanjang jam kerja anggota keluarga, mengambil bahan mentah secara gratis dari layanan alam, dan sebagainnya. Resiko atas harga jual yang murah ini ditanggung secara bersama secara keseluruhan.  Karakteristik yang khusus dari pertanian keluarga inilah yang bisa membuat mereka terus mendapat pembeli ketika harga-harga barang serupa yang dihasilkan perusahaan kapitalis jauh lebih mahal. Dalam kalimat Chayanov (1966: 89), “The peasant farm continues to produce where capitalist farms stop”. Mereka memiliki keunggulan yang bisa terus hidup. Kalah tapi terus bisa hidup. 

Siapakah sekarang yang membaca buku Chayanov, dan menggunakan pendekatan Chayanovian untuk memahami dan melindungi keberlanjutan hidup dari sistem agraria dari pertanian rakyat? Buku Francis Wahono dan Theresia Puspitawati “Desa Pancasila,  Petani Merdeka” ini satu penerus pemikiran Chayanov. Buku ini memuat kembali naskah-naskah yang sebelumnya terbit dalam berbagai jurnal maupun dan bahan ceramah  di sana-sini, Pendahuluan buku ini telah sangat baik membantu pembaca mendapatkan manifesto perjuangan rumah tangga petani dan pertanian skala rumah-tangga rakyat sekarang ini: Merdesa-lah (Merdeka menjadi warga desa ber-Pancasila) Petani dan Pertanian Rakyat di seantero Nusantara. Butir-butir dalam manifestonya itu musti jadi pegangan para pemikir, pemimpin dan penggerak rakyat yang bekerja langsung secara konkrit untuk kemudian menemukan cara-cara baru yang mumpuni mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan itu. Juga untuk mereka-mereka yang rajin berkampanye tentang hak-hak petani, kedaulatan pangan, dan reforma agraria, serta para pelajar dan dosen di perguruan tinggi.  

Pembaca akan mempelajari doktrin bahwa petani kecil skala rumah tangga harus cukup mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga dapat jadi fondasi kuat kebesaran bangsa. Dalam buku ini pembaca diingatkan kembali pada tokoh imajiner yang dibuat Ir. Soekarno bernama Marhaen, dari suatu lembah pegunungan di Bandung. Menurut kedua penulis, Marhaen mewujud dalam tokoh nyata Djemangin dan Saikem dari Sleman Barat, Yogyakarta. Mereka adalah wujud keluarga Marhaen baru yang sudah mencicipi land reform by laverage, mengatur ulang penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah oleh inisiatif rakyat sendiri di sepanjang tahun 1954-1964: hidupnya tentrem, penuh gotong royong dengan tetangga, cukup makmur, sehat walafiat, makanan karbohidrat cukup dari tanah sawah yang subur. Perlu minimal 2 hektar, agar bisa hidup cukup sejahtera, mampu menyekolahkan anak-anaknya berjumlah 5 (lima) orang, sebagian besar sekolah sampai perguruan tinggi --  sebagaimana disajikan ceritanya oleh kedua penulis dengan apik, di Bab 12 dari buku ini. 

Sebagai pengingat, cita-cita sosial untuk membentuk keluarga-keluarga Marhaen melalui program land reform pernah menjadi dari hasrat elite pendiri negara  Republik Indonesia, termasuk mereka yang terlibat dalam panitia-panitia pembuatan undang-undang agraria, mulai tahun 1948, hingga 12 tahun kemudian resmi Presiden Soekarno menandatangai UU nomor 5/1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria (lebih populer dengan nama UUPA 1960, dan menjadikan hari pendandatanganan itu sebagai Hari Tani Nasional. Awalan langkah mengatur pemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam sektor pertanian rakyat dilakukan dengan  pengukuran tanah desa-demi-desa (berdasar PP 10/1961 tentang Pendaftaran Tanah), dan selanjutnya dilakukan pengaturan melalui peraturan-peraturan pembatasan pemilikan tanah pertanian, pengaturan bagi hasil, dan tata laksana land reform lainnya. Namun, hal ini dilingkupi, dan ikut membentuk suatu pertarungan politik yang sangat keras, yang diakhiri dengan kemenangan penguasa politik baru, dijuluki Orde Baru, melalui kudeta merangkak atas Presiden Soekarno di tahun 1965-1966. Partai Komunis Indonesia (PKI) kalah total. Rakyat pedesaaan yang menuntut dan ikut serta dalam program land reform menjadi sasaran dan korban kekerasan politik, termasuk berbentuk pembantaian masal dan penahanan tanpa pengadilan. Land reform pun kandas sebagai upaya mengatasi rintangan pembangunan ekonomi berupa struktur agraria yang rusak (defects in agrarian structure) akibat kolonialisme dan feodalisme. Bacalah FAO (1951) Land Reform, Defect in Agrarian Structure as Obstacles to Economic Development

Cita-cita dan hasrat sosial itu pun disalahkan oleh sebagian elite Orde Baru sebagai program PKI yang berbahaya. Semenjak 1966, Orde Baru membekukan kebijakan, kelembagaan dan program land reform itu, meski tidak tidak membatalkan keberlakuan UUPA 1960. Dimulailah di awal 1970-an, praktek politik agraria yang baru dimulai dengan ijin dan alokasi pengadaan tanah untuk keperluan badan-badan usaha raksasa yang bekerja di pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan kemudian untuk pembangunan kota. Norma dan pengaturan melalui perUUan baru dilakukan secara sektoral, dan diberlakukan untuk kepentingan elite penguasa dan pengusaha. Walhasil kehendak membuat satu payung pengaturan keagrariaan pun kandas. Badan Pertanahan Nasional pun dibentuk melalui Keputusan Presiden No 26/1988 untuk menyediakan keperluan tanah untuk pembangunan, termasuk melalui instrument Ijin Lokasi.  (Noer Fauzi 1999 Petani dan Penguasa, Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Nurhasan Ismail 2007 Perkembangan Hukum Pertanahan, dan  Noer Fauzi Rachman 2013  Land Reform dari Masa ke Masa). 

Sejumlah sebagian ahli hukum agraria dan peneliti studi agraria terus menunjukan analisa dan kritik terhadap cara bagaimana pengaturan agraria dilakukan secara sektoral, dan tumpang tindih satu sama lain, serta pada prakteknya menimbulkan akibat rusaknya fungsi-fungsi layanan ekologis dari lingkungan alam, dan menimbulkan konflik agraria struktural yang meluas dan berkepanjangan -- sebagaimana disinyalir oleh TAP MPR No IX/2001. Sejumlah peneliti studi agraria dan ahli hukum agraria kembali menunjukan relevansi prinsip-prinsip pengaturan yang terkandung dalam UUPA 1960 sebagai rujukan resmi dan turunan dari Undang-undang Dasar 1945, pasal 33 ayat 3. Sementara itu, ahli yang lain menunjukkan pentingnya prinsip-prinsip baru pengelolaan sumber daya alam, termasuk agar bisa menempatkan prinsip kehati-hatian dan daya dukung dan daya tampung dari lingkungan sebagai rujukan tanpa kompromi untuk segala kegiatan ekonomi, demi keberlanjutan layanan alam bisa dinikmati generasi mendatang. Di pihak lain, para aktivis lapangan melakukan pengorganisasian dan pendidikan skala lokal untuk menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip keberlanjutan bisa dilakukan dalam pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas.  

Protes dan kampanye anti perampasan tanah, dan tuntutan reforma agraria terus digaungkan melalui demontrasi-demonstrasi baik yang tahunan dalam rangka Hari Tani Nasional 24 September, maupun yang sporadis dalam rangka kasus-kasus tertentu.   Sebagian elite aktivis berkampanye menyampaikan kritik melalui tulisan maupun forum-forum seminar dan konferensi, hingga melakukan kerja promosi atau ada pula yang secara khusus kerja di dalam badan pemerintah mengubah perundang-undangan, memperbaiki kebijakan, dan membantu program yang baik dari pemerintah pusat atau daerah.   Yang baru-baru ini lahir adalah lahirnya Perpres 86/2012 tentang Reforma Agraria.  merupakan hal yang penting untuk diperhatikan kemanjuran maupun kontra-indikasinya. Ada pula segelintir yang bekerja di tingkat forum-forum internasional, termasuk  proses-proses membuat dan mengawal pencapaian Deklarasi Persatuan Bangsa-bangsa, Konvensi-konvesi HAM, dan perjanjian international lainnya. 

Buku Francis Wahono dan Theresia Puspitasari “Desa Pancasila Petani Merdeka” ini merupakan bacaan yang penting dan menarik.  Sebagian besar bab adalah naskah-naskah yang sebelumnya terbit dalam berbagai jurnal maupun dan bahan ceramah  di sana-sini. Bab Pendahuluan dibuat baru, dan sangat baik membantu pembaca mendapatkan penertian mengenai manifesto perjuangan petani dan pertanian rakyat sekarang ini: Merdesa-lah (Merdeka menjadi warga desa ber-Pancasila) Petani dan Pertanian Rakyat di seantero Nusantara. Butir-butir dalam manifestonya itu dapat jadi pegangan para pemikir, pemimpin dan penggerak rakyat yang bekerja langsung secara konkrit untuk kemudian menemukan cara-cara baru yang mumpuni mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan itu. Kedua penulis juga berpesan, janganlah lupakaninisiatif Djemangin dan Saikem dari Sleman Barat, Yogyakarta, yang tetap berguna sebagai contoh jadi dan penyemangat seluruh bangsa, menyongsong masa depan lebih optimistis, lebih cerah.

Buku ini berguna untuk para pegiat yang kerja sambal belajar langsung di lapangan, para peneliti perubahan agraria di pedesaan, mereka yang rajin berkampanye tentang hak-hak petani, kedaulatan pangan, dan reforma agraria, serta para pelajar dan dosen di perguruan tinggi untuk bahan belajar.  Saya sampaikan selamat dan terima kasih pada kedua penulis dan penerbit, selamat menghasilkan karya yang bermanfaat ini.  


Desa Mandala Mekar, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.

16 November 2018

No comments:

Post a Comment