Menjaga Konstitusionalitas RUU Pertanahan


Telah dimuat dalam Kompas 31 Oktober 2019. https://www.kompas.id/baca/utama/2019/10/31/menjaga-konstitusionalitas-ruu-pertanahan

RUU Pertanahan tidak bersesuaian dengan Nawacita, Visi Misi, dan Program Aksi Jokowi-Jusuf Kalla, demikian pesan Laporan Utama Kompas 16 September 2019. Para promotor RUU ini, baik yang berasal dari kalangan parlemen di DPR RI, maupun eksekutif, terutama Menteri Agraria dan Tata Ruang bergegas memanfaatkan ruang waktu tersisa dari masa jabatannya yang akan berakhir, the show must go on. Dengan bantuan para jurnalis, kalangan masyarakat sipil dari para aktivis, pegiat agraria maupun ahli dari akademisi dengan geram terus mengartikulasikan kritik atas naskah RUU versi sebelumnya, maupun versi yang telah dilaporkan dan diserahkan oleh Panitia Kerja RUU Pertanahan ke Komisi II DPR RI pada 9 September 2019 lalu (lihat misalnya, Table 1). 


             

Sumber: Kompas 16 September 2019

 

Apakah Fraksi-fraksi DPR RI akan menyetujui RUU yang dihasilkan Panja itu, dan meloloskan untuk dibawa ke Sidang Pleno DPR RI?


Berbeda dengan Arahan Presiden

Naskah ini menyajikan argumen tambahan yang memperkuat yang disajikan Kompas itu, dan merekomendasikan langkah yang bisa dilakukan Presiden. Pada Ratas mengenai RUU Pertanahan pada tanggal 22 Maret 2017, Presiden menegaskan bahwa semua regulasi mengenai pertanahan harus sejalan dengan Reforma Agraria yang ingin pemerintah wujudkan, yakni Reforma Agraria untuk mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. “Jangan sampai tanah hanya dikuasai segelintir orang atau badan usaha, sehingga dalam jangka menengah dan jangka panjang akan memicu ketimpangan yang semakin menajam”. Kedua, setiap regulasi pertanahan harus mampu menyelesaikan masalah-masalah pertanahan yang kian hari kian meningkat, mulai dari sengketa kepemilikan tanah, sengketa agraria antara masyarakat dengan perusahaan, sampai menghambat pengadaan tanah untuk pembangunan untuk kepentingan umum. “Proyek-proyek pembangunan startegis yang berdampak bagi rakyat, harus tertunda atau mangkrak karena masalah pembebasan tanah yang tidak bisa kunjung bisa diatasi”

Create Game Changers in the Struggle for Social Justice


Noer Fauzi Rachman

A paper presented for Kemitraan, Partnership for Governance Reform, 5 Okrober 2019


“Durable inequality among categories arises because people who control access to value producing resources solve organizational problems by means of categorical distinctions. Inadvertently or otherwise, those people set up systems of social closure, exclusion and control.” 

Charles Tilly (1998:8) 

 

My biggest challenge to address the national issue of inequality was when I had taken a responsibility as one of senior advisors in the Executive Office of the Indonesian President (KSP) in October 2015. How a scholar activist with a specific background, expertise, and networks may success to work in a “brain” section of the government body, i.e. through presidential policies and programs. The significant moment was in the beginning of 2016 when the President announced a new economic policy named “Ekonomi Pemerataan” to address economic inequality seriously. One year works (October 2014 – 2015) only decrease a very little in Gini Index, from 0.41 to 0.397.  “We have to work very hard (bekerja keras mati-matian), in order to decrease our statistics number on inequality”, the Indonesian President Joko Widodo said in plenary meeting of all Ministers at Bogor Pallace 4 Januari 2016.

Then, the Coordinating Minister of Economic announced in Cabinet Meeting on March 2016 that the Policy of “Ekonomi Pemerataan” has three main pillars, i.e. : (a) land programs, (b) new facilities for small scale business, and (c) vocational training, enterprenuership, and labor market. 

Mempelajari Keadilan Gender melalui Perjuangan-perjuangan Agraria Kaum Perempuan


Perjuangan untuk perubahan harus lah merupakan suatu perjuangan memperebutkan sumber daya dan sekaligus perjuangan memperebutkan arti. Dan keduanya harus dilakuakan dalam sejumlah arena – keluarga, komunitas dan Negara – dan melintasi ruang-ruang yang dibentuk kelas, kasta, agama, dan etnisitas, dan sebagainya[1]

(Bina Agarwal 1994:421).

 

Konsep keadilan jender (gender justice) sering diperlakukan sebagai konsep-konsep yang rumit yang untuk dipahami, dengan seperangkat alat-alat kerja yang harus diakrabi dan dipergunakan di dalam organisasi tempat kerja kita maupun kelompok-kelompok sasaran dari program/proyek organisasi kita. Kesulitan umum dari mereka yang lebih banyak bekerja di atas meja komputer di kantor-kantor dan di ruang-ruang latihan dan lokakarya, dari pada berinterkasi langsung dengan rakyat di kampung-kampung adalah mengaplikasikan semua yang dipelajari dari teks ke konteks, dari konsep yang abstrak ke realitas yang kongkrit, dan dari pola yang umum ke kejadian-kejadian yang khusus.

Naskah ini mengusulkan pembaca untuk secara sungguh-sungguh belajar dari para perempuan yang berjuang menghadapi kekuatan-kekuatan yang secara nyata telah dan terus akan mengubah hubungan kepemilikan, tata guna tanah, dan layanan alam yang telah mereka nikmati sebelumnya. Cerita-cerita mereka itu akan mampu memberikan pelajaran penting setidaknya tentang bagaimana perempuan didiskriminasi oleh beragam mekanisme dari dalam negara, pasar, maupun masyarakat hingga keluarga; (b) bagaimana perjuangan hidup keseharian para perempuan itu menghadapi diskriminasi dan eksklusi itu; dan (c) bagaimana aspirasi untuk diperlakukan adil dan setara itu diartikulasikan bersama dengan kepentingan-kepentingan lainnya di berbagai arena perjuangan yang beraneka-ragam. Lebih dari itu, dengan berinteraksi langsung dengan mereka secara berlanjut akan terbentuk suatu konstituensi. 

“Institutional Activism: Seeking Customary Forest Rights Recognition from within the Indonesian State


Suraya Afiff and Noer Fauzi Rachman (2019) “Institutional Activism: Seeking Customary Forest Rights Recognition from within the Indonesian State”, The Asia Pacific Journal of Anthropology 20(5):453-470. https://doi.org/10.1080/14442213.2019.1670245

For full and free access: https://drive.google.com/file/d/1A9SGoVyIvHPiEpfbtPCym0em4HvaEWtO/view?usp=sharing

Abstract

This article aims to explain why the adat movement activists in Indonesia could expand their campaigns for state recognition of adat community rights to activities from within the state apparatus. We argue that three combined processes have contributed to the conjuncture that made institutional activism possible: the preparation of the 2014 national election offered activists opportunities to influence the government agenda; the emergence of a conscious strategy for conducting institutional activism; and the coalitions between some key state officials and the movement’s actors. This article also analyses the problems that institutional activists faced, in particular resistance from influential actors at various government units who were not sympathetic to the adat movement’s agenda. Therefore, the impact of this activism on policy changes so far remains limited. The authors’ personal involvement in this case of institutional activism to promote customary forest provided access to the information for this article.

Keywords: Customary Forest; Masyarakat Adat; Institutional Activists; State–Movements Interaction; Indigenous Land Rights

Introduction

        On 30 December 2016, a special ceremony was held at the national palace, where President Joko Widodo (popularly known as Jokowi) honoured nine indigenous com-munities with a ministerial decree legalising their claims over customary forests, or hutan adat (Table 1).1 We were among about one hundred people from different organisations who also attended the ceremony that day. The total area of the custom-ary forests that received government recognition was actually quite small, about 13,000 hectares for approximately 5,700 individuals.2 However, despite this fact, the indigen-ous peoples’ activists and their allies who attended the ceremony felt overwhelmingly enthusiastic and with high expectations that from now on, more indigenous commu-nities would be granted customary land rights. From these activists’ points of view, the ceremony symbolised a campaign success by obtaining government recognition of indigenous peoples’ customary claims.

Quo Vadis Pengaturan Status Masyarakat Hukum Adat Pasca Putusan MK 35/PUU-X/2012 ?


Noer Fauzi Rachman (2019) "Prolog: Quo Vadis Pengaturan Status Masyarakat Hukum Adat  Pasca Putusan MK 35/PUU-X/2012" dalam  Meninjau Ulang Pengaturan Hak Adat, Mohamad Shohibuddin, Ahmad Nashih Luthfi, Westi Utami (Penyunting), Yogyakarta: STPN Press bekerjasama dengan Pusat Studi Agraria, Institut Pertanian Bogor. Halaman xxv-xxxi.

Link untuk unduh buku sepenuhnya secara bebas: https://pppm.stpn.ac.id/sdm_downloads/meninjau-ulang-pengaturan-hak-adat  

 

 

“Durable inequality among categories arises because people who control access to value producing resources solve organizational problems by means of categorical distinctions. Inadvertently or otherwise, those people set up systems of social closure, exclusion and control. Multiple parties — not all of them powerful, some of them even victims of exploitation — then acquire stakes in these solutions” (Tilly 1998:8). [1]


Apakah benar kita akan memasuki babak baru pengaturan masyarakat hukum adat[2] di Indonesia setelah Putusan MK dibacakan untuk perkara nomor 35/PUU-X/2012 yang dibacakan tanggal 16 Mei 2013 (Rachman 2013a)?  Putusan Mahkamah Konstitusi itu meralat pasal 6.1, dan beberapa pasal lain yang terkait, dari UU no 41/1999, menunjukkan bahwa kriminalisasi atas akses rakyat atas hutan yang diatur secara adat adalah tidak dapat dibenarkan secara konstitusional. Hakim Konstitusi, Ahmad Sodiki pada satu kesempatan menjelaskan satu alasan mengapa dia menyetujui perubahan status hutan adat sebagai hutan hak, dan bukan bagian dari hutan negara.  

“ … jika dikaitkan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi tugas negara bagaimana pengusahaan sumberdaya alam yakni bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dimanfaatkan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat (secara adil dan merata). Hal itu tidak dapat dicapai dengan menegakkan hukum semata karena ternyata hukum yang berkenaan dengan sumberdaya alam mengandung cacat yang, jika ditegakkan, justru akan menimbulkan ketidakadilan sosial. Penegakan hukum sumberdaya alam yang tidak adil akan mengancam eksistensi masyarakat hukum adat yang sangat rentan penggusuran oleh mereka yang mengatasnamakan atau ijin dari negara” (Ahmad Sodiki 2012)

 

Para pelajar sejarah kehutanan Indonesia mengetahui bahwa kriminalisasi atas akses rakyat atas wilayah adat yang berada di dalam hutan negara merupakan praktek kelembagaan yang menyejarah semenjak pemerintahan kolonial mengerahkan kuasa negara kolonial (dan kemudian Negara paska kolonial) untuk menguasai hutan. Menurut Peluso and Vandergeest (2001), kriminalisasi terhadap akses rakyat secara adat atas tanah dan sumber daya hutan adalah salah satu dasar pembentukan kawasan hutan negara (political forests) (Peluso and Vandergeest 2001, lihat pula Peluso 1998). Terdapat hubungan yang saling membentuk antara klaim kawasan hutan negara dengan kriminalisasi atas akses rakyat terhadap tanah dan sumber daya hutan yang berada di kawasan hutan negara itu.

Dari Aktivis Menjadi Scholar Activist


Rachman, Noer Fauzi (2019) "Dari aktivis menjadi scholar activist".  Perjuangan Keadilan AgrariaShohibuddin, M., dan Bahri A.D. [Ed.]. Yogyakarta: Insist Press. Halaman 47-68.
 


Noer Fauzi Rachman

Bagaimana cara aktivis menjadi scholar activist? Artikel ini secara khusus diniatkan menyumbang sebagian jawaban atas pertanyaan itu, dengan menghadirkan cara bagaimana sejumlah konsep studi agraria tertentu, dalam hal ini adalah “petani”, “perlawanan petani”, “kebijakan agraria”, dan “akumulasi primitif”, penulis pelajari sambil secara simultan terlibat dalam mengurus kasus-kasus perampasan tanah, yang menjadi pokok bahasan dan sekaligus arena keterlibatan para aktivis pemula dan pemulai gerakan protes agraria di awal tahun 1990an.  Empat alat koseptual analitik itu pada gilirannya penulis kuasai  keampuhannya dalam menerangkan sebab-musabab dari kasus-kasus perampasan tanah. 

Fokus pada alat konseptual analitik inilah yang menjadi pembeda antara aktivis dengan scholar activist. Dalam skala lebih menyeluruh, scholar activist menguasai metodologi ilmiah dan menjadi warga dan penyumbang pengetahuan ilmiah dalam bidang ilmu tertentu. Ketahuilah, tiap-tiap bidang ilmu memiliki bidang kajian, fokus, kekhususan, pokok bahasan hingga cara bagaimana seseorang bisa dididik mumpuni menjadi ahli ilmu itu. Hubungan antar konsep-konsep  kemudian dikembangkan menjadi kerangka konseptual yang dapat dipergunakan sebagai penjelas atas kenyataan yang menjadi pokok bahasannya. Hubungan antar konsep-konsep itu, disebut argumen ilmiah, dapat pula diperlakukan pula sebagai hipotesa untuk diuji dengan metodologi dan prosedur penelitian tertentu. 

Sketsa Proses-proses Kebijakan Reforma Agraria 2014-2019


Naskah untuk Workshop Hasil Penelitian dan Pengembangan “Prakarsa Penumbuhan Inisiatif Lokal Mendukung Kesejahteraan Masyarakat dan Desa Membangun”, Badan Penelitian dan Pengembangan Transmigrasi, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Cirebon, 25 April 2019

_______________________________________________________________

Tiap-tiap Calon Presiden dan Wakil Presiden terlebih dahulu menyusun dan menyampaikan “Janji Politik” berupa dokumen yang mengandung Visi, Misi dan Program Aksi, yang disampaikan ke Komisi Pemilihan Umum. Dalam kasus Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla  pada Pemilu tahun 2014, dokumen itu diberi judul “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Adil dan Makmur”, dan terkandung apa yang dikenal sebagai Nawacita.  Inilah sumber dari kebijakan Presiden yang diberi judul Reforma Agraria.



            Reforma Agraria memiliki kesempatan tampil sebagai arahan kebijakan Presiden ketika kesenjangan ekonomi, yang diukur oleh Koefisien Gini, menjadi masalah nasional yang sangat penting dan memprihatinkan.

 



Reforma Agraria menjadi Kebijakan Presiden untuk mengatasi kesenjangan ekonomi yang mengkuatirkan. Presiden Joko Widodo mengumumkannya pada Sidang Kabinet Paripurna 4 Januari 2016 di Istana Bogor, dan menugaskan Menteri Kordinator Perekonomian untuk menetapkan aransemen yang mengkordinasikan komponen-komponen yang dapat dijalankan oleh Kementerian-kementerian dan badan-badan pemerintah pusat, dalam kerangka kebijakan ekonomi pemerataan. Kemenko Perekonomian kemudian bekerja dengan dasar kerangka kerja Kantor Staf Presiden (KSP) dan Bappenas yang sebelumnya sudah melansir pedoman dan kerangka kerja Reforma Agraria. KSP mengeluarkan buku Pelaksanaan Reforma Agraria. Arahan Kantor Staf Presiden: Prioritas Nasional Reforma Agraria dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun 2017 

Meneliti Proses-proses Kebijakan Land Reform Indonesia


Noer Fauzi Rachman (2019) “Meneliti Proses-proses Kebijakan Land Reform Indonesia“, Prisma  3(38):17-37. https://www.prismajurnal.com/issues1.php?id={872D240D-C93B-B095-81B1-81B0AC55BCFD} 

 

Abstrak


Proses bagaimana landreform menjadi kebijakan pemerintah nasional setelah bergantinya rezim penguasa pada 1998 merupakan topik studi yang penting dan menarik, terutama bila penelitinya adalah scholar activist yang sejak awal terlibat dan ikut mengembangkan studi politik agraria Indonesia. Artikel ini memperlihatkan bagaimana seorang scholar activist menempati posisi dan mempersiapkan positioning-nya dalam kaitan dengan proses-proses kebijakan land reform, argumentasi yang diajukan, pilihan metodologi penelitian, sajian pengetahuan yang dipilih, serta strategi  untuk melakukan perubahan kebijakan. Periode 2004-2012 merupakan fokus penelitian ini, saat Indonesia berada di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dikepalai Joyo Winoto. Metode penelitian berupa observasi partisipasi ini diramu dengan pembabakan dan dramaturgi dipilih agar bisa menggambarkan pelbagai peristiwa interaksi antara kekuatan-kekuatan gerakan sosial dan negara untuk kemudian menjelaskan sebagian dari mekanisme dan proses pembuatan kebijakan land reform. 

 

Kata Kunci: etnografi, gerakan sosial, kebijakan land reform, politik agraria

 

Pengantar      

Artikel ini secara khusus hendak memaparkan latar belakang suatu penelitian mengenai bagaimana land reform masuk, berkembang, dan keluar dari kebijakan Pemerintah Indonesia, dengan fokus interaksi antara  gerakan sosial dan negara di berbagai arena yang saling berhubungan satu sama lain pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 2005-2014. Masa itu adalah pemantapan proses demokratisasi yang pembukaannya dimulai sejak mundurnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia pada Mei 1998, yang selanjutnya memasuki transisi demokrasi yang dihela oleh Presiden BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarno-Putri. 

Masyarakat Adat in Motion: Politics of Indigeneity in Contemporary Indonesi



Noer Fauzi Rachman  

Guest Lecture at Wageningen University, Course on "Sociology of Development and Change", Tuesday 16 March 2019 10.15 to 12.30  https://www.wur.nl/en/activity/guest-lecture-customary-communities-in-motion-politics-of-indigeneity-in-contemporary-indonesia.-by-dr.-noer-fauzi-rachman-padjadjaran-university-bandung-indonesia-.htm 

        Indonesia is an important and interesting place to understand how the meaning of indigeneity, a new keyword today, are contentiously shaped. Using a methapore from Indonesian Javanese traditional puppetry vocabulary, this is kawah candradimuka, a sacred crater to shape a powerful knight, through which masyarakat adat, the Indonesian term for custom/tradition regulated communities, is articulated and shaped at multiple sites of struggle. I plan to elucidate indigeneity politics at national level in Indonesia, started in 1999 when Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN/Indigenous Peoples' Alliance of the Archipelago) was first established. AMAN provides a unified national movement platform for the localized and sporadic struggles of Adat communities against the systemic land dispossession. AMAN used the term masyarakat adat as the translation for the term of indigenous peoples as defined by the UN Declaration on The Right of Indigenous Peoples.

Nanos Gigantum Humeris Insidentes, Sebelum Meneliti Susunlah Bibliografi Beranotasi dan Kajian Pustaka



Noer Fauzi Rachman dan Ahmad Nashih Luthfi (2019) Nanos Gigantum Humeris InsidentesSebelum Meneliti Susunlah Bibliografi Beranotasi dan Kajian Pustaka. Yogyakarta: STPN Press. 

Kunjungi link berikut untuk unduh seluruh isi buku dengan bebas:
https://repository.stpn.ac.id/3652/

Versi buku digitalnya dapat dilihat pula pada:
https://digitallibrary.hsp.org/index.php/Detail/objects/9792 


Judul buku kecil ini Nanos Gigantum Humeris Insidentesberasal dari suatu istilah dalam Bahasa Latin, yang dalam Bahasa Inggris menjadi stand on the shoulders of giants, yang terjemahannya menjadi “berdiri kokoh di atas bahu para raksasa.“ Lihatlah gambar di kover buku ini. Pesan judul ini sangat jelas, bahwa pengetahuan ilmiah yang baru itu dihasilkan di atas jasa warisan pengetahuan para pendahulu. 

Istilah ini dalam dunia ilmiah dipopulerkan oleh Isaac Newton, ahli fisika, matematika, astronomi, teologi dan filsuf yang terkenal, dalam suratnya untuk Robert Hooker 5 Februari tahun 1675. Newton Newton mengeluarkan kalimat terkenalnya, "if I have seen further, it is by standing on the shoulders of giants" (Apabila saya melihat lebih dalam, itu merupakan hasil dari bertumpu pada bahu-bahu para raksasa pendahulu). Surat lengkapnya bisa dilihat pada https://discover.hsp.org/Record/dc-9792/Description#tabnav (diunduh terakhir pada 20 Oktober 2019). 

Buku ini untuk menunjukkan cara bagaimana seseorang yang baru belajar suatu bidang studi atau pokok bahasan tertentu dapat memperoleh warisan pengetahuan dari para pendahulunya. Caranya adalah melalui bibliografi bernotasi dan kajian pustaka. Panduan ini tentu saja bisa dimanfaatkan pula oleh para peneliti yang sudah berpengalaman.   

Mengubah sedikit pepatah dari satu pengelola Restoran Padang, apabila para pembaca menikmati dan mendapat manfaat dari naskah ini, mohon sampaikan kepada orang lain, tapi apabila ada rasa kurang nyaman dan ada yang dirasa janggal, mohon sampaikan kepada penulis. 

Selamat membaca.