Meneliti Proses-proses Kebijakan Land Reform Indonesia


Noer Fauzi Rachman (2019) “Meneliti Proses-proses Kebijakan Land Reform Indonesia“, Prisma  3(38):17-37. https://www.prismajurnal.com/issues1.php?id={872D240D-C93B-B095-81B1-81B0AC55BCFD} 

 

Abstrak


Proses bagaimana landreform menjadi kebijakan pemerintah nasional setelah bergantinya rezim penguasa pada 1998 merupakan topik studi yang penting dan menarik, terutama bila penelitinya adalah scholar activist yang sejak awal terlibat dan ikut mengembangkan studi politik agraria Indonesia. Artikel ini memperlihatkan bagaimana seorang scholar activist menempati posisi dan mempersiapkan positioning-nya dalam kaitan dengan proses-proses kebijakan land reform, argumentasi yang diajukan, pilihan metodologi penelitian, sajian pengetahuan yang dipilih, serta strategi  untuk melakukan perubahan kebijakan. Periode 2004-2012 merupakan fokus penelitian ini, saat Indonesia berada di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dikepalai Joyo Winoto. Metode penelitian berupa observasi partisipasi ini diramu dengan pembabakan dan dramaturgi dipilih agar bisa menggambarkan pelbagai peristiwa interaksi antara kekuatan-kekuatan gerakan sosial dan negara untuk kemudian menjelaskan sebagian dari mekanisme dan proses pembuatan kebijakan land reform. 

 

Kata Kunci: etnografi, gerakan sosial, kebijakan land reform, politik agraria

 

Pengantar      

Artikel ini secara khusus hendak memaparkan latar belakang suatu penelitian mengenai bagaimana land reform masuk, berkembang, dan keluar dari kebijakan Pemerintah Indonesia, dengan fokus interaksi antara  gerakan sosial dan negara di berbagai arena yang saling berhubungan satu sama lain pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 2005-2014. Masa itu adalah pemantapan proses demokratisasi yang pembukaannya dimulai sejak mundurnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia pada Mei 1998, yang selanjutnya memasuki transisi demokrasi yang dihela oleh Presiden BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarno-Putri. 

Pada masa transisi demokrasi tersebut, pelbagai kelompok rakyat di perdesaan melancarkan aksi-aksi okupasi tanah, sebagai bagian tindakan perlawanan balik atas perampasan tanah yang sebelumnya disokong oleh penguasa otoriter. Bersama para aktivis agraria dari organisasi-organisasi non-pemerintah, mereka berunjuk rasa di berbagai kantor pemerintah dan parlemen, baik di pusat maupun daerah, menuntut pemerintah untuk tanggap terhadap konflik-konflik agraria. Mereka tampil episodik, terutama setiap menyongsong Hari Tani Nasional 24 September, dalam jumlah hingga ribuan petani dan aktivis agraria. Lebih dari itu, para scholar activist turut bekerja merumuskan dan mengartikulasikan argumen bahwa land reform adalah jawaban atas konflik agraria dan konsentrasi penguasaan tanah oleh badan-badan pemerintah dan korporasi raksasa. 

Pada 20011, penulis menyelesaikan disertasi berjudul The Resurgence of Land Reform Policy and Agrarian Movements in Indonesia. Penulis berniat menyajikan disertasi itu ke publik Indonesia. Pada 2018, setelah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, disunting, dan diberi epilog[1], disertasi itu kemudian diterbitkan oleh Insist Press dengan judul Land Reform dan Gerakan Agraria Indonesia.[2] Yang secara khusus dibahas di sini adalah proses belajar peneliti sebelum penelitian itu mulai dilakukan. Artikel ini dimaksudkan untuk mengiringi, bisa sebelum atau sesudah, membaca naskah buku hasil penelitian itu, dan tentu sama sekali bukan mengulang apa yang sudah dimuat di buku hasil penelitian itu.

Selain relevan secara sosial, kebijakan, dan intelektual, penelitian ini secara pribadi (personal) juga telah menjadi bagian dari bidang studi tentang perjalanan politik agraria Indonesia yang sejak dahulu peneliti/penulis tekuni. Karena itu, artikel ini menunjukkan posisi penulis yang lebih dahulu menjadi bagian dari aktivis agraria pemula dan pemulai yang berpihak pada rakyat korban perampasan tanah melalui proses belajar live in di kampung-kampung perdesaan dan ikut serta  dalam aksi-aksi protes, hingga kemudian tumbuh sebagai scholar activist melalui studi mengenai politik agraria yang pada gilirannya mempromosikan land reform

Artikel ini diawali dengan menjelaskan politik dan kebijakan agraria yang membentuk aktivis agraria sebagai suatu kategori aktivis yang khusus. Selanjutnya, disajikan konteks bagaimana land reform tampil kembali sebagai suatu tema yang diperdebatkan sebagai pilihan kebijakan pembangunan berbagai negara dan para ahli di sejumlah badan pembangunan internasional, selain menjadi tuntutan dari berbagai organisasi masyarakat sipil termasuk gerakan-gerakan agraria transnasional. Bahasan selanjutnya mengupas bagaimana agenda land reform tampil di panggung proses kebijakan dan masuk kembali ke dalam program pemerintah dengan fokus utama pada andil scholar activist, yang berlangsung sejak 2005 sampai 2012.

 

Pemula dan Pemulai Aktivisme Agraria 

Sejak akhir tahun 1980-an, peneliti merupakan bagian dari aktivis pemula dan pemulai yang menghidupkan aspirasi rakyat perdesaan dalam menentang perampasan tanah dan mengembangkan kapasitas aktivis dan pemimpin lokal melalui pelatihan, asistensi teknis, bantuan hukum, dan cara belajar lainnya agar komunitas korban bisa mempertahankan diri dari tindak perampasan tanah, kekerasan, dan berbagai bentuk diskriminasi lainnya. Pada konteks ini, pendekatan hak asasi manusia mempunyai andil dalam memberi kerangka yang membuat para aktivis agraria masa itu memiliki rujukan dalam mengartikulasikan kritik terhadap politik, kebijakan, dan hukum agraria yang dipraktikkan, dan kampanye agar land reform diadopsi dan dijalankan pemerintah sebagai bagian dari kewajiban negara untuk menghargai, melindungi, dan memenuhi HAM warga negara yang miskin. 

Perjalanan peneliti sendiri dari aktivis agraria menjadi scholar activist diperantarai oleh, antara lain, studi mengenai politik agraria Indonesia, terutama ditandai oleh buku Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia.[3] Pokok bahasan buku itu adalah mengenai hubungan orang Indonesia dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, hubungan antar-orang dan/atau kelompok orang, serta menempatkan hubungan-hubungan kepemilikan tersebut sebagai faktor utama yang menentukan berbagai bentuk kuasa dalam penguasaan tanah (land tenure) dan tata guna tanah (land use), cara produksi dan pembagian kelas sosial, hingga akumulasi kekayaan. Bidang studi politik agraria itu,[4] dengan inspirasi utama dari dua buku masing-masing karya Muhammad Tauchid dan Gunawan Wiradi.[5]  Intervensi yang dilakukan Noer Fauzi dalam buku Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia (1999) hingga Panggilan Tanah Air (2017)[6], selain merekonstruksi perjalanan politik agraria Indonesia sejak perjuangan dekolonisasi hingga menjadi negara merdeka, juga mengaitkan politik agraria rezim penguasa nasional dengan cara bagaimana kapitalisme tumbuh, meluas, dan mendominasi, dengan menempatkan perubahan hubungan kepemilikan (property relations) sebagai fokus utama.[7]

Intinya, bagaimana untuk kali pertama tanah dan kekayaan alam yang semula dikuasai para petani diputuskan dari hubungan kepemilikannya dan menjadi bagian kapital dalam sirkuit baru cara produksi kapitalis. Di sisi lain, dibentuknya tenaga kerja bebas yang sebagian akan dijadikan sebagai buruh dalam hubungan sosial produksi kapitalis. Petani yang semula punya hubungan erat dengan tanah dan kekayaan alam itu “diceraikan” secara paksa, bahkan bisa brutal, dan kemudian dibebaskan menjadi tenaga kerja bebas. Karena ituaspek kapital itu perlu dipahami sebagai sebuah kekuatan (force). Dalam membahas bagaimana kapital dapat menjadi penggerak yang menghentikan hubungan petani dengan tanahmelalui perampasan (land disposession), kapital harus dipahami sebagai enclosing social force. Yang disebut sebagai perampasan tanah adalah suatu bentuk enclosure di zaman sekarang dan merupakan ciri yang melekat pada bagaimana cara produksi kapitalis bisa meluas.[8]

Pemberian sejumlah lisensi dari pemerintah kepada perusahaan-perusahaan raksasa yang bergerak di bidang pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan lain-lain, berlanjut dengan  usaha para pemegang izin dalam membentuk konsesi atau pengendalian wilayah, termasuk dengan fasilitasi pemerintah. Setiap lembaga pemerintah (baik pusat maupun daerah, sesuai sektor) memiliki prosedur dan birokrasi pemberian lisensi yang berbeda-beda. Nama, definisi, dan bentuk  lisensi-lisensi umumnya sejalan dengan peraturan yang ada. Pada praktiknya, dari lisensi ke konsesi disertai oleh tindak kekerasan dan paksaan terhadap penduduk yang berada di dalam wilayah konsesi, atau yang memiliki akses pemanfaatan atas tanah dan layanan alam yang menyertainya. Berbagai kelompok rakyat terkena berbagai pemberlakuan hukum, teritorialisasi, diskriminasi hingga negative labelling. Bila kelompok rakyat itu melakukan protes dan perlawanan untuk kembali mendaku serta menguasai kembali tanah dan wilayah yang telah diambil alih pemerintah dan diberikan ke perusahaan-perusahaan itu, mereka dapat menerima akibat yang sangat nyata, yakni menjadi sasaran tindak kekerasan, baik secara langsung maupun melalui birokrasi aparatus hukum negara.  Kebanyakan kelompok rakyat mengalah dan kalah. Mereka menyingkir atau meninggalkan wilayahnya. 

Para scholar activist yang bekerja di lapang agraria peduli dengan nasib kelompok-kelompok rakyat miskin di banyak desa, di pinggir kota, di dataran tinggi, di pedalaman serta di pesisir pulau-pulau, yang menjadi korban operasi paksa pelepasan hubungan kepemilikan rakyat terhadap tanah, sumber daya alam, dan wilayah. Pada gilirannya, kelompok rakyat itu menanggung akibat lanjutan berupa perubahan secara drastis tata guna tanah, sumber daya alam dan wilayah, serta perubahan posisi kelas dalam hubungannya dengan keberadaan sistem produksi baru yang berdiri dan bekerja atas tanah, sumber daya alam, dan wilayah. Para petani yang harus tersingkir dari tanah, dan sebagian berubah menjadi tenaga kerja bebas, adalah sebuah proses “penciptaan” paksa orang yang tidak lagi bekerja dan hidup di tanah miliknya sendiri. Kini, mereka hanya mengandalkan tenaga yang melekat pada dirinya saja sebagai pekerja bebas. Namun demikian, tidak ada jaminan bahwa setelah tenaga kerja bebas terbentuk,  dilepaskan dari ikatan kepemilikan dan hubungan sosial pra-kapitalis, mereka akan menjadi buruh dan mendapatkan pekerjaan dalam sirkut produksi kapitalis.[9]Sebagian dari mereka kerja dalam sektor pertanian sebagai buruh harian lepas, dan sebagian pergi meninggalkan tanah di desa untuk menjadi footloose labour[10], mencari dan mendapatkan pekerjaaan di sektor informal perkotaan dan hidup dalam kantung-kantung permukiman miskin  dan padat. Kota-kota dengan permukiman kumuh seperti itu dijuluki sebagaiplanet of slums.[11]

Setelah melewati masa transisi demokrasi di bawah kepemimpinan BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri, Republik Indonesia dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama sepuluh tahun (2004-2014). Pada masa kepemimpinannya, para scholar activist terganggu dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 tentang Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Dokumen tersebut disertai lampiran buku setebal 210 halaman berisi tentang strategi, tata cara, dan protokol pelaksanaan kegiatan yang kemudian populer dengan sebutan “Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia” (MP3EI). Disebutkan bahwa MP3EI merupakan sebuah rencana induk pembangunan ekonomi Indonesia yang dirancang untuk “mempercepat pengembangan berbagai program pembangunan yang ada, terutama dalam mendorong peningkatan nilai tambah sektor-sektor unggulan ekonomi, pembangunan infrastruktur dan energi, serta pembangunan SDM dan Iptek.” 

Selama 2012-2013, setelah menyelesaikan PhD dari University of California, Berkeley, peneliti memimpin Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi Agraria berbasis di Bogor, dan menyelenggarakan studi untuk mengungkap latar belakang kondisi yang mendorong lahirnya MP3EI dan konsekuensi, baik langsung maupun tidak langsung, pembangunan situs-situs produksi komoditas global yang dipercepat dan diperluas oleh MP3EI. Selain itu, studi tersebut secara khusus memperhatikan konsentrasi penguasaan tanah dan perubahan tata guna secara besar-besaran dalam rangka perluasan cara produksi kapitalis untuk menghasilkan komoditas global di bidang pertambangan, kehutanan, dan perkebunan. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa pembangunan proyek-proyek infrastruktur raksasa dan dirancang terpusat di bawah arahan Menko Perekonomian Republik Indonesia Hatta Radjasa merupakan pembuka “reorganisasi ruang[12] dalam rangka memperluas cara produksi kapitalis yang berlangsung dengan skala dan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Konsekuensi dari proyek-proyek investasi berbasis sumber daya alam yang pelaksanaannya dipercepat dan jangkauannya diperluas oleh MP3EI adalah makin parahnya krisis sosial-ekologis yang dialami oleh masyarakat setempat dan wilayah operasi proyek-proyek. Karenanya, buku laporan penelitian itu diberi judul MP3EI: Master Plan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia.[13]  Setelah menguraikan anatomi MP3EI, buku itu memaparkan latar belakang ekonomi-politik munculnya MP3EI dan konsekuensi dari perubahan peran pemerintahan saat MP3EI dijadikan haluan utama. Sejumlah studi kasus yang disumbangkan oleh para peneliti lapangan juga menggambarkan keragaman krisis sosial-ekologis dalam hubungan dengan proyek-proyek yang dinaungi MP3EI. Situs-situs produksi komoditas global yang secara khusus diteliti adalah hilirisasi industri pengolahan hasil perkebunan sawit di Sumatera Utara, kawasan industri dan masalah perburuhan di Bekasi, pertambangan batu bara di Kalimantan Selatan, perluasan pertambangan marmer di Nusa Tenggara Timur, pertambangan nikel di Morowali, Sulawesi Tengah, pertambangan nikel di Maluku Utara, dan Kawasan Ekonomi Khusus Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), di Merauke, Papua. 

Peneliti bekerja dipengaruhi pemikiran Karl Polanyikhususnya yang disebut sebagai “gerakan ganda” (double-movement), bahwa reorganisasi ruang dalam rangka memperluas akumulasi modal tanpa henti dapat berujung pada munculnya gerakan-tanding dari masyarakat yang berupaya mempertahankan diri dari ekspansi pasar dan perampasan terhadap tanah dan sumber daya lain yang menjadi andalan hidupnya.[14] Gerakan-gerakan sosial yang mempertahankan tanah dan ruang hidup dari serbuan pasar mesti dipandang sebagai perjuangan untuk kedaulatan atas tanah (land sovereignty).[15] Lebih dari sekadar gerakan-tanding melawan perampasan (counter-enclosure movement), sebagian gerakan itu dapat merupakan sebuah upaya perlawanan terhadap model-model konsentrasi penguasaan tanah, serta berupa gerakan masyarakat mengokupasi tanah yang tidak mereka kuasai, dan mendaku/merebut kembali tanah mereka. Saat ini, perjuangan untuk kedaulatan atas tanah kembali menguat dan menjadi relevan, sebab banyak tanah milik keluarga petani, milik bersama, dan publik menjadi sasaran perampasan tanah global. Konsep perjuangan kedaulatan atas tanah mencakup semua jenis gerakan sosial yang memiliki basis sosial sebagai kelas pekerja perdesaan yang berjuang untuk mendapatkan akses yang efektif serta penguasaan terhadap dan pemanfaatan atas tanah, baik sebagai sumber kehidupan maupun sebagai wilayah (territory).

Peneliti cukup akrab dengan konsep-konsep tentang petani (peasantry) dan perlawanan petani (peasant resistance) serta melakukan studi atas berbagai gerakan rakyat perdesaan di pelbagai belahan Dunia Ketiga. Sepanjang keterlibatan bersama sejumlah organisasi non-pemerintah, termasuk di Konsorsium Pembaruan Agraria (1994-2005), peneliti terusikdengan pertanyaan mengapa sebagian rakyat perdesaan menolak mengalah, memilih mempertahankan diri, bahkan melancarkan protes? Peneliti mengikuti cara bagaimana “petani” dikonseptualisasikan oleh Theodore Shanin, Hamza Alavi, dan Eric R Wolf,[16] serta perdebatan teoretis antara James Scott, Samuel Popkin, dan Jeffery Paige mengenai penentu dan pembentuk gerakan pemberontakan petani. [17] Pada gilirannya, peneliti menemukan perbedaan objek bahasan serta konteks ruang dan waktu pada sembilan organisasi gerakan rakyat perdesaan kontemporer di Afrika Selatan, Zimbabwe, Brasil, Meksiko, Ekuador, India, Muangthai, Filipina, dan Indonesia.[18]

 Berikutnya, James Petras, James Petras dan Henry Veltmeyer, Gerrit Huizer, dan Neil Webster,[19] memandu peneliti bahwa konsep-konsep klasik tentang petani dan perlawanan petani memang sudah tidak sesuai dengan karakteristik baru para pelaku gerakan rakyat perdesaan dengan konteks yang juga baru. Sebagai tambahan, yang perlu ditinjau ulang secara khusus adalah  karakteristik pemimpin gerakan rakyat perdesaan dewasa ini memiliki kemampuan organisasi yang andal sehubungan dengan keberadaan para aktivis agraria yang berkedudukan di kota-kota. Lebih lanjut, peneliti perlu menggunakan kerangka konseptual baru yang lebih mampu menjelaskan bagaimana kiprah ”gerakan sosial” perdesaan dewasa iniKonsep gerakan sosial yang dirujuk peneliti berasal dari Sidney Tarrow, yakni “tantangan-tantangan kolektif berdasarkan tujuan bersama dan solidaritas sosial tertentu, yang berinteraksi secara berkelanjutan dengan kaum elite, pihak lawan, dan pemegang kewenangan”.[20] Konsep umum seperti itu merupakan bagian dari upaya menempatkan gerakan sosial sebagai jenis “khusus” dari politik, yakni politik menentang (contentious politics) yang kemunculannya diargumentasikan sebagai tanggapan terhadap perubahan dalam political opportunity and constrain. Kontraksi dalam kesempatan dan kendala politik itu, dapat diteliti sebagai peubah utama (key variable) yang bertanggung jawab bagi kemunculan politik menentang, yang bekerja melalui persepsi para pemimpinnya mengenai derajat ancaman dan keuntungan yang berhubungan dengan kebijakan publik, kesempatan berhasilnya mobilisasi, dan bagaimana otoritas negara memfasilitasi atau meredam mobilisasi tersebut.[21]

Peneliti menempatkan pengaruh gerakan agraria di Indonesia dalam konteks perubahan politik sejak dimulainya masa transisi demokrasi dengan mundurnya Presiden Soeharto pada Mei 1998 dan tumbangnya otoritarianisme rezim Orde Baru. Peneliti yang menjadi bagian dari scholar activist mengusulkan land reform kepada pemerintah sebagai usulan kebijakan alternatif yang perlu diadopsi, dikembangkan, dan kemudian dijalankan. Intinya, land reform didefiniskan sebagai kebijakan, legislasi, dan program publik yang dijalankan pemerintah untuk mengubah penguasaan tanah yang terkonsentrasi dalam waktu cepat dengan maksud meredistribusi kepemilikan, (mewujudkan) pendakuan atau hak atas tanah, dan memberi manfaat kepada kaum miskin dengan cara meningkatkan status, kekuasaan, dan pendapatan mereka, yang berbanding dengan situasi tanpa kebijakan, legislasi, dan program pemerintah tersebut.[22] Dalam hal itu, yang diperlukan bukan hanya political will dari elite yang berkuasa, melainkan juga desakan terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan yang diselenggarakan secara drastis dan cepat.[23] Tema land reform pun menjadi pokok kajian para scholar activist, utamanya dengan merujuk pada pengaturan agraria berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), dan bagaimana agenda land reform berada dalam dinamika panggung kebijakan dan politik yang berbeda-beda dan bergantung pada konfigurasi kekuatan rezim penguasa di tingkat pemerintah pusat.[24]

 

Kembalinya Land Reform ke Pentas Percakapan Teori Pembangunan

Peneliti menyadari ada perubahan penting bahwa di masa awal abad ke-21 ini, land reform hadir kembali sebagai satu kebijakan pembangunan di sejumlah negara di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin, dan menjadi tema percakapan berbagai badan pembangunan internasional, organisasi masyarakat sipil, lembaga tangki-pemikir internasional, dan sebagainya. Sebelum abad ke-20 berakhir, beredar sejumlah buku yang mengkaji relevansi land reform dan menjadi jembatan serta dasar bagi peneliti untuk sungguh mempercayai bahwa land reform lives![25] Peneliti pun bergerak menelusuri literatur yang menjadi rujukan penting bahwa land reform terus-menerus menjadi percakapan penting di awal abad ke-21.[26] Kajian mengenai land reform sebagai tema studi  agraria kritis (critical agrarian studies) bukan hanya “manjur” dalam menyelesaikan konsentrasi penguasaan tanah saja. Dalam perjalanan sebagai kebijakan pembangunan di bawah perbedaan konteks makro yang menyuburkan atau menggersangkannya, ia juga hadir sebagai alternatif kebijakan berupa perlindungan dan keutamaan pertanian skala kecil (smallholders) menghadapi meruaknya kapitalisme pertanian/perkebunan/kehutanan.[27]

 

Tabel 1. Perubahan Dasar-dasar Ekonomi dan Sosial-Politik Landreform

 

Sebelum Tahun 1980-an

Setelah Tahun 1990-an

 

Ekonomi 

 

  Perkebunan-perkebunan besar yang ada tidak efisien, harus direstrukturisasi melalui landreform

  Masih berlanjut.

  Privatisasi dan individualisasi hak milik untuk mempercepat investasi  dan pertumbuhan modal dalam ekonomi perdesaan

  Berlanjut – dan cakupannya kian meluas. 

 

 

  Inefisiensi, korupsi, dan pengekangan politik dalam pertanian sosialis dan kooperatif, misalnya, Eropa bagian timur, Asia Tengah, Cina.

 

  Inefisiensi, korupsi dan pengekangan politik pertanian-kolektif yang dihasilkan oleh program landreform massal di masa lampau, misalnya, Meksiko dan Peru.

 

 

Sosial-Politik

 

  Dekolonisasi

  Menyelesaikan sisa-sisa feodalisme dan kolonialisme dalam skala tidak sepanas dan sekental dekade lalu, kecuali di beberapa negara, seperti Zimbabwe atau Timor Leste. 

  Perang Dingin

  Dominasi “Dunia Pertama.”

  Keresahan dan gerakan agraria yang biasanya digerakkan oleh upaya transformasi masyarakat  dan negara secara revolusioner

  Terkikis secara substansial bersamaan dengan meredup dan berkurangnya gerakan pembebasan. Namun, keresahan perdesaan tetap bertahan lama (contoh utama Chiapas-Meksiko, Brasil).

  Sebagai sebuah strategi untuk melegitimasi dan/atau mengonsolidasi satu faksi elite yang bergantung pada kekuasaan negara melawan yang lainnya

  Masih berlanjut, seperti Zimbabwe, Venezuela, Bolivia, Bengal Barat.

  Sebagai unsur yang terintegrasi dari modernisasi negara terpimpin, seperti peta kadastral yang distandarisasi, misalnya, untuk perpajakan

  Meluas dalam tingkat pencapaian teknologi yang tak terbayangkan sebelumnya (pemetaan satelit/digital, bank-data yang terkomputerisasi, dan lain-lain).

 

 

 

Isu-isu Baru:

 

ü  Konstruksi dan konsolidasi demokratis negara-negara pasca-otoritarian, atau pasca-konflik, pasca-apartheid Afrika Selatan, atau pasca-perang sipil 

 

ü  Pengetahuan mengenai kekhususan hak-hak masyarakat adat 

ü  Pengetahuan tentang hubungan gender dan tanah, terutama hak-hak perempuan dalam land reform

ü  Pengetahuan tentang hubungan tanah dengan kerusakan dan pemulihan lingkungan 

 

ü  Terus berlanjut dan munculnya bentuk-bentuk kekerasan (seperti dalan hubungan etnik)

 

ü  Munculnya “pendekatan berbasis hak asasi (manusia)” dalam pembangunan, termasuk hak-hak masyarakat adat (indigenous peoples’ rights).

 

ü  Kebangkitan organisasi non-pemerintah yang fenomenal sebagai aktor kritis terhadap pembangunan di tingkat lokal, nasional dan internasional

 

 

SumberSaturnino M Borras Jr, Christóbal Kay, dan A Haroon Akram-Lodhi, “Agrarian Reform and Rural Development: Historical Overview and Current Issues”, dalam A Haroon Akram-Lodhi, Saturnino M Borras, Jr dan Christóbal Kay (eds.), Land, Poverty and Livelihoods in an Era of Globalization: Perspectives from Developing and Transition Countries (London: Routledge, 2007), hal 16-17.

 

            Pengusung kebijakan land refom mengkritik secara tajam kegagalan apa yang diistilahkan dengan Structural Adjustment Program (SAP atau Program Penyesuaian Struktural), baik yang diberlakukan secara menyeluruh dalam suatu negara maupun yang khusus pada sektor pertanian. Yang dimaksud dengan SAP adalah serangkaian paket kebijakan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia yang dimulai sejak tahun 1980-an untuk menghadapi krisis utang yang menghantam negara-negara sedang berkembang di Amerika Latin, Asia, dan Afrika.[28] Para pengkritik itu tampaknya peduli dengan menguatnya arus penghilangan dunia perdesaan, agraria, dan petani (deruralization, deagrarianization and depeasantization processes) di berbagai wilayah perdesaan Asia, Afrika, dan Amerika Latin pada akhir abad ke-20. “Penerapan kebijakan-kebijakan penyesuaian struktural (structural adjustment policies) dan liberalisasi pasar skala dunia akan terus-menerus berdampak pemusnahan (dissolving effect) kehidupan kaum petani.”[29]  

Paket kebijakan tersebut dapat dibedakan menjadi stabilisasi dan kebijakan-kebijakan penyesuaian struktural.   

Stabilisasi didorong oleh IMF dan umumnya berjangka pendek serta dirancang untuk segera mempunyai dampak pada nota anggaran negara melalui kebijakan-kebijakan seperti devaluasi, deflasi, serta kontrol moneter dan fiskal. Program-program tersebut diharapkan mengurangi pendapatan riil sehingga dapat menekan permintaan domestik, baik terhadap barang impor maupun ekspor. Meskipun program stabilisasi memusatkan perhatian pada pengendalian permintaan, namun kebijakan penyesuaian struktural ditujukan pada sisi suplai ekonomi. Sementara itu, tindakan penyesuaian struktural dikelola oleh Bank Dunia dan berusaha mengatasi persoalan keseimbangan pembayaran dengan meningkatkan produksi ekspor. Program-program tersebut umumnya lebih bersifat jangka-panjang serta berupaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi, mengubah sumber daya menjadi proyek-proyek yang produktif, dari sektor yang tidak dapat diperdagangkan menjadi sektor yang dapat diperdagangkan.

Berkaitan dengan SAP adalah liberalisasi ekonomi. Peran negara telah direduksi secara drastis melalui pengurangan dan pemotongan anggaran publik, privatisasi kegiatan sektor publik, serta penghapusan kontrol atas impor, ekspor, dan devisa. Modal yang leluasa bergerak dan difasilitasi oleh liberalisasi ekonomi tidak bisa menghasilkan pemerataan (equality), tetapi justru memperbesar ketimpangan (inequality). Yang penting diperhatikan adalah aliran modal yang difasilitasi pemerintah untuk pengadaan tanah skala raksasa (large scale land acquisition) demi investasi baru. Peneliti sendiri menjadi bagian penulis artikel dengan menunjukkan bagaimana Merauke Food and Energy Estate (MIFEE) merupakan contoh ikonik dari yang disebut global land grabs atau corporate land deals atau corporate land rush.[30]  Dalam hal ini, pemerintahan SBY berhasil membuat pengadaan tanah dengan luas total 2.144.650,99 ha untuk 44 perusahaan raksasa.[31]

 

Pendekatan Etnografi Kritis 

Untuk memahami cara masuk land reform sebagai satu kebijakan pertanahan pemerintah nasional, peneliti melihat bagaimana para aktor dan jaringannya bekerja, wacana dalam narasi kritik atas politik agrarian, dan promosi dan kampanye agenda land reform, dan pertarungan kepentingan yang menjadi penggerak dinamika kekuatan yang bekerja pada berbagai berbagai situs/arena yang berhubungan satu sama lainnya. Sesungguhnya, proses kebijakan yang berlangsung sama sekali tidak linear seperti umumnya dikonsepkan oleh studi-studi evaluasi kebijakan.[32]

Pilihan waktu berangkat untuk menyusun lintasan politik agraria dan kebijakan pertanahan Indonesia dimulai sejak berakhirnya pemerintahan kolonial dengan disrupsi proklamasi kemerdekaan 1945 dan UUD 1945 sebagai peletak dasar pengaturan wilayah dan rakyat Indonesia oleh negara nasional. Dua bab awal dari buku laporan penelitian Land Reform dan Gerakan Agraria Indonesia diabdikan untuk menyusun “Lintasan Kebijakan Pertanahan Indonesia 1945-1965” (bab 2) dan “Lintasan Kebijakan Pertanahan Indonesia 1966-2005” (bab 3). Penyusunan periodisasi/pembabakannya bukan hanya dipengaruhi pandangan mengenai pentingnya menunjukkan rantai saat-saat penting dalam kebijakan pertanahan nasional sejak 1945, termasuk konsep politik hukum dan pengaturan dalam legislasi nasional, tetapi juga bagaimana menyusunnya sebagai suatu narasi perjalanan. Yang digunakan di sini adalah pendekatan etnografi kritis,[33] yang secara khusus mengombinasikan sejarah politik agraria dan analisis proses kebijakan dengan alat kerja periodisasi/pembabakan[34] dan dramaturgi.[35]  Peneliti sangat terbantu oleh saran Stuart Hall,[36] yakni perlunya meneliti konjungtur yang sedang dihadapi melalui usaha mengidentifikasi para aktor yang berpengaruh, menelusuri cara bagaimana aktor-aktor itu tampil berperan, pada panggung apa, lintasan yang mereka lalui, dan kondisi yang membuat kehadiran dan peran mereka berlanjut atau berhenti. Pertunjukan, panggung, lintasan, dan kondisi para aktor tersebut tidak dapat ditelusuri secara linier. Interaksi para aktor yang berlangsung sekarang ini sesungguhnya berada dalam arus utama suatu babak/periode tertentu. Karena itu, perlu dirumuskan ciri babak ini yang berbeda dengan babak-babak sebelumnya. Cara menemukan pembabakan itu merupakan kerja intelektual tersendiri

Periodisasi politik agraria berdasarkan konjungtur dan konfigurasi rezim kebijakan kurun 1945-1965 terdiri dari “Dari Dekolonisasi hingga Demokrasi Terpimpin”, “Penghapusan Asas Domein Negara”, “Kebijakan Awal Mengatasi Ketidakadilan Agraria”, “Mengapa Perkebunan Kolonial Tidak Menjadi Target Program Landreform 1960–1965”, “Mengapa Hutan Dipisahkan dari Tanah Pertanian dan Tanah Kehutanan Tidak menjadi Target Program Landreform1960–1965”, “Kebangkitan dan Kejatuhan Kebijakan Landreform”. Setelah itu dilanjutkan dengan lintasan kebijakan pertanahan Indonesia 1966-2005 yang dibuka dengan menguraikan “Kelahiran Negara Pembangunan Otoriter”, “Lahirnya Kebijakan Tanah untuk Pembangunan”, “Pembentukan kebijakan Manajemen dan Administrasi Pertanahan”, dan ditutup dengan “Kampanye Landreform Setelah Jatuhnya Soeharto”. 

Dalam babak “Kampanye Landreform Setelah Jatuhnya Soeharto” menjadi jelas bahwa  agenda landreformsesungguhnya mulai menjadi kajian scholar activist sejak awal tahun 1990-an dan terus-menerus ditekuni oleh scholar activist yang aktif dalam pembelaan rakyat perdesaan korban konflik agraria (petani, masyarakat adat, dan kelompok marginal lainnya), studi dan advokasi kebijakan, serta artikulasi kritik atas politik, kebijakan dan hukum agraria rezim Orde Baru[37] Secara khusus, rangkaian kegiatan demonstrasi, diskusi, seminar, hingga konferensi yang dimotori organisasi non-pemerintah menyuarakan keharusan penyelesaian konflik agraria dan agenda landreform.[38] Sementara itu, mobilisasi penduduk desa langsung menemukan momentum yang pas dengan melancarkan aksi okupasi tanah mengiringi berakhirnya kekuasaan rezim Soeharto pada 1998. 

Perubahan kesempatan politik memungkinkan kehendak dari mobilisasi massa hingga pembentukan asosiasi atau organisasi gerakan agraria bergerak dari tingkat lokal ke tingkat nasional, yang di antaranya melalui scholar activist. Sidang-sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat sejak 1999 hingga 2001 terbentuk sebagai bagian dari transisi politik nasional setelah Soeharto mundur sebagai Presiden Republik Indonesia.  Lintasan proses kebijakan pertanahan nasional pun berubah. Scholar activist bersama para pakar agraria dan lingkungan hidup dari perguruan tinggi dan anggota DPR/MPR untuk kali pertama berhasil memasukkan agenda “pembaruan agraria” dan “pengelolaan sumber daya alam” dalam dokumen resmi negara, yakni Ketetapan MPR-RI No. IX/MPR-RI/2001 tentang “Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam”.[39] Dapat dikatakan, dokumen itu merupakan salah satu tonggak bersejarah yang berpengaruh pada proses kebijakan land reform selanjutnya.[40]

Salah satu lembaga negara yang mengimplementasikan Ketetapan MPR itu adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam konteks transitional justice untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa Orde Baru.[41] Ujung dari usaha itu adalah promosi usulan pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) yang disampaikan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri dan kemudian Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.[42] Namun demikian, jawaban yang dinanti datang pada 2005. Pemerintah melalui Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra menolak pembentukan komisi itu, dan merekomendasikan penguatan kelembagaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menangani dan menyelesaikan konflk-konflik agraria.

Pimpinan BPN periode 2001-2005 (Lutfi Nasution sebagai Kepala BPN dan dan Maria SW Sumardjono sebagai Wakil Kepala BPN) menggunakan Ketetapan MPR itu dengan mengusulkan undang-undang baru pengganti UUPA dengan “meredefinisi prinsip-prinsipnya”.[43] Tak pelak, hal tersebut memunculkan pro dan kontra berkepanjangan, baik di kalangan ornop, sarjana hukum agraria, dan pejabat pemerintahan, disebabkan inisiatif itu dicetuskan tanpa dilandasi konsensus politik yang mantap mengenai prinsip dasar dan arah dari  revisi itu. Awal 2007, aliran energi yang besar dan kontroversi itu diakhiri dengan tercapainya kesepakatan antara Joyo Winoto, Kepala BPN yang baru (dilantik oleh Presiden SBY pada 2005), dengan Komisi II DPR-RI untuk tidak mengubah UUPA. Pembaruan perundang-undangan hanya dilakukan terhadap produk perundang-undangan di bawah UUPA.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa tidak ada metode yang cocok dan terbaik untuk semua jenis masalah penelitian. Pilihan metode yang terbaik untuk dipakai senantiasa bergantung pada pertanyaan penelitian dan kemampuan penguasaan metode itu. Untuk periode 2005-2014, peneliti memutuskan untuk memakai etnografi, karena tersedianya kesempatan melakukan observasi partisipasi. Peneliti bisa ikut serta menjadi saksi, perekam, dan bahkan aktor “berpengaruh” dalam proses perubahan. Etnografi yang dipilih adalah yang multi-sited, sebagaimana diinisiasi oleh George E Marcus.[44] Untuk itu diperlukan kepekaan atas sejumlah penanda penting yang datang kepada peneliti. Menurut Richard A Shweder, “Ethnography is about discovery.[45] Etnografer tidak memilih kejadian yang akan ditemuinya. Kejadian-kejadian yang ditemukan, datang, dihadapi, dan diamati langsung oleh peneliti bersifat unik bukan hanya karena koordinat geografinya, tetapi juga karena ada power-geometry tersendiri, tempat simpul berbagai kekuatan bersaling-silang.[46]

Dalam meneliti sebuah peristiwa, etnografer seyogyanya mampu melihat dan  menginterpretasi penanda-penanda yang tersedia dalam kaitannya dengan peristiwa atau rangkaian peristiwa di situs yang menjadi  lokasi pengumpulan data. Penanda dari situs itu banyak yang bisa dilihat secara kasat mata. Dari kategori itu, kita dapat memperoleh data luas tanah, batas-batas fisik, hutan, kebun, sawah, permukiman, pesisir pantai, dan sebagainya. Semua materialitas penanda di situs itu, yang berhubungan dengan wacana dan narasi diperoleh dengan menggali ingatan para narasumber yang dahulu berperan, dapat menjadi sumber utama bagi etnogafer.    Etnografer sebaiknya bisa menggali serta membentuk cara bagaimana para aktor memaknai penanda di situs itu. Etnografer dapat menerapkan bermacam teknik untuk memperoleh arti penting para aktor yang tampil dalam peristiwa tertentu. Lebih dari itu, perlu dipahami bagaimana situs itu terbentuk dengan merekonstruksi penanda yang memberikan kepada etnografer sedimen suatu perjuangan untuk kekuasaan yang pernah ada di tempat itu. Misalnya, kata “penyerobot tanah” secara tidak langsung dan programatik dipakai untuk menamakan suatu kelompok orang yang bergiat di suatu tempat. Penamaan itu kemudian dipakai sebagai pembenar dan pelancar kegiatan penindakan atau operasi represif dibandingkan dengan penyebutan “gerakan reklaiming”, yang merujuk pada upaya perjuangan untuk kedaulatan tanah (land sovereignty).[47]

Secara khusus, peneliti menyadari adanya perubahan cara memperlakukan peneliti sehubungan dengan atribut yang dilekatkan oleh pihak lain. Hal tersebut bukan hanya memengaruhi penyebutan mengenai peneliti dalam pergaulan sosial, tetapi juga determinasinya terhadap akses peneliti untuk menjangkau para penentu, pelaku, dan pemeran yang berpengaruh dalam peristiwa yang sedang diamati sebagai bagian dari proses kebijakan landreform yang sedang berlangsung. Posisionalitas tersebut merujuk pada gagasan bahwa orang dikenal bukan dalam kerangka identitas yangbersifat tetap, melainkan kedudukannya dalam jejaring hubungan yang sedang beralih bentuk dan rupa.[48] Posisionalitas menentukan aksesibilitas peneliti untuk memahami apa yang sedang berlangsung dan juga membentuk kekuatan tertentu yang secara aktual dapat turut berpengaruh. Peneliti sempat mendapatkan kesempatan istimewa ketika mengantarkan seorang perempuan pemimpin Serikat Petani Pasundan (SPP) untuk menemui Joyo Winoto pada pertengahan Oktober 2007.  Atas nama Ketua SPP, salah seorang pemimpin SPP itu mengundang Kepala BPN untuk menghadiri dan memberi ceramah kunci pada suatu pagelaran akbar tahunan petani anggota SPP yang diselenggarakan pertengahan November 2007 di Garut. Joyo Winoto bersedia hadir dalam acara itu. Bahkan, dalam acara itu, ceramah kuncinya membuat ribuan hadirin terkesima karena Joyo Winoto mendaku bahwa SPP adalah bagian dari keluarga besarnya dan sebagai kekuatan penting untuk memberdayakan masyarakat miskin di perdesaan dengan gigih berjuang memperoleh akses untuk tanah-tanah pertanian yang produktif.[49]

Serikat Petani Pasundan adalah kekuatan, pelaku, sekaligus pemeran penting dalam aneka peristiwa perubahan kebijakan landreform. Sejak awal 1999, SPP tumbuh berkembang dari aktivisme okupasi tanah yang berhubungan dengan klaim/penguasaan perkebunan besar dan Perhutani.[50] Dari kerja lapangan dengan panduan metodologi etnografi multisitus, peneliti melukiskan dalam satu bab tersendiri berjudul “Landreform dan Counter-Reform: Perhutani versus Petani”, bagaimana aksi-aksi okupasi dilancarkan dan bagaimana aktivisme SPP secara aktif memerankan diri menghadapi operasi represif pihak Kepolisian Daerah Jawa Barat dengan dukungan counter-reform Perhutani, pemerintah daerah, dan countermovement dari kelompok-kelompok pembawa bendera kelestarian lingkungan hidup dan kehutanan Jawa Barat.[51] Selain itu, penulis juga fokus pada Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sebuah organisasi non-pemerintah bentukan koalisi aktivis agraria yang kerja melakukan pengorganisasian komunitas, studi, kampanye, dan advokasi kebijakan. Dengan posisi sebagai Ketua Badan Pelaksana KPA periode 1995-1998 serta salah satu Ketua Badan Pelaksana KPA periode 1998-2002, peneliti memiliki kemudahan akses untuk mendapatkan arsip, melakukan wawancara dan percakapan dengan pelaku yang berpengaruh, serta ikut terlibat dalam pelbagai peristiwa di situs-situs kontestasi, di lokasi okupasi, di rumah penduduk, di sekretariat serikat petani lokal, di kantor-kantor pemerintahan.[52]

Joyo Winoto adalah pejabat pemerintah pemeran utama dalam proses kebijakan land reform 2005-2012. Bersama sejumlah tokoh lain di lembaga tangki-pemikir Brighthen Institute (Indonesian Institute for Public Policy and Development Studies)[53], dia memasukkan land reform dalam buku Menuju Indonesia yang Aman, Adil, dan Sejahtera sebagai salah satu agenda yang dijanjikan oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Akhir 2004, tidak lama setelah dilantik menjadi Presiden, SBY mengejutkan para aktivis agraria karena menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum. Alih-alih mengagendakan kebijakan land reform, perpres tersebut justru membangkitkan ingatan para aktivis agraria akan otoritarianisme Orde Baru, khususnya kebijakan dan praktik yang dikenal sebagai “perampasan tanah.” Hal tersebut menuai gelombang protes aktivis gerakan sosial, komisioner HAM, tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama dan Muhamadiyah, aktivis mahasiswa, akademisi perguruan tinggi, dan lain-lain. Secara khusus, Joyo Winoto yang diangkat menjadi Kepala BPN pada 22 Juli 2005 mengadakan pertemuan dengan para scholar activist, termasuk dengan beberapa tokoh KPA dan SPP untuk menghadapi gelombang protes tersebut. Dia berusaha memahami tuntutan mereka dan mengarahkan tim BPN yang menyusun draft Perpres itu, serta menyusun usulan draft Perpres baru sebagai perubahan atas Perpres No 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Perpres No 65/2006 yang terbit tanggal 5 Juni 2006). 

            Joyo Winoto pun sering menjalin kerja sama dengan Sekjen KPA Usep Setiawan untuk membangun dan mengembangkan basis dukungan organisasi masyarakat sipil dan gerakan agraria bagi kebijakan land reform yang dikembangkannya.[54] Pada 2009, setelah diangkat sebagai staf khusus Joyo Winoto, terbuka kesempatan politik lebih luas bagi Usep Setiawan untuk terlibat dalam proses penyusunan dan penerapan kebijakan, termasuk mengusahakan andil BPN dalam melegalisasi tanah-tanah yang didakukembali oleh para petani secara terorganisasi sebagai bagian dari lokasi pilot project redistribusi tanah. Peneliti juga memperoleh akses dalam menelusuri sejumlah peristiwa penting dalam perubahan kebijakan dan reformasi kelembagaan yang diinisiasi dan dipimpin langsung oleh Joyo Winoto,[55] mulai dari membatalkan/menghentikan upaya revisi UUPA 1960 dan mengagendakan legislasi baru, baik eksistensi serta tugas pokok dan fungsi BPN[56] maupun untuk menjalankan landreform,[57] menyusun argumen “Reforma Agrariamerupakan Mandat Konstitusi, Hukum dan Politik”[58], menciptakan prinsip-prinsip kerja baru bagi BPN mengganti warisan rezim Orde Baru “Catur Tertib Pertanahan”,[59] memopulerkan rumusan Reforma Agraria (RA) = Asset Reform Access Reform”,[60] dan last but not least, menciptakan lapis kepemimpinan baru di BPN yang “pro-Reforma Agraria”.[61]

            Selain interkasi yang  berlangsung secara sinergis, ada beberapa langkah strategis Joyo Winoto yang membuat scholar activist merasa tidak nyaman. Salah satu di antaranya, dia mengundang dan menggunakan Hernando de Soto, salah seorang pemikir pembangunan yang tersohor karena inovasinya di Peru untuk resepnya yang sederhana dan sangat menggoda, yakni integrasi aset rakyat miskin ke dalam sistem pasar melalui program legalisasi besar-besaran oleh pemerintah.[62] Selain mendengar langsung, peneliti juga memperoleh dan membaca semua pidatonya yang ditranskrip secara verbatim oleh Biro Hukum dan Humas BPN semenjak dia menjabat Kepala BPN. Joyo Winoto kerap kali mengutip pandangan Hernando de Soto tentang peran penting formalisasi kepemilikan melalui pendaftaran tanah, sehingga kepemilikian itu dapat terintegrasi dalam sistem administrasi pertanahan nasional, dan membentuk pasar tanah. Bahkan, tidak jarang dia menambahkan bahwa, “reformasi asset ala Hernando de Soto belum cukup jika tidak dibarengi dengan reformasi akses ala Amartya Sen.[63] Itulah sumber rumusan RA = Asset Reform Access Reform Lebih dari itu, Joyo Winoto pun menghadirkan Hernando de Soto untuk mepresentasikan gagasan utamanya di hadapan Presiden SBY pada 7 November 2007.[64]  

            Sejalan dengan itu, yang membuat banyak scholar activist di KPA kian kecewa adalah “dihidupkannya” kembali pengaruh dan agenda Bank Dunia dalam mempercepat pembentukan pasar tanah yang telah ditanamkan melalui Indonesia Land Administration Project 1994-2001 dan berlanjut dengan Land Management and Policy Development Program 2004-2009 semasa BPN di bawah kepemimpinan Joyo Winoto. Dalam diri peneliti ada sedimen kritik terhadap pengaruh Bank Dunia itu pada BPN. Saat menakhkodai KPA (1994-1998, 1998-2002), peneliti memimpin studi dan mengartikulasikan kritik perihal promosi dan percepatan pembentukan pasar tanah oleh Bank Dunia yang melakukan reformasi administrasi, manajemen, dan kebijakan pertanahan nasional;[65] dan juga sepanjang studi di UC Berkeley, penulis dipengaruhi studi-studi kritis atas mazhab kebijakan pembangunan neoliberal yang digerakkan oleh Hernando de Soto itu.[66]  Dengan demikian, membawa pemikiran Hernando de Soto sama artinya dengan membangunkan kembali critical positioning dari peneliti dan scholar activist lainnya, yang kemudian mengartikulasikan kritik atas program “legalisasi hak atas tanah” itu.  “Reforma Agraria ala SBY” pun kemudian didengungkan oleh beberapa scholar activist sebagai “reforma agraria palsu”.[67] Namun demikian, artikulasi kritik itu tidak mampu mengubah gagasan dan pemikiran Joyo Winoto, walau menimbukan akibat berarti pada berkurangnya pendukung Joyo Winoto di kalangan scholar activist.  

 

Refleksi Penutup

Pada 2006, di bawah kepemimpinan Joyo Winoto, BPN merancang dan menyelenggarakan landreform yang ketika itu disebut sebagai Program Reforma Agraria Nasional,[68]  termasuk dengan menargetkan tanah-tanah pada tiga jenis objek, yakni 1,1 juta hektar dari berbagai tipe “tanah negara” yang secara langsung berada di bawah jurisdiksi BPN; 8,15 juta hektar tanah dalam kategori ”hutan konversi”, yang dimaksud adalah bagian yang dapat dikeluarkan dari kawasan hutan untuk tujuan non-kehutanan, berada di bawah jurisdiksi Departemen Kehutanan; dan lebih dari 7 juta hektar “tanah-tanah telantar” berada di bawah jurisdiksi BPN. Lebih lanjut, BPN menyiapkan berbagai skema redistribusi tanah berdasarkan sumber tanahnya, karakteristik penerima tanah (land reform beneficiaries), serta berbagai mekanisme yang mempertemukan antara sumber tanah dengan subjek penerimanya (secara administrasi BPN menyebutnya sebagai delivery mechanisms). Joyo Winoto memang berhasil menjadikan “Reforma Agraria, Mandat Konstitusi, Hukum dan Politik” serta melepaskan stigma negatif dan berbahaya (desensitization), dan rajin berceramah di berbagai lembaga pemerintah, perguruan tinggi, dan organsiasi masyarakat sipil. Namun, pada akhir masa kepemimpinannya, menjadi sangat jelas bahwa rancangan Program Reforma Agraria Nasional yang dimaksudkan Joyo Winoto itu tidak didukung oleh kekuatan yang memadai. Barisan pembentuk rezim kebijakan land reform tidak memadai mulai dari legislasi/basis hukum, kekuatan penegak hukum, birokrasi pemerintahan, teknokrat perencana pembangunan nasional dan badan pembangunan internasional, para peneliti dan teoretikus dan praktisi landreform, hingga kelompok-kelompok pemanfaat. Selain itu, kekuatan gerakan sosial yang mempromosikan land reform pun mengalami tekanan-tekanan nyata, yang dapat digolongkan sebagai counterreform.[69]

            Pengumuman bahwa pemerintah hendak menjalankan land reform dilakukan Kepala BPN bersama Menteri Kehutanan dan Menteri Pertanian. Presiden SBY pun melansir pidato yang diberi nama Program Reforma Agraria pada akhir Januari 2007. Sayangnya, dua kementerian itu (kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian) tidak mengagendakan pelaksanaan Reforma Agraria. Presiden SBY pun tidak menjadikan dan mempromosikan Reforma Agraria sebagai repertoar model pembangunan utama. Alih-alih mengadopsi landreform untuk menata ulang ketimpangan pemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, yang disodorkan justru “Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia” (MP3EI) yang mengandalkan pembentukan kawasan-kawasan ekonomi khusus, pengadaan tanah skala raksasa dan membentuk konsesi-konsesi bagi korporasi-korporasi, dan pembangunan infrastruktur. Sinergi dan ketegangan yang terbentuk dalam interaksi di antara para pejabat pro-Reforma Agraria di BPN dengan tokoh-tokoh scholar activist pemimpin organisasi gerakan agraria di berbagai arena/situs yang berhubungan satu sama lain tampak tidak memadai untuk menjadi kekuatan dalam melakukan suatu operasi yang cepat, drastis, dan mengandalkan kekuatan paksa.  

Meneliti bagaimana proses kebijakan landreform berlangsung melalui interaksi para pembuat kebijakan (khususnya pejabat pemerintah dan scholar activist) setelah dikampanyekan secara intensif oleh sejumlah kekuatan gerakan sosial sejak awal Reformasi 1998, dimungkinkan oleh kekhususan situasi peneliti, terutama berkait dengan posisi sebagai scholar activist yang telah merintis dan mengembangkan studi perjalanan politik agraria Indonesia, jaringan luas dalam gerakan sosial, dan pemahaman komparatif tentang bagaimana kebangkitan landreform dalam diskursus pembangunan pada awal abad ke-21. Selain itu, untuk meneliti dengan pendekatan etnografis, peneliti harus melakukan keterlibatan langsung dengan pelbagai peristiwa, percakapan dan wawancara pelaku yang berpengaruh, mempelajari wacana dan narasi kebijakan yang sedang berproses, arsip-arsip yang relevan, serta publikasi para jurnalis.  Intinya adalah adalah privilege aksesibilitas yang dimungkinkan (dan dibatasi) oleh posisionalitas peneliti. Karenanya, tidak mudah menjadi scholar activist yang meneliti proses kebijakan yang berlangsung dengan cara etnografis. Ibaratnya, meneliti suatu kendaraan yang sedang bergerak, akan menghasilkan pengalaman dan data yang berbeda manakala posisi peneliti ada di luar atau di dalam kendaraan itu, apalagi bila peneliti mengandalkan bentuk perwakilan/representasi yang diam dari kendaraan yang bergerak itu (misalnya foto, peta, atau graphic image lainnya). 

Godaan yang umumnya dimiliki scholar activist adalah artikulasi kritik terhadap apa yang terjadi secara keliru atau seharusnya tidak boleh terjadi, dan menyampaikan saran/nasihat tentang bagaimana yang seharusnya terjadi, apalagi dalam hubungannya dengan tema kebijakan pemerintahan yang sedang diubah. Terlebih bagi scholar activist yang punya kepentingan untuk memberdayakan konstituen komunitas basis melalui pengembangan yang diistilahkan oleh Ajun Appadurai sebagai kapasitas beraspirasi (capacity to aspire).[70]  Sementara itu, kualitas mental yang dibutuhkan untuk meneliti sungguh berbeda, karena di sini perlu mendahulukan hasrat ingin tahu (curiosity), merumuskan pertanyaanmengenai hal yang secara aktual sedang terjadi, bisa memilih cara memperoleh data yang tepat, dan tekun mengumpulkan dan mengodifikasi data yang mengungkap hubungan kausal yang tersembunyi, lantas berakhir dengan melakukan generalisasi dan abstraksi hingga membentuk kekuatan penjelas yang dibutuhkan. Ada juga godaan besar berkenaan dengan hasrat dan kepentingan untuk bergegas (sense of urgency) mengedarkan sesuatu yang telah ditemukan. Pengetahuan yang relevan ingin segera mungkin diabdikan untuk keperluan memberdayakan kekuatan konstituen gerakan sosial yang diteliti, atau melemahkan kekuatan oponen mereka, hingga mengartikulasikan gagasan untuk memengaruhi berbagai situs pembentuk kebijakan pemerintah. Berbeda dengan sebagian kalangan peneliti konvensional yang meletakkan kehendak mengubah di luar kegiatan penelitian, para scholar activist menghubungkan niat meneliti dan kehendak mengubah itu. 

Hal tersebut bisa saja dinilai oleh para peneliti konvesional sebagai suatu masalah. Karya activist scholarship secara langsung berhadapan dengan argumen penolakan yang, menurut CR Halle, terwakili dalam tiga pokok, yakni positivisme, objektivitas, dan keketatan metodologis. Argumen tandingan dari para scholar activist atas penolakan tersebut adalah bahwa (a) pandangan-pandangan positivisme adalah bentuk atau dalih untuk suatu penguasaan model penalaran Barat (Western imperial reason); (b) klaim objektivitas dinilai sebagai tabir yang dipakai untuk menyembunyikan keberpihakan dan ikatan dengan pihak yang berkuasa; dan (c) keketatan metodologis dinilai sebagai cara memuja data sedemikian rupa dengan menghilangkan perhatian pada kategori sosial dan kerangka yang mendasarinya.[71]

Penjamin mutu hasil kerja penelitian pada masa perancangan penelitian adalah penguasaan metodologi. Metode penelitian ilmu-ilmu sosial memang dapat dipahami bagaikan alat penangkap ikan yang bisa dipilih sesuai dengan keperluan si nelayan, misalnya. Metafora sejenis itu dianut oleh para pemula, karena terus-menerus diwariskan dari generasi ke generasi oleh para dosen, terutama dosen metode penelitian. Pandangan elementer semacam itu tidak keliru. Setelah selesai meneliti dan dengan pengalaman meneliti yang semakin banyak, kompetensi metodologis si peneliti akan makin mendalam dan meluas, serta menyadari enam hal berikut saling berhubungan satu sama lain, yakni (i) posisi dan positioning peneliti; (ii) permasalahan atau teka-teki yang diurus oleh  peneliti secara sungguh-sungguh; (iii) rujukan teori yang dipakai peneliti untuk memahami realitas, termasuk argumen untuk menjawab permasalahan atau teka-teki itu; (iv) pendekatan dan metode yang dikerahkan untuk mendapatkan data dan informasi; (v) bentuk sajian pengetahuan yang dipilih;  dan (vi) strategi dan cara yang diandalkan peneliti untuk ikut berpengaruh mengubah situasi.  

Last but not least, pendekatan etnografi memiliki keterbatasan sehubungan dengan pilihan si peneliti ketika setia untuk menjelaskan berdasarkan apa yang telah disaksikannya, diikutinya, dan terlibat langsung dalam sebagian peristiwa. Dengan basis pemahaman critical realism, pelbagai peristiwa diharapkan dapat menerangkan suatu mekanisme tertentu, dan kombinasi mekanisme-mekanisme itu bisa dikonstruksi untuk menjelaskan suatu proses tertentu.[72] Yang kemudian dibutuhkan adalah kombinasi penelitian yang bertipe intensif dengan yang bertipe ekstensif,[73] yang bukan hanya menghasilkan pengetahuan mengenai apa yang sedang terjadi, yang sebelumnya tidak banyak diketahui, melainkan apa yang hendak ditemukan adalah kaitan antara hubungan aktual (connections) yang bisa diamati secara langsung, dan hubungan konseptual (relations) yang tidak secara langsung dapat diamati dan disaksikan. Dengan demikian, kita dapat memahami dan menerangkan apa yang sudah diketahui dengan cara baru dan lebih baik. 



[1] Pembahasan proses kebijakan land reform untuk disertasi itu berhenti pada 2009. Epilog itu merupakan tambahan periode pembahasan hingga 2014, saat berakhirnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. 

[2] Redaksi Prisma mengusulkan untuk menuliskannya menjadi landreform, namun artikel ini mempertahankan cara penulisan kata land reform mengikuti cara Redaksi Insist Press, penerbit buku Land Reform dan Gerakan Agraria Indonesia ini, yang berpandangan bahwa kata land reform sudah merupakan adopsi dari Bahasa Inggeris. 

[3] Lihat, Noer Fauzi, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria, 1999).

[4] Studi agraria di Indonesia memiliki perjalanan panjang, yang dimulai dengan kritik tajam para founding father bangsa Indonesia terhadap ketidakadilan dalam penguasaan tanah dan tenaga kerja yang diatur oleh rezim penguasa kolonial, terutama pengaturan tanah dan tenaga kerja; lihat, Benjamin White,“Between Apologia and Critical Discourse: Agrarian Transitions and Scholarly Engagement in Indonesia”, dalam Vedi R Hadiz dan Daniel Dhakidae (eds.), Social Science and Power in Indonesia (Jakarta: Equinox and ISEAS, 2005), hal. 107-142.

[5] Buku dimaksud berjudul Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia diterbitkan kali pertama pada 1952 dan mengalami beberapa kali cetak ulang, di antaranya, Mochamad Tauchid, Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia (Yogyakarta: STPN Press, 2009). Lihat, Gunawan Wiradi, Reforma Agraria: Urusan yang Belum Berakhir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria, 2000). Buku tersebut disunting oleh Noer Fauzi.

[6] Noer Fauzi Rachman, Panggilan Tanah Air, cetakan ketiga (Yogyakarta: Insist Press, 2017).

[7] Alat kerja konseptual yang dipergunakan adalah “akumulasi primitif” yang kali pertama diperkenalkan Karl Marx (1898) dalam  Capital, Vol. 1, Bagian VIII. Marx mengembangkan apa yang kemudian disebut sebagai “akumulasi primitif” itu berangkat dari pengertian Adam Smith bahwa“the accumulation of stock must, in the nature of things, be previous to the division of labour” dalam rangka menerangkan cara bagaimana kapitalisme tumbuh, khususnya di Inggris. Uraian menarik mengenai konsep “original accumulation” Adam Smith dan “primitive accumulation” Karl Marx, serta relevansinya untuk memahami perkembangan cara produksi kapitalis dewasa ini, dapat ditemukan dalam Michael Perelman, The Invention of Capitalism: Classical Political Economy and the Secret History of Primitive Accumulation (Durham: Duke University Press, 2000) dan Massimo De Angelis, The Beginning of History: Value Struggles and Global Capital (London: Pluto Press, 2007).

[8] Massimo De Angelis, “Separating the Doing and the Deed: Capital and the Continuous Character of Enclosures”, dalam Historical Materialism,Vol. 12, No. 2, April 2004, hal. 57-87. 

[9] Proses enclosure selalu menyertakan krisis reproduksi sosial dan berbagai bentuk perjuangan di seputar reproduksi sosial ini; lihat, de Angelis, The Begining of History…, hal. 232.

[10] Lihat, Jan Breman. Footloose LabourWorking in India's Informal Economy (Cambridge: Cambridge University Press, 1997).

[11] Lihat, Mike Davis, Planet of Slums (New York: Verso, 2006).

[12] Dasar teoretis reorganisasi ruang ini merupakan teorisasi pembangunan kapitalis yang tidak sama (uneven capitalist development) dari David Harvey “Notes Towards a Theory of Uneven Geographical Development”, dalam David Harvey, Spaces of Global Capitalism: A Theory of Uneven Geographical Development (London: Verso, 2009), hal. 69-116. Salah satu kritik terhadap teorisasi itu dikemukakan oleh Raju J Das, “David Harvey's Theory of Uneven Geographical Development: A Marxist Critique”, dalam Capital & Class, Vol. 41, No. 3, Januari 2017, hal. 511-536.

[13] Lihat, Noer Fauzi Rachman dan dan Dian Yanuardi (eds.), MP3EI: Master Plan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia (Yogyakarta: Tanah Air Beta bekerja sama dengan Sajogyo Institute, 2014).

[14] Karl Polanyi dalam Great Transformation: The Political and Economic Origin of Our Time (New York: Beacon Press, 2001) halaman 136 menyatakan bahwa masyarakat modern saat ini berjalan melalui gerakan ganda, yaitu: “gerakan pasar memperluas diri berlangsung terus-menerus, namun ditandingi oleh gerakan yang berupaya menghalau arah jalan gerakan pasar... secara terus-menerus gerakan-tanding selalu hadir.... Gerakan tanding tersebut lebih dari sekadar upaya pertahanan diri masyarakat dalam menghadapi perubahan, tetapi juga merupakan reaksi melawan dislokasi yang mengancam struktur masyarakat dan akan menghancurkan organisasi produksi masyarakat sebagaimana yang hendak diciptakan oleh pasar.”       

[15] Lihat, Saturnino M Borras Jr. dan Jennifer C Franco. “A ‘Land Sovereignty’ Alternative? Towards a People’s Counter-enclosure”, TNI Agrarian Justice Programme Discussion Paper (Amsterdam: Transnational Institute, 2012).

[16] Lihat, Theodore Shanin (ed.), Peasants and Peasant Societies (Penguin: London, 1971); Hamza Alavi, “Peasants and Revolution”, dalam Kathleen Gough dan Hari P Sharma (eds.), Imperialism and Revolution in South Asia (New York, Monthly Review, 1973); Eric Wolf, Peasants (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1966); Eric Wolf, Peasant Wars of the Twentieth Century (New York: Harper and Row, 1969).

[17] Buku James Scott (1976) berjudul The Moral Economy of Peasant ini diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia menjadi Moral Ekonomi Petani (Jakarta: LP3ES, 1985); Samuel Popkin, Rational Peasant  (Berkeley: University of California Press, 1979); Jeffery M Paige, Agrarian Revolution: Social Movement and Export Agriculture in the Underdeveloped World (London: Macmillan 1975). Pada 2004, buku itu diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Revolusi Agraria: Gerakan Sosial dan Pertanian Ekspor di Negara-negara Dunia Ketiga (Pasuruan: Pedati). Lihat juga, Jeffery M Paige, “One, Two, or Many Vietnams? Social Theory and Peasant Revolution in Vietnam and Guatemala”dalam Global Crises and Social Movements, Artisan, Peasant, Populists and The World Economy (Colorado: Westview Press, 1988).

[18] Noer Fauzi Rachman dalam Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga (Yogyakarta: Insist Press, 2015)  memprofilkan sembilan contoh gerakan sosial perdesaan kontemporer di berbagai belahan dunia, yakni Movimento Dos Trabalhadores Rurais Sem Terra (MST) di Brazil; Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional (ZLN) di Meksiko; Föderation der indigenen Organisationen des Napo (FOIN) di Ekuador; Landless People’s Movement (LPM) di Afrika Selatan; Gerakan Pendudukan Tanah di Zimbabwe; Narmada Bachao Andolan (NBA) di India; Assembly of the Poor AOP) di Thailand; (Pambansang Ugnayan ng Nagsasariling Lokal na mga Samahang Mamamayan sa Kanayunan (UNORKA)  di Filipina; dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) di Indonesia.

[19] Lihat, James Petras, “The New Revolutionary Peasantry:  The growth of Peasant-led Opposition to Neoliberalism”, dalam Z Magazine edisi 1998, dalam http://www.mstbrazil.org/petras1098.htmlJames Petras dan Henry Veltmeyer, “Are Latin American Peasant Movements Still a Force for Change? Some New Paradigms Revisited”, dalam Journal of Peasant Studies, Vol. 28, No. 2, 2001, hal. 83-118; Geritt Huizer, Globalization From Above and From Below: A Dialectical Process (tt: tp, 2000); Neil Webster “Understanding the Evolving Diversities and Originalities in Rural Social Movements in the Age of Globalization”, UNRISD Civil Society and Social Movements Programme Paper Number 7/2004.

[20] Lihat, Sidney Tarrow, Power in MovementSocial Movements and Contentious Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1998).

[21] Lihat, Charles Tilly, From Mobilization to Revolution (Reading, MA: Addison-Wesley, 1978).

[22] Diinspirasikan oleh definisi Michael Lipton, Land Reform in Developing Countries: Property Rights and Property Wrongs (London: Routledge, 2011), halaman 329 yang menyebut definisi land reform sebagai, “legislation intended and likely to directly redistribute ownership of, claims on, or rights to farmland, and thus to benefit the poor by raising the absolute and relative status, power, and income, compared with likely situations without legislation.” 

[23] Hung-chao Tai, Land Reform and Politics A Comparative Analysis (Berkeley: University of California Press, 1974), halaman 17 menegaskan, “A public program of land reform that seeks compulsory, drastic, and rapid change is one of substance and meaning. A public program that aim at voluntary, moderate, and gradual tenurial adjustments is bound to be perfunctory and ineffectual.”

[24] Noer Fauzi, “Land Reform: Agenda Pembaruan Struktur Agraria dalam Dinamika Panggung Politik”, dalam Endang Suhendar, Satyawan Sunito, MT. Felix Sitorus, Arif Satria, Ivanovich Agusta, dan Arya Hadi Dharmawan (eds), Menuju Keadilan Agraria: 70 tahun Gunawan Wiradi (Bandung: Yayasan Akatiga bekerja sama dengan PKA-IPB, Bina Desa, KPA, BPN, APPI Bogor, ISI Bogor, PSP-IPB, PPLH-IPB, Jurusan Sosek Faperta IPB, PSE Departemen Pertanian, BISKEM Sosek Faperta IPB, YAE, HKTI, 2002). Hal. 229-272. Lihat juga karya-karya sebelumnya dalam buku Dianto Bachriadi, Erpan Faryadi, dan Bonnie Setiawan (eds.), Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia(Jakarta: LP-FE Universitas Indonesia dan KPA, 1997).

[25] Lihat, Demetrios Christodoulou, The Unpromised Land: Agrarian Reform and Conflict Worldwide (London: Zed Books, 1990); M Riad El-Ghonemy. The Political Economy of Rural Poverty: The Case for Land Reform (London: Routledge, 1990); Yujiro Hayami, Ma. Agnes R Quisumbing dan Lourdes S Adriano, Toward an Alternative Land Reform Paradigm: A Philippine Perspective (Manila: Ateneo de Manila University Press, 1990); Laura J Enriquez, Harvesting Change: Labor and Agrarian Reform in Nicaragua, 1979-1990 (Chapel Hill, NC: University of North Carolina Press, 1991); Peter Dorner, Latin American Land Reforms in Theory and Practice: A Retrospective Analysis (Madison, WI: University of Wisconsin Press, 1992); Cristobal Kay dan Patricio Silva  (eds.), Development and Social Change in the Chilean Countryside: From the Pre- Land Reform Period to the Democratic Transition (Amsterdam: Centre for Latin American Research and Documentation, 1992). 

[26] Lihat, James Putzel, “Land Reform in Asia: Lessons from the Past for the 21st Century”, dalam LSE Development Studies Institute-London School of Economics and Political Science, Working Paper Series No 00-04/2000; Khrisna B Ghimire “Land Reform at the End of the Twentieth Century: An Overview of Issue, Actors and Processes”, dalam Krishna B Ghimire (ed.), Land Reform and Peasant Livelihoods: The Social Dynamics of Rural Poverty and Agrarian Reform (Geneva: UNRISD, 2001); Roy L Prosterman dan Tim Hanstad, “Land Reform in the 21st Century: New Challenges, New Responses”, dalam A Rural Development Institute (RDI) Reports on Foreign Aid and Development No. 117/2001; FAO “The Continuing Need for Land Reform: Making the Case for Civil Society”, dalam FAO Land Tenure Series: Concept Paper Vol. 1, (Rome: FAO, 2002); M Riadh El-Ghonemy, “Land Reform Development Challenges of 1963-2003 Continue into the Twenty-First Century”, dalam Land Reform, Land Settlement and Cooperatives No. 2/2003; Sam Moyo dan Paris Yeros, Reclaiming the Land: The Resurgence of Rural Movements in Africa, Asia and Latin America (London: Zed Book, 2005); Michael Courville dan Raj Patel, “The Resurgence of Agrarian Reform in the Twenty-first Century”, dalam Peter Rosset, Raj Patel, dan Michael Courville (eds.), Promised Land: Competing Visions of Agrarian Reform (Oakland: Food First, 2006); Julian Quan, “Land Access in the 21st Century: Issues, Trends, Linkages and Policy Options”, dalam Food and Agriculture Organization-Livelihood Support Program (FAO- LSP) Working Paper No. 24/2006; Saturnino M Borras Jr., Christóbal Kay, dan A Haroon Akram Lodhi, “Agrarian Reform and Rural Development: Historical Overview and Current Issues”, dalam A Haroon Akram-Lodhi, Saturnino M Borras, Jr., dan Christóbal Kay (eds.), Land, Poverty and Livelihoods in an Era of Globalization: Perspectives from Developing and Transition Countries (London: Routledge, 2007); Ben Cousins “Land and Agrarian Reform in the 21st Century: Changing Realities, Changing Arguments?”, Keynote address on the Global Assembly of Members, International Land Coalition, 24-27 April 2007, Entebbe, Uganda.

[27] Ben White, Saturnino M Borras Jr., dan Ruth Hall, “Land Reform”, dalam Vandana Desai dan Robert B  Potter (eds.), The Companion to Development Studies (London: Routledge, 2014), hal. 384-391. 

[28] Rita Abrahamsen, Sudut Gelap Kemajuan: Relasi Kuasa dalam Wacana Pembangunan (Yogyakarta: Lafald Pustaka, 2003), hal. 65-66. 

[29] Deborah Bryceson, Cristóbal Kay, dan Jos Mooij, Disappearing Peasantries? Rural Labour in Africa, Asia and Latin America (London: Intermediate Technology Publications, 2000), hal. 29.

[30] Peristilahan global land grabs atau corporate land deals atau corporate land rush itu menjadi popular karena jasa dari critical agrarian studies. Lihat Saturnino M Borras Jr., Ruth Hall, Ian Scoones, Ben White, dan Wendy Wolford, “Towards a Better Understanding of Global Land Grabbing: An Editorial Introduction”, dalam Journal of Peasant Studies, Vol. 38, No. 2, 2011, hal. 209-216; Marc Edelman dan Wendy Wolford, “Introduction:Critical Agrarian Studies in Theory and Practice”, dalam Antipode, Vol. 49, No. 4, 2017, hal. 959–976; Ben White, Saturnino M Borras Jr., Ruth Hall, Ian Scoones, dan Wendy Wolford, “The New Enclosures: Critical Perspectives on Corporate Land Deals”, dalam The Journal of Peasant Studies, Vol. 39, No. 3-4, 2012, hal. 619-647; The Transnational Institute, The Global Land Grabs (Amsterdan: TNI, 2013). Untuk Asia Tenggara; lihat, Christophe Gironde, Christophe Golay, dan Peter Messerli,  Large-Scale Land Acquisitions, Focus on South-East Asia (London: Koninklijke Brill NV, 2016).

[31] Takeshi Ito, Noer Fauzi Rachman, dan Laksmi Savitri. “Power to Make ..”, Op Cit.

[32] Lihat, Institute for Development Studies (IDS)-Knowledge, Society and Technology Team, Understanding Policy Processes, A Review of IDS Research on the Environment (Brighton, Institute of Development Studies, 2006). Para peneliti IDS mengontraskan dengan apa yang mereka sebut “model pembuatan kebijakan konvensional”, yang memahaminya sebagai suatu proses linier mulai dari yan agenda-setting masalah kebijakan, eksplorasi pilihan-pilihan kebijakan sebagai solusi masalah yang mungkin, perhitungan cost-benefit setiap pilihan, dan berlanjut ke pengambilan keputusan rasional yang terbaik dalam memenuhi kepentingan dan risiko terkecil. Setelah diimplementasikan dalam praktik, kebijakan itu dapat dievaluasi untuk memodifikasi hal-hal yang bisa membuatnya menyelesaikan masalah.

[33] Gillian Hart, “Geography and Development: Critical Ethnography”, dalam Progress in Human Geography, Vol. 28, 2001, hal. 91-100; Gillian Hart, “Denaturalizing Dispossession: Critical Ethnography in the Age of Resurgent Imperialism”, dalam Antipode, Vol. 38, 2006, halaman 977-1004mengembangkan alat kerja analitis mengenai pembedaan antara “Pembangunan” (dengan huruf “P” besar) atau Development dengan “pembangunan” (dengan “p”  kecil). Sebagaimana ditunjukkan Wendi Wolford,  pembedaan dan hubungan antara Pembangunan (dengan “P” besar) dan pembangunan/perkembangan kapitalis (dengan “p” kecil), dan  cara menghubungkan keduanya, merupakan titik berangkat yang penting dan bermanfaat bagi critical etnographer. Yang sangat diperlukan adalah menghubungkan pembangunan kapitalis itu dengan Pembangunan paling mutakhir, dengan cara melihat bagaimana rakyat dibentuk agar bisa mengatur diri sendiri menjadi subjek; lihat, Wendi Wolford, “The Difference Ethnography Can Make: Understanding Social Mobilization and Development in the Brazilian Northeast”, dalam Qualitative Sociology, Vol. 29, 2006, hal. 335-352.

[34] Lihat, Kutowijoyo, Penjelasan Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana 2008).

[35] Marteen Hajer “Setting the Stage: A Dramaturgy of Policy Deliberation”.   Administration and Society, 2005, 36 (6), 624- 647. Khusus penggunaannya untuk pelukisan gerakan sosial, lihat Robert D. Benford, “Dramaturgy and Social Movements: The Social Construction and Communication of Power” Sociological Inquiri, 1992, 62(1):36-55; 

[36] Stuart Hall, “Epilogue: Through the Prism of an Intelectual Life”, dalam Culture, Politics, Race and Diaspora, The Though of Stuart Hall. B. Meeks (Ed) (Kingston, jamaika: Randle, 2007), halaman 280.

[37] Lihat, Ifdhal Kasim dan Suhendar, Tanah sebagai Komoditas Strategis: Tinjauan Kritis terhadap Kebijakan Pertanahan Orde Baru (Jakarta: ELSAM, 1996); Bachriadi, Faryadi, dan Setiawan (eds.), Reformasi Agraria…; Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni, Petani dan Konflik Agraria (Bandung: Akatiga, 1997).

[38] Lihat, misalnya, Benny K Harman, Paskah Irianto, dan Noer Fauzi (eds.), Pluralisme Hukum Pertanahan dan Kumpulan Kasus Pertanahan(Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia [YLBHI], 1995); Noer Fauzi dan Boy Fidro (eds.), Pembangunan Berbuah Sengketa: Kumpulan Kasus-kasus Sengketa Pertanahan Sepanjang Orde Baru (Medan: Yayasan Sintesa dan Serikat Petani Sumatera Utara, 1998).

[39] Lihat, Idham Samudera Bey, “Lonceng Kematian UUPA 1960 Berdentang Kembali: Menyoal TAP MPR No IX/MPR/2001”, dalam Kompas, 10 Januari 2002, dan “UUPA 1960 Lebih Baik Dibandingkan RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam”, dalam Kompas, 10 May 2003; Dianto Bachriadi, “Lonceng Kematian atau Tembakan Tanda Start? Kontroversi seputar Ketetapan MPR RI No.IX/MPR/2001: Komentar untuk Idham Samudra Bey”, dalam Kompas, 11 Januari 2002; Gunawan Wiradi, “Tantangan Gerakan Pembaruan Agraria ‘Post’ TAP-MPR No. IX/2001”, dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol. 7, No. 3, 2002, hal. 1-10; Ahmad Ya’kub  “Agenda Neoliberal Menyusup Melalui Kebijakan Agraria di Indonesia”, dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol. 9, No. 1, 2004, hal. 47-64. Lihat pula pembahasannya dalam Anton Lucas dan Carol Warren, “The State, the People and Their Mediators: The Struggle over Agrarian Law Reform in Post New Order Indonesia”, dalam Indonesia No. 76, Oktober 2003.

[40] Lihat, Noer Fauzi, Bersaksi untuk Pembaruan Agraria (Yogyakarta: Karsa, 2003); Maria SW Soemardjono, “Implementasi Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Bidang Pertanahan”, Makalah Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Badan Pertanahan Nasional, 25-28 Maret 2002, Malino; Joyo Winoto, “Reforma Agraria dan Keadilan Sosial”, Orasi Ilmiah di Institut Pertanian Bogor (IPB), 1 September 2007.

[41] Sebelumnya, Komnas HAM bekerja sama dengan organisasi gerakan agraria menyelenggarakan Konferensi Nasional Pembaruan Agraria untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Asasi Petani, 17-20 April 2001, di Jakarta. Salah satu resolusi konferensi itu adalah mendesak penyusunan Ketetapan MPR tentang Pembaruan Agraria.

[42] Tim Kerja KNuPKA, “Pokok-Pokok Pikiran mengenai Penyelesaian Konflik Agraria”, hasil lokakarya “Persiapan Menuju Pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) (Komnas HAM, KPA, HUMA, Walhi, Bina Desa, Maret 2004); Dianto Bachriadi “Tendensi dalam Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia: Menunggu Lahirnya Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA)”, dalam Jurnal Dinamika Masyarakat, Vol. III, No. 3, November 2004, hal. 497-521

[43] Lihat, Maria SW Soemardjono, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, edisi revisi (Jakarta: Penerbit Kompas, 2006); Maria SW Soemardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Jakarta: Penerbit Kompas, 2008).

[44] George E Marcus, “Ethnography in/of the World System: The Emergence of Multi-Sited Ethnography”, dalam Annual Review of Anthropology, Vol. 24, No. 1, 1995, hal. 95-117.

[45] Richard A Shweder, “The Surprise of Ethnography”, dalam Ethos, Vol. 25, No. 2, 1997, hal. 154.

[46] Doreen Massey, “A Global Sense of Place”, dalam Marxism Today,  Vol. 38, 1991, hal. 24-29; juga Doreen Massey, Power-geometry and a Progressive Sense of Place”, dalam John Bird, Barry Curtis, G Robertson dan Lisa Tickner (eds), Mapping the Futures: Local Cultures, Global Change  (London: Routledge, 1993), hal. 59–69.

[47] Diskusi mengenai hal ini merujuk pada Boedhi Wijardjo dan Herlambang Perdana, Reklaiming dan Kedaulatan Rakyat (Jakarta:  YLBHI bersama dengan RACA Institute, 2001).

[48] Konsep posisionalitas merujuk pada Frances A Maher dan Mary Kay Thompson Tetreault, The Feminist Classroom: Dynamics of Gender, Race, and Privilege (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2001). Kalimat mereka yang sering dikutip, “… orang-orang didefinisikan bukan dalam kerangka identitas yang tetap, melainkan kedudukannya dalam jejaring hubungan yang sedang beralih, dapat dianalisis, dan berubah (hal. 164).” 

[49] Rachman, Land Reform dan …, hal. 1-7.

[50] Secara khusus diterbitkan dalam Noer Fauzi Rachman, “Dari Okupasi Tanah menuju Pembaruan Agraria: Konteks dan Konsekuensi dari Serikat Petani Pasundan”, dalam Sediono MP Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (eds.), Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, edisi kedua (Jakarta: Penerbit Obor, 2008), hal. 433-482.

[51] Rachman, Land Reform dan …, hal. 185-260.

[52] Rachman, Land Reform dan …, hal. 185-224.

[53] Susilo Bambang Yudoyono adalah salah satu pendiri Brighthen Institute dan menjadi Ketua Kehormatan pertama, sekaligus pemanfaat utama layanan lembaga ini sejak menjabat sebagai Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Keamanaan tahun 2002-2004. 

[54] Kumpulan tulisan ini dimuat dalam Usep Setiawan, Kembali ke Agraria (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan, 2010).

[55] Lebih lanjut tentang itu; lihat, Bab 4 “Dari Reforma Agraria menuju Legalisasi Hak Atas Tanah”, dalam Rachman, Land Reform dan …, hal135-184.

[56] Peraturan Presiden No. 10/2006 tentang Badan Pertanahan Nasional merupakan dasar hukum yang memperluas fungsi BPN sebagai pihak yang berwenang mengelola data dan informasi di bidang pertanahan; mengkaji dan mengembangkan hukum pertanahan; memberdayakan masyarakat di bidang pertanahan; mengkaji dan menangani masalah, sengketa, perkara, konflik di bidang pertanahan; perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan; merumuskan kebijakan nasional di bidang pertanahan; dan lain-lain.

[57] Yang berhasil adalah Peraturan Pemerintah Nomor 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar.  Yang gagal dibuat adalah peraturan pemerintah tentang Reforma Agraria.

[58] Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum dalam rangka Mewujudkan “Tanah untuk Keadian dan Kesejahteraan Rakyat (Jakarta: BPNRI, 2007).

[59] Joyo Winoto mengubah “catur tertib pertanahan” menjadi empat prinsip baru, yakni BPN harus berkontribusi secara nyata untuk 1) meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber baru bagi kemakmuran rakyat; 2) tatanan kehidupan bersama lebih berkeadilan dalam kaitan dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah; 3) menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia dengan memberi akses seluas-luasnya kepada generasi masa depan pada sumber-sumber ekonomi masyarakat-tanah; dan 4) menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi dan menyelesaikan berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh Tanah Air dan menata sistem pengelolaan yang tidak melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari.

[60] Joyo Winoto, “Reforma Agraria dan Keadilan Sosial”, Orasi ilmiah di Institut Pertanian Bogor (IPB), 1 September 2007.

[61] Pada masa awal kepemimpinannya (2005-2006), Joyo Winoto “merombak” struktur organisasi dan deskripsi kerja di BPN dengan menyelenggarakan fit and proper tests bagi semua pejabat BPN Pusat, Kanwil BPN, dan Kantor Pertanahan, dan menindaklanjuti mutasi besar-besaran sekitar 28 persen pegawai BPN. 

[62] Hasil penelitian dan kerja The Institute for Liberty and Democracy (ILD, lembaga think-tank di bawah kepemimpinannya), menjadi dasar dari buku-buku yang ditulisnya. Dua buku utamanya yang mendapat sambutan luas adalah "The Other Path: Invisible Revolution in the Third World" (1989) dan "The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else" (2000). Keahliannya banyak digunakan oleh badan pembangunan/dana internasional seperti Bank Dunia, Inter-American Development Bank, Asian Development Bank, Komisi Eropa, dan USAID. Dia diangkat sebagai ketua kehormatan the High Level Commission on Legal Empowerment of the Poor (HLCLEP), sebuah badan bentukan antar-pemerintah negara-negara Nordik (Denmark, Finlandia, Eslandia, Norwegia, dan Swedia). Badan itu juga didukung oleh Pemerintah Kanada, Mesir, Guatemala, Tanzania, Inggris, dan sejumlah badan internasional, seperti UN Economic Commission for Europe (UNECE). Ray Bromley menilai Hernando de Soto adalah seorang konsultan transnasional yang sangat sukses “menjual” resep kebijakan baru. “Dia memanfaatkan latar pendidikan Eropanya, dukungan Amerika yang didapatnya, dan kewarganegaraan Perunya untuk bekerja secara internasional dan mengembangkan paket pesan global. Dia fasih berbicara dalam bahasa Perancis, Inggris dan Spanyol, dengan menggunakan nama yang sama dengan contquistador, sang penakluk dari Spanyol yang terkenal, dan dengan perkoncoan pribadinya yang erat dengan lingkaran dalam di Washington dan PBB, dia menjadi seorang selebritas yang dapat memasarkan ide-idenya dengan sangat mudah”; lihat, Ray Bromley, Power, Property and Poverty: Why De Soto’s “Mystery of Capital” Cannot be Solved”, dalam Ananya Roy dan Nezar Al-Sayyad (eds.), Urban Informality, Transnational Perspectives from Middle East, Latin America and South Asia (Lanham, MD: Lexington Books, 2004), hal. 284. 

[63] Yang dimaksud adalah Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Oxford University Press, 1999).

[64] Periksa, http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2006/11/07/1216.html. 

[65] Lihat: Noer Fauzi, Bersaksi untuk Pembaruan Agraria: Dari Tuntutan Lokal hingga Kecenderungan Global (Yogyakarta: Insist Press, KPA, dan KARSA, 2003).

[66] Yang terpenting pengaruhnya adalah karya-karya Timothy Mitchell “The Work of Economics: How a Discipline Makes Its World,” dalam European Journal of Sociology Vol. 45, 2005, Nomor 2. Halaman 297-320; Timothy Mitchell “Property of Market” in Do Economists Make Markets? On the Performativity of Economics. Donald MacKenzie, Fabian Muniesa and Lucia Siu (Eds). Princeton (NJ: Princeton University, 2006) halaman 244-246; dan Timothy Mitchell, “How Neoliberalism Makes Its World: The Urban Property Rights Project in Peru”, dalam The Road from Mont Pèlerin: The Making of the Neoliberal Thought Collective, Philip Mirowski and Dieter Plehwe (Eds), (Cambridge: Harvard University Press, 2009), halaman 386-416.

[67] Uraian lebih detail; lihat, Rachman, Land Reform dan …, hal. 220-224.

[68] Lihat, Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesis, Program Reforma Agraria NasionalBuku IExecutive Summary (Jakarta: Badan Pertanahan Nasional, 2007).

[69] Ernest Feder, “Counterreform” dalam Rudolfo Stavenhagen (ed.), Agrarian  Problems and Peasant Movements in Latin America (New York: Doubleday, 1970), hal. 173-224.

[70] Lihat, Arjun Appadurai, “The Capacity to Aspire: Culture and the Terms of Recognition”, dalam Vijayendra Rao dan Michael Walton (eds.), Culture and Public Action (Stanford: Stanford University Press, 2002). Lihat pula bahasannya dalam buku Oscar Hemer dan Thomas Tufte (eds.), Voice + Matter: Communication, Development and the Cultural Return (Göteborg, Sweden: Nordicom, 2016). 

[71] Charles R Hale, “Introduction”, dalam Charles R Hale (ed.),  Engaging Contradictions: Theory, Politics, and Methods of Activist Scholarship(Berkeley: University of California, 2008), hal. 8.

[72] Mengenai tiga tingkatan itu, yakni peristiwa, mekanisme dan proses, lihat Andrew Sayer, Realism and Social Science (London: Sage, 2000), hal. 2-9.

[73] Mengenai penelitian yang bertipe intensif dengan yang bertipe ekstensif lihat Andrew Sayer, Method in Social Science (London: Routledge, 1992), hal. 243. 


No comments:

Post a Comment