Sketsa Proses-proses Kebijakan Reforma Agraria 2014-2019


Naskah untuk Workshop Hasil Penelitian dan Pengembangan “Prakarsa Penumbuhan Inisiatif Lokal Mendukung Kesejahteraan Masyarakat dan Desa Membangun”, Badan Penelitian dan Pengembangan Transmigrasi, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Cirebon, 25 April 2019

_______________________________________________________________

Tiap-tiap Calon Presiden dan Wakil Presiden terlebih dahulu menyusun dan menyampaikan “Janji Politik” berupa dokumen yang mengandung Visi, Misi dan Program Aksi, yang disampaikan ke Komisi Pemilihan Umum. Dalam kasus Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla  pada Pemilu tahun 2014, dokumen itu diberi judul “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Adil dan Makmur”, dan terkandung apa yang dikenal sebagai Nawacita.  Inilah sumber dari kebijakan Presiden yang diberi judul Reforma Agraria.



            Reforma Agraria memiliki kesempatan tampil sebagai arahan kebijakan Presiden ketika kesenjangan ekonomi, yang diukur oleh Koefisien Gini, menjadi masalah nasional yang sangat penting dan memprihatinkan.

 



Reforma Agraria menjadi Kebijakan Presiden untuk mengatasi kesenjangan ekonomi yang mengkuatirkan. Presiden Joko Widodo mengumumkannya pada Sidang Kabinet Paripurna 4 Januari 2016 di Istana Bogor, dan menugaskan Menteri Kordinator Perekonomian untuk menetapkan aransemen yang mengkordinasikan komponen-komponen yang dapat dijalankan oleh Kementerian-kementerian dan badan-badan pemerintah pusat, dalam kerangka kebijakan ekonomi pemerataan. Kemenko Perekonomian kemudian bekerja dengan dasar kerangka kerja Kantor Staf Presiden (KSP) dan Bappenas yang sebelumnya sudah melansir pedoman dan kerangka kerja Reforma Agraria. KSP mengeluarkan buku Pelaksanaan Reforma Agraria. Arahan Kantor Staf Presiden: Prioritas Nasional Reforma Agraria dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun 2017 

Bappenas mengeluarkan buku Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2017 yang merupakan turunan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019.  Di  RKP 2017 ini Reforma Agraria menjadi Prioritas Nasional tersendiri, dengan komponen-komponen program nasional, sebagaimana dalam kerangka sebagai berikut:


Di akhir kuartal pertama tahun 2017, Kemenko mengeluarkan Kerangka Kerja Kebijakan Ekonomi Pemerataan dengan menempatkan Reforma Agraria, sebagai salah satu komponen utamanya.



Selanjutnya, Kantor Menko merumuskan dasar pengertian reforma agraria sebagai proses alokasi dan konsolidasi kepemilikan, penguasaan/akses, dan penggunaan lahan.[1] 


Selanjutnya pada rapat-rapat kordinasi, Menko Perekonomian menyajikan kerangka Reforma Agraria sebagai berikut:

Tiap-tiap komponen program , yang dalam kerangka di atas disebut sebagai input, proses dan output diatur oleh kelembagaan pemerintah sendiri dengan regulasi yang terpisah, dan pada gilirannya memiliki sektoralisme regulasi dan kelembagaan pelaksananya sendiri-sendiri. Tiap-tiap kelembagaan berjalan sesuai dengan portofolio, kapasitas (finansial, kelembagaan dan sumber daya manusia)nya sendiri-sendiri. Maslah kuncinya adalah kecenderunagn untuk sama-sama bekerja, dan kurang bekerjasama. Dengan demikian, Kantor Menko Perekonomian (sebagaimana portofolionya) memiliki peran strategis untuk mengkordinasi mulai dari kerangka konseptuan, aransir kerjasama kelembagaan pada tingkat program hingga pada kerjasama untuk tingkat kegiatan-kegiatan tertentu, terutama yang melibatkan Presiden, seperti untuk acara launcing/peresmian percontohan penyerahan ijin-ijin Perhutanan Sosial. Kantor Menko Perekonomian tidak berhasil mewujudkan Project Management Office (PMO) untuk Reforma Agraria, seperti KPPIP (Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas), meski telah beberapa kali kesempatan dilansir.

Dengan SK no. 73/2017, Menko Perekonomian membuat pengaturan pelaksanaan kordinasi program prioritas nasional Reforma Agraria. Tim ini dibentuk untuk mengatasi kecenderungan sektoralisme yang terbentuk melalui regulasi pada tingkat presiden, dan pada tingkat kelembagaan masing-masing. 

 

Pada prakteknya, tiap-tiap lembaga membuat laporan pelaksanaannya






Dalam hubungannya dengan Transmigrasi, yang dilaporkan adalah sebagai berikut:  




 



[1] Penting untuk dicatat disini, Kemenko mempergunakan pengertian Reforma Agraria yang diperlonggar sedemikian rupa agar bisa memasukkan komponen “legalisasi asset” yang sebenarnya adalah pendaftaran tanah (land registration), suatu program pemerintah yang secara akademik berbeda dengan land reform. Land reform adalah kebijakan, legislasi, dan program pemerintah yang diniatkan dan dijalankan sebagai suatu operasi yang terkoordinasi dan sistematis untuk: (1) meredistribusikan kepemilikan tanah, mengakui klaim-klaim, dan hak-hak atas tanah; (2) memberikan akses pemanfaatan tanah, sumber daya alam, dan wilayah; dan (3) menciptakan kekuatan produktif baru secara kolektif di desa dan kawasan pedesaan. Ketiga hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan status, kekuasaan, dan pendapatan absolut maupun relatif dari masyarakat miskin, sehingga terjadi perubahan kondisi masyarakat miskin atas penguasaan tanah sebelum dan setelah adanya kebijakan, legislasi, dan program tersebut. Lihat Michael Lipton (2009) Land Reform in Developing Countries: Property Rights and Property Wrongs. London, Routledge. halaman 323-330). 

 

No comments:

Post a Comment