Noer Fauzi Rachman (2019) "Prolog: Quo Vadis Pengaturan Status Masyarakat Hukum Adat Pasca Putusan MK 35/PUU-X/2012" dalam Meninjau Ulang Pengaturan Hak Adat, Mohamad Shohibuddin, Ahmad Nashih Luthfi, Westi Utami (Penyunting), Yogyakarta: STPN Press bekerjasama dengan Pusat Studi Agraria, Institut Pertanian Bogor. Halaman xxv-xxxi.
Link untuk unduh buku sepenuhnya secara bebas: https://pppm.stpn.ac.id/sdm_downloads/meninjau-ulang-pengaturan-hak-adat
“Durable inequality among categories arises because people who control access to value producing resources solve organizational problems by means of categorical distinctions. Inadvertently or otherwise, those people set up systems of social closure, exclusion and control. Multiple parties — not all of them powerful, some of them even victims of exploitation — then acquire stakes in these solutions” (Tilly 1998:8). [1]
Apakah benar kita akan memasuki babak baru pengaturan masyarakat hukum adat[2] di Indonesia setelah Putusan MK dibacakan untuk perkara nomor 35/PUU-X/2012 yang dibacakan tanggal 16 Mei 2013 (Rachman 2013a)? Putusan Mahkamah Konstitusi itu meralat pasal 6.1, dan beberapa pasal lain yang terkait, dari UU no 41/1999, menunjukkan bahwa kriminalisasi atas akses rakyat atas hutan yang diatur secara adat adalah tidak dapat dibenarkan secara konstitusional. Hakim Konstitusi, Ahmad Sodiki pada satu kesempatan menjelaskan satu alasan mengapa dia menyetujui perubahan status hutan adat sebagai hutan hak, dan bukan bagian dari hutan negara.
“ … jika dikaitkan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi tugas negara bagaimana pengusahaan sumberdaya alam yakni bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dimanfaatkan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat (secara adil dan merata). Hal itu tidak dapat dicapai dengan menegakkan hukum semata karena ternyata hukum yang berkenaan dengan sumberdaya alam mengandung cacat yang, jika ditegakkan, justru akan menimbulkan ketidakadilan sosial. Penegakan hukum sumberdaya alam yang tidak adil akan mengancam eksistensi masyarakat hukum adat yang sangat rentan penggusuran oleh mereka yang mengatasnamakan atau ijin dari negara” (Ahmad Sodiki 2012)
Para pelajar sejarah kehutanan Indonesia mengetahui bahwa kriminalisasi atas akses rakyat atas wilayah adat yang berada di dalam hutan negara merupakan praktek kelembagaan yang menyejarah semenjak pemerintahan kolonial mengerahkan kuasa negara kolonial (dan kemudian Negara paska kolonial) untuk menguasai hutan. Menurut Peluso and Vandergeest (2001), kriminalisasi terhadap akses rakyat secara adat atas tanah dan sumber daya hutan adalah salah satu dasar pembentukan kawasan hutan negara (political forests) (Peluso and Vandergeest 2001, lihat pula Peluso 1998). Terdapat hubungan yang saling membentuk antara klaim kawasan hutan negara dengan kriminalisasi atas akses rakyat terhadap tanah dan sumber daya hutan yang berada di kawasan hutan negara itu.