Dari Aktivis Menjadi Scholar Activist


Rachman, Noer Fauzi (2019) "Dari aktivis menjadi scholar activist".  Perjuangan Keadilan AgrariaShohibuddin, M., dan Bahri A.D. [Ed.]. Yogyakarta: Insist Press. Halaman 47-68.
 


Noer Fauzi Rachman

Bagaimana cara aktivis menjadi scholar activist? Artikel ini secara khusus diniatkan menyumbang sebagian jawaban atas pertanyaan itu, dengan menghadirkan cara bagaimana sejumlah konsep studi agraria tertentu, dalam hal ini adalah “petani”, “perlawanan petani”, “kebijakan agraria”, dan “akumulasi primitif”, penulis pelajari sambil secara simultan terlibat dalam mengurus kasus-kasus perampasan tanah, yang menjadi pokok bahasan dan sekaligus arena keterlibatan para aktivis pemula dan pemulai gerakan protes agraria di awal tahun 1990an.  Empat alat koseptual analitik itu pada gilirannya penulis kuasai  keampuhannya dalam menerangkan sebab-musabab dari kasus-kasus perampasan tanah. 

Fokus pada alat konseptual analitik inilah yang menjadi pembeda antara aktivis dengan scholar activist. Dalam skala lebih menyeluruh, scholar activist menguasai metodologi ilmiah dan menjadi warga dan penyumbang pengetahuan ilmiah dalam bidang ilmu tertentu. Ketahuilah, tiap-tiap bidang ilmu memiliki bidang kajian, fokus, kekhususan, pokok bahasan hingga cara bagaimana seseorang bisa dididik mumpuni menjadi ahli ilmu itu. Hubungan antar konsep-konsep  kemudian dikembangkan menjadi kerangka konseptual yang dapat dipergunakan sebagai penjelas atas kenyataan yang menjadi pokok bahasannya. Hubungan antar konsep-konsep itu, disebut argumen ilmiah, dapat pula diperlakukan pula sebagai hipotesa untuk diuji dengan metodologi dan prosedur penelitian tertentu. 

Gunawan Wiradi telah berjasa menjadi jembatan pengetahuan, yang memungkinkan penulis dan kawan-kawan aktivis agraria lainnya, menjelajahi suatu bidang ilmu yang kemudian kami kenal dengan nama studi-studi agraria kritis (critical agrarian studies), yang baru-baru ini diuraikan secara elegan oleh Edelman dan Wolford (2017).  Naskah ini pertama-tama menjelaskan situasi yang kami hadapi sebagai bagian dari kelompok generasi aktivis mahasiswa di Bandung, Jawa Barat, yang pada mulanya memilih terlibat mengurus dan membela korban-korban perampasan tanah. Lalu penulis akan menguraikan satu persatu bagaimana empat konsep analitik, yakni petani, perlawanan petani, kebijakan agraria, dan akumulasi primitif, bisa menjadi alat kerja yang penulis kuasai. Bagaikan seseorang murid yang sedang belajar secara magang pada ahli tukang kayu, murid mempelajari cara guru mempergunakan alat-alat kerjanya hingga mereka mampu menghasilkan mebeleir yang nyaman, kuat dan indah. 

Pembentukan Aktivis Agraria 

Untuk menjadi seorang scholar-activist, penulis bermotivasi kuat mempelajari konsep-konsep analitik studi agraria sembari kerja lapangan terjun-ke-bawah (turba) ke kampung-kampung pedesaan pedalaman di kabupaten Garut, Sukabumi, Cianjur di Jawa Barat Selatan di akhir tahun 1980-an. Seiring dengan  aktivisme itu, kami haus akan penjelasan mengapa perampasan tanah petani terus berlangsung di seantero Nusantara. Kami bertanya-tanya mengapa rezim penguasa Orde Baru membuat birokrasi pemerintah menggunakan/menyalahgunakan kewenangannya untuk melayani kepentingan korporasi raksasa dan proyek-proyek pembangunan melalui izin-izin dan hak-hak pemanfaatan pertambangan, kehutanan dan perkebunan yang diberikan pemerintah secara terpusat? Lebih jauh lagi, kami ingin tahu, mengapa rezim penguasa Orde Baru membuat birokrasi pemerintah menyediakan perlindungan pada korporasi penguasa tanah dengan segala kekuatan aparatus represif negara yang berada di keseluruhan wilayah kendali rezim otoriter, yang begitu terasa kuat mulai dari pusat, provinsi, kabupaten hingga kecamatan dan desa-desa. Tak jarang, melalui kerja bersama para pengabdi bantuan hukum di LBH Bandung dan di YLBHI Jakarta, kami kerap terpapar dengan kenyataan dan pengetahuan mengenai berbagai bentuk perlakuan penindasan terhadap para tokoh rakyat dan komunitas petani yang menolak perampasan tanah.

Tahun 1980an hingga tengah 1990an, di bawah rezim Orde Baru sedang kuat-kuatnya, protes tentang perampasan tanah mulai dibuat naik ke permukaan sebagai isu dalam media-media massa nasional, dengan ditandai oleh berita aksi-aksi protes terbuka dari kerja sama terpisah-pisah antara para kelompok aktivis mahasiswa dan organisasi non-pemerintah dengan para pemimpin rakyat dan komunitas-komunitas petani pedesaan yang tanahnya dirampas.[1] Saya ingat di tahun 1991, dua pelopor aktivis agraria Bambang Harri, dan Paskah Irianto, memprakarsai penerbitan poster-kalender Tanah Untuk Rakyat. Dalam poster-kalender  “Tanah untuk Rakyat” termuat lukisan yang dibuat oleh Yayak Adyatmaka,  yang menggambarkan konflik yang terbuka antara petani, buruh, dan rakyat miskin lain dengan penguasa tanah, pengusaha rakus, dan rezim otoriter-militer yang disokong oleh struktur dan aparatur militer, polisi dan birokrasi. Presiden Jenderal Soeharto  dan Ibu Tien Soeharto digambarkan secara sarkastik, bersama ribuan manusia dalam berbagai posisi konflik. Konflik ini begitu jelas digambarkan: siapa-siapa tertindas, siapa-siapa penindas, dan bagaimana penindasan dilakukan. Poster-kalender itu juga memuat uraian profil-profil kasus tanah di seantero tempat di Indonesia, dengan satu puisi ajakan membangun gerakan sosial dari Wiji Thukul. Poster-kalender TUR ini semakin menghebohkan sehubungan pada tanggal 2 Mei, Jaksa Agung mengeluarkan SK yang isinya melarang beredarnya poster-kalender “Tanah untuk Rakyat” berukuran 42 x 58 cm itu (Rachman dan Santoso 2013: 134-155). 

Di tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an, belum ada kategori “aktivis agraria” yang mengkampanyekan “reforma agraria” seperti dikenal sekarang ini. Banyak para aktivis 1980-an menyebut diri mereka sebagai aktivis hak asasi manusia, aktivis pro-demokrasi, aktivis bantuan hukum, atau aktivis lingkungan. Kantor-kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH)[2] di bawah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) adalah salah satu tempat utama persemaian para aktivis-aktivis 1980-an, termasuk yang pada gilirannya menjadi aktivis pejuang pembaruan/reforma agraria. Kerja kantor-kantor LBH daerah dan kantor YLBHI di Jakarta sebagian terekam dan tercermin setiap tahunnya dalam buku “Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia”. Sangat menarik untuk memahami babak perampasan tanah yang mulai pada 1980-an, mulai bangkitnya perlawanan hingga pembentukan aktivis agraria, melalui apa yang disajikan Laporan ini dari tahun ke tahun. Laporan yang dimaksud di sini adalah mulai tahun 1979, 1980, 1981, 1982-1983, 1984-1985, 1986-1987, 1989, 1990, 1991, 1992, 1993, 1994, dan terakhir 1996. YLBHI tak menerbitkan laporan HAM seperti ini lagi sejak 1997.[3]

Selain YLBHI, Yayasan Pusat Studi HAM (YAPUSHAM) pernah secara sistematis mengkodifikasi kasus-kasus pertanahan berdasarkan pada pendekatan pelanggaran HAM menurut suatu format sistem pendokumentasian HURIDOCS (Human Right Information and Documentation System) yang telah diadaptasikan sedemikian rupa sehingga sistem pencatatannya terdiri dari lima formasi yang saling berhubungan, yakni kejadian (event), korban (victim), yang diduga sebagai pelaku (culprits), pihak yang mengintervensi (intervention), serta sumber pelanggaran hak asasi (sources). INDEX Pelanggaran HAM-YAPUSHAM dalam edisi terakhirnya (No. 10/11/97) mencatat setidaknya dari laporan-laporan 28 surat kabar yang terbit di kota-kota provinsi Indonesia, terdapat 891 kasus pelanggaran HAM berupa penyitaan lahan dan perampasan lahan melalui berbagai cara selama 27 bulan, dari Juli 1994 hingga September 1996. Jadi bila dirata-ratakan, maka dalam sebulan ada 33 kasus yang dipublikasi koran lokal maupun nasional. Bayangkan, berapa banyak yang tidak terpublikasi. 

Aktivis agraria ditandai oleh kemampuannya menjelaskan bagaimana perampasan tanah bisa terjadi, dan membangkitkan petani dari posisi korban menjadi kekuatan yang melawan penindasan. Bagaimana bisa petani, yang pernah menjadi kekuatan “soko guru revolusi”, yang begitu berjasa bagi perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia, bisa menjadi korban dari perampasan tanah? Makanya, kami secara kritis mempertanyakan atribut-atribut budiman dari negara yang melekat dalam Konstitusi UUD 1945 dan Undang-undang nomor 5/1960 yang terkenal dengan nama Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). 

Petani dan Perlawanan Petani

Alat kerja konseptual pertama-tama yang penulis pelajari adalah petani (peasant) dan perlawanan petani (peasant resistance). Saya tergoda untuk melihat “dunia dalam” petani dalam melancarkan protes dan perlawanan melalui karya Erich H. Jacoby (1961) Agrarian Unrest in Southeast Asia, khususnya ketika ia mengemukakan apa yang disebutnya sebagai kredo agraria, agrarian creed.   

“Kredo Agraria bukanlah suatu doktrin tertentu, tetapi ia mencerminkan harapan-harapan dan aspirasi-aspirasi bergenerasi-generasi petani, agar suatu ketika tanah dapat dinikmati dengan bebas sebebas udara, dan tidak dimiliki siapa pun, dan oleh karenanya diperuntukkan bagi semua yang menggarapnya. Bahwa para petani berjuang untuk memiliki tanah dan mendapatkan jaminan atas kepunyaannya, sama sekali tidak bertentangan dengan Kredo Agraria. Itu hanyalah suatu cara menyesuaikan diri dengan sistem-sistem ekonomi dan masyarakat yang bekerja berdasarkan sistem-sistem kepemilikan yang sudah mapan.” (Jacoby 1961: 88)

Jacoby percaya bahwa kredo agraria itu adalah universal, meski sering kali ditampilkan dalam mitos-mitos dan legenda-legenda lokal. “Ia tidak terikat pada suatu saat waktu atau suatu rangkai isi ajaran tertentu, sesungguhnya ia kuat sekali tertancap di hati para penggarap yang kemudian diungkapkan dengan sadar, dan mendorong kaum lemah melawan para penindas mereka” (Jacoby 1961: 88).

Semasa penulis terlibat bersama para tokoh masyarakat dan komunitas petani, baik di rumah-rumah mereka, di jalan-jalan, hingga di kantor-kantor pemerintahan, pikiran penulis sering diisi  oleh pertanyaan mengenai kadar kandungan kredo agraria dalam perjuangan mereka. Demikianlah, tiap kali saya menemukan suatu konsep analitik yang penting, semakin semangat mempelajari konsep-konsep analitik itu dalam karya-karya tulis para ahli, dan setelah itu semakin banyak inspirasi untuk saya mencoba memakainya. Selain itu, saya membaca buku-buku. Dalam soal Kredo agraria itu, sejumlah buku sejarah menjadi sumber pengetahuan untuk mengetahui apa yang menggerakkan proses dan perlawanan petani, termasuk buku-buku karya Kartodirdjo (1973, 1984) Onghokham (1991), Kuntowijoyo (1993), Korver (1985), Pelzer (1985, 1991), dan lainnya. 

Gunawan Wiradi secara khusus menyarankan kami mempelajari konsep petani (peasant) dan perlawanan petani (peasant resistance) melalui buku pengantar yang klasik berjudul Petani: Tinjauan Antropologis, karya Eric R. Wolf yang diterjemahkan dan diterbitkan pada 1985 oleh Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial (YIIS). Selain itu, juga kemudian bukunya yang lain yang berjudul Peasant War of the Twentieth Century (New York & London: Harper and Row, 1969). Daripadanya saya tertarik pada kalimat yang menyimpulkan bahwa penyebaran kapitalisme dari Atlantik Utara sebagai pemaksaan ekonomi pasar pada masyarakat pra-kapitalis. 

“... (S)ebelum masa kapitalisme ... keseimbangan sosial bergantung kepada timbal balik antara pengalihan kekayaan (surplus transfer) dari petani kepada tuan tanah, dengan jasa keamanan yang diberikan tuan-tuan itu pada para petani. Kapitalisme telah mengacau-balaukan keseimbangan-keseimbangan itu yang dahulu ada pada masyarakat petani. Kaum petani telah ditransformasikan menjadi “aktor ekonomi, terlepas dari komitmen sosial yang terdahulu pada sanak keluarga dan tetangga.” (Wolf 1969: 279) 

Menyebarnya pasar telah meretakkan hubungan eksploitatif antara petani dan tuan tanahnya, baik itu tuan-tuan feodalnya maupun tuan tanah aristokrat kolonial dan lainnya. Di pihak lain, menyebarnya pasar itu disertai dengan berbagai jalur ekonomi, politik dan pendidikan untuk memunculkan elite baru, baik pedagang, intelektual, kaum profesional termasuk aktivis politik. Dalam situasi peralihan yang sangat bergejolak ini, perlawanan petani mendapat tempat. Secara spesifik, perlawanan petani ini terjadi pada saat terbentuk:

“... perpaduan politik antara organisasi (termasuk organisasi bersenjata) dari kalangan elite baru yang marjinal—kalangan intelektual dan profesional baru—dengan kalangan petani yang tidak puas dikarenakan pasar tidak memberi peluang yang cukup.” (Wolf 1969: 9) 

Saya mulai memahami gerakan-gerakan protes petani sebagai penentangan yang mengacaukan dan terus-menerus (disruptive and continuous challenges) atas kekuasaan golongan-golongan tertentu yang menindas rakyat perdesaan. Penentangan itu pada mulanya merupakan suatu tanggapan kolektif atas merosotnya kondisi hidup akibat penggunaan dan penyalahgunaan kekuasaan pihak pemegang kuasa-kuasa ekonomi-politik. 

Wolf (1969: 273) dalam buku klasiknya menulis: 

“… pemberontakan-pemberontakan petani abad XX tak lagi sederhana merespons masalah-masalah lokal, jika memang benar-benar pernah ada. Tetapi hal itu merupakan reaksi-reaksi yang langsung pada keguncangan sosial yang mengenainya, yang digerakkan oleh perubahan sosial yang lebih besar lagi. Penyebaran pasar telah membongkar manusia dari akarnya, dan mengguncang mereka agar lepas dari hubungan-hubungan sosial dari mana mereka dilahirkan. Industrialisasi dan perluasan komunikasi telah memunculkan pengelompokan sosial baru, yang sedemikian rupa hingga membuat mereka kehilangan kepastian posisi-posisi dan kepentingan sosial mereka sendiri, tetapi dipaksa oleh guncangan kehidupan mereka untuk mencari suatu keseimbangan baru. Otoritas politik tradisional terkikis atau ambruk; para pesaing baru yang berjuang untuk kekuasaan sedang mencari para konstituen baru untuk dimasukkan ke dalam arena politik yang perlu diisi. Dengan demikian ketika para pembela petani menyalakan obor pemberontakan, masyarakat siap menyongsong api dan menyalakan kebakaran. Ketika perang berakhir, bangunan masyarakat itu tidak akan sama seperti sebelumnya.”

Selanjutnya, satu buku lain yang membantu  adalah karya Joel Migdal (1974) Peasants, Politics, and Revolution, yang menjelaskan kekuatan yang dapat menyulut potensi keterlibatan revolusioner petani di Dunia Ketiga. Ia memperdalam pandangan Eric Wolf, tetapi dengan dua penekanan utama. Pertama, berbeda dari fokus Wolf yang melihat masyarakat secara luas, Migdal melihat secara lebih sempit dan mendalam pada desa-desa petani. Argumentasi dasar Migdal membahas transisi ekonomis yang mengacaukan “orientasi ke dalam” para petani yang ditandai dengan pertanian subsisten dan otoritas kontrol komunal dan/atau patronase yang kuat menjadi “orientasi keluar” yang ditandai dengan keterlibatan substansial petani dan rumah tangganya dengan “mekanisme saling berjalinan (multiplier mechanism): pasar, uang tunai, dan tenaga penggarap” (Migdal 1974:87). Menurut Migdal, situasi pedesaan terus “berorientasi ke dalam” untuk memberi keamanan minimal bagi para petani tradisional dari kondisi ekologis yang tidak menentu. Pada saat krisis terjadi, yang sering berulang datang, petani tradisional mencoba melindungi diri mereka sendiri lewat eksploitasi diri dalam skala yang lebih dari biasanya dan lebih bersandar pada patron atau ikatan komunal. Hanya krisis luar biasa yang dampaknya begitu besar dan terus-menerus yang dapat mendorong petani mengubah diri menuju “orientasi keluar” yang lebih besar dalam perilaku ekonominya.

Seperti Wolf, Migdal melihat akar dari krisis dalam ekspansi dunia berasal dari kapitalisme-industri Barat abad ke-18. Tetapi ada penekanan kedua dalam pandangan Migdal—dia memberi perhatian khusus pada mediasi politik dari ekspansi ini. Migdal berbicara tentang “imperialisme” ketimbang “kapitalisme” atau “pasar” sebagai kekuatan utama untuk perubahan dalam dan antar negara. Dia menggambarkan perubahan yang mengacaukan (disruptive), seperti kenaikan jumlah penduduk dikarenakan program kesehatan masyarakat, dan bertambahnya penetrasi pasar karena pajak, perbaikan transportasi, dan peralihan tanah secara legal. Kesemuanya itu disebabkan oleh peningkatan kontrol negara atas pedesaan yang tadinya mempunyai otonomi lokal. “Imperialisme,” menurut Migdal, 

“... menyebabkan reorganisasi dari pusat masyarakat, memungkinkan tercapainya tingkatan efisiensi yang baru dalam peralihan kekayaan dari pinggiran. Pemerintahan langsung oleh penguasa kolonial, atau dominasi kekuasaan imperial secara tidak langsung, akan menuju pada peningkatan penguasaan negara lewat teknik administratif. Sehingga memungkinkan birokrasi yang kompleks dan padu menerobos masuk ke daerah-daerah pedesaan dengan spektrum yang lebih luas dari pada sebelumnya.” (Migdal 1974: 92)

Selanjutnya, saya tergoda untuk memahami mengapa petani melancarkan protes, bahkan sampai ada yang membentuk perlawanan sedemikian rupa  hingga melancarkan pemberontakan? Apa yang membuat sebagian petani melawan secara terbuka dan sebagian yang lain tidak? Dan, faktor-faktor apa saja yang berkombinasi yang bekerja sebagai transformator dari pengalaman tertindas menjadi perlawanan petani? 

Saya membaca buku Henry A. Landsberger dan Y. G. Alexandrov (1984) Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial. Dari buku ini saya dituntut untuk terlebih dahulu memahami konteks dan arus besar yang melingkupi keberadaan petani-petani yang melancarkan aksi perlawanan. Saya belajar suatu prinsip dalam pendekatan studi perlawanan petani bahwa dalam setiap aksi perlawanan selalu ada perubahan kemasyarakatan yang lebih luas yang melingkupinya. Bahkan keduanya memiliki hubungan yang saling mengikat (entangled). Secara lebih lengkap, Henry A. Landsberger (1981), “Pergolakan Petani, Beberapa Tema dan Variasinya”, telah memberi kerangka untuk memahami, menganalisis dan melukiskan suatu gerakan perlawanan petani. Kerangka itu terdiri dari 7 (tujuh) komponen, yakni:

(i)      Perubahan Kemasyarakatan yang Mendahului Gerakan Petani

(ii)     Sasaran dan Ideologi Gerakan

(iii)   Sarana dan Metode Gerakan

(iv)   Dasar Masa dari Gerakan

(v)     Kondisi yang Memperlancar Organisasi 

(vi)   Sekutu-sekutu Gerakan Petani

(vii)  Kondisi-kondisi yang memberhasilkan dan menggagalkan. 

 

Dalam upaya meningkatkan kemampuan, Gunawan Wiradi-lah yang memperkenalkan saya pada pentingnya mempelajari debat teori, dimulai misalnya dengan debat antara teori “Ekonomi Moral” dari James Scott, dengan  teori “Ekonomi Rasional” dari Samuel Popkin.

James Scott (1976) telah mengabdikan buku karyanya, The Moral Economy of Peasant,[4] untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Selain karya James Scott itu, juga karya dari Samuel Popkin (1979), The Rational Peasant, diabdikan untuk menjawab pertanyaan yang sama, tetapi jelas-jelas menantang penjelasan yang diberikan Scott. Scott meyakini bahwa para petani senantiasa berperilaku “menghindari risiko” (risk aversion) yang dinilainya sebagai karakter dari masyarakat tradisional. Sementara Samuel Popkin, sebaliknya, meyakini adanya suatu “rasionalitas” petani untuk memperoleh keuntungan individual dengan berkompetisi. Dalam dan setelah melibatkan diri dalam aksi-aksi protes petani, kerap kali pemikiran saya diisi pula oleh pertanyaan: apakah aksi-aksi protes itu lebih mendekati model “ekonomi moral”, ataukah model “petani rasional”. Apa penanda-penandanya? 

Bagi Scott (1976), masyarakat tradisional mempunyai suatu tertib moral yang tak dapat dipisahkan dari masalah subsistensi. Tatanan sosial dari kehidupan petani telah menghasilkan sistem jaminan keamanan hidup internal yang secara normatif dapat ditegakkan untuk memenuhi semua orang desa. Kolonialisme telah mengukir eksploitasi tanpa batas yang dikenakan pada para petani sedemikian rupa sehingga terbentuklah diferensiasi sosial yang baru, dislokasi agraria, kemerosotan dari moral mengutamakan kebersamaan, dan kapitalisme agraria yang rakus—kesemuanya ini sungguh mengancam keberlangsungan hidup petani. Scott (1976) mengutamakan moralitas dan kemarahan petani sebagai respons yang niscaya begitu menghadapi hilangnya jaminan keamanan subsistensi minimum. Walhasil, pemberontakan petani pada dasarnya bersifat konservatif dan restoratif (yakni, ingin mempertahankan dan/atau mengembalikan tatanan yang terdahulu). 

Sementara itu, Popkin (1979) meyakini masyarakat tradisional tidak kurang eksploitatifnya ketimbang kolonialisme dan solidaritas sosial dari pedesaan tradisional hampir tidak pernah ada. Ia hanyalah ilusi dari para pelancong dan sarjana romantik. Kolonialisme memang menyediakan berbagai kesempatan yang berbeda (tentunya juga untuk para penguasa tradisional). Menghadapi kesempatan itu, para petani menanggapinya berbeda-beda tergantung rasionalitasnya. Dalam suatu kalimat, Popkin menyebutnya: “para individu mengevaluasi apa yang mungkin diperoleh akibat dari pilihan yang akan diambilnya berdasarkan kecenderungan dan nilai yang dianutnya” (1979: 431-432). Petani menanggapinya, ibarat seperti seorang penjudi saja, dengan perhitungan untung rugi dan penuh cemas-harap, khususnya ketika menghadapi kelembagaan baru yang datang menerpa, yakni pasar. Gerakan petani bukanlah bersifat restoratif, tetapi mencari jalan untuk menjinakkan kapitalisme, lalu bekerja di dalam kapitalisme yang telah dijinakkan itu. Para pemimpin gerakan petani dan pengikutnya memerankan diri sebagai entrepreneur politik. Mempraktikkan peran ini terbukti mampu memberi mereka imbalan individual.

Selain Scott dan Popkin, ada Jeffery Paige (1975) dengan karyanya Agrarian Revolution, Social Movement and Export Agriculture in the Underdeveloped World yang tidak memperdulikan soal-soal moralitas, rasionalitas dan kait-mengait yang diuraikan mereka masing-masing itu. Pada pokoknya, Paige mengedepankan analisis kepentingan kelas, pada situasi pedesaan yang diistilahkan menjadi “objective vector of capitalism”.  Ia merujuk pada situasi apa yang nyata orang-orang desa lakukan dalam proses kerja, misalnya organisasi dan struktur kerja, ekologi produksi, dan lainnya. Paige secara khusus memperkarakan kondisi-kondisi yang memungkinkan pemberontakan agraria dan bentuk-bentuk tampilan lain dari ekspresi politik petani itu. Model analisa kelas Marxis yang menjadi rujukan Paige (1975) ini memperkirakan kemungkinan perlawanan petani akan terjadi manakala: (i) suatu kelas penguasa tanah berkuasa melulu atas dasar penguasaan tanahnya; (ii) para petani dihambat kemungkinan mobilitas naik ke atas; (iii) kondisi kerja dan karakter pekerjaan para petani memungkinkan pembentukan solidaritas. Dengan penelitian yang mendalam atas pengalaman di Peru, Anggola, dan Vietnam, Paige (1975) mampu merumuskan corak-corak politik rakyat pedesaan, misalnya yang diistilahkannya dengan rebellionreform labor movement, dan reform commodity movement, berdasarkan tipe-tipe corak struktur kelas agraria yang melingkupi gerakan-gerakan itu.[5]

Dengan mengetahui perdebatan itu, saya menyadari posisi dan keterbatasan masing-masing teori, dengan membuka diri pada kenyataan bahwa konteks dan bentuk-bentuk aksi kolektif dari berbagai gerakan rakyat pedesaan di berbagai belahan dunia telah berubah. Patut dicatat bahwa konsep-konsep lama tentang petani dan perlawanan petani ternyata tidak lagi dapat cocok dengan kenyataan tersebut, dan dari perubahan kenyataan itu perlu dibangun suatu pemahaman baru dengan konsep-konsep yang lebih memadai agar lebih cocok dengan kenyataan. Lebih jauh, berbagai kerangka teoritis lama jelas tidak lagi memadai untuk memahami gerakan sosial yang berkembang dalam konteksnya yang baru. Lebih dari sekedar menempatkannya dalam konteks baru itu, terdapat juga anjuran penting untuk meninjau pengertian mengenai ”petani” yang sering dipakai selama ini. Menyaksikan perubahan-perubahan di dunia pedesaan saat ini, terutama menyaksikan para pelaku yang terlibat dalam gerakan sosial pedesaan, Webster (2004:2) menganjurkan kita untuk:

“meninggalkan konsep petani (peasantry) dari Shanin (1971), Alavi (1973a, 1973b) and Wolf (1971, 1990), untuk menyebut beberapa contoh saja;  aksi-aksi kolektif pedesaan tidak lagi dapat disempitkan  sekedar menjadi perjuangan-perjuangan petani (peasant struggles). Garis batas spasial dari petani yang pernah ada, telah diporak-porandakan oleh migrasi musiman; mobilitas petani generasi muda untuk menemukan pekerjaan baru; diversifikasi dan komodifikasi produksi agraria; munculnya pola-pola konsumsi baru dengan berbagai implikasi budaya, sosial dan ekonomi yang menyertainya; dan tentunya, akses kepada bentuk-bentuk baru transmisi budaya dengan televisi, radio, dan kadang kala juga, yang lebih mutakhir adalah internet.”

Saya berusaha memahami karakter baru gerakan-gerakan rakyat pedesaan di jaman kapitalisme neoliberal dewasa ini. Buku Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga (Rachman 2015) telah memprofilkan 9 (sembilan) contoh gerakan sosial pedesaan, di berbagai belahan dunia, dengan mengedepankan tematik gerakannya, yakni:

  1. Mengokupasi tanah sebagai tindakan konstitusional: MST (Movimento Dos Trabalhadores Rurais Sem Terra) di Brazil;
  2. Gerilyawan bertopeng membesarkan gerakan masyarakat sipil: EZLN (Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional) di Mexico;
  3. Mengubah identitas perjuangan dari “petani” menjadi “masyarakat adat”: FOIN (Föderation der indigenen Organisationen des Napo) di Ekuador;
  4. Melawan Rasisme setelah rejim apartheid tumbang: LPM (Landless People’s Movement) di Afrika Selatan;
  5. Mengambil kembali tanah yang dicuri: Gerakan Pendudukan Tanah di Zimbabwe; 
  6. Menolak dienyahkan: NBA (Narmada Bachao Andolan) di India;
  7. Mobilisasi untuk mengeraskan suara rakyat miskin: AOP (Assembly of the Poor) di Thailand;
  8. Menekan dari bawah dan mendorong dari atas: UNORKA (Pambansang Ugnayan ng Nagsasariling Lokal na mga Samahang Mamamayan sa Kanayunan)  di Filipina; dan
  9. Artikulasi untuk mendapat pengakuan dari negara: AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) di Indonesia

Kenyataan gerakan-gerakan rakyat pedesaan di berbagai negara Dunia Ketiga itu, memberi pelajaran penting mengenai bangkrutnya anggapan-anggapan terdahulu tentang petani dan perlawanan petani. Kalau sungguh-sungguh mempelajari apa yang terjadi, kita akan mengetahui watak baru dari gerakan rakyat pedesaan, mulai dari bagaimana mereka menafsirkan situasi yang ditentangnya, gagasan perjuangan yang disuarakannya, posisi yang diambilnya, hingga bentuk aksi yang dilancarkannya.

Analisis terhadap dari masing-masing gerakan dan perbandingan antar gerakan, serta rujukan pada pendapat-pendapat para sarjana lainnya, dapat segera ditemukan keragaman pelaku utama dan pendukung dan  keragaman jenis aksi kolektif yang diandalkan. Aksi-aksi kolektif dari para pelaku utama dan pendukung dari masing-masing gerakan ini dibentuk dan bekerja berhadapan dengan (i) kekhususan pagelaran kuasa yang dihadapi dan objek yang dipertarungkan, termasuk jenis sumber daya yang diperebutkan dan lingkungan agraria yang dihadapi, dan (ii) kekhususan kesempatan politik yang dimanfaatkan, termasuk arena-arena pertarungan yang dimasukinya. Keempat hal ini – pelaku, aksi kolektif, pagelaran kuasa yang dihadapi dan kesempatan politik yang dimanfaaatkan – telah membuat saya berkesimpulan  kita tidak lagi dapat mempertahankan pandangan klasik mengenai petani dan argumen yang menjelaskan pemberontakan petani. Namun, barangkali seperti proses metamorfosa ulat tumbuh menjadi kupu-kupu, teorisasi yang baru hanya bisa dilakukan dengan menyadari sepenuhnya keampuhan dan keterbatasan teorisasi yang terdahulu. 

Kebijakan Agraria dan Akumulasi Primitif

Gunawan Wiradi sering mengulang-ulang pentingnya melakukan penelitian dan pengajaran mengenai sejarah dan geografi agraria wilayah yang beraneka ragam, termasuk akibat-akibat dari kebijakan agraria dulu dan sekarang pada pembentukan struktur agraria yang khusus. Kesemua itu akan menjadi dasar untuk perumusan masalah-masalah agraria (agrarian questions) dan jawaban-jawabannya. Sebagai negara bekas jajahan, kami sadari bahwa struktur agraria yang tidak adil dan perjuangan konkret untuk mewujudkan keadilan agraria merupakan sumber dari aspirasi kebangsaan. Tidak heran bila seorang ahli agraria ternama, Eric Jacoby, dalam buku klasiknya Agrarian Unrest in Southeast Asia (1961) mengemukakan bahwa “… dapat dinyatakan dengan jelas bahwa sesungguhnya struktur agraria yang merusak-lah yang memberi jalan bagi gagasan kebangsaan, dan perjuangan-perjuangan politik (selanjutnya) dikuatkan oleh identitas rasa perjuangan kemerdekaan melalui perjuangan tanah.” Selanjutnya, ia menyimpulkan bahwa “… pemecahan terhadap persoalan tanah adalah suatu syarat untuk pemenuhan elan kebangsaan dari negeri-negeri Asia Tenggara dan, untuk sebagian besar, merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi dan reorganisasi masyarakat” (Jacoby 1961: 253).

Secara berbeda-beda, di awal masa kemerdekaannya, banyak elite negara pasca-kolonial, termasuk Presiden Soekarno, benar-benar dipengaruhi oleh naskah Land Reform: Defects in Agrarian Structure as Obstacles to Economic Development yang dikeluarkan secara resmi oleh FAO (Food and Agricultural Organization) pada 1951. Apa yang dilakukan oleh FAO kemudian beresonansi dengan cara bagaimana negara-negara paca-kolonial menjadikan Reforma Agraria bagian dari agenda bangsanya hingga pada puncaknya tahun 1979 pada World Conference on Agrarian Reform and Rural Development (WCARD), di mana Indonesia mengirim delegasi yang sangat besar (Wiradi 1999). 

Buku Dua Abad Penguasaan Tanah di Jawa yang disunting oleh SMP Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (1986) adalah suatu kumpulan tulisan para ahli agraria dari luar dan dalam negeri yang kami sambut dan berpengaruh. Kami sebagai aktivis agraria pemula dan pemulai, benar-benar ditantang untuk mengembangkan basis pengetahuan sejarah geografi yang memadai untuk memahami kondisi dan masalah-masalah agraria yang dihadapi. Uraian-uraian yang disajikan para penulisnya itu merangsang alam pikiran kami dengan membacanya berkali-kali.  Sehubungan dengan kekhasan Indonesia sebagai negeri kepulauan yang beraneka ragam sejarah dan geografinya, kami merasa kekurangan pengetahuan mengenai keragaman kondisi agraria wilayah, dengan menghubungkan keadaan agraria wilayan saat ini dengan proses pembentukannya dalam hubungan dengan kebijakan-kebijakan agrarianya. 

Di awal tahun 1989, kami para aktivis agraria sedang gandrung kerja melakukan turba, pengorganisasian rakyat pada kasus-kasus konflik pertanahan yang diurus oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, secara khusus mengundang Gunawan Wiradi sebagai ahli studi agraria untuk menjadi narasumber dalam diskusi mengenai kebijakan agraria yang menjadi sebab dari kasus-kasus perampasan tanah. Ia memberi sajian, “Tonggak-tonggak Perjalanan Kebijaksanaan Agraria di Indonesia,” yang membuat kami lebih mengerti bahwa kebijakan agraria Indonesia yang saat itu berujung pada perampasan-perampasan tanah itu adalah cuma satu babak saja dari perjalanan panjang sejak masa kolonial. Sajiannya itu bersumber dari naskah berjudul “Kepenguasaan Tanah dalam Perspektif Transformasi Struktural.”[6] Naskah itu banyak diminati para aktivis, sehingga kami berkali-kali memfotokopinya. Kami mempelajarinya paragraf demi paragraf, mendiskusikan, menuliskan komentar hingga merujuknya ketika kami menulis karya kami sendiri, baik untuk bahan latihan dan kursus bagi para penggerak rakyat maupun terbitan di koran, majalah, jurnal dan buku

Karya itu secara khusus membuat saya tergerak memintanya memberikan karya-karya terserak lainnya, dan pada gilirannya saya menyunting karya-karya terserak itu menjadi sebuah buku: Wiradi (2001) Reforma Agraria: Urusan yang Belum Berakhir yang kemudian diberi pengantar oleh Prof. Sajogyo. Di sini perlu saya sebut bahwa buku Noer Fauzi (1999) Petani dan PenguasaDinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria) diinspirasikan juga oleh “Tonggak-tonggak Kebijakan Agraria Indonesia” itu, selain oleh karya Muhammad Tauchid, Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Indonesia (1952) seperti saya tuliskan di pengantar buku itu. Lebih dari itu, disertasi saya Resurgence of Land Reform Policy and Agrarian Movements in Indonesia (Rachman 2011)[7] dan buku Land Reform dari Masa ke Masa (Rachman 2012) merupakan pengembangan lebih lanjut dari minat dan pemahaman historis yang semakin dalam dan luas mengenai perjalanan kebijakan agraria di Indonesia.

            Kebijakan agraria selain dapat ditempatkan sebagai independent variable, pula ditempatkan sebagai dependent variable. Buku Noer Fauzi (1999) Petani dan PenguasaDinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia mempekerjakan konsep analitik “akumulasi primitif” untuk memahami secara lebih baik perjalanan kebijakan agraria Indonesia sejak masa kolonial. Cara bagaimana saya tiba pada pemakaian konsep ini pun berkat meniti jembatan yang disediakan oleh Gunawan Wiradi. Saya masih ingat beliau memberikan papernya mengenai andil Alexander V. Chayanov (1888-1937) dalam teori-teori perubahan agraria,[8] yang pada gilirannya membentuk motif saya untuk memahami debat-debat agraria klasik. 

Apakah yang disebut sebagai “akumulasi primitif” itu? Karl Marx (1818–1883) mengunakan istilah “the so-called primitive accumulation” berangkat dari pengertian Adam Smith previous accumulation. Apa yang disebut sebagai akumulasi primitif (primitive accumulation) untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh Karl Marx (1976/1898) dalam Capital vol 1, Bagian VIII. Dalam bab itu, analisis Marx utamanya membahas fenomena historis di Inggris selama periode awal pembentukan cara berproduksi kapitalis, sesuatu yang Marx anggap sebagai bentuk yang klasik dari akumulasi primitif.

Ia berangkat dari anggapan bahwa motif akumulasi kekayaan itu merupakan penggerak kapitalisme. Dan syarat awalnya adalah akumulasi stock, dan ia menulis, “the accumulation of stock must, in the nature of things, be previous to the division of labour”. Tapi, syarat akumulasi atas stock itu bukan syarat cukup. Yang menentukan bagaimana kekayaan diakumulasikan adalah suatu transformasi hubungan-hubungan sosial dalam proses produksi, juga adalah hubungan kepemilikan (property relations)—sebagaimana diurai dengan bagus oleh Ellen Meiksins Wood (2002: 36). Dalam konteks inilah untuk pertama kalinya tanah-tanah dan kekayaan alam diputuskan dari hubungan sosial pra-kapitalis, dan dijadikan bagian modal dalam sirkuit baru sistem produksi kapitalis. Di lain pihak, petani yang tadinya punya hubungan erat dengan tanah dan kekayaan alam itu dilepaskan secara brutal, dan kemudian dibebaskan menjadi tenaga kerja bebas.

Menurut Massimo de Angelis, modal harus dipahami sebagai sebuah kekuatan (force). Sehingga sehubungan dengan penghentian akses penduduk atas tanah melalui tindakan perampasan (land disposession), modal harus dipahami sebagai enclosing social force (De Angelis 2004: 59, n. 5). Oleh sebab itu, enclosure ditempatkan de Angelis sebagai ciri yang melekat pada cara produksi kapitalisme. Ia mengelompokkan enclosure menjadi dua model implementasi, yakni: “(i) enclosure sebagai sebuah rancangan “kekuasaan atas” (power over), dan (ii) enclosure sebagai sebuah akibat dari proses akumulasi. Pada makna yang pertama ... menunjukkan berbagai macam strategi yang sungguh-sungguh dirancang dengan berbagai bentuk dan nama. Sedangkan pada makna yang dua, enclosure merupakan akibat yang tak direncanakan (unintended by-product) dari akumulasi yang (dalam bahasa ekonomi) dikenal sebagai “negative externalities”, yang tak dikalkulasi dalam harga pasar dari barang-barang yang dihasilkan karena biaya-biaya yang dikeluarkan oleh para penghasil barang itu memang berada di luar perusahaan yang memiliki barang itu (de Angelis 2004: 77-78). 

Dari pengalaman penelitian selama enam bulan atas Merauke Integrated Food and Energi Estate (MIFEE),[9] saya bersama Roem Topatimasang, Laksmi Savitri, Mumtaza, dan Yuslam Fikri mendapatkan afirmasi atas apa yang dianalisis oleh geografer ternama, David Harvey, bahwa

“... produksi ruang, organisasi pembagian kerja yang secara keseluruhannya baru dalam wilayah yang baru pula, pembukaan berbagai macam cara perolehan sumber daya baru yang jauh lebih murah, pembukaan wilayah-wilayah baru sebagai bagian dari dinamika ruang-ruang akumulasi modal, dan penetrasi terhadap formasi sosial yang ada oleh hubungan-hubungan sosial kapitalis dan tatanan kelembagaannya (contohnya aturan kontrak dan kepemilikan pribadi) membuka jalan bagi penyerapan surplus modal maupun tenaga kerja. Namun, ekspansi re-organisasi dan rekonstruksi geografis sering adalah perusak nilai-nilai yang telah menancap dalam pada tempat-tempat itu (terikat secara sosial pada tanah), dan juga bagi nilai-nilai yang belum melembaga.” (Harvey 2003: 116)[10]

Accumulation by dispossession merupakan reformulasi Harvey atas “akumulasi primitif” setelah ia mengolah teori under-consumption dari Rosa Luxemberg dalam karyanya The Accumulation of Capital (1968). Menurutnya, banyak teori-teori Marxist mengenai akumulasi “mengabaikan proses akumulasi yang terbentuk melalui berbagai macam tindakan perampasan, penipuan, dan kekerasan yang diperlakukan atas berbagai hal di ‘keadaan awal’ yang dianggap tidak lagi relevan atau—di sini ia kemudian merujuk pada Rosa Luxemberg—yang diperlakukan terhadap yang berada ‘di luar dari’ kapitalisme yang berlaku bagaikan suatu sistem tertutup.” Selanjutnya, “mengevaluasi kembali peran yang menetap dan terus berkelanjutan dari praktik-praktik buas dari ‘akumulasi primitif’ atau ‘akumulasi awal-mula’ dalam sebuah geografi sejarah akumulasi modal, sungguh merupakan tugas yang mendesak sebagaimana akhir-akhir ini disampaikan oleh para komentator”. Harvey merujuk pada Perelman (2000), de Angelis (2000) dan perdebatan besar-besaran dalam The Commoner. Menurutnya “apa yang dilakukan melalui accumulation by disposession adalah melepaskan serangkaian aset (termasuk tenaga kerja) dengan biaya yang sangat rendah (dan dalam banyak hal sungguh tanpa biaya). Modal yang telah terakumulasi berlebihan dapat dipakai untuk merampas rangkaian aset tersebut dan segera dapat membawanya ke dalam suatu penggunaan yang menguntungkannya” (Harvey 2003: 149).

Harvey memutuskan untuk meluaskan dan menamakannya accumulation by disposession (akumulasi dengan cara perampasan) karena ia merasa “adalah janggal untuk menyebut suatu proses yang berkelanjutan dari ‘akumulasi primitif’ atau ‘akumulasi awal-mula’” (Harvey 2003: 144). Dalam karyanya “Comment in Commentaries” (Harvey 2006a), yang ditulisnya sebagai tanggapan atas sejumlah komentar serta kritik atas bukunya New Imperialism, Harvey berkeras bahwa “praktik-praktik kanibalistik dan predatoris yang terjadi terus di negara-negara kapitalis maju dengan kedok privatisasi, reformasi pasar, pengetatan anggaran kesejahteraan dan neoliberalisasi lebih cocok bila ditampilkan sebagai accumulation by disposessionAccumulation by disposession secara kualitatif dan teoritis berbeda dari apa yang terjadi di masa awal kapitalisme.” (Harvey 2006a:158) 

Alat konseptual accumulation by disposession inilah yang terus menerus kami pelajari dan pekerjakan dalam memahami masalah-masalah agraria  di Indonesia. Artikel kami terbit di Journal of Peasant Studies: Takeshi Ito, Noer Fauzi Rachman, Laksmi A. Savitri (2014) “Power to Make Land Dispossession Acceptable: A Policy Discourse Analysis of the Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), Papua, Indonesia”; Juga: Noer Fauzi Rachman dan Laksmi Savitri (2011) “Kapitalisme, Perampasan Tanah Global, dan Agenda Studi Gerakan-gerakan Agraria”; Juga Laksmi A. Savitri (2013) Korporasi dan Politik Perampasan Tanah, Penerbit: INSIST Press. Juga: Rachman (2018) “Meninjau Kembali Teorisasi Mengenai Desentralisasi, Community Driven Development, dan Kapitalisasi Agraria”; Serta, satu film bersama Yuslam Fikri Ansari (2012) Makan Malin Anim.

 

Penutup

Naskah ini telah menunjukkan cara bagaimana penulis mempelajari sejumlah konsep analitik sebagai alat kerja studi agraria Indonesia, dengan fokus menunjukkan andil Gunawan Wiradi sebagai jembatan pengetahuan. Melalui jasanya dan guru-guru lainnya penulis bisa menjelajahi suatu bidang yang sekarang bernama studi agraria kritis (Edelman dan Wolford, 2017), dan menguasai alat-alat kerja konseptual analitik yang sangat penting karena keampuhannya. 

Gunawan Wiradi mengajarkan bahwa menekuni studi-studi agraria selayaknya digerakkan oleh motivasi berpihak pada rakyat. Dengan merujuk pada karya Max Weber, Politics as Vocation

“Seorang peneliti yang peduli pada nasib dan masa depan bangsanya, dan yang batinnya meronta melihat kemelaratan yang dialami oleh rakyatnya, tidak bisa lain kecuali harus menjadi peneliti yang memiliki semangat vokasional.” (Wiradi 2009:291). 

Guru memberi bekal dan kesempatan untuk generasi selanjutnya tumbuh, berkembang, dan tampil dalam tantangan yang berbeda-beda. Murid ngalap berkah dari guru. Guru juga menyadari, mengakui dan sadar-diri bahwa ia akan menjadi generasi yang terdahulu, akan meninggal, dan ditinggalkan di masa lampau oleh generasi baru yang akan hidup lebih lama di hari ini dan masa yang akan datang. Generasi baru memang menerima warisan, untuk hidup sekarang dan di masa depan. Mereka tidak akan terpaku ke masa lampau, bahkan sebagian generasi baru enggan menengok ke masa lampau, sebab seperti judul buku dari Marshall Berman (1971/1982), yang mengambil adagium yang terkenal dari Karl Marx, all that solid melts into air, semua yang mapan menguap ke udara begitu saja. 

Selain berjasa sebagai jembatan pengetahuan, semangat vokasional inilah yang Gunawan Wiradi wariskan kepada para scholar activists. Ia sering berulang-ulang menyampaikan pada murid-muridnya, “Tiap-tiap generasi itu anak zamannya, dan tiap zaman memiliki zeitgeistspirit of the time, jiwa zamannya tersendiri,” yang menandakan dirinya gundah-gulana dan sekaligus menyadarkan dirinya sendiri bahwa apa yang diharapkannya tidak berjalan sebagaimana ia bayangkan. Satu kali, ia mengubah partikel “lah” menjadi  “kan” pada saat menuliskan lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya stanza ketiga, bait ketiga, menjadi “Slamatkan rakyatnya, Slamatkan putranya, pulaunya, lautnya, semuanya.” Hal itu sengaja dilakukannya, pada saat menulis artikel “Lagu Kebangsaan dan Nasionalisme: Suatu Renungan Ringkas” (Wiradi 2004), untuk menghasilkan efek yang diinginkan, menurut penulis, adalah untuk menekankan urgensi ideologik untuk menyelamatkan tanah air Indonesia, di tengah banyak orang tidak tahu mengenai lirik aslinya sebagaimana dimuat dalam  Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 195 8, dan juga Undang-undang No 24/2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Penulis termasuk murid yang dipengaruhinya, dan kemudian terpengaruh sedemikian rupa sehingga membuat buku Panggilan Tanah Air (Rachman 2017), yang menawarkan cara baru mengetahui situasi tanah air yang porak-poranda, sebagai akibat dari reorganisasi ruang yang dilakukan berbagai pihak demi keberlangsungan hidup akumulasi modal dari perusahaan-perusahaan kapitalis skala dunia. []

 

Daftar Pustaka  


Berman, M. (1971/1982). All That Is Solid Melts Into Air. The Experience of Modernity. New York: Penguin.

de Angelis M. 2001. “Marx and Primitive Accumulation: The Continuous Character of Capital’s ‘Enclosures’.” The Commoner 2 (September) (available at www.thecommoner.org).

 ---------. 2004. “Separating the doing and the deed: Capital and the continuous character of enclosures.” Historical Materialism, 12:57-87.

---------. 2007The Begining of History. Vaule Struggles and Global Capital. London (UK): Pluto Press. Edelman, M and W. Wolford (2017 “Introduction: Critical Agrarian Studies in Theory and Practice.” Antipode 49 (4): 959–76.

Fauzi N. 1999. Petani dan PenguasaDinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Fauzi N, dan Fidro B (eds.). 1995. Pembangunan Berbuah SengketaKumpulan Kasus Pertanahan Sepanjang Orde Baru. Medan (ID) : Yayasan Sintesa dan Serikat Petani Sumatera Utara.

Fauzi N, dan Faryadi E (eds.). 1995. Perlawanan Kaum Tani: Analisis terhadap Gerakan Petani Indonesia Sepanjang Orde Baru. Medan (ID): Yayasan Sintesa dan Serikat Petani Sumatera Utara.

Harman BK, et al (ed.). 1995. Pluralisme Hukum Pertanahan dan Kumpulan Kasus Tanah. Jakarta (ID): YLBHI.

Harvey D. 2003The New Imperialism. Oxford (UK): Oxford University Press.

---------. 2005A Brief History of Neoliberalism. Oxford (UK): Oxford University Press.

---------. 2006aComment on commentaries. Historical Materialism, 14:157-166.

---------. 2006b. Space of Global Capitalism: Toward a Theory of Uneven Geographical Development. London (UK): Verso. 

Ito T, Rachman dan NF, Savitri L. 2011. “Naturalizing land disposession: A policy discourse analysis of the Merauke Integrated Food and Energy Estate.” A paper presented at the International Conference on Global Land Grabbing. Sussex University.

---------. 2014. “Power to make land dispossession acceptable: A policy discourse analysis of the Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), Papua, Indonesia.” The Journal of Peasant Studies, 41(1): 29-50.

Jacoby EH. 1961Agrarian Unrest in Southeast Asia. Bombay (IN): Asia Publishing House. 2nd ed., revised and enlarged.

---------. 1971Man and Land, the Essential Revolution. New York (US): Random House.

Landsberger HA. 1974Rural ProtestPeasant Movements and Social Change. London (UK): Macmillan Press. 

Landsberger, Henry A. dan Y. G. Alexandrov (1984) Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial. Jakarta (ID): CV. Rajawali.

Lefebvre H. 1974/1991The Production of Space. Oxford (UK): Blackwell. 

Kartodirdjo, S. 1973 Protest movements in rural Java : a study of agrarian unrest in the. Nineteenth and early Twentieth centuries. Singapore: Oxford University Press

---------. 1984. Pemberontakan PetaniBanten. 1988. Jakarta: Pustaka Jaya

Korver, APE. 1985. Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil. Jakarta: Grafiti Press.

Migdal JS. 1974Peasants, Politics, and Revolution. Princeton (UK): Princeton University Press

Marx K. 1976/1898Capital, Vol. One, trans. Ben Fowkes. Harmondsworth (US): Penguin Books.

Onghokham. 1991. Rakyat dan Negara. Jakarta: Sinar Harapan

Paige, J.M. 1988. Agrarian Revolution, Social Movement and Export Agriculture in the Underdeveloped World, London, Macmillan.

---------.  1988. “One, Two, or Many Vietnams? Social Theory and Peasant Revolution in Vietnam and Guatemala”, Global Crises and Social Movements, Artisan, Peasant, Populists and The World Economy, Colorado, Westview Press, halaman 115 - 179.

---------.  2004. Revolusi Agraria, Gerakan Sosial dan Pertanian Ekspor di Negara-negara Dunia Ketiga, Pasuruan, Pedati.

Pelzer, KJ 1985. Toen Keboen dan Petani: PolitikKolonial dan Perjuangan Agraria. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

---------.  1991. Sengketa agraria: pengusaha perkebunan melawan petani. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 

Perelman M. 2000The Invention of Capitalism: Classical Political Economy and the Secret History of Primitive Accumulation. Durham (US): Duke University Press.

Rachman NF. 2011Resurgence of Land Reform Policy and Agrarian Movements in Indonesia. PhD Thesis. California (US): University of California, Berkeley.

---------.  2012Land Reform dari Masa ke Masa. Yogyakarta (ID): Tanah Air Beta, bekerjasama dengan Konsorsium Pembaruan Agraria.

---------. 2012“Meninjau kembali teorisasi mengenai desentralisasi, Community Driven Development, dan Kapitalisasi Agraria”,  Jurnal Bhumi, 4(1): 2-23. 

---------.  2017. Panggilan Tanah Air. Cetakan ketiga. Yogyakarta: Insist Press.

---------.  2018b. Land Reform  dan Gerakan Agraria Indonesia

Rachman NF dan Savitri L. 2011. “Kapitalisme, Perampasan tanah global, dan agenda studi gerakan-gerakan agraria.” Jurnal Dignitas, 7(2). 

Rachman NF, dan Santoso A. 2013. “Gambar sebagai senjata. Memorabilia kalender-poster Tanah untuk Rakyat 1991.” Di dalam Yatmaka Y (ed.). Gambar Adalah Senjata. Penerbit: tanpa tempat dan tanpa tahun, halaman 134-155.  

Savitri LA. 2013. Korporasi dan Politik Perampasan Tanah. Yogyakarta: INSIST Press.

Tauchid, M. 1952. “Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan kemakmuran Indonesia. Jilid 1 dan 2. Jakarta: Tjakrawala.

Tjondronegoro SMP, Wiradi W (eds.). 1986. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia.

Webster, N (2002) Understanding the evolving diversities and originalities in rural social movements in the age of globalization. Rome: United Nations Research Institute on Social Development.

Wiradi G. 1985 “Ketenagakerjaan dalam Struktur Agraria di Pedesaan jawa”, dalam Peter Hagul (1985) Pembangunan Desa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (Jakarta: Rajawali Press)

---------. 1986. “Kepenguasaan tanah dalam perspektif transformasi struktural”. Makalah yang disajikan untuk Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) IV, LIPI, September 1986. Jakarta. 

---------.  1993. “Mengulas kembali Teori Chayanov”. Makalah yang disampaikan pada acara diskusi Ikatan Sosiologi Cabang Bogor, 12/6/1993.

---------.  2001Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Noer Fauzi (Peny.) Yogyakarta (ID): Insist Press and Pustaka Pelajar.

---------. 2004. Lagu Kebangsaan dan Nasionalismehttps://sajogyoinstitute.wordpress.com/2013/09/20/lagu-kebangsaan-dan-nasionalisme/ (unduh pada 4 April 2015) 

---------.  2009. Metodologi Studi AgrariaKarya Terpilih Gunawan Wiradi. Shohibuddin M (Peny.). Bogor (ID): Sajogyo Institute, bekerjasama dengan Departemen Sains, Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB, dan Pusat Kajian Agraria (PKA) IPB.

Wolf E. 1966Peasants. Englewood Cliffs, NJ (US): Prentice-Hall.

---------.  1969Peasant Wars of the Twentieth Century. New York (US): Harper and Row.

Wood EM. 2002The Origin of Capitalism. A Longer View. London (UK): Verso.

 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. 1981. Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1979Lubis TM, Abdullah (ed)Jakarta (ID): YLBHI.

---------.  1980. Langit Masih Mendung, Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1980. Lubis TM, Abdullah F (ed). Jakarta (ID): YLBHI bekerjasama dengan Sinar Harapan.

---------. 1981. Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1981Lubis TM, Abdullah F, Kusumah MW (ed)Jakarta (ID): YLBHI bekerjasama dengan Sinar Harapan.

---------.  1986. Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1982-1983. Kusumah MW et al. (eds). Jakarta (ID): YLBHI.

---------.  1987. Potret Keadilan Indonesia, Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1984-1985. Kusumah MW, et al. (ed). Jakarta (ID): YLBHI.

---------.  1989. Remang-remang Indonesia, Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1986. Baut PS (ed). Jakarta (ID): YLBHI.

---------.  1990. Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1989. Kusumah MW (ed). Jakarta (ID): YLBHI.

---------.  1990. Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1990. Ruswandi et al (ed). Jakarta (ID): YLBHI.

---------.  1991. Demokrasi Masih Terbenam, Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1991. Kusumah MW, et al. (ed). Jakarta (ID): YLBHI.

---------.  1992. Demokrasi di Balik Keranda, Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1992. Kusumah MW (ed). Jakarta (ID): YLBHI.

---------.  1993. Demokrasi Antara Represi dan Resistensi, Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1993. Kusumah MW (ed). Jakarta (ID): YLBHI.

---------.  1995. Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1994. Harman BK, et al. (ed). Jakarta (ID): YLBHI. 

---------.  1997. 1996 Tahun Kekerasan – Potret Pelanggaran HAM di Indonesia. Supriatma AMT (ed). Jakarta (ID): YLBHI.

Yapusham. 1995INDEX Pelanggaran HAM – YAPUSHAM, No. 1/1/95.

-----------------. 1996INDEX Pelanggaran HAM – YAPUSHAM, No. 2/2/96.

-----------------. 1997INDEX Pelanggaran HAM – YAPUSHAM, No. 3/3/97.




Catatan Akhir

[1] Fauzi dan Fidro (1995) mengumpulkan 27 karya tulis para aktivis yang bekerja membela kasus-kasus tanah di seantero Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Kesemuanya ditampilkan dalam Lokakarya Antar Wilayah Advokasi Kasus-kasus Tanah yang diselenggakan di Lembang, Bandung, 8-11 November 1993 oleh empat organisasi, yakni Yayasan Sintesa–Kisaran, Pos YLBHI Lampung–Bandar Lampung, Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Pedesaan (LPPP)–Bandung, dan Lembaga Kajian Hak-hak Masyarakat (LEKHAT)–Yogyakarta. Untuk mengerti lebih baik mengenai karakteristik perampasan tanah dan uraian penindasan dan penaklukan secara mendetail para periode 1990-an ini, saya juga anjurkan merujuk pada buku Fauzi dan Faryadi (1995) dan Harman dkk (1995).

[2] Kantor-kantor LBH di bawah naungan YLBHI itu ada di Medan, Padang, Palembang, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Ujung Pandang, Menado, dan Jayapura.

[3] Semenjak tahun 1991, istilah “laporan” diganti menjadi “catatan”. Tidak ada keterangan tertulis mengenai sebab-sebab hal ini. Dahulu di akhir tahun 1980-an, penulis pernah diberitahu oleh Paskah Irianto yang ikut bertanggungjawab untuk pembuatan buku-buku ini di YLBHI semenjak tahun 1990 sampai dengan 1994, penggantian itu untuk menghindarkan diri dari anggapan bahwa YLBHI “melaporkan”—suatu istilah yang waktu itu dinilai berkonotasi ada hubungan bawahan-atasan sehingga kurang setara. Sedangkan istilah “catatan” dinilai berkonotasi lebih independen. Khusus untuk edisi terakhir, yakni 1996, istilah “catatan” pada anak judulnya diganti menjadi “potret”.

[4] Buku James Scott, The Moral Economy of Peasant ini telah dipublikasi dalam bahasa Indonesia menjadi Moral Ekonomi Petani. Jakarta: LP3ES, 1985. 

[5] Buku klasik Jeffery M. Paige, Agrarian Revolution ini telah diterjemahkan menjadi Revolusi Agraria, Gerakan Sosial dan Pertanian Ekspor di Negara-negara Dunia Ketiga, Pasuruan, Pedati, 2004.

[6] Topik ini adalah bab dalam makalah Gunawan Wiradi (1986) “Kepenguasaan Tanah dalam Perspektif Transformasi Struktural.” Makalah yang disajikan untuk Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) IV, LIPI, September 1986. Jakarta. 

[7] Terbit sebagai buku Rachman (2018) Land Reform dan Gerakan Agraria Indonesia. Yogyakarta: Insist Press.

[8] Wiradi (1993) “Mengulas Kembali Teori Chayanov” adalah naskah yang pada mulanya makalah yang disampaikan pada acara diskusi Ikatan Sosiologi Cabang Bogor, 12/6/1993.

[9] Penelitian tentang MIFEE ini dijalankan oleh Sajogyo Institute, bekerja sama dengan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian – Keuskupan Merauke (SKP-KAME), dan Komunitas Perfilman Intertekstual (KOPI) 2012. Publikasi hasil penelitiannya antar lain Ito et al (2011, 2014), Rachman dan Savitri (2011), dan Savitri (2013).

[10] Apa yang dikemukakan Harvey ini merupakan ekspresi dari upayanya yang bersungguh-sungguh mengelaborasi konsep ruang (space) dalam ekonomi politik, ilmu sosial dan humaniora (Harvey 2003, 2005, 2006). Usaha ini pada mulanya dirintis oleh Henry Lefebrve, seorang filsuf Marxian dari Perancis, yang dalam karya klasiknya The Production of Space (1974/1991). de Angelis M. 2001. “Marx and Primitive Accumulation: The Continuous Character of Capital’s ‘Enclosures’.” The Commoner 2 (September) (available at www.thecommoner.org).


  

No comments:

Post a Comment