Mempelajari Keadilan Gender melalui Perjuangan-perjuangan Agraria Kaum Perempuan


Perjuangan untuk perubahan harus lah merupakan suatu perjuangan memperebutkan sumber daya dan sekaligus perjuangan memperebutkan arti. Dan keduanya harus dilakuakan dalam sejumlah arena – keluarga, komunitas dan Negara – dan melintasi ruang-ruang yang dibentuk kelas, kasta, agama, dan etnisitas, dan sebagainya[1]

(Bina Agarwal 1994:421).

 

Konsep keadilan jender (gender justice) sering diperlakukan sebagai konsep-konsep yang rumit yang untuk dipahami, dengan seperangkat alat-alat kerja yang harus diakrabi dan dipergunakan di dalam organisasi tempat kerja kita maupun kelompok-kelompok sasaran dari program/proyek organisasi kita. Kesulitan umum dari mereka yang lebih banyak bekerja di atas meja komputer di kantor-kantor dan di ruang-ruang latihan dan lokakarya, dari pada berinterkasi langsung dengan rakyat di kampung-kampung adalah mengaplikasikan semua yang dipelajari dari teks ke konteks, dari konsep yang abstrak ke realitas yang kongkrit, dan dari pola yang umum ke kejadian-kejadian yang khusus.

Naskah ini mengusulkan pembaca untuk secara sungguh-sungguh belajar dari para perempuan yang berjuang menghadapi kekuatan-kekuatan yang secara nyata telah dan terus akan mengubah hubungan kepemilikan, tata guna tanah, dan layanan alam yang telah mereka nikmati sebelumnya. Cerita-cerita mereka itu akan mampu memberikan pelajaran penting setidaknya tentang bagaimana perempuan didiskriminasi oleh beragam mekanisme dari dalam negara, pasar, maupun masyarakat hingga keluarga; (b) bagaimana perjuangan hidup keseharian para perempuan itu menghadapi diskriminasi dan eksklusi itu; dan (c) bagaimana aspirasi untuk diperlakukan adil dan setara itu diartikulasikan bersama dengan kepentingan-kepentingan lainnya di berbagai arena perjuangan yang beraneka-ragam. Lebih dari itu, dengan berinteraksi langsung dengan mereka secara berlanjut akan terbentuk suatu konstituensi. 

Kita harus memberi kesempatan cerita-cerita itu tampil dengan cara yang memadai sedemikian rupa sehingga sanggup memberdayakan diri kita dan meralat sikap rendah diri berhadapan dengan kuasa wacana yang bisa jadi melumpuhkan. Dari cerita mereka itu kita akan dapatkan rangkaian kejadian yang spesifik dan konkrit. Memang, diperlukan sikap mental yang tepat dan kerja analitik tertentu agar  tiap-tiap cerita kejadian yang khusus dan konkrit itu dapat menyediakan pelajaran yang umum dan abstrak.  Kerja analitik yang dimaksud agar bisa melihat yang umum dari yang khusus, dan yang konseptual dari yang abstrak (Lund 2014).   

         Ambil satu contoh, kita bisa belajar mengenai masalah hak milik perempuan atas tanah yang dialami perempuan Dayak Hibun di kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat (Siscawati 2013). Kepemilikan mereka atas tanah terancam hilang karena mekanisme hukum pertanahan yang dipraktekkan dan manajemen bisnis pekebunan sawit hanya mengenal laki-laki sebagai penyandang hak, subjek hukum.

         Ketika tanah mereka itu didaftarkan sebagai bagian dari plasma perkebunan kelapa sawit, maka tanah-tanah mereka itu dibentuk menjadi persil-persil kebun sawit yang disertifikatkan atas nama laki-laki. Untuk peserta perempuan, termasuk perempuan kepala keluarga (dahulu disebut janda, karena perceraian atau kematian), tidak bisa mendapatkan sertifikat atas tanah miliknya. Mereka harus mencari anggota keluarga mereka yang laki-laki (anak, saudara, bahkan ipar) untuk bisa mendaftar ke perkebunan sawit untuk mendapatkan sertifikat atas tanahnya. Karena peserta yang terdaftar atas nama laki-laki, maka segala sesuatu berkaitan dengan manajemen usaha plasma pun (seperti distribusi fasilitas yang disediakan seperti pinjaman benih, pupuk, dan lainnya) diberikan pada pemegang nama itu. Demikian pula untuk distribusi uang yang berasal dari hasil panen buah kelapa sawit. Para perempuan juga kehilangan akses langsung kepada sumber daya finanasial yang sesungguhnya adalah hak mereka. 

         Seorang perempuan Dayak Hibun mulai menyadari hal ini, dan beban hidup semakin bertambah ketika memikirkan bahwa tanah miliknya yang sudah menjadi persil-persil kebun kelapa sawit itu seharusnya diwariskan kepada anak perempuannya kelak.  Yang menghantuinya adalah pertanyaan bagaimana cara ia mewariskan tanah dan kebun sawit yang telah disertifikatkan atas nama laki-laki saudaranya kepada anak perempuannya. Hal ini ia sampaikan pada pertemuan kelompok tani yang memberinya ruang untuk menyampaikan masalah dan aspirasinya. 

            Melalui cerita-cerita demikian itu, akan mudah kita pahami signifikansi empat golongan argumen telah banyak beredar di sejumlah kalangan pengajar universitas, pembuat kebijakan pembangunan dan aktivis gerakan sosial mengenai mengapa hak katas tanah begitu penting bagi perempuan, yakni golongan argumen kesejahteraan, efisiensi, persamaan, dan pemberdayaan (Agarwal 1994, 2002, Cf. Carmen Diana Deere dan Magdalena Leon 2001). 

         Argumen pertama mengenai pentingnya tanah bagi perempuan adalah demi kesejahteraan perempuan. Hak atas tanah akan secara langsung bukan hanya menyejahterakan perempuan, tetapi juga anak-anaknya.  Dengan menyadari sepenuhnya fakta mengenai ketidak-adilan jender dalam distribusi manfaat, perbedaan laki-laki dan perempuan dalam membelanjakan pendapatan mereka, dan hubungan positif antara status gizi anak dan pendapatan yang dipegang oleh ibu, maka sesungguhnya resiko kemiskinan dan kebahagiaan fisik dari seorang perempuan dan anak-anaknya sesungguhnya bergantung pada apakah ia memiliki akses langsung pada pendapatan dan aset produkstif seperti tanah, dan bukan hanya akses yang diperantaraimelalui suaminya atau lelaki anggota keluarga lainnya  (Agarwal 1994:31).

         Selain untuk peningkatan kesejahteraan perempuan, hak-hak atas tanah yang lebih adil antara laki dan perempuan dapat pula meningkatkan efisiensi produksi. Inilah argument kedua. Golongan argumen ketiga dan keempat adalah  kesetaraan dan pemberdayaan.  Selain kesetaraan gender adalah suatu ukuran dari sebuah masyarakat yang adil dan progresif, kesetaraan dalam hak atas tanah juga adalah unsur penting dalam pemberdayaan perempuan.   Memberi perempuan hak atas tanah akan memberdayakan mereka secara ekonomi sekaligus menguatkan kemampuan mereka secara sosial dan politik. Jadi, dengan menjamin hak atas tanah akan meningkatkan kemampuan perempuan untuk tampil percaya diri di dalam proses pengambilan keputusan di dalam rumah tangga, komunitas kampung, di hadapan negara, maupun pasar.

 

Keadilan sebagai suatu cita-cita pejuang agrarian perempuan

            Mempelajari cerita-cerita dari para perempuan yang berjuang untuk hak atas tanah dan sumber daya alam juga akan membuat pembaca mudah untuk memahami arti penting jender sebagai suatu alat analitik. Jender memiliki dua bagian yang saling berhubungan namun dapat berbeda fungsinya secara analitik. Menurut Joan Wallach Scott (1986), pengertian jender memiliki dua proposisi, yakni (i) jender merupakan suatu pembentuk hubungan-hubungan sosial yang didasarkan perbedaan-perbedaan persepsi antar jenis kelamin; dan (ii) jender adalah suatu jalan utama untuk mengenali hubungan-hubungan kekuasaan. Anjuran Scott berguna bagi kita untuk mengungkap bagaimana konsep-konsep atau norma-norma yang telah diterima begitu saja secara universal, alamiah, doktriner, dan wajar, sesungguhnya merupakan hal yang dibentuk, bergantung pada situasi, dan berubah dari waktu ke waktu. Lebih dari itu, sesungguhnya perlu kita memeriksa cara-cara dimana identitas berbasis jender itu secara substantif dikonstruksi dan menghubungkannya dengan beragam aktivitas, organisasi sosial dan berbagai represntasi-representasi kultural yang memiliki kekhususan sejarah. Berarti, perubahan-perubahan dalam hubungan sosial selalu berhubungan dengan perubahan dalam representasi, namun dalam konteks untuk terjadinya perubahan kita bisa melihat sebaliknya: perubahan representasi mengakibatkan perubahan hubungan sosial. 

            Perjuangan perempuan untuk memperoleh pengakuan berujung pada strategi afirmatif yang menuntut negara mengunakan sumber dayanya (hukum, birokrasi, program, logistic, dsb) untuk menghentikan atau mengurangi diskriminasi yang dialami perempuan. Misalnya dalam urusan pensertifikatan tanah, pemerintah harus mengubah praktek yang tidak membolehkan perempuan memiliki setifikat tanah atas namanya sendiri, termasuk untuk perempuan kepala keluarga. Sehingga, dalam rancangan program redistribusi tanah, perempuan pun didaftar sebagai penerima hak katas tanah, dan bukan hanya sebagai pihak yang di atas namakan oleh kepala keluarga laki-laki.  

            Lebih dari itu, perjuangan perempuan musti lebih luas dari pada perjuangan untuk tujuan-tujuan pengakuan (struggle for recognition).  Nancy Frasser (1997, 2003) mengamati bahwa baik pada arena teori maupun pratek politik, semakin lama semakin menjadi jelas bahwa perjuangan untuk mendapatkan pengakuan (the politics of recognition) dengan politik redistribusi (the politics of redistribution) telah dan akan terus tampil sebagai dua pilihan perjuangan yang terpisah satu sama lainnya. Secara retorik, bisa saja kedua tujuan tersebut diartikulasikan dalam satu kesatuan, namun sesungguhnya ketika bekerja ke dalam arena Negara khususnya kebijakan apa yang akan disasar untuk diubah, dan dalam pembangunan konstituensi di dalam masyarakat, maka para pemimpin gerakan perjuangan menghadapi dilema untuk memilih apakah akan mengedepankan strategi-strategi afirmasi untuk mewujudkan pengakuan Negara untuk menguatkan identitas-identitas khusus dari konstituen yang dikembangkannya, atau strategi-strategi realokasi aset, kekayaan, kekuasaan dan sebagainya. 

Sesungguhnya, perjuangan keadilan jender sekarang ini membutuhkan baik politik pengakuan dan sekaligus politik distribusi, dan satu saja tidak cukup sama sekali. Sejumlah teori maupun praktek perjuangan politik redistributif tidak memberi perhatian pada diskriminasi atas kelompok-kelompok khusus, dan sebaliknya teori dan praktek gerakan perjuangan pengakuan identitas, tidak memberi perhatian pada perjuangan ketidakadilah ekonomi dan tuntutan-tuntutan redistribusi. Moto pokok yang diumumkan oleh Nancy Frasser adalah  no redistribution without recognition and no recognition without redistribution (Fraser 2003).

Memilih salah satu berarti mengabaikan yang lainnya. Bagaimana dilema ini dipahami keberadaannya, dan lebih jauh dari pada itu, bagaimana menyelesaikannya dilema itu dengan secara sungguh-sungguh memenuhi kondisi-kondisi yang mempersyaratkan keberhasilan penyatuan keduanya.  

            Lalu, bagaimana hal bisa dilakukan? Secara teoritis anjuran Nancy Frasser (2003) tentang keharusan berpartisipasi pada tingkat yang sejajar dengan yang lain atau diistilahkannya participation parity perlu lah dijadikan pegangan.  Dalam memperjuangkan hak perempuan atas tanah, kaum perempuan yang berkepentingan haruslah berpartisipasi dalam semua arena pengambilan keputusan pada tingkat dan mutu yang sama dengan lainnya. Bila belum berdaya untuk berpartisipasi, kita musti menyediakan jalan yang termudah untuk membuat mereka berdaya untuk tampil merepresentasikan kaumnya di dalam arena pengambilan keputusan di arena-arena komunitas, negara, dan pasar. 

            Banyak sekali penglaman menunjukkan  kesulitan membangun partisipasi perempuan. Frasser (2003:36) menganjurkan dua prakondisi yang menghambat partisipasi perempuan pada level dan mutu yang sama dengan laki-laki harus terus-menerus diwujudkan, yakni secara terus menerus mengurangi bentuk-bentuk ketergantungan ekonomi perempuan dan ketimpangan lain; dan  menghilangkan norma-norma yang secara sistematik menurunkan derajat kaum perempuan pada kategori yang tidak memungkinkannya memiliki status yang sama. 

            Cerita-cerita perjuangan kaum perempuan memberikan dasar pengalaman yang penting untuk dirujuk.  Contoh, perjuangan Mama Aleta Baun dari Molo, Timor Tengah Selatan (Romli 2012, Maimunah 2014). Aleta Baun adalah satu-satunya pemimpin adat perempuan dari masyarakat adatnya. Pentahbisannya sebagai pemimpin adat perempuan di awal tahun 2000 memberikan penanda baru bahwa perempuan dapat menjadi tetua adat. Norma umum bahwa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin adat telah dihapuskan. 

         Aleta Baun­ adalah seorang perempuan dari desa Netpala, kecamatan Molo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, telah berhasil mengatasi kesulitan yang dihadapi banyak perempuan pejuang tanah-air. Mama Leta, demikian orang-orang dekatnya memanggil dia, telah menjadi pemimpin gerakan orang-orang Molo mengusir PT. Timor Indah Marmer, dan perusahan pertambangan batu marmer lainnya, yang sebelumnya menguasai tempat suci orang-orang Meto. 

         Bagi ALeta Baun, seperti bagi orang-orang Naususu, “batu-batu” itu punya makna tersendiri. Bagi mereka, batu, air, pohon dan wilayah Fatu Naususu adalah tanah-air yang dipercayai adalah tempat asal-usul nenek moyang mereka. Tiap-tiap batu (fatu-kanaf), mata air (oe-kanaf), pohon besar (hau-kanaf) memiliki nama-nama yang merupakan nama-nama marga orang Meto. Mama Leta  dihadapkan pada banyak pertanyaan, gugatan, cemoohan selama melakukan penyadaran dari rumah ke rumah, kampung ke kampung hingga memimpin para lelaki tetua adat dan orang-orang Meto untuk menduduki kembali bukit-bukit batu, mengusir pekerja-pekerja perusahaan dari sana dan memprotes pemerintah di kantor-kantor mereka.

Aleta Baun menjadi pemimpin gerakan orang Molo menempuh jalan yang terjal, berlika-liku, dan mendaki. Berbulan-bulan semenjak tahun 1996, ia dihadapkan oleh pertanyaan, gugatan, hingga cemoohan, bukan hanya karena menjalani ia mempelopori kerja perjuangan tanah-air yang beresiko tinggi, tapi juga karena ia adalah perempuan, selama melakukan penyadaran dari rumah-ke-rumah, kampung-ke-kampung, hingga memimpin para lelaki tetua adat dan orang-orang Meto untuk menduduki kembali bukit-bukit batu, mengusir pekerja-pekerja perusahaan dari sana, dan memprotes pemerintah di kantor-kantor mereka.

         Melalui kepeloporan Alte Baun, para perempuan Molo yang lain pun aktif dalam gerakan. Satu yang mencengangkan adalah rangkaian aksi demonstrasi, dan pendudukan kamp pertambangan yang dilakukan bulan Juli tahun 2000, dimana partisipasi perempuan dalam aksi ini sangat mencolok, lebih dari separuh dari peserta aksi. Sebagaimana dicatat oleh Simatau dkkk (2001:67-68), pendudukan base-camp perusahaan selama sekitar sebulan oleh sekitar seribuan warga hanya mungkin dilakukan manakala para perempuan bukan hanya sebagai peserta aksi, juga  sebagai penjaga energi baik dalam segi makanan dan semangat perjuangan.  Lebih dari itu, dua dari delapan amaf (pemimpin adat) pun untuk pertama kalinya dijabat oleh perempuan, Johanje dan Olifa, keduanya menggantikan ayah mereka, dan penggantian ini ditunjuk oleh ayah mereka dan diterima oleh amaf lainnya, serta masyarakat Molo seluruhnya.  

         Cerita-cerita dalam buku ini dihadirkan secara sekilas disini untuk menunjukkan bahwa, status perempuan dalam perjuangan dapat berubah dan mengubah rute perjuangan.[2] Aleta Baum membangun partisipasi perempuan secara berkelompok dalam seluruh aktivitas akar rumput gerakan sosial di Molo untuk urusan menghentikan operasi dan konsesi pertambangan marmer yang menghabisi bukit-bukti batu “kawasan karst”, yang diyakini sebagai adalah tempat dimana mereka berasal, mengembangkan lahan pertanian organik secara berkelompok, hingga usaha-usaha bersama yang memungkinkan perempuan memiliki pendapatannya secara mandiri.  Pemulai perubahan itu, dan ini perlu diperhatikan tiap-tiap pelaku gerakan sosial dimanapun arena bekerjanya, adalah produksi ruang yang leluasa bagi perempuan, atau kelompok perempuan, untuk belajar, berpartisipasi, dan pada gilirannya tampil sebagai pemimpin dalam semua urusan gerakan, termasuk pengambilan keputusan dan pelaksanaan soal-soal yang menyangkut kepentingan praktis maupun strategis (Simatau dkk. 2001:70-71). Lebih dari itu, mutlak  pula memastikan agar terdapat representasi perempuan dalam proses-proses politik, termasuk Aleta sendiri yang kemudian menjadi anggota DPRD kabupaten Timor Tengah Selatan (2014-2019). 

 

Daftar Pustaka 

Agarwal, Bina. 1994. A Field of One's Own: Gender and Land Rights in South Asia. Cambridge: Cambridge University Press.

_____. 2002. Are We Not Peasants Too? Land Rights and Women’s Claim in India. New York: Seeds.

Deere, Carmen Diana and Magdalena Leon. 2001. Empowering Women. Land and Property Rights on Latin Amerika. Pitsburg: University of Pitsburg Press.

Fraser, Nancy. 1995. "From Redistribution to Recognition? Dilemas of Justice in a 'Postsocialist' Age." New Left Review 212:68-93.

_____. 1997. Justice Interruptus: Critical Reflections on the "Post-Socialist" Condition. New York: Routledge.

_____. 2003. "Social justice in the Age of Identity Politic: Redistribution, Recognition and Participation." in Redistribution or Recognition? A Political-Philosophical Exchange, edited by N. Fraser and A. Honnet. London: Verso.

Lund, Christian. 2014. “Of What is This a Case? Analytical Movements in Qualitative Social Science Research”. Human Organization 73(3):224-234.

Romli, Mohamad Guntur. 2012. ”Aleta Baun: Menyusui Batu dan Mengasuh tanah” Jurnal Perempuan, edisi No. 58.  http://jurnalperempuan.com/2012/04/aleta-ba’un-menyusui-batu-dan-mengasuh-tanah/ (akses terakhir 16 September 2012)

Scott, Joan W. 1986. "Gender: A Useful Category of Historical Analysis." The American Historical Review91:1053-1075.

Simatauw, Meentje, Leonard Simanjuntak, dan Pantoro Tri Kuswardono. 2001. Gender dan Pengelolaan Sumber Daya Alam: Sebuah Panduan Analisis. Kupang: Yayasan Pikul.

 



[1] Teks aslinya adalah: Struggle for change thus has to be both a struggle over resources and a struggle over meanings. And it has to be conducted in several different arenas – family, the community, and the State – and across the lines drawn by class, caste, religion, ethnicity, and so on.

[2] Para aktivis gerakan sosial mengenal dengan baik cerita keberhasilan mama Aleta dan para perempuan pejuang tanah-air orang Molo, yang sudah ditulis dalam buku, jurnal, liputan wartawan surat kabar, komik kartun, hingga film.  Liputan surat kabar misalnya, Hadriani P, “Kartini Pegunungan Molo”Koran Tempo, 7 November 2007; Fidelis E Satriastanti, “The Unfinished Story of 'Indonesian Avatar' Aleta Baun”, The Jakarta Globe 24 Maret 2012. Brigita Isworo Laksmi “Aleta Baun, Perempuan yang terus berjalan”, Kompas, 11 Maret 2012. Komik berjudul “Semangat Tanpa Batas” (2012) diproduksi oleh Serrum. Enelitian: STOS, Direktur Seni: MG Pringgotono; Ilustrasi: Eko S. Bimantara, Amy ‘Simonyetbali’ Zahrawan; Arief Atto; Desain dan layout: Ronald. Komik ini dipamerksn pada “About a Story of Molo” yang diselenggarakan oleh STOS dan Serrum, pada Goete Haus, 22-26 Februari 2012. Film berjudul “Aleta Baun” (2008) diproduksi oleh Gekko Films, bekerjasama dengan Asia Indigenous Peoples' Pact (AIPP), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Tebtebba and the Asian Indigenous Women's Network (AIWN). Direktur: Melly Nurmawati
; Cerita: Melly Nurmawati, Ridzki Rinanto Sigit and Devi Anggraini.

No comments:

Post a Comment