Krisis Pengurusan Kolektif Sumber Daya


Dimuat sebagai opini dalam Kompas.id 
10 Januari 2020  

https://www.kompas.id/baca/opini/2020/01/10/krisis-pengurusan-kolektif-sumber-daya 

 

Noer Fauzi Rachman 

Krisis sosial-ekologi keberlanjutan aneka ragam pengurusan kolektif atas sumber daya bersama di banyak kampung disebabkan oleh ekspansi kapitalisme sebagai suatu sistem produksi yang dominan saat ini. 

Sekitar tiga bulan lalu tokoh utama pemimpin Dayak Iban dari Sungai Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, menerima penghargaan Equator Prize dari PBB (Kompas, 28/9/19). Dua bulan sebelumnya mereka menerima penghargaan Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Republik Indonesia (Kompas, 11/7/2019). Mereka secara kolektif berhasil mengurus 7.660 hektar wilayah adat, terbebas dari ancaman perambahan dan ekspansi konsesi pertambangan, kehutanan, dan perkebunan, dan dengan pengetahuan, kecerdasan, kearifan lokalnya berhasil melanjutkan layanan ekologisnya untuk kehidupan komunitasnya. 

Penghargaan ini melahirkan pertanyaan penulis: Siapakah yang mendokumentasikan, mengodifikasikan dan meneorikan pengurusan kolektif orang-orang kampung atas sumber daya bersama di seantero Nusantara?

 

Sumber daya bersama yang dimaksud di sini dapat mencakup segala sumber daya yang ada dalam danau, hutan, sungai, laut, atmosfer, yang kesemuanya bersifat alamiah, atau yang ada dalam alam-alam yang dibuat manusia, seperti sistem irigasi, tanah adat, situ buatan, tanah penggembalaan, permukiman, lainnya. Pengurusan kolektif ini menjamin akses orang-orang kampung atas sumber daya bersama tertentu itu dan terbentuk secara sosial ekologi semenjak dahulu, dan pemanfaatnya memiliki cerita yang dapat menjadi pembenar atas kedudukan sebagai penyandang hak akses bersamanya itu. 

Akses adalah kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu dan eksklusi adalah lawan sebaliknya dari akses, yakni kemampuan membatasi pihak-pihak lain untuk memperoleh manfaat dari sesuatu itu (Jesse Ribot and Nancy Peluso, 2003, A Theory of Access; dan Derek Hall, Philip Hirsch, and Tania Li, 2011, Powers of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia).

 

Krisis pengurusan kolektif 

Orang-orang kampung yang meneruskan dan mengembangkan pengurusan kolektif atas sumber daya bersama menyadari bahwa pengetahuan kecerdasan, dan kearifan lokal mereka telah didiskriminasi. Ironisnya pun, alih-alih meneruskan, kebanyakan pemuda/pemudi calon pemimpin generasi penerus merasa rendah diri, dan meninggalkan pengetahuan kecerdasan, dan kearifan lokal itu. Sebagian kecil saja dari mereka ini bisa menjangkau pendidikan di perguruan tinggi, sebagian kecilnya yang berhasil justru meninggalkan kampung halaman, berprofesi di kota-kota. 

Pengurusan kolektif atas sumber daya bersama kini dalam situasi terancam kepentingan dan kekuatan korporasi dan elite politik penyokongnya. Misalnya akibat dimasukannya lahan pertanian perladangan, hutan adat, padang rumput, rawa gambut, danau, pantai, dan lainnya, ke dalam konsesi-konsesi pertambangan, kehutanan dan perkebunan, atau proyek-proyek infrastruktur pemerintah. Konsesi-konsesi itu bermula dari lisensi pemerintah (pusat dan daerah) untuk perusahaan-perusahaan swasta. 

Konsesi itu bagian hulu dari sirkuit komoditas global, mulai dari penguasaan tanah dan sumber daya alam, sistem produksi kapitalistik, sirkulasi rantai komoditas secara global, dan pada akhirnya itu membentuk konsentrasi kekayaan perusahaan-perusahaan raksasa, yang diperantarai oleh pembelian komoditas global yang meluas karena kemampuan teknologi memodifikasi hasrat dan daya beli konsumen. 

Ketika pemegang lisensi mengusir warga yang memiliki akses sebelumya atas sumberdaya bersama, terjadilah eksklusi atau land/resource grabbing oleh pemegang lisensi. Namun, ketika warga mempertahankan aksesnya, menolak penghilangan akses sumber daya bersama itu, melancarkan tindakan bertahan dan melawan tindakan eksklusi itu, serta mendelegitimasi klaim lawannya maka terbentuklah konflik agraria struktural, dan krisis sosial ekologi yang memorakporandakan kampung (Noer Fauzi Rachman, Panggilan Tanah Air 2017). 

Krisis keberlanjutan aneka ragam pengurusan kolektif atas sumber daya bersama ini disebabkan oleh ekspansi kapitalisme sebagai suatu sistem produksi yang dominan saat ini. Sebagai sistem produksi yang khusus, kapitalisme ini memberikan tempat hidup dan insentif bagi semua yang efisien, dan menghukum mati atau membiarkan mati hal-hal yang tidak sanggup menyesuaikan diri dengannya. Selanjutnya, di atas apa-apa yang telah dihancur-leburkan itulah dibangun sesuatu yang baru, yang dapat lebih menjamin keberlangsungan akumulasi modal melalui maksimalisasi keuntungan. 

Schumpeter (1944/1976) dalam Capitalism, Socialism and Democracy menyebut hal ini sebagai ”proses penghancuran yang kreatif”. Istilah ini dipakai oleh David Harveydalam Neoliberalism as Creative Destruction (2007) untuk menunjukkan bagaimana gagasan tentang keutamaan kompetisi untuk maksimalisasi keuntungan adalah bagian dari paham neoliberalisme sebagai suatu proyek kelas yang berkuasa untuk menciptakan kondisi yang cocok untuk akumulasi modal, termasuk dengan privatisasi sumber daya bersama ini. 

Kekuatan-kekuatan dalam negara bisa diperalat karena memiliki kuasa dan kewenangan yang tak tergantikan dalam membuat hukum perundang-undangan hingga menggunakan secara absah untuk mengerahkan kekuatan-kekuatan represif negara. 

Sesungguhnya, dipandang secara realistik dan kritis, negara berwajah ganda: bisa diandalkan untuk mendukung investasi korporasi mendapatkan hak dan akses ekslusif; atau mengerahkan kuasanya untuk mengakui, melindungi dan menguatkan hak, akses dan pengurusan kolektif atas sumber daya bersama yang disandang oleh orang-orang kampung secara kolektif. Sering kali, keduanya bersifat zero sum game, pilih yang satu, korbankan lainnya.

 

Perlu penyelamatan 

Jadi, ada kepentingan strategis untuk menyelamatkan pengurusan kolektif atas sumber daya bersama ini. Situasi ini mengantar kita untuk memikirkan apa yang dirintis Elinor Ostrom perempuan pertama peraih Nobel Ekonomi 2009, mengenai kelembagaan pengurusan common resource atau the commons (sumber daya bersama). Sumbangannya yang terpenting dikenal sebagai Ostrom’s Law (Hukum Ostrom) yang menyebutkan bahwa pengurusan sumber daya yang berhasil kerja dalam praktik, dapat berhasil pula dalam teori” (”A resource arrangement that works in practice can work in theory”). 

Sumber daya bersama ini dapat dimiliki oleh suatu komunitas sebagai kepemilikanbersama (common property), atau dimiliki pemerintah menjadi milik publik (negara), atau dimiliki perusahaan sebagai kepemilikan swasta (private), atau tidak ada kepemilikan siapa pun (open access). Ketika sumber daya bersama tidak dimiliki siapa pun, atau status kepemilikan atas sumber daya bersama ini secara de facto tidak berfungsi; sumber daya bersama ini merupakan sumber daya akses terbuka (open access resource).

Tidak ada hak pemilikan atas sumber daya, sumber daya bersama akan bebas dan terbuka dimanfaatkan siapa pun, tidak ada regulasi yang mengatur, akibatnya hak-hak pemilikan tidak jelas. Sumber daya bersama ini sering berhadapan dengan masalah penggunaan kepentingan pribadi yang berisiko semua pihak dirugikan. Sistem pengurusan bersama tidak cocok bagi pihak pemanfaat yang memiliki motif pencarian keuntungan, harus saling berlomba memanfaatkan sumber daya itu, yang berakibat semakin terbatasnya ketersediaan sumber daya, bahkan menghancurkannya. 

Akhir dari semua itu adalah lahirnya ’the tragedy of the commons’ (Hardin,1968), karena maksimalisasi keuntungan oleh warga elitenya. Timbul masalah penggunaan berlebih dan degradasi sumber daya bersama itu, misalnya perusakan sumber daya perikanan, panen kayu yang berlebihan, dan degradasi sumber daya air. Lebih jauh, mereka setuju pada perlunya pemegang kewenangan eksternal untuk menegakkan peraturan dan regulasi atas para pihak pengguna lokal, karena mereka tidak bisa mengatur diri mereka sendiri (Ostrom, 1999, ”Coping with the Tragedies of the Commons”). 

Kampung sebagai suatu kesatuan sosial ekologis yang menyejarah orang Indonesia perlu diselamatkan. Siapakah yang terpanggil untuk mengumpulkan, kodifikasi dan teoresasi pengetahuan, kecerdasan, dan kearifan lokal dalam pengurusan kolektif atas sumber daya alam bersama (common resource, the commons), memahami situasi krisis sosial-ekologi yang melanda mereka, dan atas dasar itu, disusun cara-cara baru penyelamatan pengurusan kolektif atas sumber daya bersama itu. 

 

(Noer Fauzi RachmanScholar Activist dalam Bidang Politik Agraria; Pengajar Psikologi Komunitas, Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran) 

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment