MEN-SIASAT-I POLITIK OTONOMI DAERAH DEMI PEMBARUAN AGRARIA

MEN-SIASAT-I OTONOMI DAERAH


Naskah Noer Fauzi dan Yando Zakaria (2000) "Mensiasati Politik Otonomi Daerah demi Pembaruan Agraria" adalah Bagian Pendahuluan, dari Mensiasati Otonomi Daerah: Panduan Fasilitasi Pengakuan dan Pemulihan Hak-hak Rakyat. Penulis: Noer Fauzi dan R. Yando Zakaria. Penerbit: Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan INSISTPress •Edisi I, Desember 2000. Bagian I, halaman 1 - 52.

 

Noer Fauzi Rachman dan R. Yando Zakaria

 

Abstrak 


Naskah ini berisikan uraian yang mendudukletakkan formula-formula politik otonomi daerah yang diwujudkan oleh berbagai produk hukum nasional semenjak agenda reformasi digulirkan. Uraian-uraian berikut ini dimaksudkan membekali pembaca dengan informasi dan analisis yang diharapkan dapat membuka cakrawala baru dalam upaya untuk menghadapi dan menangani perwujudan formula-formula politik otonomi daerah yang cepat atau lambat sedang dan akan terwujud.

Pertanyaan pokok yang melatarbelakangi analisa kritis yang disajikan di sini adalah:

  • Apa saja formula-formula otonomi daerah yang akan diwujudkan?
  • Apakah formula-formula tersebut mampu menjawab permasalahan yang dihadapi?
  • Bagaimana menghadapi dan menangani perwujudan otonomi daerah dalam rangka suatu rekonstruksi sosial yang menjamin pengakuan dan pemulihan hak-hak rakyat atas tanah dan sumberdaya alam yang menyertainya?



0. Pengantar

 

“Recognition of a person’s or group’s “rights” to a particular area needs a supreme authority to acknowledge and protect such rights. Thus land is at the heart of power and political determination and define both.” 
(Cristodoulou: 1990)



Dalam dua tahun belakangan ini terdapat dua kata yang paling terkenal, yakni KRISIS dan REFORMASI. Dua kata ini mencerminkan suatu kenyataan yang pada mulanya didahului oleh krisis yang sistemik dan menyeluruh sedemikian rupa sehingga dasar-dasar kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan ditata ulang kembali.  

 

Krisis utama saat ini adalah krisis legitimasi eksistensi Indonesia sebagai suatu negara  bangsa, yang dimulai dari bangkrutnya dominasi kekuasaan rezim Orde Baru di mana tiang-tiang penopang dan sendi-sendi yang menjadi tumpuannya telah runtuh dan tidak berfungsi lagi, sementara itu dinamika pembagian kekuasaan yang baru masih rentan dan belum terjamin dapat maju ke arah pelembagaan demokrasi yang mantap. 

 

Krisis fiskal Negara dan bencana ekonomik bagi masyarakat, yang berlangsung secara dramatik terutama sejak kuartal kedua 1997 dan telah ikut menyeret keluar Jenderal Soeharto dari kubangan kekuasaannya, memang telah membawa perubahan penting dalam urusan kenegaraan berupa terbukanya ruang yang sangat luas bagi berbagai golongan elit maupun rakyat jelata untuk menunjukkan kekuasaannya melalui jalan yang pada pokoknya merupakan unjuk penolakan dan perlawanan yang meledak serta tidak memberi tempat lagi pada kehadiran praktek-praktek dominasi yang dulu menjadi andalan rezim Orde Baru.

 

Meskipun demikian, krisis yang sama ternyata juga telah memungkinkan berlangsungnya pemanfaatan agenda reformasi nasional oleh badan-badan usaha raksasa yang kropos, berupa penggunaan dana publik secara besar-besaran untuk pemulihan hutang pengusaha sektor pribadi (swasta) yang jumlahnya beribu kali lipat dari alokasi keuangan untuk kompensasi dan pemulihan kerusakan kawasan hidup masyarakat beserta kerusakan sosial selama rezim Soeharto. 

 

Sebagaimana dapat kita temukan dalam retorika di media-media massa, pada umumnya banyak kalangan menolak:


  • Keabsahan dan pengakuan atas rezim yang lahir, bertumbuh dan hidupnya mendasarkan diri pada kekerasan dan pemilihan umum yang kotor.
  • Kekuasaan rezim yang merupakan persekutuan antara elit pemimpin negara, ABRI sebagai alat rezim kekuasaan dengan klaim stabilisator dan dinamisator, teknokrat dan teknolog sebagai perumus kebijakan ekonomi, birokrat sipil sebagai pelaksana kekuasaan, Lembaga Internasional Pemberi Hutang Pembangunan, dan konglomerat domestik sebagai mitra penguasa, serta lembaga Kepresidenan sebagai penentu utama.
  • Penindasan kebebasan dan hak sipil dan politik dengan melakukan depolitisasi dan menerapkan politik kekerasan, massa mengambang, serta mempraktikkan penaklukan dan memecah belah kekuatan politik masyarakat.
  • Penggunaan berbagai siasat politik bahasa seperti demi stabilitas, kebebasan yang bertanggungjawab, pembinaan politik, berbagai cap anti pembangunan, ekstrem kiri atau kanan, subversif, hingga anti pembangunan.
  • Paham pembangunan yang berpokokkan pertumbuhan ekonomi sebesar-besarnya dan menghasilkan kesenjangan, yang lebih banyak dinikmati oleh mereka yang memiliki akses dan kontrol terhadap kekuasaan dan/atau modal, seperti para pejabat birokrasi sipil dan militer, pengusaha besar, dan golongan profesi.
  • Politik pembangunan yang mengandalkan penanaman dan penumpukan modal skala raksasa pada sektor-sektor pokok ekonomi yang terutama dibiayai oleh hutang luar negeri yang telah gagal membangun modal dalam negeri sebagai jaminan dari keberlanjutan pembangunan.

Secara retorik, saat ini banyak kalangan dengan mudah merumuskan kondisi negatif yang ingin ditolak, namun sulit sekali merumuskan jawaban positif-konkret dari apa yang secara umum disebut REFORMASI.

Dari berbagai retorika politik dan akademik semenjak 1998, terkesan adanya perbedaan pandangan mengenai makna istilah reformasi itu. Setidaknya adalah tiga macam pengertian yang terkemuka:

  1. Reformasi adalah perbaikan yang dilaksanakan secara bertahap, “evolusioner”, gradual, dan konstitusional (ini versi pemerintah Habibie).
  2. Reformasi, “secara substansial” adalah sama dengan revolusi.
  3. Reformasi pada dasarnya memang bukan revolusi, tetapi dalam aspek-aspek tertentu bernuansa “revolusioner”, bukan sekadar perbaikan tambal sulam.

Dalam literatur ilmu sosial, terdapat beberapa kriteria untuk dapat membedakan makna konsep-konsep “evolusi”, “revolusi”, “reformasi”, dan istilah lainnya yang berkaitan dengan itu. Dari segi teori, tafsiran yang pertama tersebut di atas adalah rancu! Suatu perbaikan yang dipersiapkan secara bertahap, “evolusioner”, gradual, terencana, konstitusional, itu bukan reformasi! Itu adalah apa yang disebut gerakan “reformismReformism adalah suatu rekayasa sosial yang pada hakikatnya bertujuan mempertahankan status quo, tetapi dengan kedok pembaruan. Revolusi adalah pembongkaran semua nilai, termasuk nilai-nilai dasar dari tata sosial yang ada. Implikasinya adalah pembaruan struktur, bukan sekadar pembaruan fungsi. Reformasi juga berusaha membongkar nilai-nilai, tetapi tidak semua (dan bukan nilai dasarnya) melainkan hanya selected aspects. Reformasi dibedakan dari istilah rekayasa sosial (social enginering), karena rekayasa sosial cenderung menerima nilai-nilai sosial yang ada. Sedangkan reformasi cenderung menolak (walaupun hanya sebagian) nilai-nilai tersebut. Diangkatnya istilah reformasi total merupakan pilihan yang tepat. Artinya, sekalipun total, namun tetap dalam batas-batas pengertian reformasi.

Di dalam era “reformasi”, senantiasa ada kontes ide-ide yang merupakan wujud ekspresi dari kepentingan macam-macam golongan, termasuk golongan yang sebenarnya anti-reformasi. Tidak ada jalan lain kecuali kita mengkritisi setiap ekspresi ide-ide tersebut. W. Bello dkk. (1994), mengingatkan bahwa: 

 

Apa yang biasanya terjadi adalah suatu proses sosial yang agak rumit di mana ideologi menjembatani antara kepentingan-kepentingan dengan kebijakan. Suatu ideologi adalah sistem kepercayaan, seperangkat teori, kepercayaan, dan mitos dengan sejumlah pertalian di dalamnya yang berupaya menguniversalkan kepentingan suatu sektor sosial tertentu kepada masyarakat seluruhnya.”

 

            Tulisan ini hendak mengevaluasi secara kritis salah satu agenda reformasi nasional yakni Otonomi Daerah. Analisisnya akan menggunakan suatu kerangka yang dalam dunia akademik, dikenal sebagai suatu aliran pikir yang disebut Critical Legal Studies (CLS).  Sebagaimana dikemukakan oleh Ifdhal Kasim (1999), 

 

Kalangan CLS berangkat dari titik tolak yang berbeda dengan teori hukum liberal, bahwa bagi mereka "law is as negotiable, subjective and policy-dependent as politics." Menurut kalangan CLS  tidak mungkin memisahkan politik dan pilihan-pilihan etik dengan hukum berdasarkan argumen obyektivitas dan netralitas hukum, sebagaimana dikembangkan oleh teoretisi hukum liberal. Dengan mengemukakan pendirian ini, kalangan CLS ingin mengedepankan analisis hukum yang tidak hanya bertumpu pada segi-segi doktrinal semata – yang mengandalkan metoda deduktif (lewat silogisme logika formal), tetapi juga dengan mempertimbangkan berbagai faktor di luar doktrin hukum seperti pengaruh-pengaruh faktor sosial-politik dan ekonomi dalam proses pembentukan dan aplikasi (interpretasi) hukum. 

Dalam pandangan CLS, faktor-faktor yang disebutkan di atas sangat terkait dan berpengaruh baik dalam proses pembentukan hukum (law making)  maupun dalam aplikasinya dalam kasus-kasus konkret (law application). Hukum bukanlah ranah yang esoterik dari wacana moral, ekonomi, dan politik pada umumnya. Dengan titik tolak seperti ini tampak sangat sulit untuk membayangkan suatu netralitas dan obyektivitas hukum; apakah dalam proses pembentukannya maupun dalam interpretasinya. Jauh lebih dapat diterima memandang hukum sebagai suatu produk yang tidak netral; karena senantiasa ada kepentingan-kepentingan tersembunyi yang difasilitasi oleh hukum.

Dengan kata lain, menjadi penting dipahami bagaimana proses-proses pembuatan kebijakan hukum ternyata sangat rentan dipengaruhi oleh prosedur dan pilihan-pilihan legislatif; yang keduanya tidak bisa dilepaskan dari sistem pembuatan hukum di sebuah negara yang pada dirinya bersifat sarat nilai karena melibatkan proses perebutan kepentingan di dalam masyarakat dan bagaimana konflik-konflik yang ditimbulkannya diselesaikan.

 

Dengan cara pandang itulah, tulisan ini hendak mengkaji  salah satu agenda Reformasi Nasional, yang dinamakan “Otonomi Daerah”, yang sesungguhnya merupakan penataan kembali hubungan kewenangan pemerintahan Pusat dan Daerah. Uraian-uraian selanjutnya dimaksudkan membekali pembaca dengan informasi dan analisis yang diharapkan dapat membuka cakrawala baru dalam upaya untuk menghadapi dan menangani perwujudan formula-formula politik otonomi daerah yang cepat atau lambat sedang dan akan terwujud. 

 1. Awal Reformasi Politik Otonomi Daerah

Apa yang disebut sebagai otonomi daerah atau penataan kembali hubungan Kewenangan antara Pemerintahan Pusat dengan Pemerintahan Daerah, secara legal dimulai dari keputusan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat di pengujung tahun 1998 lalu. Meski lahir di tengah kontroversi pro dan kontra serta diwarnai tragedi “Jembatan Semanggi Berdarah”, berbagai keputusan Sidang Istimewa itu lalu disambut optimis berbagai pihak sebagai langkah awal kehidupan Bangsa Indonesia yang baru. Salah satu keputusan penting itu adalah lahirnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Ototomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam TAP MPR RI No. XV/MPR/1998 tersebut, khususnya dalam bagian Menimbang, antara lain dinyatakan:

“bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan melalui otonomi daerah; pengaturan sumber daya nasional yang berkeadilan; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”

dan,

“bahwa penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional; perimbangan keuangan pusat dan daerah belum dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan pemerataan”.

            Atas dasar itu, TAP MPR RI No. XV/MPR/1998 itu memutuskan untuk menetapkan bahwa (Pasal 1): Penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; (Pasal 2) Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokratisasi dan memperhatikan keanekaragaman daerah; (Pasal 3, ayat 1) Pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional antara pusat dan daerah dilaksanakan secara adil untuk kemakmuran masyarakat daerah dan bangsa secara keseluruhan, dan (ayat 2) Pengelolaan sumber daya alam dilakukan secara efektif dan efisien, bertanggungjawab, transparan, terbuka, dan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang luas kepada pengusaha kecil, menengah dan koperasi; (Pasal 4) Perimbangan keuangan pusat dan daerah dilaksanakan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografis, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan masyarakat daerah; (Pasal 5) Pemerintah Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan; (pasal 6) Penyelenggaraan otonomi daerah; Pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan; dan Perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka mempertahankan dan memperkukuh Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas kerakyatan berkesinambungan yang diperkuat dengan pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan masyarakat. Seluruh ketentuan ini, sebagaimana yang dikemukakan Pasal 7, diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.

            Ketetapan MPR RI No. XV/MPR/1998 ini sendiri tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan TAP MPR RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara, yang pada hakikatnya:

“merupakan pernyataan kehendak rakyat untuk mewujudkan pembaruan di segala bidang pembangunan nasional, terutama bidang-bidang ekonomi, politik, hukum, serta agama dan sosial budaya”. 

Dalam bagian Bab II butir B, dinyatakan bahwa:

“Tatanan kehidupan politik yang dibangun selama tiga puluh dua tahun telah menghasilkan stabilitas politik dan keamanan. Namun demikian, pengaruh budaya masyarakat yang sangat kental corak paternalistik dan kultur neofeodalistiknya mengakibatkan proses partisipasi dan budaya politik dalam sistem politik nasional tidak berjalan sebagaimana mestinya. (…) Kekuasaan eksekutif yang terpusat dan tertutup di bawah kontrol lembaga kepresidenan mengakibatkan krisis struktural dan sistemik sehingga tidak mendukung berkembangnya fungsi berbagai lembaga kenegaraan, politik, dan sosial secara proporsional secara optimal. Terjadinya praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme di masa lalu adalah salah satu akibat dari keterpusatan dan ketertutupan kekuasaan. (…) Mekanisme hubungan pusat dan daerah cenderung menganut sentralisasi kekuasaan  dan pengambilan keputusan yang kurang sesuai dengan kondisi geografis dan demografis. Keadaan ini menghambat penciptaan keadilan dan pemerataan hasil pembangunan dan pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. (…) Pengembangan kualitas sumber daya manusia dan sikap mental serta kaderisasi pemimpin bangsa tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pola sentralistik dan neofeodalistik mendorong mengalirnya sumber daya manusia yang berkualitas ke pusat sehingga kurang memberi kesempatan pengembangan sumber daya manusia di daerah. Akibatnya terjadi kaderisasi dan corak kepemimpinan yang kurang memperhatikan aspek akseptabilitas dan legitimasi”.

Dalam bagian Bab IV butir B, antara lain dinyatakan pula bahwa:

“penanggulangan krisis di bidang politik bertujuan untuk membangun kehidupan politik yang demokratis dan stabil dengan sasaran menegakkan kembali secepatnya wibawa dan legitimasi pemerintah, didukung oleh partisipasi dan kepercayaan rakyat, serta menciptakan suasana yang kondusif guna terjaminnya ketenangan, ketenteraman dan ketertiban masyarakat luas baik di perkotaan maupun di pedesaan” 

dan, 

“pembuatan undang-undang politik yang sesuai dengan dan mendukung proses demokratisasi”.

Disebutkan pula bahwa: 

“pelaksanaan Reformasi di bidang politik ditujukan pada usaha penegakan kedaulatan rakyat sebagai jalan pemecahan krisis nasional di segala bidang dengan skala prioritas”.

Agenda-agenda yang harus dijalankan dalam Reformasi politik ini adalah, antara lain, (a) Menegakkan kedaulatan rakyat dengan memberdayakan peranan pengawasan oleh lembaga negara, lembaga politik, dan lembaga kemasyarakatan; (b) Menghormati keberagaman asas atau ciri, aspirasi dan program organisasi sosial politik, organisasi kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan Pancasila; dan (c) Pembagian secara tegas wewenang kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Dua undang-undang baru yang merupakan penjabaran TAP MPR RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara; dan TAP MPR RI No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang secara sekaligus mengganti Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa; serta Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah untuk menggantikan Undang-undang No. 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah-daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. 

2. Lahir di Tengah Kontroversi

             UUPD No. 22 Tahun 1999 dan UUPKPD No. 25 Tahun 1999 dapat dikatakan lahir di tengah kontroversi pro dan kontra. Golongan yang menolak proses penyusunan dan pembahasan kedua rancangan undang-undang tersebut setidaknya ada dua alasan pokok yang jadi latar belakang penolakan itu. Pertama, alasan substantif (masih banyak hal yang perlu pendalaman lebih jauh sehingga waktu pembahasan yang terkesan sempit dan terburu-buru dianggap kurang pada tempatnya menimbulkan kecurigaan tertentu); dan kedua, lebih merupakan alasan politis (yang menganggap DPR dan pemerintahan transisi yang terlibat dalam perencanaan dan pembahasan tidak legitimate, sehingga terlalu riskan dibiarkan untuk memutuskan persoalan yang dapat dikategorikan teramat penting itu). Bagi yang pro, tentu berlaku pandangan yang sebaliknya, seperti ‘keharusan untuk segera melahirkan kedua undang-undang itu’ adalah untuk memanfaatkan ‘momentum semangat reformasi yang ada di Dewan sekarang ini’, yang ‘belum tentu tetap terjaga pada Dewan hasil Pemilu 1999 mendatang’.

            Toh proses penggodogan terus berlanjut. Pada akhirnya DPR RI tetap menyetujui Rancangan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang. Pada tanggal 4 Mei 1999 pun Presiden B.J. Habibie membubuhkan tandatangannya, sebagai tanda pengesahannya terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Demikian pula dengan rancangan Undang-undang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Pada tanggal 19 Mei 1999 kembali Presiden B.J. Habibie mengesahkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Betapapun, pemberian otonomi daerah, entah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab atau yang bagaimanapun coraknya memang merupakan pekerjaan rumah pemerintah (pusat) yang belum pernah diselesaikan dengan sempurna. Kelambatan pemerintah dalam merealisasikan pemberian otonomi yang seluas-luasnya, bahkan otonomi khusus untuk daerah-daerah tertentu, dan juga kelambatan dalam merealisasikan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang lebih adil, akan membawa dampak merugikan baik secara ekonomi maupun (terutama) secara politik. Dalam hal yang disebut terakhir, secara politik dampak dari kelambatan itu sudah terlihat dari munculnya gejolak politik di berbagai daerah, seperti Aceh, Irian Jaya dan Riau, yang berakhir dengan semangat meninjau kembali keberadaannya dalam tatanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ada tuntutan yang relatif moderat seperti yang sekadar menginginkan otonomi nyata, dan ada juga tuntutan yang lebih keras, seperti keinginan menjadi negara bagian (federalisme). Bahkan ada juga tuntutan yang lebih ekstrem, yaitu keinginan untuk memisahkan diri (separatisme), seperti yang terjadi di Aceh, Papua dan Riau.

            Tuntutan itu beragam dalam tujuan, skala dan intensitasnya. Namun apapun perbedaan berbagai tuntutan itu, semuanya memiliki akar rasionalitas yang sama, yakni keinginan untuk keluar dari suasana ketidakadilan yang mereka alami dan rasakan selama ini, baik ketidakadilan ekonomi, politik, maupun ketidakadilan budaya. Persoalannya menjadi urgent karena tuntutan itu mudah berkembang menjadi sesuatu yang mengancam keutuhan integrasi nasional. Sebab pada daerah-daerah tertentu telah muncul kesadaran kuat bahwa berbagai ketidakadilan itu hanya bisa diselesaikan apabila mereka dapat memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terlepas dari sedikit atau banyaknya pendukung yang menuntut keadilan itu, apa yang disampaikan dan dituntut orang-orang elit daerah itu pantas dan perlu dihargai.

            Menurut Cornelis Lay (2000), berkembangnya wacana perdebatan publik maupun gerakan politik untuk mengoreksi ketimpangan hubungan antara pusat dan daerah itu menemukan momentumnya, paling tidak disebabkan oleh sejumlah hal. Masing-masing adalah (1) semakin terkuaknya ke permukaan berbagai keterbatasan dan persoalan yang melekat dan atau sebagai sampingan dari tata cara pengelolaan politik dan pemerintahan yang bercorak hypersentralis dalam 32 tahun terakhir ini. Hal itu sebenarnya, (2) merupakan refleksi dari sebuah kecendrungan global, yakni bangkrutnya model pengelolaan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik yang bercorak sentralis yang mendominasi model pembangunan di rata-rata negara Dunia Ketiga sejak tahun 1970-an; (3) terjadinya perubahan politik secara dramatis politik domestik Indonesia dari rezim otoritarianisme ke arah pemujaan terhadap rezim demokratik, yang berangkat dari tesis tentang perlunya penyebaran kekuasaan yang menjadi preferensi utama masyarakat; (4) gejala pergeseran itu berlangsung pula dalam lingkungn politik internal yang ditandai oleh memudarnya kapasitas pusat untuk mempertahankan model sentralistik sebagai akibat dari memudarnya kemampuan dua instrumen penegaknya, yaitu politics of sticks dan politics of carrot; (5) bangkit dan semakin meluasnya gerakan ethno-nationalism di berbagai daerah sebagai bagian dari kesadaran identitas kultural; dan (6) perubahan sistem pemilihan umum dan kepartaian yang telah menempatkan daerah sebagai pusat legitimasi aktivitas berpemilihan umum dan berpartai. Berbagai sebab itu telah mendorong desentralisasi, berupa penyerahan kewenangan yang luas dan nyata kepada daerah-daerah menjadi pilihan yang tidak terelakkan.

            Selesaikah masalahnya dengan diundangkannya UUPD No. 22/1999 dan  UUPKPD No. 25/1999 itu? Yang jelas, sebagaimana disebutkan dalam bagian Menimbang butir c. UUPD No. 22/1999, diakui:

“bahwa dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri, serta tantangan persaingan global, dipandang perlu menyelenggarakan Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia”. 

Dalam kaitannya dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, dalam bagian Menimbang butir c. dinyatakan:

“bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pembiayaan berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintahan”.

dan pada butir d. dinyatakan pula: 

“bahwa Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah-daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan serta adanya kebutuhan dan aspirasi masyarakat dalam mendukung otonomi daerah maka perlu ditetapkan undang-undang yang mengatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah”.

Jelaslah bahwa kedua undang-undang dimaksud memang berkeinginan untuk menjawab persoalan-persoalan aktual seperti telah dirumuskan di atas tadi. Apakah keinginan itu dapat tercapai atau tidak tentu perlu dibedah formula-formula yang dibuatnya sehingga dapat diperkirakan batas-batas kemampuannya menghadapi dan menangani masalah-masalah tersebut.

3. Tiga Jenis Pola Hubungan Pusat - Daerah 

            Dalam konteks negara kesatuan, hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia mendasarkan diri pada pola, yaitu Desentralisasi, Dekonsentrasi dan  medebewind (Tugas Pembantuan).

            Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka negara kesatuan. Pemerintah daerah dan badan legislatif daerah dapat membentuk badan-badan tersendiri dalam rangka pelaksanaan wewenang yang diberikan pemerintah pusat, seperti kelembagaan Dinas-dinas di Propinsi maupun Kabupaten. Dinas-dinas di Propinsi bertanggungjawab terhadap Gubernur, sementara Dinas-dinas di Kabupaten/Kota bertanggungjawab terhadap Bupati/Walikota. Dinas-dinas di Propinsi bukanlah merupakan atasan dari Dinas-dinas di Kabupaten/Kota. Jadi, pada dasarnya desentralisasi adalah pelimpahan atau penyerahan kekuasaan atau wewenang di bidang tertentu secara vertikal dari institusi/lembaga/pejabat yang lebih tinggi kepada institusi/lembaga/pejabat bawahannya sehingga yang diserahi/dilimpahi wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tersebut. Institusi/lembaga/pejabat yang menyerahkan kewenangan tidak dapat memberi perintah kepada pejabat yang telah diserahi kewenangan itu mengenai pengambilan/ pembuatan keputusan atau isi dari keputusan tersebut. Ada dua jenis desentralisasi, yakni desentralisasi teritorial, dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial adalah penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi) dan batas pengaturan termaksud adalah daerah;  sedangkan desentralisasi fungsional adalah pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu dan batas pengaturan termaksud adalah jenis fungsi itu sendiri, misalnya soal pertanahan, pendidikan dan sebagainya.

            Sedangkan apa yang disebut Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang oleh dari pemerintahan kepada Daerah Otonom sebagai wakil Pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah dalam kerangka negara kesatuan. Badan-badan yang dibentuk pemerintahan pusat untuk melaksanakan wewenang tersebut, mewakili kehadiran pemerintah pusat di daerah yang bersangkutan. Kelembagaan Kantor-kantor wilayah di Propinsi adalah wakil pemerintah pusat untuk melaksanaan wewenang pemerintah pusat di wilayah Propinsi, sementara itu, Kantor-kantor departemen adalah wakil pemerintah pusat untuk melaksanakan wewenang pemerintah pusat di wilayah kabupaten/kota. Kantor-kantor departemen di Kabupaten/Kota merupakan bawahan langsung dari kantor-kantor wilayah propinsi yang bersangkutan. Tentunya institusi/lembaga/pejabat yang melimpahkan kewenangan dapat memberi perintah kepada pejabat yang telah dilimpahi kewenangan itu mengenai pengambilan/pembuatan keputusan atau isi dari keputusan tersebut. Berbeda dengan desentralisasi, dekonsentrasi sebenarnya masih tetap dalam rangka sentralisasi. Sebab, terjadinya penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat atau aparatnya untuk melaksanakan wewenang tertentu dilakukan dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintahan pusat di daerah.

Tugas Pembantuan (Medebewind ) adalah keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah yang kewenangannya lebih luas dan lebih tinggi di daerah tersebut. Tugas pembantuan adalah salah satu wujud dari dekonsentrasi, akan tetapi pemerintah tidak membentuk badan sendiri untuk itu, yang tersusun secara vertikal. Sebagai suatu konsep dalam pemerintahan daerah, Medebewind  hanya dikenal dalam ketatanegaraan Belanda dan Indonesia, yang pada intinya adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa, dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan. 

        Jadi, pada hakikatnya, Tugas Pembantuan merupakan kewajiban-kewajiban untuk melaksanakan peraturan-peraturan yang ruang lingkup wewenangnya bercirikan tiga hal:

  1.  Materi yang dilaksanakan tidak termasuk rumah  tangga daerah-daerah otonom untuk melaksanakannya.
  2. Dalam menyelenggarakan pelaksanaan itu, daerah otonom itu mempunyai kelonggaran untuk menyesuaikan segala sesuatu dengan kekhususan daerahnya sepanjang peraturan yang mengharuskannya memberi kemungkinan untuk itu,
  3. Yang dapat diserahi urusan medebewind hanya daerah-daerah otonom saja, tidak mungkin alat-alat pemerintahan lain yang tersusun secara vertikal.

Dari tiga jenis hubungan Pusat – Daerah, jelas bahwa kedua undang-undang ini ditinjau dari perjalanan politik hukum pemerintahan daerah merupakan kemajuan. Hubungan Pusat – Daerah yang hendak ditekankan adalah hubungan Desentralisasi dan otonomi luas.

            Sepanjang masa pasca kolonial, Indonesia telah mengembangkan 5 (lima) periode politik hukum Pemerintahan Daerah (lihat bagan), yang kesemuanya merupakan tarik menarik antara ketiga jenis pola hubungan Pusat -  Daerah tersebut: yaitu Desentralisasi, Dekonsentrasi dan  medebewind (Tugas Pembantuan). 

Menurut Warsito Utomo (1999) tuntutan yang mendesak di dalam formulasi dan implementasi otonomi daerah adalah mencakup 3 (tiga) pokok permasalahan. Masing-masing adalah (1) sharing of power; (2) distribution of income; dan (3) kemandirian sistem manajemen di daerah. Jadi setidaknya ada ‘upaya perbaikan’ yang ‘dijanjikan’ paket peraturan perundang-undangan yang mengatur implementasi otonomi daerah ini -- sebagaimana dikemukakan oleh E. Koswara, salah seorang anggota Tim Penyusun RUU Pemerintahan Daerah. Bahkan, menurut Afan Gaffar, anggota Tim Penyusun lainnya, perangkat kebijakan itu telah disusun secara serius dan telah pula memperkenalkan paradigma baru dalam tata cara pengelolaan politik dan pemerintahan di negeri ini. Betapapun, sejumlah perubahan memang telah diupayakan terjadi dalam UUPD No. 22/1999. 

Menurut Gaffar (2000), beberapa ciri khas yang menonjol dari UUPD No. 22/1999 ini, adalah, pertama, UU ini berpihak – jika dapat dikatakan begitu -- pada upaya perwujudan demokrasi dan demokratisasi, sebagaimana yang terlihat dari mekanisme rekruitmen pejabat pemerintah daerah dan proses legislasi daerah. Kedua, undang-undang ini berupaya mendekatkan Pemerintah dengan rakyatnya, yang ditunjukkan dengan penetapan letak titik berat otonomi daerah pada daerah Kabupaten dan Kota dan bukan pada Propinsi. Ketiga, dianutnya sistem otonomi daerah yang ‘luas dan nyata’, menggantikan sistem otonomi daerah lama yang dirumuskan sebagai ‘nyata, dinamis dan bertanggungjawab’. Keempat, undang-undang ini juga tidak lagi menganut sistem otonomi bertingkat; dan kelima, ‘no mandate without funding’.


4. Tiga Ketegangan Utama

            Jika dicermati setting sosial dan politik yang menjadi semacam latar belakang perubahan kebijakan-kebijakan di maksud di atas setidaknya ada 3 (tiga) ketegangan yang ingin diselesaikan oleh kebijakan-kebijakan baru tersebut. Masing-masing adalah (a) ketegangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah; (b) ketegangan antara Eksekutif dan Legislatif di Daerah; dan (c) ketegangan antara negara dan rakyat (khususnya yang terwujud ke dalam satuan-satuan sosial yang disebut komuniti).

            Ketegangan pertama pada hakikatnya merupakan implikasi dari tata cara pengelolaan politik dan pemerintahan yang bercorak hypercentralistic selama lebih dari 30 tahun terakhir ini. Tata cara pengelolaan politik dan pemerintahan yang demikian itu, seperti yang secara ringkas dan padat dirangkum Lay (2000), menghasilkan ketergantungan daerah-daerah ke pusat, yang berjalan beriringan dengan hilangnya kemandirian daerah-daerah, dominannya instruksi pusat yang dibarengi dengan matinya inisiatif daerah; terjadinya uniformitas secara eksesif yang berjalan bersisian dengan mumudarnya kemajemukan dan marginalisasi kultur dan nilai-nilai daerah; terjadinya eksploitasi sumber daya daerah secara eksesif demi kepentingan pusat yang berjalan bersamaan dengan terjadinya kemunduran kehidupan sosial-ekonomi daerah; dan lain sebagainya.

Dalam konteks ketegangan hubungan pemerintahan pusat dan daerah ini, kekeliruan mendasar perangkat peraturan-perundangan masa lalu, sebagaimana yang tercakup dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (selanjutnya disingkat UUPD No. 5/1974), pertama-tama adalah karena menjadikan ‘daerah otonom’ sekaligus sebagai ‘daerah administrasi’. Dengan demikian UUPD No. 5/1974 menganut  sistem  fused model. Bersamaan dengan itu, menjadikan daerah otonom bertingkat-tingkat, yang secara operasional mendudukan Daerah Tingkat II menjadi bawahan Daerah Tingkat I, yang pada hakikatnya juga merupakan bawahan dari Pusat.

Konsekuensi dari ‘daerah otonom’ yang sekaligus juga ‘daerah administrasi’ adalah adanya Kepala Daerah yang sekaligus juga Kepala Wilayah yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat yang peranannya jauh lebih dominan daripada Kepala Daerah. Konstruksi inilah yang menjadikan sistem pemerintahan bercorak sentralistis, bahkan menjadi hypercentralistic. 

Menurut Lay, model pengelolaan politik dan pemerintahan yang hypercentralistic ini pada era reformasi menjadi kehilangan kapasitasnya sebagai akibat dari memudarnya kemampuan dua instrumen penegaknya. Masing-masing adalah politics of sticks dan politics of carrot. Hancurnya basis material negara sebagai akibat dari krisis ekonomi berkepanjangan dan KKN menyebabkan pusat kehilangan sumber daya finansial (material) untuk membeli dan mempertahankan loyalitas dan kepatuhan daerah kepada Jakarta. Sebuah syarat yang sejak sekian lama mudah dipenuhi Orde Baru justru karena kuatnya topangan penghasilan dari eksplorasi dan eksploitasi Sumber Daya Alam dan hutang luar negeri. Dengan demikian operasionalisasi politics of carrot menjadi mustahil untuk diwujudkan. Sementara itu, pengungkapan aneka pathology yang melekat dalam militer membuat tentara sebagai instrument politics of sticks kehilangan landasan moral, politis dan legitimasi untuk berfungsi sebagai kekuatan pemaksa kepatuhan dan loyalitas daerah. Bahkan, berbagai penyimpangan tentara terutama yang berkaitan dengan pelanggaran HAM telah menjadi energi pembenar bagi semakin kuatnya penentangan terhadap otoritas Jakarta.

Sementara itu, menurut Warsito Utomo, kebijakan politik sistem pemerintahan sebagaimana yang diinginkan oleh UUPD No. 5/1974, dan menurut hemat penulis juga terjadi dalam kasus UUPD No. 5/1979, dilandasi oleh sistem politik atau arahan politik Orde Baru yang berorientasi kepada 3 (tiga) tantangan – tepatnya kepentingan (pen.) – utama. Masing-masing adalah: (1) bagaimana membangun legitimasi sebagai penguasa; (2) bagaimana membangun stabilitas demi pembangunan; dan (3) bagaimana membangun kekuasaan sebagai pemerintah pusat yang mempunyai kewenangan di daerah-daerah. Untuk mencapai ketiga hal tersebut penerapan use of authority menjadi lebih besar, luas dan kuat daripada freedom for subordinate, melalui penerapan security approach.

Selain itu, pemisahan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif di daerah, baik pada Tingkat I maupun Tingkat II juga tidak terjadi. Kedudukan DPRD dicampuradukkan dengan kedudukan Kepala Daerah, yang berakibat DPRD tidak berfungsi, baik sebagai badan legislasi daerah maupun sebagai pengawas pemerintah daerah, karena Kepala Daerah tidak berada di bawah subordinasi DPRD, dan tidak bertanggungjawab kepada DPRD, tetapi bertanggungjawab kepada Presiden. Akibatnya DPRD baik di tingkat propinsi maupun kabupaten menjadi mandul. Pada titik perkembangan politik tertentu, pada akhirnya, memicu ketegangan antara eksekutif dan legislatif itu sendiri, yang pada hakikatnya didorong oleh rasa kekecewaan masyarakat yang kian membesar.

Dalam hal perimbangan keuangan Pusat dan Daerah, masalah pokok yang terjadi adalah tidak adilnya pembagian dan distribusi hasil yang diperoleh Negara dari berbagai kegiatan pengelolaan sumber daya alam yang ada. Porsi pemerintah pusat yang amat tidak berimbang dengan porsi daerah melahirkan realitas yang sulit dijelaskan dengan akal sehat. Fenomena kemiskinan justru meluas di daerah-daerah yang justru memiliki sumber daya alam yang kaya raya, seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya. Lebih dari itu, seperti dikemukakan Messi, Basri & Wahono (1998), kebijakan perimbangan keuangan Pusat-Daerah yang demikian itu melahirkan ketergantungan daerah yang tinggi kepada pusat, yang berakibat pada perputaran roda pembangunan daerah yang juga sangat tergantung pada mood pemerintah pusat. Pola distribusi sumber daya pembangunan yang demikian rupa sangat potensial berkembang menjadi pemicu disintegrasi nasional.

Menurut Revrison Baswir (1999), akibat sentralisasi pengelolaan keuangan negara yang sangat berlebihan, mencoloknya hegemoni Jakarta terhadap seluruh daerah di Indonesia menjadi sulit dielakan. Ini terjadi karena, pertama, Jakarta memang membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai strategi pembangunan neoliberal yang hendak dilaksanakannya; kedua, dalam mendesentralisasikan pengumpulan sumber-sumber penerimaan negara, Jakarta tidak dapat hanya memperhatikan aspirasi-aspirasi daerah kaya, tetapi harus memperhatikan pula aspirasi daerah-daerah miskin; dan ketiga, Jakarta tidak percaya bahwa pemerintahan daerah memang memiliki kemampuan mengelola uang negara dalam jumlah yang lebih besar daripada yang telah diberikannya.

Dalam hal pemerintahan desa, politik birokrasi yang sama pun juga berlaku. Pemerintahan desa adalah rantai akhir dan terbawah dari sistem birokrasi pemerintahan yang sentralistis itu. Selain itu, berbeda dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (selanjutnya disingkat UUPD No. 5/1979), desadilihat sebagai ‘… wilayah …’ dan bukan sebagai ‘… kesatuan masyarakat hukum …’. Akibatnya, terlebih lagi jika diingat adanya perbedaan yang mendasar tentang ‘rasa keadilan’ yang menjadi dasar penyusunan politik pemerintahan desa sebagaimana yang diinginkan oleh UUPD No. 5/1979 dengan desa, pengaturan sistem pemerintahan yang seragam pada tingkat komuniti tersebut lebih banyak mendatangkan mudarat ketimbang manfaatnya. Terutama jika dilihat dari kacamata kepentingan warga komuniti (baca: rakyat) itu sendiri.

Selain bersumber dari rasa keadilan yang berbeda, basis materil lain dari ketegangan Negara – Komunitas adalah soal adanya konflik yang berkenaan dengan property rights. Di satu pihak, negara bersikukuh bahwa alas hak bagi property rights itu bersumber dari hukum-hukum nasional yang bersifat formal dan uniform, sedangkan komunitas, di pihak lain, beranggapan sebaliknya, bahwa alas hak mereka adalah hukum adat dengan wilayah pemberlakuan yang amat lokal. 

Pemberlakuan UUPD No. 5/1979 menuntaskan penaklukan negara atas kelompok-kelompok masyarakat adat di Nusantara. Sebab, dengan pemberlakuan undang-undang tersebut masyarakat adat kehilangan haknya untuk menjadi subyek hukum dari berbagai hak yang bersumber dari hukum-hukum adat. Bisa diduga, dengan demikian, penyingkiran hak-hak masyarakat adat, terutama hak-hak agraria mereka, secara ‘legal’ melalui pemberlakuan undang-undang sektoral lainnya, seperti UUPA No. 5/1960; UUPK No. 5/1967; UU Tambang No. 11/67, dan lain sebagainya menjadi semakin mulus jalannya.


5. Formula Baru untuk Mengatasi Ketegangan Pusat dengan Daerah

Secara lebih rinci, perubahan-perubahan yang terjadi dalam hal mengatasi ketegangan pertama (ketegangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah), adalah, pertama, dalam perangkat peraturan-perundangan yang baru itu terdapat upaya untuk memisahkan posisi ‘daerah otonom’ dengan ‘wilayah administrasi’ (split model), yaitu menjadikan Daerah Otonom Kabupaten dan Daerah Otonom Kota sebagai daerah otonom murni dan tidak merangkap sebagai ‘Wilayah Administrasi’ (Pasal 4 ayat 2). Meski begitu, dengan sebagai alasan kepentingan koordinasi, Propinsi relatif tetap dalam posisi fused model. Artinya, di samping sebagai daerah otonom Propinsi juga sekaligus juga ‘daerah administrasi’. Karenanya pula Kepala Daerah di Propinsi sekaligus juga wakil Pemerintah Pusat.

Di samping itu, kedua, seperti telah disinggung tadi, daerah otonom tidak bertingkat-tingkat lagi. Hubungan antardaerah otonom, meski Daerah Propinsi juga merupakan ‘Wilayah Administrasi’, satu sama lainnya, yaitu antara Propinsi dan Kabupaten/Kota, tidak mempunyai hubungan sub-ordinasi. Dengan demikian, menurut Gaffar, dalam undang-undang yang baru ini sistem otonomi lama yang bersifat residual, sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 5/1974, tidak berlaku lagi. Dalam sistem yang lama itu, daerah-daerah yang lebih rendah menyelenggarakan urusan-urusan yang sifatnya residual, yaitu yang tidak diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Pejabat pemerintah yang lebih tinggi juga sekaligus merupakan atasan dari pejabat yang ada di daerah otonom yang lebih rendah. Sekarang, dengan kebijakan yang baru, Gubernur tidak secara otomatis menjadi atasan para Bupati dan Walikota. Yang menjadi kewenangan Propinsi adalah menyelenggarakan urusan-urusan yang sifatnya ‘lintas kabupaten dan lintas kota’.

Ketiga, di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dianut asas desentralisasi murni yang hampir mirip dengan prinsip devolution. Asas dekonsentrasi tidak dipergunakan lagi di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, kecuali di Daerah Propinsi. Asas tugas pembantuan (medebewind) dari Pemerintah Pusat, baik kepada Daerah Propinsi maupun kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, masih dimungkinkan dengan konsekuensi pembiayaan dari Pemerintah Pusat (dalam beberapa pasal). Meski begitu, dinyatakan pula, pelaksanaan otonomi daerah betapapun luas kewenangan yang diberikan pada daerah harus konsisten dengan konstitusi negara, sehingga dapat menumbuhkan hubungan serasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta tetap terjaminnya keutuhan negara kesatuan.

Keempat, status Kecamatan sebagai aparat dekonsentrasi beralih menjadi Perangkat Daerah Otonom Kabupaten dan Perangkat Daerah Otonom Kota (Pasal 1, butir m.). Pembantu Gubernur dan Pembantu Bupati/Walikota sebagai aparat dekonsentrasi dihapuskan.

Kelima, seperti telah disinggung, daerah Propinsi di samping berstatus sebagai Daerah Otonom juga merangkap sebagai Daerah Administrasi (Pasal 2). Dalam kedudukannya sebagai Daerah Otonom, Daerah Propinsi mempunyai kewenangan otonomi di bidang pemerintahan yang bersifat ‘lintas kabupaten dan kota’ (pasal 9 ayat 1) serta kewenangan dalam bidang pemerintahan lainnya yang tidak atau belum dilaksanakan oleh Daerah Otonom Kabupaten dan Kota (pasal 9 ayat 2). Sedangkan sebagai Daerah Administrasi menyelenggarakan kewenangan di bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dalam rangka dekonsentrasi (pasal 9 ayat 3).

Keenam, pemberian otonomi kepada Daerah tidak lagi didasarkan kepada banyaknya penyerahan urusan, melainkan kepada pemberian kewenangan yang luas untuk mengatur dan menyelenggarakan urusan di semua bidang pemerintahan, di mana pengaturan Kewenangan Daerah dianut prinsip ‘kewenangan otonomi formil’ (open and arrangement), yaitu dengan menetapkan bahwa Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain (Pasal 7). Adapun bidang lain yang dimaksudkan, seperti diatur dalam ayat (2) Pasal 7,  meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pendayaagunaan sumberdaya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional. Kewenangan inilah yang diatur lebih lanjut dalam PP No. 25/2000.

Ketujuh, dalam UUPD No. 22/1999 tidak ada lagi istilah titik berat otonomi/desentralisasi yang sering lebih ditafsirkan bernuansa kuantitatif daripada kualitatif, sehingga dalam implementasinya lebih banyak urusan diserahkan yang berupa kegiatan-kegiatan yang justru merupakan beban bagi daerah.

Kedelapan, kewenangan Daerah tidak hanya di wilayah daratan tetapi juga wilayah lautan, yang meliputi kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut 12 (duabelas) mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan (Pasal 10).

Kesembilan, pada dasarnya Daerah Kabupaten dan Daerah Kota diberi keleluasaan untuk menyatakan tidak atau belum mampu menyelenggarakan kewenangan di bidang pemerintahan tertentu (melalui prosedur bottom up), sehingga wewenang di bidang pemerintahan tertentu tersebut dapat menjadi wewenang Daerah Propinsi (Pasal 9), kecuali ada beberapa bidang pemerintahan tertentu yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja (Pasal 11 ayat 2).

Kesepuluh, Gubernur mempunyai kedudukan rangkap, baik sebagai Kepala Eksekutif Daerah maupun sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Sebagai Wakil Pemerintah Pusat Gubernur berperan sebagai pemelihara hubungan antara pusat dan daerah dalam rangka menjaga keutuhan negara kesatuan. Gubernur diarahkan untuk mendorong percepatan keberhasilan pelaksanaan otonomi di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Gubernur sebagai perwakilan pusat di daerah diserahi tugas dan fungsi tertentu, dan kerenanya dia berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagai Kepala Eksekutif Daerah, Gubernur bertanggungjawab kepada DPRD.

Kesebelas, pemberian otonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab pada daerah diikuti pula dengan sumber-sumber pendapatan daerah yang memadai. Artinya daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan daerahnya.

Keduabelas, Daerah mempunyai kewenangan yang cukup luas di bidang kepegawaian dan pengembangan sumber daya manusia. Kepada daerah Propinsi dalam rangka tugas dekonsentrasi diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan pelaksanaan administrasi dan pengembangan karier pegawai.

Ketigabelas, dalam rangka mengelola Kawasan Perkotaan, Pemerintah Daerah Kota dan atau Pemerintah Daerah Kabupaten yang wilayahnya berbatasan dapat membentuk Lembaga Bersama sebagai perangkat khusus yang dibutuhkan untuk menangani masalah-masalah perkotaan. Demikian juga, dalam kawasan pedesaan yang direncanakan dan dibangun menjadi kawasan perkotaan di daerah Kapupaten dapat dibentuk Badan Pengelola Pembangunan yang diperlukan untuk mengantisipasi perkembangan perkotaan di wilayah yang bersangkutan.

Keempatbelas, pengawasan yang bersifat intervensi pemerintah pusat sejauh mungkin dihindarkan, terutama pengawasan yang bersifat preventif, kecuali pengawasan represif terhadap peraturan-peraturan daerah yang dinilai bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi dan membahayakan keutuhan negara kesatuan. Dengan kata lain, Pemerintah (Pusat) tetap akan melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintah Daerah.

 

6. Formula Baru untuk Mengatasi Ketegangan Eksekutif dengan Legislatif

Sementara itu, dalam upaya mengatasi ketegangan antara eksekutif dan legislatif di daerah, ditetapkanlah: Pertama, bentuk pemerintahan daerah otonom dengan tegas memisahkan antara posisi DPRD dan Kepala Daerah, supaya tidak terjadi duplikasi dan kerancuan antara tugas eksekutif dan tugas legislatif; Kepala Daerah melakukan tugas di bidang eksekutif, dan DPRD di bidang legislasi. DPRD diberdayakan sedemikian rupa, sehingga benar-benar dapat melakukan fungsi legislasi dan pengawasan, serta sungguh-sungguh berperan sebagai penyalur aspirasi masyarakat. Berkaitan dengan perubahan peran di atas, seperti yang dikemukakan Gaffar, proses legislasi dan regulasi di daerah mengalami sejumlah perubahan pula. Semua Peraturan Daerah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Propinsi, Kabupaten, Kota tidak lagi harus disahkan oleh Pemerintah Pusat melalui Departemen Dalam Negeri. Begitu DPRD menyetujui sebuah rancangan Peraturan Daerah dan Gubernur/Bupati/Walikota mengesahkannya maka dengan sendirinya menjadi Perda, tidak lagi menunggu pengesahan dari Jakarta. Proses ini jelas berbeda sekali dengan mekanisme yang diberlakukan sebelumnya melalui UU No. 5/1974.

Kedua, pelaksanaan otonomi daerah diharapkan dapat menumbuhkan demokrasi, meningkatkan prakarsa, kreativitas, dan peranserta masyarakat, serta dapat menentukan keputusan sesuai dengan kepentingan daerahnya. Hal tersebut diwujudkan dalam pengaturan tentang susunan, kedudukan keanggotaan, hak-hak dan kewajiban-kewajiban DPRD, dan tentang syarat-syarat, proses pemilihan, pemberhentian, masa jabatan dan pertanggungjawaban Kepala Daerah.

Ketiga, penguraian pasal-pasal yang menyangkut mengenai DPRD dilebihdulukan daripada pasal-pasal mengenai Kepala Daerah. Hal ini menunjukkan bagaimana pemerintah (pusat) ingin mengedepankan kedaulatan ada di tangan rakyat, dengan mendudukan DPRD sebagai badan legislatif. 

Keempat, untuk lebih memberdayakan DPRD dalam pelaksanaan otonomi daerah, dalam UU ini terdapat penonjolan hak-hak dan kewajiban DPRD. Masing-masing adalah hak untuk (a) meminta pertanggungjawaban kepada Kepala Daerah atas pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah; (b) meminta keterangan pada Kepala Daerah atas suatu rencana kebijakan, atau akibat dari pelaksanaan satu kebijakan, atau atas suatu masalah yang menurut hukum dan atau etika yang berlaku termasuk dalam lingkup tanggung jawab Kepala Daerah; (c) mengadakan penyelidikan, termasuk meminta pejabat dan atau warga masyarakat yang diperlukan untuk memberikan keterangan tentang sesuatu hal demi kepentingan Daerah, masyarakat dan pemerintahan (hak subpoena).; serta wajib untuk (a) membina kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; (b) memajukan tingkat kehidupan rakyat di daerah berdasarkan demokrasi ekonomi; serta (c) memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindaklanjut penyelesaiannya. Selain itu DPRD dapat membela kepentingan Daerah dan penduduknya di hadapan Pemerintah, dan memperjuangkannya kepada DPR (hak petisi).

Kelima, syarat-syarat untuk menjadi Kepala Daerah lebih sederhana dan dapat diukur secara konkret. Proses rekruitmen Kepala Daerah sepenuhnya dilakukan oleh Daerah tanpa campur tangan Pemerintah Pusat, kecuali untuk calon Gubernur yang harus dikonsultasikan dulu kepada Presiden untuk mendapatkan persetujuan, mengingat kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat, di samping kedudukannya sebagai Kepala Eksekutif Daerah Propinsi; tata cara dan tata aturan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lebih memberikan kewenangan kepada DPRD.

Keenam, Kepala Daerah secara tegas dinyatakan bertanggungjawab pada DPRD, dan menyampaikan pertanggungjawabannya itu pada setiap akhir tahun anggaran. Kewajiban Kepala Daerah juga dinyatakan secara tegas. Keleluasaan untuk melakukan vrijbestuur sebagaimana dianut dalam pasal 81 UUPD No. 5/1974 tidak dianut lagi, karena keleluasaan itu dipandang terlalu berkuasa (overpowered), dan sangat rawan bagi penyalahgunaan wewenang.

Selain itu, ketujuh, UUPD No. 22/1999 mengatur pula masa jabatan Kepala Daerah juga dibatasi paling banyak 2 (dua) kali masa jabatan. Dan kedelapan, kemungkinan pemberhentian Kepala Daerah sebelum masa jabatannya berakhir juga terbuka lebar.

Menurut Gaffar, jika dibandingkan dengan pengalaman penyelenggaraan pemerintahan lama, sekarang ini DPRD menempati posisi yang sangat kuat dan setara dengan kekuasaan eksekutif. Untuk menjalankan perannya itu DPRD dibekali dengan sejumlah hak yang tentu saja kalau dijalankan dengan baik akan mengakibatkan lembaga tersebut mampu memainkan peranan yang sangat kuat dalam menciptakan check and balances dengan pihak eksekutif. Meski begitu semuanya terpulang kembali pada (anggota) DPRD itu sendiri, apakah dia mampu atau tidak memainkan peranan yang diharapkan oleh banyak warga masyarakat itu.

Bahkan, menurut Lay, secara konstitusional posisi DPRD sudah sangat advanced. Bergesernya politik lokal ke arah operasionalisasi ‘prinsip-prinsip parlementer’ merupakan fondasi yang sangat kuat bagi dewan untuk bertindak sebagai lembaga wakil rakyat yang mumpuni. Hanya saja, hal ini bisa dimentahkan oleh fakta bahwa anggota dewan memiliki tingkat pengetahuan dan pengalaman yang lebih terbatas, seperti pengetahuan dan pengalaman yang menyangkut teknik penyusunan anggaran, penyusunan Peraturan Daerah, pengawasan, penyelenggaraan konflik dan sebagainya

 

7. Formula Baru untuk Mengatasi Ketegangan Rakyat  dengan Negara 

Pembuat Undang-undang No. 22/1999 sangat menyadari bahwa Undang-undang No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa telah menimbulkan banyak masalah yang pada pokoknya menguatkan ketegangan antara negara dengan komunitas. Konsep desa (dan kelurahan) yang tercantum dalam UU Pemerintahan Desa No. 5/1979 memaksa pemerintahan daerah di luar Jawa mengubah struktur pemerintahan desa yang telah ada guna menyesuaikan dengan amanat UUPD 1979. Karena yang tercantum dalam  undang-undang ini adalah ‘desa’ maka pemerintah daerah menghilangkan kesatuan masyarakat hukum (Rechtsgemeenschap) yang dianggap tidak menggunakan kata ‘desa’, seperti Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang, Gampong di Aceh, Huta, Sosor dan Lumban di Mandailing, Kuta di Karo, Jorong di Sumatera Barat, Negeri di Sulawesi Utara dan Maluku, Kampung di Kalimantan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan, Temukung di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, Yo di Sentani Irian Jaya, dan lain sebagainya. Seterusnya, kesatuan masyarakat hukum tidak hanya secara formal berganti nama menjadi desa, akan tetapi harus pula secara operasional segera memenuhi segala syarat yang ditentukan oleh UU  No. 5/1979. Seperti telah disebut, upaya ini oleh Pemerintah Daerah di luar Jawa dan Madura dilakukan melalui program penataan kembali desa atau disebut pula dengan program regrouping desa untuk menuju apa yang kemudian disebut sebagai ‘desa orde baru’.

Dalam seting sosial ketegangan yang ketiga, Rakyat dengan Negara, UU mempunyai formula bahwa  penyeragaman desa yang dijalankan berdasar UU No. 5/1979 merupakan ‘kesalahan’. Setelah 20 tahun berlaku, barulah penyeragaman itu dianggap sebagai ‘kesalahan’. UU No. 5/1979 ini telah dicabut oleh UUPD No. 22/1999. 

“Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa …yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan desa tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan …perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul Daerah yang bersifat istimewa”.  

Demikian dinyatakan dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (huruf miring, pen).

Pada hakikatnya ingin direhabilitasi kedudukan dan peranan desa. Idenya ingin mendudukkan kembali desa -- atau yang disebut dengan nama lain -- terpisah dari jenjang birokrasi pemerintahan. Diakui dalam sistem pemerintahan nasional sebagai kesatuan masyarakat yang dihormati mempunyai hak asal-usul dan istiadat setempat. 

Tampak ada niat pembuat UUPD No. 22/1999 ingin memulihkan demokrasi di tingkat yang paling terendah, di mana unsur-unsur pokok demokrasi ada di Desa, seperti Badan Perwakilan Desa, yang berfungsi sebagai parlemen.

Namun, selanjutnya, UUPD No. 22/1999 menyerahkan penyelesaian ketegangan itu kepada pemerintahan daerah: pengaturan desa akan ditetapkan melalui Peraturan Daerah masing-masing. Diatur pula bahwa masing-masing peraturan daerah berkewajiban mengakui dan menghormati hak asal-usul desa tersebut.

Dalam pasal 93 UUPD No.22/1999 hanya disebutkan bahwa:

i.      Desa dapat dibentuk, dihapus dan/atau digabung dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat dengan persetujuan Pemerintah Daerah Kabupaten dan DPRD.

ii.     Pembentukan, penghapusan dan/atau penggabungan Desa sebagaimana dimaksud ayat (i), ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

Jadi, prospek pembebasan “Desa” dari birokratisasi, atau prospek perwujudan “Otonomi ‘Desa’”, masih bergantung dinamika pembentukan kebijakan di pemerintahan daerah kabupaten masing-masing. Lebih-lebih lagi, Pasal 99 merumuskan kewenangan desa mencakup: 

  1. kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa; 
  2. kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah; dan 
  3. Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten. 

Jadi, jelas sekali bahwa ketegangan antara negara dengan rakyat tampak dari definisi kewenangan ini, yang pada intinya antara kewenangan yang “tumbuh dari bawah” dengan tugas-tugas yang “berasal dari atas”. Ketegangan ini, dalam bahasa Tim Lapera (2000), adalah Adu Siasat ‘Negara’ Versus ‘Rakyat’, yang pada pokoknya: 

Bagaimana (kira-kira) bentuk otonomi di tingkat rakyat – apakah otonomi akan berarti suatu proses demokratisasi, di mana ruang politik (political space) rakyat untuk partisipasi makin lebar? Apakah benar negara (baca: elit politik), akan dengan begitu saja ‘melepaskan kendali’ bagi kreativitas politik rakyat? Sebaliknya, apakah rakyat dapat dengan cepat menggunakan momentum perubahan yang ada dan melakukan proses konsolidasi politik, sehingga daya tawar (posisi dan kondisi) rakyat menjadi semakin kuat? Apakah ada pengalaman (historis) yang dapat menunjukkan bahwa proses semacam ini memang akan membawa keuntungan pada rakyat? Ataukah sebetulnya proses ini hanya bersifat sementara, dan pada akhirnya akan berlangsung suatu arus balik yang represif.


8. Kritik terhadap Formula-formula Otonomi Daerah

8.1. Hubungan Pusat – Daerah 

Formula-formula otonomi daerah yang telah diuraikan secara ringkas di muka ternyata mengandung cacat-cacat  yang mendasar. Taliziduhu Ndraha (1999) menilai bahwa definisi otonomi daerah praktis melemah. Jika pada pasal 1 huruf c UU No. 5/1974 mengakui otonomi daerah sebagai hak (untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri), dalam undang-undang yang baru otonomi daerah adalah kewenangan (untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri). Menurut Ndraha, hak dapat diartikan hak bawaan (eksistensial, asasi, yang harus diakui dan dilindungi oleh pemerintah pusat) dan juga hak berian, tetapi kewenangan (authority, yang harus dipertanggungjawabkan kepada pusat) selalu merupakan berian. Di samping itu, masih menurut Ndraha, konsep urusan rumah tangga daerah hilang, dan diganti dengan dengan konsep kepentingan masyarakat setempat. Kedua konsep itu satu dengan lainnya jauh berbeda. Dimensi vital daerah (rumah tangga) sebagai satuan ekonomi (oikos dan nomos) dilenyapkan. Dalam konteks pemerintahan desa, bagi Ndraha, konsep otonomi (daerah) yang diterapkan dalam pasal 1 huruf a UUPD 5/1979 jauh lebih baik di mana ada pengakuan atas desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak menyelenggarakan rumah tanggganya sendiri. Kelemahan UUPD No. 5/1979, bagi Ndraha, ialah tidak jelasnya isi dan bentuk urusan rumah tangga itu. Sejalan dengan itu definisi daerah otonom juga merosot. Pasal 1 huruf e UUPD No. 5/1974 mengakui daerah otonom sebagai ‘daerah yang berhak’, dalam undang-undang yang baru dinyatakan sebagai ‘kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, untuk menyelenggarakan otomomi daerah’. Sudah barang tentu desa tidak ditetapkan sebagai daerah otonom.

Ndraha juga mengemukakan bahwa daerah Propinsi yang bersifat otonom harus dipertimbangkan keberadaan perwilayahannya karena daerah ini tidak memiliki wilayah/daerah, maka perlu ada pemikiran untuk pengubahan perwilayahan atau keberadaan daerah-daerah terutama Kabupaten dan Kota. Karena, sebagai daerah yang bersifat otonom, daerah propinsi juga tidak memiliki komponen masyarakat yang diwakili kepentingannya.

Sementara itu Utomo mengemukakan bahwa meskipun ditentukan masing-masing daerah (propinsi dan kabupaten) berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain, tetapi karena daerah Propinsi juga merupakan daerah administrasi maka propinsi tetap memegang kekuasaan yang besar sebagai wakil Pemerintah Pusat.

Selain itu, Utomo mengemukakan pula bahwa kewenangan daerah mengandung dua implikasi. Pertama, dengan penyerahan semua kewenangan pemerintahan yang ada  (dengan beberapa kekecualian sebagaimana diatur dalam pasal 7 dan pasal 8, pen), menunjukkan demikian besar kewenangan pemerintahan yang akan dimiliki oleh daerah-daerah, dan apabila ada di dalam keberadaan kesadaran yang rendah akan menjurus kepada federalism atau daerahism, atau sebaliknya, ketidaksadaran pemerintah dalam hal ini akan berakibat bahwa formulasi pasal 7 adalah sekadar formulasi tanpa implementasi lebih lanjut. Kedua, sesungguhnya pemikiran atau formulasi dan keputusan pemerintah perihal penyelenggaraan kewenangan pemerintah terhadap kewenangan tersebut terlalu atau bahkan gegabah. Karena, sesungguhnya yang diinginkan oleh daerah dan masyarakat adalah bagaimana kepada daerah lebih diberikan kewenangan yang lebih besar, distribution of income yang lebih adil, konkret, transparan dan kemandirian administrasi pemerintahan daerah sesuai dengan keberadaan daerah. Apabila memang betul-betul pasal ini akan dilakukan maka perlu persiapan daerah perihal SDM, fasilitas infrastruktur, dan lain sebagainya. Bila daerah tidak siap maka yang terjadi adalah konsentrasi akan menjadi overshadowing terhadap desentraliasi.

Dualisme keberadaan Gubernur (sebagai Kepala Daerah yang bertanggungjawab pada DPRD dan Kepala Wilayah yang bertanggungjawab pada Presiden) juga dapat menjadi titik rawan intervensi (kooptasi) pusat atas otonomi propinsi sendiri dan otonomi daerah kabupaten dan daerah kota. Proses rekruitmen gubernur yang harus dikonsultasikan pada Presiden merupakan titik rawan pula. Karenanya kooptasi pusat atas gubernur dapat berdampak pada kooptasi bupati. Akibatnya proses rekruitmen bupati yang relatif bebas dan tidak dicampuri pusat menjadi tidak bermakna. Gubernur akan tetap punya posisi yang lebih tinggi (karena punya otonomi untuk mengatur masalah lintas daerah kabupaten dan kota, termasuk untuk urusan-urusan yang tidak/belum mampu dijalankan oleh kabupaten/kota), dan sekaligus bupati akan merasa ‘risi’ dengan keberadaan gubernur

Di samping itu, pemberian otonomi yang lebih condong pada kabupaten/kota ketimbang propinsi pada hakikatnya adalah langkah strategis pemerintah pusat untuk meredam munculnya ‘daerah yang kuat’. Dengan kondisi riel kabupaten dan kota seperti yang ada sekarang ini, otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab tidak akan berjalan secara sempurna tanpa bimbingan ‘daerah atasannya’. Baik propinsi (dalam kapasitasnya sebagai perwakilan pemerintah pusat), dan terlebih lagi pusat. Dengan demikian, pemberian otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab yang porsi terbesarnya berada di kabupaten dan/atau kota, hanya akan melahirkan ‘anak-anak manis’ yang tidak akan pernah merepotkan ‘pusat’. Inilah otonomi daerah ‘setengah hati’. Sehingga, tidak berlebihan jika Utomo mengatakan bahwa undang-undang ini ‘menimbulkan apriori dikarenakan terlalu tendesius dan ambisius bahkan berkesan memberikan semacam penenang’.

Berkaitan dengan upaya menyelesaikan ketegangan pusat dengan daerah, yang pada hakikatnya terkait dengan masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah, Utomo berpandangan bahwa UUPKPD No. 25/1999 belum secara jelas menunjukkan nilai dan kriteria yang berorientasi pada pemerataan, keadilan, kepastian, terprediksi, kemudahan dan/atau kesederhanaan, desentraliasi dan local accountability. Selanjutnya, masih menurut Utomo, yang diperlukan adalah ketegasan mengenai kepastian pemberian persentase bagi hasil – lengkap dengan kepastian perhitungannya – pendapatan Negara dari sumber daya alam, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dalam hal ini seminar nasional yang bertajuk “Reformasi Hubungan Pusat - Daerah Menuju Indonesia Baru: Beberapa Masukan Kritis untuk Pembahasan RUU Pemerintah Daerah dan Proses Transisi Implementasinya” dalam kesimpulannya mengemukakan bahwa berkenaan dengan penyerahan hasil ekploitasi sumber daya daerah perlu dipikirkan pentingnya mengubah dasar pijak pengelolaan sumber daya ekonomi dari ‘bagi hasil’ menjadi ‘kewenangan mengelola’ dalam konteks siklus ekonomi. 

Lebih mendasar lagi adalah kritik dari Revrison  Baswir (2000):

Implikasi umum UU No. 25/1999 adalah terjadinya pergeseran alokasi pengelolaan sebagian belanja negara dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Bila volume belanja negara yang dikelola Jakarta selama ini mencapai 80 persen, maka dengan ditetapkannya UU No. 25/1999 angka ini akan merosot menjadi sekitar 75 persen. Artinya, secara nasional, volume belanja negara yang akan dilakukan oleh seluruh propinsi dan kabupaten di Indonesia hanya akan meningkat dari sekitar 20 persen menjadi 25 persen atau mengalami peningkatan sebesar ratarata 20 persen (Depkeu, 1999).

        Peningkatan alokasi belanja negara yang tergolong minimal tersebut tentu tidak akan dinikmati secara merata oleh seluruh daerah di Indonesia. Sesuai dengan tujuh pos yang disepakati sebagai titik tolak perimbangan keuangan pusat daerah sebagaimana dikemukakan tadi, peningkatan APBD dalam jumlah yang relatif besar terutama akan dinikmati oleh daerahdaerah tertentu yang kaya sumber daya alam. Khususnya daerahdaerah penghasil migas, pertambangan umum, dan sumber daya kehutanan seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur dan Irian Jaya. APBD Aceh diperkirakan akan menikmati subsidisebesar Rp 1,4 triliun. Sedangkan APBD Riau akan mendapat bagian sekitar Rp 1,8 triliun. 

        Walaupun demikian, pergeseran alokasi belanja negara itu ternyata masih sangat jauh dari harapan daerah-daerah penghasil sumber daya alam mengenai desentralisasi pengelolaan keuangan negara di Indonesia. Artinya, terlepas dari persoalan tinggi rendahnya volume peningkatan APBD, dengan masih akan dikuasainya 95 % sumbersumber penerimaan negara oleh Jakarta, peluang Jakarta untuk mengendalikan belanja daerah masih tetap terbuka. Bagi daerahdaerah penghasil sumber daya alam, hal itu tidak memiliki arti lain kecuali perlu dilanjutkannya perjuangan untuk mendesentralisasikan pengelolaan keuangan negara di Indonesia. UU No. 25/1999 secara substansial memang lebih tepat disebut sebagai “UU Subsidi Daerah”, bukan UU PKPD. Hal itulah antara lain yang terungkap melalui peningkatan tuntutan daerah, baik untuk menikmati alokasi yang lebih besar (75 %), mendirikan negara federasi, maupun untuk memerdekakan diri. 

            Substansi tuntutan itu tidak hanya berkaitan dengan peningkatan alokasi belanja yang lebih besar ke daerah, melainkan pada kewenangan daerah untuk mengelola sumbersumber penerimaannya sendiri. Sementara ini, hal itu memang lebih lantang disuarakan oleh daerah-daerah penghasil sumber daya alam. Tetapi dalam konteks yang lebih luas, hal tersebut sesungguhnya juga merupakan tuntutan yang relevan bagi daerahdaerah yang kaya obyek pajak. 

Senada dengan kritik tersebut, Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat mengemukakan bahwa undang-undang yang mengatur pelaksanaan otonomi daerah ini, khususnya UUPD No. 22/1999, tidak secara tegas menunjukkan komitmennya pada desentralisasi pengelolaan sumber daya alam. Padahal desentralisasi dalam pengelolaan sumber daya alam ini merupakan amanat TAP MPR/No. XV/1998, khususnya pasal  yang menyatakan bahwa “Pemerintah Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan”. Sehingga pemerintah daerah tidak dapat menjadi tonggak sandaran yang menjamin bahwa pengaturan pengelolaan berbagai sumber daya alam secara desentralisasi. Ini terbukti dari perumusan pasal 8 UUPD No. 5/1999 yang antara lain menyatakan bahwa ‘pendayaagunaan sumber daya alam’ merupakan bidang lain yang tidak termasuk dalam kewenangan daerah.

 

8.2. Hubungan Eksekutif – Legislatif di Daerah

Berkaitan dengan upaya-upaya untuk mengatasi ketegangan kedua, yakni ketegangan antara eksekutif dan legislatif di daerah, Ndraha mengkritisi bahwa klausul-klausul yang menyangkut adanya ‘pertanggungjawaban eksekutif pada legislatif’ dan dapat diberhentikannya Kepala Daerah karena ‘mengalami krisis kepercayaan publik’, pada hakikatnya merupakan ciri dari model kabinet parlementer. Jika memang demikian yang diinginkan, menurut Ndraha, sadar atau tidak, klausul-klausul ini melancarkan tamparan terhadap UUD 1945 yang pada hakikatnya menganut paham kabinet presidential.

Berkaitan dengan masalah ini, menurut Lay, maka isu sekitar pemberdayaan lembaga perwakilan rakyat daerah menjadi penting. Hal ini penting karena sejumlah pertimbangan berikut ini:

Pertama, pengalihan kekuasaan secara besar-besaran dari Jakarta ke daerah-daerah sekalipun merupakan sebuah kecenderungan baru yang tidak terhindarkan dan menjanjikan berbagai hal positif, tidak bisa dinihilkan mengandung pula di dalamnya sejumlah persoalan yang membutuhkan adanya pemahaman yang sungguh-sungguh dari otoritas politis di daerah yakni DPRD. Kemungkinan-kemungkinan negatif tersebut antara lain:

  1. Pengalihan kekuasaan secara besar-besaran ke daerah-daerah yang masih ditandai oleh bekerjanya struktur otoritarian bisa jadi akan berakhir dengan pengalihan otoritarianisme pada tingkat sistem politik nasional menjadi otoritarianisme lokal.
  2. Pengalihan kekuasaan secara besar-besaran ke dalam politik lokal yang masih ditandai oleh kuatnya struktur feodal bisa jadi akan berakhir secara negatif dengan terjadinya penguatan kembali struktur aristokrasi lokal.
  3. Pengalihan secara besar-besaran ke daerah-daerah yang bercorak majemuk tetapi didominasi oleh salah satu kelompok kategori tertentu, bisa berakhir secara negatif dengan penindasan terhadap kelompok minoritas atau paling tidak berakibat pada terjadinya diskriminasi.
  4. Pengalihan kekuasaan secara besar-besaran ke daerah-daerah yang bercorak mejemuk tanpa adanya kelompok dominan bisa jadi berakhir secara negatif dengan meluasnya konflik horisontal antar kelompok masyarakat, terutama sebagai akibat dari usaha masing-masing kelompok untuk merebut kontrol atas resources politik lokal yang ada.
  5. Pengalihan kekuasaan secara besar-besaran kepada daerah-daerah dalam situasi kentalnya KKN bisa jadi akan berakhir sebagai pengalihan KKN dari tingkat nasional ke daerah-daerah. Hal ini menjadi krusial untuk diperhatikan, terutama bagi daerah-daerah dengan sistem extended family yang kenyal ataupun dengan sistem tribe yang masih kental.
  6. Pengalihan kekuasaan secara besar-besaran kepada daerah-daerah yang masih dikukung oleh pemahaman bahwa “otonomi” adalah kata lain dari “auto money” akan berakibat negatif pada eksploitasi sumber daya alam tanpa kendali demi peningkatan PAD. Hal ini beresiko terutama untuk daerah-daerah dengan kepemilikan sumber daya alam yang berlimpah. Persoalannya bukan semata-mata terkait dengan laju kerusakan lingkungan yang akan terus meningkat dan hancurnya basis kehidupan generasi mendatang, tetapi sekaligus dapat berakibat pada konflik lintas etnik atau kelompok primordial. Hal ini terutama disebabkan karena “SDA” di banyak daerah memiliki kaitan-kaitan sosial, kultur, ekonomis dengan “etnisitas”

Karena alasan-alasan di atas, pemberdayaan dewan-dewan lokal menjadi tidak terhindarkan justru karena fungsi politisnya untuk menghandle hal-hal di atas. Ini hanya untuk menegaskan bahwa pemberdayaan dewan lokal bukan semata-mata persoalan teknis kedewanan, misalnya bagaimana menyusun anggaran, menyusun Perda, mengartikulasi dan mengagregasi kepentingan rakyat untuk diterjemahkan ke dalam policy atau melakukan pengawasan, tetapi mencakup sebuah spektrum yang sangat luas.

Kedua, yang akan kita hadapi bukan semata-mata pengalihan kekuasaan ke daerah-daerah dalam rangka otonomi daerah. Politik daerah akan mengalami pergeseran dari tangan “birokrasi” ke tangan “partai” yang direpresentasi oleh “dewan daerah”. Perubahan pemerintahan oleh birokrasi ke arah pemerintahan oleh DPRD di satu sisi mengukuhkan arah demokratisasi yang sedang dituju, yakni terbentuknya sebuah sistem politik yang dikendalikan oleh politisi terpilih (selected politician), tetapi juga menyisakan sejumlah pekerjaan besar, terutama selama masa transisi, yang membutuhkan pemahaman dan pemecahan.

  1. Kemungkinan negatif pertama adalah terjadinya benturan atau konflik antara DPRD dan birokrasi (elit) lokal. Hal ini sangat mungkin terjadi karena (a) politisi baru berasal dari lingkungan yang sama sekali lain dibandingkan politisi anggota DPRD sebelumnya yang merupakan “partner” birokrasi lokal, dan sekaligus men-share banyak kesamaan, termasuk cara melihat persoalan dan memecahkannya, bahkan dalam penggunaan bahasa dan simbol. Mereka juga diikat oleh kepentingan yang sama. Akibatnya “konflik” tidak pernah muncul. Kini semuanya serba berbeda yang bisa dengan mudah berubah menjadi konflik. (b) Politisi baru berasal dari lingkungan yang selama Orba mendapatkan perlakuan diskriminatif, bahkan menjadi korban kekejaman politik Orba yang justru dimotori pula oleh para birokrat daerah. Ini merupakan investasi negatif bagi keduanya ketika harus bekerja bersama-sama. (c) Politisi baru juga adalah para “pecundang” atau yang “dipecundangi” selama 32 tahun terakhir ini. Akibatnya, psikologi sebagai orang-orang atau kelompok "kalah"' akan mewarnai tindakan politik mereka terhadap birokrasi. (d) Di sisi birokrat, mereka berasal dari lingkungan yang lebih terdidik dan memiliki lebih banyak pengalaman dalam hal pengelolaan pemerintahan daerah. Akibatnya, ada kecenderungan di kalangan birokrat untuk arogan dan memandang rendah politisi baru. (e) Sementara di mata para politisi baru, birokrat dipandang sebagai "penyamun" yang karenanya tidak akan dan tidak bisa dipercaya. Benturan antara kedua hal ini akan sangat mungkin terjadi. >
  2. Akan terjadi "over-acting" di kalangan politisi. Kemungkinan ini terjadi baik sebagai konsekuensi dari mekanisme sistem presidential ke arah mekanisme semi-parlementer di daerah-daerah maupun sebagai akibat dari tindakan kompensasi atas keterbatasan kemampuan yang dimiliki anggota DPRD.
  3. Kemungkinan lainnya adalah terjadinya resistensi di kalangan para birokrat. UU baru secara tegas membuka kemungkinan bagi pimpinan politik daerah yang berasal dari lingkungan 'tradisional", yakni birokrasi (sipil dan militer). Tampaknya, birokrasi lokal sulit menerima kenyataan dipimpin oleh tokoh non-birokrasi dengan pendidikan yang lebih rendah. Kemungkinan terjadinya "boikot,"' atas keputusan politik politisi terpilih oleh lapisan tengah sangat terbuka. Pada saat yang bersamaan, kepercayaan politisi terpilih pada pejabat birokrasi juga rendah. Dua hal ini akan menimbulkan dua akibat: tejadinya saling "by-passing” atau terjadi pergantian secara drastic pada lapisan birokrasi atas. Hal pertama akan berdampak  pada bubarnya mekanisme kelembagaan karena relasi-relasi personal berdasarkan garis-garis kepartaian dan hubungan serta etnisitas akan dieksploitasi. Sementara hal kedua akan berakibat pada semakin runyamnya persoalan "nepotisme" dan pembengkakan birokrasi lokal yang dihuni oleh orang-orang yang tidak profesional.
  4. Akibat lanjut dari dua hal ini adalah terjadinya sengketa di lapisan birokrasi atas antara birokrat baru hasil rekruitmen politisi dan birokrat lama. Belum tersudahinya sengketa antara pilihan ke arah spoil system - yang dikendalikan selama Orba sekalipun dengan pemberlakukan kriteria meritokrasi - dengan sistem meritokrasi semakin merunyamkan persoalan daerah.

 

8.3. Hubungan Negara – Komuniti

Berkaitan dengan upaya penyelesaian ketegangan ketiga, dalam bagian di depan telah disinggung bahwa ada dua masalah pokok yang menjadi basis ketegangan antara negara–rakyat (komuniti). Masing-masing adalah (a) adanya perbedaan ‘rasa keadilan’ yang mendasari sistem pengelolaan hidup bersama yang ada pada sistem pemerintahan lama dengan yang berlaku dan dikenal oleh komuniti; dan (b) adanya perbedaan alas hak masing-masing pihak dalam menata dan mengimplementasikan property rights terhadap sumber-sumber agraria (tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalam/di atasnya) kehidupan yang ada.

 Apakah UU No. 22/1999 telah memenuhi kebutuhan untuk penyelesaian ketegangan ini? Ada beberapa masalah pokok yang masih tetap akan menjadi sumber ketegangan. Pertama, adalah betul bahwa UUPD No. 22/1999 ingin mendudukan kembali desa, atau yang disebut dengan nama lain di tempat lain, terpisah dari jenjang pemerintahan, namun diakui dalam sistem pemerintahan nasional sebagai kesatuan masyarakat yang dihormati mempunyai hak asal-usul dan adat-istiadat setempat. Ditentukan pula bahwa pengaturan desa akan ditetapkan melalui Peraturan Daerah masing-masing, termasuk kewajiban mengakui dan menghormati hak asal-usul.

 Namun, dalam pengaturannya lebih lanjut, nyatanya tidak persis demikian. Undang-undang baru ini pada hakikatnya masih menempatkan pemerintahan desa sebagai kepanjangan birokrasi pemerintahan. Ini terlihat jelas dari masih adanya pengaturan tentang desa yang dimasukkan ke dalam undang-undang ini. Ini dapat dilihat dalam bagian Penjelasan, Umum, Pemerintahan Desa, butir (2), di mana disebutkan bahwa “Penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Kepala Desa bertanggung jawab pada Badan Perwakilan Desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas tersebut kepada Bupati”. Tidak terpisahnya desa dari sistem birokrasi pemerintahan juga terlihat jelas dalam Pasal 98 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Kepala desa dilantik oleh Bupati atau pejabat lain yang ditunjuk”; dan pasal 99 yang mengatur hal ihwal “kewenangan desa”, serta pasal 103 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Pemberhentian Kepala Desa, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Bupati atas usul Badan Perwakilan Desa”. Birokratisasi desa atau yang disebut dengan nama lain di daerah lain ini semakin jelas wujudnya dengan dikeluarkannya SK Menteri Dalam Negeri No. 64/1999, yang dikeluarkan tidak lama setelah UU No. 22/1999 diundangkan.

 Dengan demikian, UU No. 22/1999 tetap dengan logika mem-birokratisasi desa ke dalam struktur pemerintahan. Padahal, logika keberadaan desa tidak bisa cocok dengan logika-logika administrasi formal Negara. Untuk menghindarkan masalah buruk yang pernah timbul selama ini, sistem administrasi Negara harus berhenti sebelum masuk dalam desa. Setelah itu, biarkanlah mekanisme-mekanisme desa berjalan sebagaimana adanya. Jika diperlukan, bisa menggunakan mediator, seperti posisi jaro pamarentah pada masyarakat Baduy di Banten Selatan, Jawa Barat, misalnya.

Kedua, dalam UU No. 22/1999 desa tetap tidak diakui sebagai daerah otonom. Ini kembali bertentangan dengan semangat yang ada pada Pasal 18 UUD 1945. Padahal, alasan dasar pencabutan UU No. 5 /1979, sebagaimana yang tercantum pada butir e konsideran UU No. 22/1999, adalah karena UU No. 5/1979 itu bertentangan dengan pasal 18 UUD 1945 itu. Padalah, jika dikaji semangat pasal 18 UUD 1945 dimaksud, hanya desa-lah yang secara langsung memiliki otonomi. Tidak kabupaten/kota, apalagi propinsi.

Selain pada soal desa, ketegangan antara Negara dengan komuniti juga terletak pada soal agraria, yang pada intinya adalah (i) siapa yang berhak menguasai tanah dan sumberdaya alam; (ii) siapa yang berhak memanfaatkan tanah dan sumberdaya alam; dan (iii) siapa yang berhak mengambil keputusan atas penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam tersebut.

Dalam soal agraria, apa yang terjadi sepanjang Indonesia di bawah rejim Orde Baru adalah negaraisasi (etatization) tanah dan sumberdaya alam milik komunitas dan di atas tanah yang diberi nama “Tanah Negara”, pemerintah (pusat) memberikan hak-hak pemanfaatan (use rights) seperti Hak Pengusahaan Hutan, Hak Guna Usaha, Kuasa Pertambangan dan lain-lainnya, kepada badan-badan usaha berskala raksasa.  

Rejim Orde Baru sungguh-sungguh memegang teguh dan melaksanakan apa yang menjadi pikiran salah seorang konseptor UU No. 5/1960 atau yang lebih dikenal dengan nama UUPA (Undang-undang Pokok Agraria), Iman Soetiknjo, dalam bukunya Politik Agraria Nasional (Penerbit UGM, 1990:49-50) bahwa

“… oleh karena suku-suku bangsa dan masyarakat-masyarakat hukum adat tidak mandiri lagi, tetapi sudah merupakan bagian dari satu bangsa Indonesia di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka wewenang berdasarkan hak ulayat yang berhubungan dengan hak-hak atas tanah, yang dahulu mutlak berada  di tangan kepala suku/masyarakat hukum adat/desa sebagai penguasa tertinggi dalam wilayahnya … dengan sendirinya beralih kepada pemerintah pusat sebagai penguasa tertinggi, pemegang hak menguasai/ulayat wilayah Negara”

Pada prakteknya, hal ini yang menimbulkan apa yang disebut sebagai sengketa agraria, dimana terdapat pertentangan klaim antara pemerintah (pusat) yang menganggap suatu lokasi tertentu adalah “Tanah Negara” dan badan-badan usaha (dari pusat) yang memperoleh suatu hak pemanfaatan tertentu di atas “Tanah Negara” tersebut, dengan masyarakat setempat yang secara turun-temurun (bahkan sebelum NKRI direncanakan berdiri) telah memanfaatkan tanah dan sumberdaya alam tersebut. Sengketa agraria ini merupakan warisan yang tak terselesaikan, yang diperkirakan telah mencapai puluhan ribu kasus yang berkaitan dengan eksploitasi sumberdaya hutan alam, hutan tanaman industri, hutan jati, tanah, kawasan konservasi, perkebunan dan lain-lain. Konflik itu semua adalah konsekuensi dari model Pembangunan yang dominan dipraktekkan sepanjang Orde Baru yang bertumpu pada pengadaan tanah dan eksploitasi sumberdaya alam skala besar, yang ditujukan menyediakan alas dan alasan bagi perwujudan proyek-proyek baik yang dijalankan oleh instansi dan perusahan milik pemerintah sendiri, maupun perusahaan  milik swasta.

Secara fenomenal, penduduk-penduduk yang merasa diperlakukan tidak adil  atau terganggu rasa keadilannya dalam sengketa-sengketa tersebut telah mengekspresikannya dalam berbagai tindakan protes. Hal ini bukan hanya berupa ekspresi dari ketidakpuasan, melainkan eskalasinya sudah sampai pada bentuk yang meluluhlantakkan dasar-dasar legitimasi pembangunan itu sendiri, di antaranya berupa pengambilan kembali tanah, penghancuran wujud fisik proyek-proyek, pengusiran pegawai-pegawai proyek, dll.

Ketika rasa senasib dan sependeritaan dari penduduk yang telah sampai pada suatu pengorganisasian dan advokasi yang mengarah pada tuntuan pengakuan, perlindungan dan penghormatan bahkan pemulihan  hak-hak masyarakat lokal atas tanah dan sumber daya alam, maka tidak ada jalan lain kecuali dilakukannya perubahan kebijakan pemerintah. Berbagai konflik agraria dewasa yang diakibatkan pemberian hak-hak baru oleh pemerintah pusat (Hak guna Usaha, Hak Pengusahaan Hutan, Kontrak Karya Pertambangan, dll) memang harus terlebih dulu diselesaikan oleh badan-badan pemerintahan pusat. Secara formal, Peraturan Pemerintah No. 25 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, Bab IV Pasal 8 memang telah diisyaratkan bahwa pemerintah daerah Kabupaten tidak memiliki kewenangan untuk mengkoreksi  perizinan yang telah diberikan oleh pemerintah pusat sampai berakhirnya masa berlaku perizinan tersebut. 

Namun, bukan berarti Pemerintah Daerah tak bisa berbuat apa-apa. Justru, pada konteks ini, pemerintahan daerah dituntut untuk berkreasi baru agar di satu pihak ketegangannya dengan komunitas bisa diselesaikan, dengan mempergunakan spirit dasar desentralisasi dimana rakyat semakin dekat aksesnya untuk ikut membentuk kebijakan pemerintahan. Jelas sekali ada suatu tuntutan pada pemerintahan (terutama pemerintahan daerah)  untuk mengelola investasi-sirkulasi-akumulasi modal yang tidak berkonsekuensi pada hancurnya kawasan hidup komunitas-komunitas yang pada gilirannya memutus jalur transformasi ke-Indonesia-an dari komunitas-komunitas yang telah bertumbuh-kembang dengan hak asal-usulnya.

Karenanya tepat sekali kritik yang mengemuka dalam seminar nasional yang diselenggarakan ASPRODIA UI di atas, yang salah satu kesimpulannya menyebutkan bahwa sekalipun undang-undang baru ini telah menawarkan perubahan yang cukup mendasar, masih terdapat beberapa masalah yang dikhawatirkan dapat meninggalkan bom waktu yang akan mengaburkan upaya membangun hubungan yang sehat antara rakyat dan pemerintah, serta antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Disebutkan bahwa persoalan sistem pemerintahan (government system) mendominasi seluruh pasal-pasal yang ada. Sistem pengaturan (governance system) diabaikan. Artinya undang-undang ini hanya membahas hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, bukan hubungan antara Pemerintah dan Rakyat. Dikemukakan pula bahwa otonomi seharusnya dibaca sebagai ‘hak dan wewenang yang dikembalikan kepada warga masyarakat (bukan Pemerintah Daerah) untuk mengatur urusan mereka’. Oleh sebab itu sebaiknya dimunculkan secara eksplisit pasal-pasal yang menegaskan peran warga masyarakat, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.

Menyangkut basis ketegangan negara-komuniti berikutnya, 16 LSM yang bersengaja berlokakarya untuk menanggapi RUU Pemerintahan Daearah dan RUU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang berlangsung di Yogyakarta itu berkesimpulan bahwa kedua undang-undang itu tidak sensitif terhadap kepentingan-kepentingan ekonomi, politik dan budaya rakyat di daerah. Selain itu juga tidak menyelesaikan masalah property rights yang menjadi sumber ketegangan negara-rakyat dewasa ini; tidak menyelesaikan persoalan tata pemerintahan yang tidak demokratis; dan tidak berpihak pada politik ekonomi pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan serta tidak tunduk pada prinsip kedaulatan persekutuan hukum masyarakat lokal. Disebutkan pula bahwa yang dibutuhkan sekarang adalah suatu undang-undang yang komprehensif yang mengatur Tata Pemerintahan Negara secara keseluruhan.

Senada dengan pandangan yang terakhir, Zakaria sebelumnya telah berpendapat bahwa kekurangan pokok dari (R)UU Pemerintah Daerah yang bersangkutan adalah, antara lain, tidak sensitif dengan masalah property rights yang selama ini menjadi sumber ketegangan antara Negara - Rakyat, terutama bagi mereka yang dapat dikategorikan sebagai masyarakat adat. Padahal, jika hal ini tidak ditangani, maka masalah hubungan Rakyat - Negara yang dewasa ini telah berkembang ke arah yang mencemaskan, tidak akan bisa terselesaikan.

Atas dasar adanya penghormatan atas hak-hak masyarakat adat, sebagaimana diamatkan dalam Pasal 18 UUD 1945, masalah property rights ini harus dihitung dari bawah ke atas. Tidak sebaliknya, seperti yang ada dalam (R)UU Pemerintahan Daerah dan (R)UU Perimbangan Keuangan Pusat – Daerah. Dalam format yang ada sekarang maka, Negara terlebih dulu ‘merampok’ property rights komuniti, kemudian baru dibagi-bagikan oleh Pemerintah Pusat melalui kekuasaan yang berlebih pada masing-masing departemen sektoral (seperti kehutanan, pertambangan, perikanan, dan lain sebagainya), dan seterusnya baru ditawarkan lagi ke Pemerintah Daerah, dan terakhir baru pada pihak Rakyat (baca: komuniti).

Dengan demikian, otonomi yang ditawarkan oleh (R)UU-(R)UU dimaksud masih bersifat top down, padahal seharusnya bottom up. Dalam pendekatan pertama, rakyat hanya mendapat remah-remah dari Negara; sedangkan pendekatan kedua, justru Negaralah yang mendapatkan remah-remah yang ditinggalkan Rakyat (toh tujuan adanya negara adalah untuk menyejahterakan rakyatnya).

Sebab itu, sebelum kita mengatur administrasi pemerintahan (daerah dan desa), berikut mekanisme pembiayaannya, terlebih dulu kita harus mengatur masalah property rights ini. Masalah ini tidak cukup lagi, kalau tidak mau mengatakannya tidak layak, jika hanya diatur dalam undang-undang sektoral. Seperti UU Pokok Agraria (UU No. 5/1960), UU Kehutanan (UU No. 5/1967 yang telah diganti menjadi UU No. 41/1999), UU Pertambangan (UU No. 11/1967), dan lain sebagainya. Tanpa itu, sebagaimana yang sekarang terjadi pada UU Perimbangan Keuangan Pusat – Dearah, pembagian sumber-sumber kehidupan orang banyak kehilangan dasar perhitungannya. Mengapa Pusat dapat sekian, mengapa pula Daerah dapat segitu?. Apa dasar perhitungannya? Cukupkah hanya dasar negosiasi (kekuatan) politik belaka? Memangnya semua yang dibagi-bagi itu milik siapa? Milik negara? Siapa negara itu? 

Dengan sudut pandang ini sekaligus ingin dikatakan bahwa perbaikan UU Pemerintahan Daerah dan UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah itu, haruslah dilebihdului oleh pengaturan masalah konflik  property rights. Tanpa itu, pengakuan hak-hak rakyat dalam UU Pemerintahan Daerah dan UU Perimbangan Keuangan Pusat – Daerah tidak akan bermakna.

 Dalam masalah ini APRODIA UI mengingatkan kita semua, sebagaimana juga telah berulang-ulang kali dikemukakan WALHI (1997), JAPHAMA (1998) dan Zakaria (2000) bahwa selama ini pemerintah memang cenderung mengabaikan dan menisbikan sistem hak kepemilikan yang hidup di masyarakat, khususnya masyarakat adat. Undang-undang harus mampu menyelesaikan sistem ganda dalam hak pemilikan dengan jalan memberikan jaminan bahwa sistem hak pemilikan de jure yang didasarkan pada hukum negara tidak menghancurkan sistem hak kepemilikan de facto yang didasarkan pada hukum adat.

Namun, kita perlu ‘bersyukur’ bahwa desa atau yang disebut lain di daerah lain itu didefinisikan sebagai “kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintah Nasional dan berada di daerah kabupaten”. Definisi ini menjadi penting karena, dengan begitu, pengakuan atas keberadaan desa tidak hanya dilihat dalam wujudnya sebagai suatu sistem pengelolaan (dan atau pemerintahan) kehidupan bersama saja, melainkan juga menyangkut kedaulatannya atas ruang-ruang hidup yang menjadi wilayah ulayatnya. Sejatinya, konsepsi yang demikianlah yang diinginkan oleh pasal 18 UUD 1945.

Kita dapat ‘bersyukur’ karena dengan definisi yang demikian, desa atau yang disebut lain itu tidak lagi disebut hanya sekadar ‘ … wilayah …’ sebagaimana terjadi pada UU No. 5/1979 yang dulu. Meski begitu, perlu diakui bahwa definisi yang ada pada UU No. 22/1999 ini sebenarnya relatif lemah juga. Juga lebih lemah jika dibandingkan dengan semangat Pasal 18 UUD 1945 yang tegas-tegas menyatakan bahwa ‘susunan asli’ (dalam hal ini adalah apa yang dimaksudkan dengan desa) itu memiliki ‘hak asal-usul’ yang diperlemah dalam UU No. 22/1999 dengan sekadar rumusan ‘ … memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul (tanpa kata hak) dan adat-istiadat setempat …”.  Dengan pendefinisian desa sebagai ‘… kesatuan masyarakat hukum …’, setidaknya, gerakan pengembalian kedaulatan masyarakat desa demi kehidupan yang lebih layak di masa depan memiliki ‘pijakan baru’. Meski peluang itu ternilai sebagai ‘amat sangat sempit sekali’. Setidaknya, dengan perumusan yang demikian itu, para pembela kepentingan desa itu memiliki peluang untuk melebarkan wacana untuk merebut makna ke arah pengertian yang sebenarnya, sebagaimana yang amat jelas diamanatkan dalam Pasal 18 UUD 1945 dan ‘pengertian-pengertian ilmiah-akademis’ yang berbasis pada analisis-analisis sosio-antropologis mutakhir.


9. Pembaruan Agraria sebagai Pra-kondisi dari Pembangunan 

Di tengah perwujudan formula-formula otonomi daerah yang semakin lama semakin lengkap, masyarakat pedesaan menghadapi persoalan yang sangat membutuhkan rekonstruksi sosial yang mendasar. Di perdesaan, soal yang paling vital dewasa ini adalah soal agraria, terutama susunan penguasaan tanah dan sumber daya alam yang menyertainya. Kunci utama untuk memahami soal  agraria ini adalah kesadaran kita sendiri, yaitu sejauhmana kita menyadari bahwa penguasaan tanah dan sumber daya alam yang menyertainya melandasi hampir semua aspek kehidupan perdesaan. Bukan saja sekadar sebagai aset, tetapi tanah dan sumber daya alam juga merupakan basis bagi diperolehnya kuasa-kuasa ekonomi, sosial dan politik. Ketimpangan dalam hal akses terhadap tanah akan sangat menentukan corak masyarakat dan mencerminkan dinamika tertentu hubungan antar lapisan masyarakat.  

Hak seseorang atau suatu kelompok atas suatu luasan tanah akan terjamin kepastiannya jika memperoleh pengakuan secara utuh, perlindungan dan bahkan pemulihan akibat kerusakan yang selama ini diderita. Artinya, pengakuan, perlindungan dan pemulihan itu harus datang baik dari masyarakat maupun, terutama, dari pemegang kekuasaan di atasnya, terutama pemerintahan. Itulah sebabnya dikatakan bahwa masalah agraria pada hakikatnya adalah masalah kekuasaan, masalah politik, yang erat berkaitan dengan kuasa-kuasa ekonomi dan sosial. Atas dasar prinsip ini pula, kita bisa memahami mengapa rezim Orde Baru dan para penyokongnya di masa lalu berlomba-lomba untuk mengonsentrasikan tanah dan sumber daya alam yang berakibat langsung pada penciptaan kasus-kasus perampasan tanah-tanah rakyat. Politik hukum agraria dijadikan alat bagi kepentingan-kepentingan pemusatan/konsentrasi ini atas nama pembangunan. 

            Model Pembangunan yang dominan dipraktikkan sepanjang Orde Baru adalah yang bertumpu pada penguasaan tanah dan pengelolaan sumber daya alam skala besar, berupa proyek-proyek baik yang dijalankan oleh instansi dan perusahan milik pemerintah sendiri, maupun perusahaan  milik swasta. Pengadaan tanah skala besar ini berlangsung melalui mekanisme utama intervensi negara. Intervensi negara dalam pengadaan tanah (land acquisition through state intervention) bermula dari penetapan pemerintah (pusat) atas sebidang tanah dan sumber daya alam yang ada di atas/di bawahnya dengan jenis hak tertentu (umumnya adalah use rights) untuk suatu subyek atau badan hukum tertentu. Berbagai jenis hak yang kita kenal di antaranya Hak Guna Usaha, Hak Pengusahaan Hutan, Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri, Kuasa Pertambangan, Kontrak Karya Pertambangan, dll. Kekuasaan negara untuk memberikan berbagai jenis hak tersebut diperoleh dari berbagai Undang-undang (seperti Undang-undang Pokok Agraria, Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan) melalui konsep politik hukum Hak Menguasai dari Negara (HMN) yang diemban oleh pemerintah pusat.

            Proses peralihan akses dan kontrol atas tanah dari penduduk ke pihak lain, dipenuhi oleh berbagai metoda yang digunakan oleh institusi politik otoritarian, seperti penggunaan instrumen birokrasi dan peraturan pemerintah (government regulation), maupun manipulasi dan kekerasan secara langsung. Semasa rezim Orde Baru lalu, kita menyaksikan banyak sekali kasus konflik agraria. Konflik itu telah menjadi sisi lain dari pengadaan tanah dan pengelolaan sumber daya alam skala besar untuk kepentingan proyek pembangunan pemerintah maupun proyek-proyek dari perusahaan bermodal raksasa.

            Menghadapi kasus-kasus konflik agraria, para pemegang kekuasaan yang mengurusnya – baik di Pusat dan Daerah – mencerminkan ciri yang kurang lebih sama, yaitu seolah-olah ingin menghindar dari masalah yang rumit itu. Mulai dari yang “mengabaikan acuh tidak acuh”, atau menunda-nunda penyelesaian, sampai kepada yang mengambil solusi dengan jalan kekuasaan, menindas hak-hak rakyat, baik karena ingin mengedepankan kepentingannya sendiri atau karena terpaksa oleh tekanan-tekanan tertentu.

            Sudah umum disadari banyak pihak bahwa komunitas lokal yang terlebih dulu memiliki hubungan yang kuat dengan tanah dan kekayaan alam itu pada umumnya adalah pihak yang dikalahkan.  Berbagai organisasi produksi baru yang dibangun di atas tanah tersebut pada umumya mendiskriminasi penduduk lokal untuk ikut menikmatinya, apalagi ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan atas tata kepenguasaan dan pengelolaan serta pemanfaatan tanah dan kekayaan alam tersebut.

Inti soal agraria dewasa ini adalah

i.         Semakin terkonsentrasinya penguasaan tanah dan pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam yang menjadi hajat hidup orang banyak.

ii.        Semakin tidak terjaminnya kepastian hak penguasaan rakyat setempat terhadap tanah dan sumberdaya alam lainnya, yang terdapat di wilayah kehutanan, pertambangan, perikanan, perkebunan, pertanian, dan pesisir. 

iii.      Semakin tidak terjaminnya keberlangsungan dan kemajuan sistem produksi rakyat setempat yang menjadi sumber penghidupan mereka. 

Era “Reformasi” sekarang ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan koreksi yang menyeluruh dalam menyusun kerangka pembangunan nasional dan meletakkan kembali dasar-dasar dan tujuan pembangunan untuk kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Kekeliruan pembangunan yang mendasar adalah tidak ditempatkannya penataan kembali penguasaan, penggunaan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber-sumber agraria, atau yang dikenal dengan nama Pembaruan Agraria atau Reforma Agraria atau agrarian reform  sebagai pra-kondisi dari pembangunan sosial.

Apa yang dimaksud dengan Pembaruan Agraria (agrarian reform) adalah suatu upaya yang dilakukan pemerintah bekerjasama dengan masyarakat untuk mengubah struktur penguasaan tanah, dan memperbaiki tata guna tanah dan sumberdaya alam yang menyertainya, dengan memperbaiki jaminan kepastian penguasaan tanah bagi rakyat yang memanfaatkan tanah dan sumberdaya alam yang menyertainya. Pembaruan Agraria termaksud juga akan diikuti dengan penyediaan fasilitas kredit, pendidikan dan latihan, dan asistensi teknis untuk perbaikan sistem produksi yang ada.

Bila Pembaruan Agraria ini tidak dilakukan, atau lebih buruk lagi sekadar mengulang kembali strategi pembangunan Orde Baru yang bertumpu pada pengadaan tanah skala besar untuk kepentingan modal besar dan perolehan rente ekonomi (dalam konteks daerah adalah Pendapatan Asli Daerah dan illegal rent tertentu) melalui intervensi negara, maka pemerintahan daerah akan memetik buahnya, yakni konflik agraria yang akan mengarah pada krisis alam dan krisis keadilan. Krisis alam menyangkut hancurnya lingkungan segala makhluk akibat intervensi proyek-proyek pembangunan yang beresiko pada keberlanjutan ekosistem kehidupan segala makhluk (bukan hanya manusia), sedangkan krisis keadilan adalah menyangkut ketidakadilan pengusaan akses dan kontrol berbagai kelompok sosial (berdasar kelas, gender, ras, dll) terhadap tanah beserta tumbuhan dan apa yang terkandung di bawahnya, berbagai usaha dan organisasi serta kehidupan di atas tanah.

Kedua krisis itu pada gilirannya akan mengarah pada krisis legitimasi. Sebagaimana dahulu diperingatkan oleh Kuntowijoyo (1992), 

Jika negara tidak bertindak secara hati-hati dalam mendukung modal, yaitu dengan alasan pembangunan tetapi tidak memperhatikan kepentingan-kepentingan spesifik dari tanah dan pemiliknya, krisis legitimasi pasti terjadi. Sama halnya dengan krisis-krisis legitimasi di masa lampau, ketika negara dan modal melakukan eksploitasi atas tanah dan tenaga kerja.

Pembaruan Agraria atau Reforma Agraria atau Agrarian Reform merupakan jalan yang paling mungkin untuk dapat memberdayakan rakyat perdesaan dari kedudukannya yang marjinal, sekaligus melepaskan diri dari eksploitasi kekuatan ekonomi besar. Pembaruan Agraria adalah proses perombakan susunan penguasaan tanah, yang diikuti oleh perbaikan sistem produksi melalui penyediaan fasilitas teknis dan kredit pertanian, perbaikan metoda bertani, hingga infrastruktur sosial yang dibutuhkan. Dalam pengalaman berbagai negara, Pembaruan Agraria mengarah pada pembangunan kembali struktur sosial masyarakat, khususnya masyarakat perdesaan, sehingga tercipta dasar pertanian modern yang sehat, terjaminnya kepastian pemilikan tanah bagi rakyat sebagai sumber daya kehidupan mereka, terciptanya sistem kesejahteraan sosial dan jaminan sosial bagi rakyat perdesaan, serta penggunaan sumber daya alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. 

Pembaruan Agraria yang dicita-citakan menganut falsafah kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan negara, yang menghargai setinggi-tingginya keragaman kebudayaan, hak-hak asasi manusia, demokrasi, keberlanjutan ekologis dan keadilan jender. Pembaruan Agraria yang dijalankan akan memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas kebudayaan yang beragam di Indonesia dalam hal ini adalah keragaman sistem penguasaan, penggunaan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber-sumber agraria harus memperoleh tempat melalui penggunaan asas pluralisme hukum dalam hukum keagrariaan. 

Koreksi yang dilakukan harus memandang penguasaan tanah sebagai alas dari berbagai keragaman sumber daya alam lain yang memiliki karakteristik dan tipologi yang khas – yang mencakup kehutanan, pertambangan, perikanan, perkebunan, pertanian, pesisir, kelautan dan keanekaragaman hayati – yang harus mendudukkan rakyat setempat sebagai pengelola sumberdaya alam setempat berdasar latar kebudayaan dan sejarah yang berbeda-beda. 

Pembaruan Agraria bukanlah suatu agenda yang sama sekali baru. Bonnie Setiawan (1997) menulis,

Pembaruan Agraria merupakan kata-kata kunci pada masa-masa dekade 1950-1960-an di berbagai negara. Semua badan internasional dan semua perdebatan di sekitar pembangunan, membahas dan memperdebatkan soal ini; dan hampir semua negara mau tidak mau mencoba menyelenggarakan program tersebut, baik itu pada tingkat kebijakan, operasionalisasi, ataupun hanya sebagai retorika. Salah satu dorongan terhadap dijalankannya Pembaruan Agraria pada saat itu terutama karena adanya persaingan dan pertentangan di antara kubu negara-negara Blok Barat dan Blok Timur. Dengan demikian perdebatan di seputar Pembaruan Agraria ini sebenarnya diwarnai juga oleh aspek ideologis.

Program Pembaruan Agraria yang dijalankan sangat tergantung dari sistem ekonomi politik dan watak rejim masing-masing pemerintah pada saat itu, sehingga terdapat berbagai ragam model dan pola pelaksanaan Pembaruan Agraria, maupun berbagai hasil yang dicapai. Ketika Dunia mulai masuk ke dalam dekade Pembangunanisme (Developmentalisme) di tahun-tahun 1960-1970, mulai nampak bahwa ide dasar Pembaruan Agraria – yang didasarkan pada redistribusi tanah yang menyeluruh – sebenarnya mulai ditinggalkan, dan diganti dengan modernisasi pertanian, atau salah satunya yang terkenal adalah program Revolusi Hijau. Pembangunanisme dan Revolusi Hijau mulai menggusur arti penting dari Pembaruan Agraria. Hal ini sebenarnya merupakan bagian juga dari dimensi konflik ideologis perang dingin di antara kedua Blok di atas.

Akan tetapi hasil-hasil yang terjadi kemudian dalam dekade pembangunan, terutama di Dunia Ketiga, menampakkan banyak kegagalan. Kegagalan tersebut terutama tercermin dari meluasnya disparitas (kesenjangan) pendapatan dan tingkat hidup antara kaum kaya di satu pihak dengan kaum miskin desa di pihak lain. Demikian pula harapan akan terjadinya “tetesan ke bawah” (trickle-down effect) ternyata nihil belaka. 

Kemiskinan semakin meluas dan rakyat desa semakin dijauhkan dari akses produktif mereka. Karenanya pada bulan Juli 1979, diadakan Konferensi Dunia tentang Pembaruan Agraria dan Pembangunan Pedesaan (World Conference on Agrarian Reform and Rural Development atau WCARRD) oleh FAO, yang diharapkan mampu memperbaiki keadaan. Terutama WCARRD menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi saja tidaklah mencukupi, dan harus didukung oleh pemerataan dan partisipasi rakyat. Program Aksinya menyatakan bahwa perbaikan yang berkelanjutan dari pedesaan memerlukan akses yang lebih merata atas tanah, air dan sumberdaya produktif lainnya, serta keikutsertaan kaum miskin desa dalam kekuasaan ekonomi dan politik serta dalam sistem produksi dan distribusi (Lihat  FAO, Studies on Agrarian Reform and Rural Poverty, Rome: 1984, hlm. v.) Apa yang dikumandangkan ini sebenarnya adalah sebuah kritik resmi terhadap pembangunan pedesaan yang semakin menyebabkan keterbelakangan. Meskipun demikian, Program Aksi yang dihasilkan WCARRD sebenarnya masih di dalam batas-batas pengertian Pembangunanisme.

Mengakhiri dekade 1980-an, mulai terlihat kegagalan dua dekade pembangunan. Dunia mengalami apa yang dinamakan Krisis, baik krisis ekonomi, politik maupun ideologis. Krisis ini terutama ditandai dengan semakin jauhnya kesenjangan ekonomi, terutama antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin. Bencana di Afrika tidak bisa dilepaskan dari krisis ini, di mana negara dan masyarakat di berbagai wilayah Afrika sampai pada tingkat pemusnahan akibat perang saudara, eksploitasi dan imperialisme. Kemiskinan dunia juga semakin meluas pada tingkat yang ekstrim bila dibandingkan dengan kehidupan di negara-negara kapitalis maju. Krisis komunisme juga menandai hal ini, yaitu semakin rendahnya tingkat hidup masyarakat di negara-negara sosialis dan bangkrutnya sistem komunisme birokratis.

Apakah Pembaruan Agraria dengan begitu juga tidak lagi relevan? Jawabannya adalah sebaliknya. Justru kini menjadi nyata bahwa Pembangunanisme yang meniadakan Pembaruan Agraria, sebenarnya merupakan sebab dari krisis di Dunia Ketiga. Kemiskinan yang meluas dan kesenjangan yang tinggi adalah akibat dari pembangunanisme. Dengan keadaan ini maka sebenarnya Pembaruan Agraria kembali menjadi relevan. Dalam konteks dan situasi yang berbeda sekarang ini, maka Pembaruan Agraria juga perlu dimengerti dan dirumuskan kembali secara kontemporer dan lebih luas.

 Salah satu upaya merumuskan kembali visi Pembaruan Agraria dewasa ini adalah dengan memasukkan prinsip pemberdayaan rakyat, yang dihadapkan dengan apa yang Gunawan Wiradi sebut sebagai ‘kedermawanan pemerintahan’. Menjelaskan hal ini Gunawan Wiradi (1997) menulis,

Pembaruan Agraria tetap diperlukan, asal filsafat paternalisme dtinggalkan. Sekarang ini hampir semua Pembaruan Agraria dilakukan atas dasar kedermawanan pemerintahan, sehingga begitu minat pemerintah berubah (demi kepentingannya), maka habislah hasil-hasil positif yang mungkin pernah dicapai oleh Pembaruan Agraria. Memang diakui, ada suatu pemerintahan yang dengan tulus dan jujur melakukan Pembaruan Agraria demi rakyat banyak. Namun, begitu pemerintahan tersebut berganti, elit penguasa yang baru dapat berganti haluan, dan membalikkan keadaan. Bahkan, sekalipun pembaruan itu lahir dari sebuah revolusi seperti misalnya Meksiko.  Kedermawanan pemerintah itulah yang oleh Powelson dan Stock disebut dengan istilah “reform by-grace”. Pembaruan demikian tidak “sustainable”, karena bergantung pada “pasar politik” menurut istilah Yushiro Hayami.

... Dengan demikian, yang diperlukan adalah pembaruan yang didasarkan atas pemberdayaan rakyat. Atau menurut istilah Powelson dan Stock: “landreform by leverage”. Dalam kondisi “pasar politik” yang bagaimanapun, jika posisi tawar petani/rakyat kecil kuat, maka hasil-hasil pembaruan sebelumnya tidak begitu saja mudah dibalikkan. 

            Maksudnya strategi reform by leverage adalah inisiatif suatu proses reformasi bertumpu pada organisasi rakyat (petani) setempat. Kondisi makro yang tidak kondusif bagi reformasi, dapat dihadapi dengan kekuatan dan keluasan pengorganisasian petani untuk Pembaruan Agraria.  Gunawan Wiradi (1997) menjelaskan bahwa:

... Pembaruan Agraria merupakan perjuangan yang terus-menerus, berkelanjutan, yang setiap langkahnya ke depan perlu dibentengi .... terutama terhadap kekuatan pasar bebas yang semakin meningkat yang lahir dari kegiatan yang semakin meluas dari TNC ....  

... Pembaruan Agraria “by-leverage” bukan merupakan program hitam-putih yang dapat direalisir dalam satu malam. Ia merupakan proses yang memerlukan waktu. Sebab, bagaimanapun, Pembaruan Agraria, seperti juga pembaruan-pembaruan lainnya tetap memerlukan kekuasaan. Namun, agar rakyat tidak “terkhianati”, maka pemberdayaan politik dari bawah perlu dikembangkan .... Posisi tawar yang kuat dari rakyat akan dapat mendesakkan aspirasinya untuk dituangkan dalam kebijakan-kebijakan pembaruan.


10. Agenda Pembaruan Agraria dalam Konteks Otonomi Daerah: Pintu-Pintu Baru yang Tersedia? 

            Apa yang saat ini disebut sebagai otonomi daerah sebenarnya merupakan salah satu agenda reorganisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi Daerah telah menjadi pilihan yang tidak mungkin dicabut kembali. Tidak tersedia ada jalan untuk mundur (point of no return).  Dengan analisis kritis terhadap formula-formula otonomi daerah di atas, perlu kiranya uraian akhir tulisan ini memusatkan perhatian pada pertanyaan apakah otonomi daerah merupakan peluang bagi upaya-upaya perwujudan  Pembaruan Agraria? Hal ini semakin mendesak lagi mengingat konjungtur politik (di pemerintah pusat maupun daerah) di masa depan belum menjanjikan iklim perubahan yang lebih mendasar. Kelemahan dan kekuatan kebijakan baru itu sedikit demi sedikit mulai agak terkuak. 

Saat ini, sebaiknya para pihak yang berurusan dengan politik pembangunan, terutama elit-elit politik di pemerintahan daerah yang menerima penyerahan kewenangan, memikirkan ulang strategi pembangunan, agar tidak terulang pengalaman pahit rakyat di bawah rezim Orde Baru. Paham-paham yang menyesatkan rakyat selayaknya ditinggalkan, seperti: bahwa investasi modal besar sajalah yang diakui sebagai pemecahan masalah-masalah  pedesaan.  

            Jadi, tantangan saat ini lebih besar. Lingkungan ekonomi-politik-kebudayaan saat ini tengah berubah secara drastik, semenjak tumbangnya rezim Soeharto tahun 1998 lalu. Dulu, bentuk reaksi utama rakyat perdesaan dan para pembelanya adalah protes melalui berbagai ekspresi (ekspresi legal, ekspresi sosial hingga ekspresi intelektual) menghadapi pemerintah pusat dan para kaki-tangannya di daerah. Saat ini dibutuhkan berbagai cara yang jauh lebih banyak lagi. Hanya mengandalkan cara-cara yang ‘lama’ dalam konteks yang baru, pada gilirannya akan membuat kita menjadi mandul menghadapi tantangan-tantangan baru yang datang. 

Setiap pihak dapat saja memberikan jawaban “ya” atau jawaban yang sebaliknya “tidak”, berdasar analisis dan kemampuan memilih serta bekerja pada arena-arena yang tersedia.  Yang pasti, betapapun tidak sempurnanya kebijakan otonomi daerah itu, kebijakan itu segera akan bergulir di lapangan. Lebih dari itu, ada baiknya juga jika perubahan mendasar itu diupayakan dengan strategi  ‘masuk dari pintu yang tesedia, keluar lewat pintu yang baru’. 

Atas dasar analisis panjang di atas, tulisan ini perlu diakhiri dengan identifikasi beberapa peluang yang dapat diambil sebagai arena di mana agenda Pembaruan Agraria dapat diperjuangkan: 

Pertama, pemberdayaan lembaga dan organisasi rakyat, termasuk “Desa” (atau yang disebut dengan nama lain). Yang diperlukan adalah suatu dorongan dari masyarakat sendiri agar ikut menentukan jenis organisasi/kelembagaan yang mereka perlukan. Masyarakat lokal, terutama petani,  harus diberi otoritas sendiri yang memungkinkan mereka mendiskusikan di atas meja dan di ruang-ruang belajar tentang sumber daya yang dimiliki untuk membangun masa depan yang dicita-citakan bersama. Dengan otoritas yang diembannya masyarakat sendirilah yang niscaya mempunyai tanggung jawab atas segala tindakan-tindakan yang dilakukan. Untuk mendorong keberhasilan itu semua kapasitas lokal perlu ditumbuhkan, baik melalui mobilisasi dan institusionalisasi tindakan protes, penyelenggaraan pendidikan rakyat yang sesuai dengan kehidupan lokal, membangun kerja sama antar masyarakat, dan pemberdayaan ekonomi yang berbasis sumber daya lokal. 

Di setiap masyarakat selalu ada napas kehidupan yang dikembangkan melalui berbagai ‘coba dan salah’ (trial and error) untuk menjalankan makhluk masyarakat dengan berbagai sistem-sistem yang bekerja di dalamnya.  Manakala sistem yang lokal adaptif tadi diintervensi dengan sistem dari luar maka yang terjadi adalah sebuah kelumpuhan keseluruhan sistem.  Pengalaman 30 tahun terakhir ini menjadi bukti yang amat jelas. Sifat top down, memaksa, dan mengabaikan realitas sosial budaya lokal mengakibatkan membusuknya sistem-sistem pengetahuan dan kecakapan lokal. Masyarakat tercabut dari akar sosial, budaya, ekonomi dan politik lokal, dan berubah menjadi budak-budak dari sistem eksternal yang dipaksakan (ini merupakan salah satu logika globalisasi: menghancurkan sistem-sistem lokal dan menggantikannya dengan sistem global sehingga mempermudah ekspansi pasar dan penghisapan sumber daya lokal). Otoritas lokal telah dirampas.  Tanggung jawab lokal pada akhirnya juga hilang. Kapasitas lokal juga dikikis habis dan digantikan dengan pendekatan-pendekatan paternalistik dan perintah.

Secara legal-prosedural, UUPD Nomor 22 Tahun 1999 mendelegasikan pengaturan mengenai apa yang disebut “Desa” pada pemerintahan daerah kabupaten, namun secara kontekstual belum ada jaminan bahwa elit-elit pemerintahan daerah (baik pemerintah daerah dan DPRD) memiliki  informasi tentang dampak dari penyeragaman desa yang diberlakukan semenjak tahun 1979, dan lebih-lebih lagi, memiliki argumen tentang pentingnya masyarakat memiliki sistem pemerintahannya sendiri yang terlepas dari birokrasi negara dan sikap pro pada otonomi masyarakat untuk mengurus dirinya sendiri. 

Dengan demikian, apabila pemberdayaan penduduk lokal gagal berjalan, maka elit pemerintahan daerah dengan mudah mengambil jalan melanjutkan saja kebijakan-kebijakan yang lalu dan tidak mengubahnya secara mendasar, baik dalam soal prosedur pembuatan kebijakannya maupun isi dari kebijakan tersebut.

Kedua, perubahan kebijakan pemerintahan daerah. Pelimpahan kewenangan ke pemerintahan daerah (desentralisasi) tanpa kendali langsung dari rakyat mengandung implikasi bahwa “segala penyakit yang tadinya ada di pemerintah pusat beralih ke pemerintahan daerah” atau  ketidakmampuan pemerintahan daerah untuk menjalankan wewenang yang dilimpahkan tersebut.  Jadi, pokok soalnya terletak pada bagaimana perpolitikan pemerintahan daerah dapat melayani kepentingan-kepentingan rakyat, dan bukan justru, atas nama reformasi dan otonomi daerah, terjadi penguatan eksploitasi, penindasan dan penaklukan masyarakat pedesaan oleh elit politik yang baru. Berbeda dengan sentralisasi pembuatan kebijakan, dengan desentralisasi, jarak antara rakyat dengan para pembuat kebijakan (policy makers) menjadi lebih dekat, sehingga diharapkan semakin terbuka akses rakyat dalam pembuatan kebijakan. 

            Apa yang kita obeservasi sepanjang 2 (dua) tahun terakhir ini adalah suatu keenganan dan kesulitan pemerintah pusat untuk merealisasikan agenda-agenda desentralisasi secara sungguh-sungguh, yang ternyata merupakan bagian dari keengganan dan kesulitan pemerintah pusat untuk merealisasikan agenda-agenda reformasi lainnya secara total. Keengaanan dan kesulitan itu berpangkal pada tidak ikutsertanya representasi dari pemerintahan daerah (baik DPRD maupun pemerintah daerah) dan kelompok-kelompok  yang mengartikulasikan kepentingan publik (seperti NGOs dan concerned intelectuals) dalam pembuatan kebijakan-kebijakan Pemerintah Pusat (central government policies) mengenai desentralisasi. Pembuatan kebijakan pemerintahan pusat tentang desentralisasi masih dimonopoli oleh birokrasi pemerintah pusat.   Dalam situasi seperti iti, pemerintahan daerah lebih mengutamakan upayanya menghadapi pemerintah pusat dalam baik soal pembagian kewenangan maupun soal perimbangan keuangan. Pada kenyataannya, terdapat kecenderungan yang kuat bahwa pemerintahan daerah memaknai desentralisasi lebih berupa membesarnya kewenangan mereka, dari pada memaknainya sesuai dengan apa yang sesungguhnya merupakan semangat pokok desentralisasi, yakni mendekatkan rakyat pada pembuatan kebijakan.  

            Dalam kondisi keterbatasan kapasitas organisasi dan kualitas individu elite politik di daerah, terutama DPRD, berbagai kewenangan yang diperolehnya cenderung diarahkan pada pembesaran perolehan sumber pendapatan daerah, dengan melupakan upaya mempertinggi produktivitas rakyat, penyelamatan ekosistem dan peningkatan kesejahteraan komunitas-komunitas lokal. Apa yang tidak diharapkan terjadi adalah menguatnya kembali praktek-praktek rent-seeking behavior, otoritarianisme, sentralisme pembuatan kebijakan, dan birokratisme, yang sekedar merupakan replikasi segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang dahulu diidap oleh pemerintahan pusat. Karena itu, pelaksanaan desentralisasi yang merupakan penyerahan kewenangan dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah harus disertai prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan bersih, demokrasi, dan institusionalisasi partisipasi rakyat dalam pembuatan kebijakan.

            Hal pokok yang harus terlebih dulu diatur dalam kebijakan pemerintahan daerah adalah tata penguasaan dan penggunaan tanah dan sumber daya alam yang menyertainya. Kekeliruan pokok dari manajemen perubahan selama ini, yakni tidak memisahkan antara wilayah kelola rakyat dengan ruang permainan negara dan bisnis. Walhasil, terjadi penghancuran dari wilayah kelola rakyat, di mana rakyat lokal tidak memiliki ruang belajar yang memadai. Kebiasaan lama yang selalu meminta petunjuk pusat atau atasan dalam melangkah harus sudah dilemparkan ke “liang lahat”. Jadi tidaklah mengherankan kalau sampai detik ini wajah lokal Indonesia masih terlihat babak belur. Di sana sini terjadi perkelahian sengit baik antarwarga atau warga dengan pemerintah dan/atau badan usaha.  Hal itu terjadi karena kebijakan negara tidak dibangun atas dasar sosial budaya yang nyata. Di samping itu banyak dari kebijakan-kebijakan yang dibuat sebetulnya bukan ditujukan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan yang sesungguhnya, melainkan sekadar melanggengkan posisi pemegang kekuasaan semata.

Dengan dasar pembesaran wilayah kelola rakyat ini, mau tidak mau akan terjadi koeksistensi dengan wilayah permainan badan usaha milik negara maupun bisnis. Adapun untuk wilayah-wilayah yang saat ini dilekati oleh konflik klaim, harus ada mekanisme penyelesaiannya melalui delineasi (menggaris batas wilayah yang juga tentunya merupakan batas dari hak-hak yang berlaku) yang mantap.

Ketiga, perubahan kebijakan pemerintahan pusat. Kewenangan pemerintahan pusat masih menentukan. Biar bagaimanapun, sebagaimana termuat dalam Peraturan Pemerintah No. 25 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, Bab IV Pasal 8 bahwa:

Perizinan dan perjanjian kerja sama Pemerintah dengan pihak ketiga berdasarkan kewenangan Pemerintah sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya perizinan dan perjanjian kerja sama.

Implikasinya adalah, berbagai konflik agraria dewasa ini yang diakibatkan pemberian hak-hak baru oleh pemerintah pusat (Hak guna Usaha, Hak Pengusahaan Hutan, Kontrak Karya Pertambangan, dll) harus terlebih dulu diselesaikan oleh badan-badan pemerintahan pusat.

Secara fenomenal, sering penduduk yang bersengketa menganggap bahwa perusahaan-perusahaan atau proyek-proyek yang beroperasi secara langsung pada tanah-tanah mereka adalah “perampas tanah”, dan upaya mereka adalah mencari perlindungan kepada pemerintah atas perbuatan perusahan-perusahaan atau proyek-proyek itu. Padahal, secara legal, perusahaan-perusahaan atau proyek-proyek tersebut bekerja atas dasar pemberian hak-hak pemanfaatan (use rights) dari pemerintah (pusat) yang mengasumsikan bahwa tanah di mana use rights tersebut diberikan adalah Tanah Negara. Jadi, masalahnya adalah asumsi politik hukum pertanahan yang mengabaikan, bahkan menegasikan hak-hak rakyat atas tanah, yang terkandung dalam perundang-undangan pertanahan (land related laws) dan peraturan-peraturan pelaksananya (government regulation) yang menjadi dasar bekerjanya birokrasi pemerintah pusat secara sektoral. 

Bekerja di arena perubahan hukum kebijakan pemerintah pusat semakin penting karena berbagai undang-undang ke-agrariaan masih berkarakter, etatistik, sentralistik, ambivalen dan sektoral. Bahkan kecuali Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960, karakternya sangat jelas anti pada penguasaan tanah untuk komunitas lokal. Terlebih-lebih berbagai peraturan pemerintah (government regulation) yang diproduksi departemen-departemen sektoral keagrariaan (sekarang: Badan Pertanahan Nasional, Departemen Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan dan Departemen Pertambangan) semasa Orde Baru. Jadi, jelas sekali, dibutuhkan suatu upaya-upaya baru agar Pembaruan Agraria mampu menjadi salah satu agenda Reformasi Nasional. 

 

Sekian. 

 

Daftar Pustaka


 

 

Afan Gaffar, “Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan di Masa Mendatang”, dalam WACANA, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Edisi 5 Tahun II. Yogyakarta: Institute for Social Tranformation/INSIST, 2000.

Antlov, Hans (1995), Exemplary Centre, Administrative Periphery: Rural Leadership and New Order in Java, Curzon Press, Great Britain.

Arimbi HP, Penghancuran Secara Sistematis Sistem-sistem Adat oleh Kelompok Dominan,  Kertas Posisi WALHI No. 6. Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia/WALHI, 1997.

Bhenyamin HoesseinDesentralisasi dan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia, Naskah Pidato Pengukuhan: Diucapkan pada Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Administrasi Negara pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia di Jakarta pada Tanggal 18 November 1995.

Bonnie Setiawan, “Pembaruan Agraria: Tinjauan Konseptual”, dalam Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia, Dianto Bachriadi, E. Faryadi, dan B. Setiawan (eds.). Jakarta: LP FE-UI dan KPA, 1997.

Buletin Asasi, Analisis Dokumentasi Hak Asasi Manusia edisi Mei 1999, Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.

Carmela D. Ortigas, Group Process and Inductive Method, Theory an Practice in the Philippines, Manila, Aneneo de Manila University.

Christodoulou, D. (1990), The Unpromised Land. Agrarian Reform and Conflict Worldwide, London and New Jersey, Zed Books. 

Cornelis Lay  (2000), Pemberdayaan Lembaga-lembaga Legislatif Daerah dalam rangka Otonomi Daerah, dalam WACANA, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Edisi 5 Tahun II. Yogyakarta: Institute for Social Tranformation/INSIST.

Dianto Bachriadi, Merana di Tengah Kelimpahan, Jakarta, ELSAM, 1997.

Dianto Bachriadi, et. al  (Eds), Reformasi Agraria: Sengketa, Perubahan Politik dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia, Jakarta. 

Dietz, Ton (1998) Pengakuan Hak atas Sumber Daya Alam, Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Donatus K. Marut, Penguatan Institusi Lokal dalam Rangka Otonomi Daerah, Wacana,, Jurnal Ilmui Sosial Transformatif, edisi 5, Tahun II, 2000.

E. Koswara, “Upaya Reformasi Perundang-undangan Tentang Otonomi Daerah: Suatu Telaah Tentang Prinsip-prinsip yang Termuat dalam RUU tentang Pemerintahan Daerah”, Makalah yang disampikan dalam Seminar Sosialisasi RUU Otonomi Daerah dan Aspirasi Publik, diselenggarakan oleh Yayasan Pariba, tanggal 4 dan 10 Maret 1999.

Faisal H. Basri, Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI: Distorsi, Peluang dan Kendala. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1995.

Ifdal Kasim dan Endang Suhendar, Tanah sebagai Komoditas Strategis, Jakarta, ELSAM, 1996 dan Noer Fauzi, “Sendi-sendi Pembaruan Hukum Agraria”, Makalah pada Forum Dialog Tinjauan Kritis terhadap UUPAyang diselenggarakan oleh Tim Pelaksana KEPPRES No. 48/1999, di Hotel Indonesia, Jakarta 31 Agustus - 1 September 1999;

Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat/JAPHAMA, “Menata Ulang Hubungan Negara dan Masyarakat Adat”. Penyataan Sikap Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat, Juni 1998.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) (1998), Usulan Revisi Undang-undang Pokok Agraria: Menuju Penegakan Hak-hak Rakyat atas Sumber-sumber Agraria, KRHN dan KPA

KPA bekerjasama dengan Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LP-FEUI), 1997, dan Maria Rita Ruwiastuti, et al., Penghancuran Hak Masyarakat Adat atas Tanah: Sistem Penguasaan Tanah Masyarakat Adat dan Hukum Agraria, Bandung: 

Noer Fauzi (Ed), Tanah dan Pembangunan, Jakarta: Sinar Harapan, 1997; 

Noer Fauzi (Peny.), Pembangunan Berbuah Sengketa, Medan, Serikat Petani Sumatera Utara, 1998.

Kuntowijoyo, Masalah Tanah dan Runtuhnya Mitos Negara Budiman, Yogyakarta: Lembaga Penyadaran Rakyat Pedesaan, 1992, hal. 8.

Made Tony Supriatna (Ed.), 1996: Tahun Kekerasan - Potret Pelanggaran HAM di Indonesia, Jakarta: YLBHI, 1997, 

Mahfud, Moh, MD (1987), Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta

Mahfud, Moh, MD, DR (1999), Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta.

Maria R. Ruwiastuti, Sesat Pikir, Politik Hukum Agraria, Membongkar Alas Penguasaan Negara atas Hak-hak Adat, Noer Fauzi (Peny.) Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Insist Press, dan KPA, 2000.

Mas’oed, Mochtar (1997), Tanah dan Pembangunan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Nawir M. Messi, Faisal H. Basri, dan P. Wahono, “Tuntutan Otonomi Daerah: Prespektif Ekonomi Politik”, makalah yang disampaikan pada Seminar Rekonsiliasi Nasional dan Otonomi Daerah, diselenggarakan oleh Yayasan Pendidikan dan Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 3 Desember 1998.

Noer Fauzi dan Dianto Bachriadi, Hak Mengasai dari Negara: Persoalan Sejarah yang Harus Diselesaikan, Kertas Posisi Konsorsium Pembaruan Agraria No. 3, Bandung: KPA, 1997. Uraian lebih luas dengan ulasan historis, lihat: Noer Fauzi, Petani dan PenguasaDinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta, INSIST Press, KPA bekerjasama dengan Pustaka Pelajar,  1999.

Noer Fauzi, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Insist Press dan KPA, 2000

Program Hukum dan Masyarakat Lembaga Bantuan Hukum Bantaya - Palu, LRA - Padang, LP2S – Manado, Legal Opinion (Critical Legal Analysis terhadap UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Jakarta: 

Roberto M. Unger, Gerakan Studi Hukum Kritis, Ifdhal Kasim (pen.), Jakarta: ELSAM, 1999.

Revrison Baswir, “Penjarahan Jakarta dan UU 25/99”, dalam WACANA, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Edisi 5 Tahun II. Yogyakarta: Institute for Social Transformation/INSIST, 2000).

R. Yando Zakaria, Abieh Tandeh: Masyarakat Desa di Bawah Rezim Orde Baru. Jakarta: PT. Pustaka Pelajar dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/ELSAM, 2000.

____________, “Kembalikan Kedaulatan Ulayat Masyarakat Adat”, dalam WACANA, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Edisi 2, Tahun 1, 1999. Lihat juga Zakaria, 2000, Op. Cit., khususnya Bab VIII.

____________, “Mambangkik Batang Tarandam – Risalah Menuju Kedaulatan Hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia”. Edisi V Oktober 1997, dipresentasikan pada Lokakarya Studi Tanah Adat Konsorsium Pemberuan Agraria/KPA, Oktober 1997.

____________, “Penegasian Hak-hak Masyarakat Adat sebagai Sumber Krisis Integrasi Indonesia di Masa Depan”, makalah yang dipresentasikan pada Widyakarya Nasional Antropologi dan Pembangunan, yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan DEPDIKBUD, Jakarta, 26 – 28 Agustus 1997. Khususnya pada sesi Integrasi dan Kesetiakawanan Sosial.

____________, Kemajemukan Masyarakat Bangsa Indonesia dan Penegakkan Hak-hak Masyarakat Adat. Kertas Posisi Konsorsium Pembaruan Agraria No. 005/1998. Bandung: Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria.

____________, Memikir Ulang Konsep Negara (Bangsa), Wacana Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Edisi 5, thn. II, 2000.

Sandra Kartika & Candra Gautama, eds., Menggugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara. Prosiding Sarasehan Masyarakat Adat Nusantrara, Jakarta, 15 – 16 Maret 1999. 

Sujanto, Ir, Achmad Nurdin, SH, Drs. H. Sumarno (1991), Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah: Proses Pembuatan Undang-undang No. 5 Tahun 1974, Rineka Cipta, Jakarta

Soejito, Irawan (1976), Sejarah Pemerintahan Daerah di Indonesia: Jilid 1, Pradnya Paramita, Jakarta.

Soejito, Irawan (1976), Sejarah Pemerintahan Daerah di Indonesia: Jilid 2, Pradnya Paramita, Jakarta.

Soeprapto, Maria Farida Indrawati, SH., MA. (1998), Ilmu Perundang-undangan: Dasar-

dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta

Soehino, SH. (1997), Hukum Tata Negara: Penyusunan dan Penetapan Peraturan Daerah, Liberty, Yogyakarta.

Suryaningrat, Bayu, Drs (1976), Pemerintahan Administrasi Desa dan Kelurahan, Rineka Cipta, Jakarta.

Stepanus Djuweng, Land Dispute Cases: The Strawberry of Development: Global Causes of Local Conflicts vs Local Cost of Global Problems. Makalah pada Konferensi INFID X (dimuat dalam Noer Fauzi (Ed), Tanah dan Pembangunan, Jakarta: Sinar Harapan, 1997).

Sunanto, Hatta, dkk (2000), Menggeser Pembangunan, Memperkuat Rakyat: Emansipasi dan Demokrasi Mulai dari Desa, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta

Taliziduhu Ndraha, “Desa Masa Depan: Garis Depan Demokrasi”, makalah yang disampaikan pada Seminar Menggagas Format Perundangan Bagi Berlangsungnya Demokrasi dan Penguatan Fungsi Sosial Desa, diselenggarakan oleh Forum LSM DI Yogyakarta, 15 Januari 1999.

Tim Lapera, (dalam “Adu Formula ‘Negara’ versus Rakyat: Otonomi, Desa dan Demokrasi”, dalam WACANA, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Edisi 5 Tahun II. Yogyakarta: Institute for Social Tranformation/INSIST, 2000), 

Tom Dietz, Entitlements of Natural Resource, Countours of Political Environtmental Geography, Utrecht: International Books, 1996, yang telah dterjemahkan oleh Roem Topatimasang dan diterbitkan sebagai Ton Dietz, Pengakuan Hak atas Sumberdaya Alam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, INSIST Press dan Remdec, 1998).

Tjondronegoro, Sediono, M.P. (1999), Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih, Akatiga, Bandung

Utomo Watsito, “Kajian Kritis RUU Pemda dan Implikasinya Terhadap Tata Pemerintahan yang Demokratis”, makalah yang disampaikan pada Diskusi Sehari Rancangan Undang-undang Pemerintahan Daerah dan Implikasinya Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pemerintahan yang Demokratis, diselenggarakan oleh KONPHALINDO, ICEL, SKEPHI, Jakarta, 1 April 1999.

Walden Bello et al, (1994), Dark Victory, The United States, Structural Adjustment and Global Poverty, Amsterdam, The Transnational Institute.

Wertheim (1974),  Evolution and Revolution, The Rising Waves of Emancipation, Harmondsworth England, Penguin Books Ltd. 

 

No comments:

Post a Comment