Berikan Etnografi Kesempatan

 Noer Fauzi Rachman dan Siti Maimunah (2020) “Berikan Etnografi Kesempatan”, dalam Perempuan di Tanah Kemelut, Situasi Perempuan Dalam Situs-situs Krisis Sosial Ekologis. Jakarta: Penerbit Kompas.  Halaman 1-15.

Naskah ini adalah Bab Pendahuluan untuk kumpulan karya 11 etnografi perempuan mengenai situasi agraria perempuan yang hidup dalam kemelut karena penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tana-tanah di wilayah hidupnya berubah dengan hadirnya konsesi-konsesi tanah, hutan dan pertambangan oleh perusahaan-perusahaan besar.

***


Membaca buku bunga rampai hasil penelitian etnografi memerlukan sikap mental yang tepat. Kami menganjurkan pembaca menghadapi buku ini seperti menghadapi buku kumpulan cerpen, dengan suatukesadaran bahwa situasi dan drama yang akan diceritakan adalah kenyataan yang dialami, bukan fiksi. Di bagian akhir  pendahuluan ini, kami meringkaskan dan memberi komentar mengenai sajian setiap naskah. Setelah pembaca menyelesaikan membaca naskah pendahuluan ini, silakan pembaca memilih naskah di bab mana yang kiranya dipilih terlebih dahulu untuk dibaca sesuai dengan preferensi masing-masing. Pembaca akan bisa mendapatkan manfaat dengan membaca naskah pilihannya dengan memahami situasi perempuan kampung dalam kemelut drama-drama krisis sosial ekologi yang berlangsung babak demi babak.

Kami telah memberikan kesempatan pada etnografi menjadi alat yang ampuh untuk sanggup memperlihatkan situasi para perempuan kampung dan krisis sosial ekologis yang melanda kampung halaman tanah air mereka. Kalimat ”berikan etnografi kesempatan” diinspirasikan oleh judul lagu yang ditulis (almarhum) John Lennon, ”Give Peace a Chance”. 

Lagu ini ditampilkan secara publik pada tahun 1969 dalam album solo pertama John Lennon.  Lagu tersebut segera menjadi ”lagu kebangsaan” gerakan antiperang di Amerika sepanjang 1970-an.Lagu ini ditulis ketika John Lennon (bersama Yoko Ono) membuat aksi protes bed-in for peace selama dua minggu di Amsterdam dan Montreal. Ide bed in ini  diinspirasikan oleh suatu jenis aksi protes yang terkenal diberinama protes sit-in, di mana sekelompok pemrotes duduk terus di muka penguasa hingga mereka digusur, atauditahan, atau tuntutan-tuntutannya dipenuhi. Kalimat Lennon, ”All we are saying is give peace a chance” keluar secara spontan saja ketika Lennon ditanya jurnalis mengapa ia bertahan di tempat tidur.1 Kami ubah teks itu menjadi ”All we are saying is give ethnography a chance”.

Etnografi yang dimaksud dalam konteks ini adalah suatu penelitian dengan pendekatan untukmengumpulkan data dan informasi melalui kerja lapangan, utamanya observasi-partisipasi bersama subjek dan situasi yang diteliti dan bisa juga dengan mengombinasi macam-macam metode dan teknik penelitian lainnya.Etnografi juga adalah suatu urusan menyusun dan menyajikan cerita, utamanya dengan tulisan, dan bisa dikombinasi dengan sajian foto, sketsa, dan lain-lain teknik sajian lainnya. Juga, dengan presentasi lisan,bahkan bisa dikombinasi dengan sajian audio-visual.

Selanjutnya, secara khusus di sini harus dinyatakan etnografi merupakan kritik dan maksud mulia si peneliti terlibat dalam upaya perubahan nasib dan situasi subjek yang tertindas dan marginal untuk mengusung cita-cita perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, keadilan sosial, kesetaraan gender, danlainnya hingga untuk memulihkan layanan alam. Etnografi kritis berangkat dari suatu tanggung jawab etis untuk mengurus proses-proses yang seharusnya tidak layak ada, atau ketidakadilan tertentu dalam ruang kehidupan tertentu2 (Madison, 2005: 5)

Kami berangkat dari kesadaran mengenai kritik atas ekstraksi pengetahuan, baik yang dilakukan dengan etnografi maupun pendekatan dan metode penelitian lainnya. Dalam sejarah etnografi di negeri-negeri yangdikolonisasi, pengetahuan yang dihasilkan secara ekstraktif itu kemudian dipergunakan sedemikian rupa oleh penguasa kolonial untuk mengukuhkan bangunan/ struktur kekuasaan yang timpang, dan memperlakukan sekelompok rakyat, etnis pribumi, atau kelompok marginal lainnya tetap berada dalam kondisi yang marginal itu.

Etnografi telah diletakkan dasar-dasarnya oleh para ahli dari negara-negara Barat (Eropa, dan kemudian Amerika) untuk mempelajari negeri, bangsa, etnik, ras, dan kehidupan dari sekelompok rakyatyang hidup jauh di negeri- negeri kolonial, dan dilanjutkan oleh para peneliti komunitas-komunitas yang akan menjadi target proyek-proyek pembangunan pada masa pemerintahan pascakolonial. Kita bisa mengerti bahwa dalam konteks kolonialisme, penguasaan atas pengetahuan merupakan bagian tak terpisahkan dari penindasan politik, diskriminasi rasial, perampasan tanah, pengisapan ekonomi,marginalisasi geografis, dan berbagai penggunaan kekuasaan dalam operasi-operasi rezim penguasakolonial. Kesemua itu adalah ”colonial matrix of power” (Quijano, 2007). Dalam konteks rezim pascakolonial,ada kelanjutan penggunaan bentuk penguasaan kolonial dan tambahan bentuk-bentuk baru yang semakincanggih, sebagai dasar pijak dari segala proyek pembangunan pemerintah, maupun operasi dari korporasi kapitalis raksasa, terutama yang berbasiskan penguasaan dan pemanfaatan tanah, hutan, danpertambangan.3

Lebih dari itu, kami mengajari para pelajar-peneliti memedomani metodologi penelitian feminis yang manjur, memperlihatkan situasi perempuan yang khusus, dan menempatkan perempuan dan kelompok marginal sebagai subjek yang hidup, menghadapi ragam macam terpaan kehidupan dan ”menolak tumbang” (Marcoes, 2014). Kami mengembangkan dan melaksanakan penelitian di mana relasi antara peneliti dan yang diteliti bersifat non-eksploitatif, kolaboratif, dan penelitian menjadi langkah awal, baik bagi tim peneliti maupun subjek penelitian, untuk membangun kesadaran kritis, proses belajar, danrefleksi diri secara kritis.

Lebih jauh, kami memperkenalkan metode khusus, yakni tutur perempuan, yang manjur untukmenggali, mendengar, merekam, dan memaparkan kisah- kisah para perempuan yang berkaitan dengan peristiwa tertentu. Tentu, penuturannya sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan pengetahuan pribadi setiap penutur. Bukan dimaksudkan menjadi biografi, melainkan menjadi sebuah narasi tersendiri yang dapat menggambarkan trajektori perubahan sosial-ekologi di atas satu situs tertentu.

Metode ini juga memungkinkan para perempuan dan kelompok marginal lainnya yang menjadi subjek kajian memiliki ruang tersendiri, di mana rangkaian kisah yang mereka tuturkan tidak ditampilkansekadar sebagai data pendukung yang akan dianalisis, tetapi menjadi bagian utama dari sebuah kajian(Siscawati, 2013). Kami juga mengajarkan teknik Photonovela (Wang dan Burris, 1997) dan meminjamkankamera digital agar para pelajar-peneliti bisa mendapatkan gambar-gambar visual yang pada gilirannya akan dipilih dan dihadirkan bersama dengan narasi sajian.

 

Menjadi Etnografer

Sebelas naskah ini hasil kerja penulisan para etnografer pemula yang terpanggil tinggal selama satu setengah tahun bersama perempuan- perempuan kampung untuk terlibat mengerti, mengurus, danmenghadirkan situasi para perempuan kampung dan krisis sosial-ekologi yang dialami mereka. Jadi, setiap naskah berdasarkan pengalaman awal mereka kerja lapangan (field work). Kami merekrut para pelajar melalui proses seleksi mengenai motif, latar belakang, pengalaman, dan komitmen mengikuti keseluruhan kegiatan dalam program ini selama 1,5 tahun. Kami menyusun silabus pelatihan dan meminta sejumlahpengajar4 memberikan pemahaman, pengetahuan, kerangka konseptual, hingga melatihkan berbagaiketerampilan dasar dan taktik kerja lapangan hingga penulisan. Pelatihan diselenggarakan pada bulan Junitahun 2016.

Setidaknya ada tujuh aspek yang kami ajarkan dan tidak terpisahkan satu sama lain, yakni (i) mengenali diri sendiri melalui perjalanan hidup hingga memilih sebagai pelajar-peneliti; (ii) memahamipermasalahan krisis sosial ekologi yang akan diurus oleh para pelajar-peneliti di lapangan; (iii) memahami situasi perempuan kampung perdesaan; (iv) metode dan teknik yang dipergunakan untuk mendapatkan data dan informasi, termasuk hidup dan tinggal bersama (live in), tutur perempuan, wawancara mendalam, diskusi kelompok, hingga penggunaan kamera; (v) membuat perekaman dan catatan lapangan, hingga pembuatan foto bercerita (photo-voice); (vi) teknik-teknik penulisan dan penyajian karya etnografi; dan (vii) hubungankelembagaan dan administrasi dengan Sajogyo Institute sebagai organisasi penyelenggara.

Kecuali satu kampung di kaki Gunung Halimun, Kabupaten Bogor, lokasi yang kami pilih menjadilapangan para pelajar adalah kampung-kampung tempat bekerjanya organisasi nonpemerintah mitra-mitra (grantees) dari program Setapak (Selamatkan Lahan dan Hutan Melalui Perbaikan Tata Kelola)-The Asia Foundation (TAF). Semua lokasi memiliki permasalahan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam terkait konsesi pertambangan, atau perkebunan, atau kehutanan di Sumatra, Sulawesi, danKalimantan. Kami telah terlebih dahulu mengirimkan peneliti lain untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan (assessment) mengenai krisis sosial ekologi yang berlangsung di setiap lokasi, dan profildari perempuan-perempuan yang mungkin menjadi narasumber dan subjek penelitian dari para pelajar-peneliti. Setelah para pelajar-peneliti diantar  ke  lapangan, dan  mengalami masa penyesuaian diriselama enam bulan turba (turun ke bawah), kami mengumpulkan mereka kembali dalam satu minggulokakarya, lalu begitu pula setelah mereka setahun di lapangan. Setiap dua/tiga minggu sekali masing-masing harus mengirimkan satu catatan lapangan dan 10 photovoice mereka pilihkan mewakili topik-topik situasi perempuan yang mereka temukan dan pilih ceritakan di catatan lapangan tersebut. Kami, para tutor, menerima 18 naskah catatan lapangan dari setiap pelajar dan lebih dari 1.500 photovoice. Pada Juli 2017 para pelajar ini pulang ke kampung halaman masing-masing.

Tiap kali mereka mengirimkan catatan lapangan, kami, para tutor,5 membaca, mengomentari, danmembuat suatu uraian yang menyapa kembali setiap pelajar. Mereka pun secara sewaktu-waktu dapat menghubungi tutor melalui pesan elektronik ataupun melalui telepon langsung ketika mereka bisa memperoleh sinyal saluran telepon. Berdasarkan naskah catatan lapangan mereka, secara periodik, kami membuat pula suatu surat panjang untuk mereka semua, yang kami beri nama Surat Malabar (Malabar adalah lokasi kantor Sajogyo Institute). Kami telah membuat 10 Surat MalabarPada akhirnya, semua peneliti menuliskan satu naskah akhir. Setelah mengalami proses kaji ulang naskah dan pemberian komentar, pujian, dan kritik oleh mentor hingga pengeditan, naskah masing-masing dimuat dalam buku ini.

Tulisan pertama dari Kasmoini, Breuh dan Mon Thoe”, menyajikan situasi perempuan di ruang-ruang geografik yang menyempit dengan ketersediaan air yang tercemar di Desa Bukit Linteung, Aceh. Acehadalah wilayah dengan sejarah geografinya yang diwarnai kekerasan militer. Awalnya peneliti bahkan mengalami kesulitan menarasikan temuannya karena trauma kekerasan yang dialaminya. Pada gilirannya,ia berani dan berhasil mengupas lapis demi lapis pengalaman perempuan dan mengungkap bagaimanaperempuan masuk dari krisis kekerasan masa DOM ke krisis ekologis.

Pasca nota kesepakatan damai di Helsinki, Finlandia, situasi hidup perempuan belum juga damaikarena lingkungan berubah. Sejak sumur-sumur di kampung yang dikelilingi konsesi kebun sawit tak cukupmengeluarkan air di masa kemarau, mereka mengandalkan Sungai Mati untuk kebutuhan harian. Sungai Mati adalah potongan sungai yang tidak lagi memiliki aliran keluar akibat pembangunan bendungan masa Orde Baru. Sungai Mati bagai ember penampung semua air buangan, termasuk limbah bocoran pipa migasExxon Mobil dan banjir yang kerap datang. Akibatnya, para perempuan menderita penyakit gatal-gatal hingga luka-luka infeksi di tubuhnya, termasuk alat reproduksi sekitar vagina dan payudara. Berbedadengan kekerasan militer di masa lalu yang menarik perhatian publik hingga dunia internasional, situasi ini tak dianggap sebagai kekerasan yang berlanjut pasca-DOM. Para perempuan ini berjuang sendirianmenghadapi kekerasan yang terus berlangsung.

Naskah kedua, ”Bengkuang, Sungai, dan Tambang: Pemiskinan Perempuan Penganyam Tikar di Mukim Manggamat”, disusun Fadhila Ibra. Ia belajar bersama perempuan-perempuan Manggamat yang memiliki hubungan  kuat dengan Sungai Manggamat yang membelah 10 dari 13 kampung di Desa Manggamat. Meski penguasaan bahasa lokal menjadi tantangan  utama bagi peneliti, tetapi dari pengalaman perempuan, ia berhasil mengungkap hubungan perubahan ekologis yang terjadi di sepanjang Sungai Manggamat bersama berubahnya rezim DOM hingga pasca-DOM dan akibatnya pada perempuan. Dulunya Sungai Manggamat kayaikan sumber protein keluarga. Sepanjang sungai adalah kebun-kebun warga dan tempat tumbuh bengkuang yang adalah bahan untuk menganyam tikar (memayu amak).

Saat konflik DOM Aceh, perempuan menjadi tulang punggung ekonomi keluarga di tengah tekanan dankekerasan yang dilakukan pihak GAM ataupun TNI kepada mereka. Pasca-DOM, giliran rezim baru membuka hutan di kawasan hulu lewat pemberian izin tambang bijih besi dan emas, sedangkan sungainya menjaditempat buangan limbah tailing yang mengandung merkuri. Belakangan, warga sekitar juga menyerbu kawasan itu untuk menambang emas. Mandi di sungai kini membuat kulit gatal. Ikan dan bengkuang, sumber ekonomi perempuan di sepanjang Sungai Manggamat, juga sulit didapat karena pencemaran dan banjir yang makinkerap datang.

Aisah asal Tidore, Maluku, menjadi saksi perubahan yang terjadi di Desa Perigi Talang Nangka. ”Sayamenyaksikan perubahan ini, terasa begitu cepat. Saya pernah ikut mengetam padi Maret tahun 2016. PadaOktober tahun 2016, tak ada lagi padi sonor di sana.” Naskah ini memaparkan tentang ”Talang dan Rawang:Tanah Juang Perempuan Perigi Talang Nangka”, di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan.Talang sebutan untuk tanah, sedangkan rawang adalah gambut. Keduanya merupakan lahan pertanian yang dilihat Ais sebagai tanah juang perempuan. Sebab, perempuan berjuang di antara reorganisasi ruang talang dan rawang sejak masa kolonial yang diarahkan oleh pasar dan komoditas global. Mulai pembukaanperkebunan karet di masa kolonial, penetapan kawasan konservasi dan penebangan kayu ramin dan meranti dimasa Orde Baru, serta perkebunan sawit dan proyek cetak sawah di masa Reformasi. Situasi yang mengancamsonor, cara bertani padi yang khusus di rawa/tanah gambut, berbasis kearifan lokal, yang tak butuh tenaga dan biaya sebanyak bertani sawah.

Kebakaran yang makin sering di Rawang dan harga karet jatuh tak membuat perempuan surut mempertahankan tanahnya yang dicaplok perkebunan sawit, yang dibantu Brimob masuk kampung merazia laki-laki. Namun,  larangan pemerintah membakar Rawang untuk bertani cara sonor dengan alasan menyebabkan kebakaran lahan dan hutan mengantarkan perempuan Perigi menghadapi tantangan baru: cetaksawah, gagal panen, dan beradaptasi dengan pertanian modern berbiaya tinggi.

Sedumuk Bathuk Sanyari Bumi: Perlawanan dan Nasib Hidup Transmigran di Tanah Harapan” merupakan naskah keempat yang ditulis Rina Syahputri dan Puspita Indah Sari Sitompul. Keduanya memaparkan tentang mimpi orang miskin yang meninggalkan kampung halaman di Jawa menuju Sumatra Selatan pada 1981: mimpi memiliki tanah dengan mudah dan hidup sejahtera, mimpi para transmigran.Namun, semua itu tak semudah impian. Warga Desa Nusantara harus bertani di lahan gambut yang asamdan membanjir di musim hujan, menghadapi satwa liar, wabah muntaber, air kotor sewarna kubangan kerbau, kebakaran gambut di musim kemarau, dan gagal panen berkali-  kali. Tanah didapat, tapi biayabertani tinggi dan hidup dalam paceklik demi paceklik yang berkelanjutan. Meskipun panen raya dicapai pada 1990-an, gagal panen terus mengancam.

Di tengah situasi tersebut, perempuan memiliki beban kerja yang tinggi, tak hanya karena kerja domestik dan produktif yang meningkat dalam kondisi alam setempat, tapi juga dililit biaya produksipertanian modern yang terus naik, yang dijabarkan penulis melalui pembagian kerja secara gender dalam pertanian sawah. Belum lagi sengkarut tanah cadangan desa untuk kepentingan bisnis pemerintah danperusahaan sawit, yang akan memobilisasi mereka menjadi buruh upahan perkebunan sawit melalui skemaplasma.

Indra Agustiani menuliskan naskah ”Kisah Gurandil Onek dan Gacong di Desa Cisarua”, yangdulunya bagian dari wilayah masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul. Kawasan yang bertetangga dengan TNGunung Halimun ini pada masa kolonial menjadi ondernaming atau perkebunan skala besar karet dengan buruh yang didatangkan dari kawasan sekitarnya. Pada masa kemerdekaan, perkebunan hanya berpindah tangan dan berubah jenis komoditas. Namun, Indra menuturkan perubahan besar-besaran terjadi sejak survei eksplorasi emas pada 1985, dan dilanjutkan dengan beroperasinya PT AG tujuh tahun kemudian.

Belakangan masyarakat yang menjadi buruh perusahaan memilih menambang sendiri di tepi sungai hingga ke gunung-gunung wilayah konsesi PT AG. Para penambang ini bertambah dan dianggap mencuri  cadangan  emas perusahaan. Mereka dianggap liar, atau disebut gurandil—sebutan yangmenurut penulis sewenang-wenang—sebab gurandil hanyalah buruh yang bekerja, di bawah ancaman penyakit dan kematian di lubang tambang, pada juragan bermodal besar yang luput dari tuduhan liar. Dalam situasi inilah penulis menghadirkan Mak OT, sosok yang disebutnya sebagai emaknya gurandil jelata. Mak OT gurandil perempuan, atau gacong, harus bertahan hidup dalam lingkungan yang tercemar, beban kerja yang tinggi, kondisi kerja yang berat dan maskulin, lahan pertanian yang ditinggalkan, serta berbagai jenis penyakit baru yang mengintai sejak hadirnya tambang emas.

Naskah ”Narasi Perempuan Urban dalam Krisis Ekosistem” ditulis Sartika Nursalati, memaparkan bagaimana praktik oligarki dari penguasa pemerintahan, partai politik, dan pengusaha pertambangan batubara di Desa Sempaja Utara, Kota Samarinda. Penulis mengamati sejarah terbentuknya Kota Samarinda lewat kedatangan orang Bugis, yang kemudian berkuasa di masa kejayaan industri kayu pada masa Orde Baru. Situasiyang mengantarkan Samarinda tumbuh menjadi kota urban yang menampung limpahan penduduk wilayah lain, baik yang datang untuk merantau, mencari kerja, maupun menjadi transmigran. Wilayah kota terbagi berdasarkan pengelompokan etnis dan geografis yang berkesesuaian dengan praktik politik dari penguasa pemerintahan, partai politik, dan pengusaha pertambangan batu bara. Para elite penguasa pemerintah mengubah lanskap Samarinda untuk melayani kebutuhan pasar global, sejak industri kayu hingga penggalian batu bara pasca-Orde Baru.

Dalam situasi seperti itulah Sartika memaparkan bagaimana perempuan urban di Desa Sempaja Utara hidup di antara lahan pertanian yang rusak, petani yang berubah menjadi buruh jasa, tumbuhnya bisnis seks dan narkoba, sumber air tercemar, banjir yang menjadi rutin dan menghebat, konsumerisme, lilitan utang, dan lubang tambang yang mengancam anak- anak mereka. Sudah 16 anak meninggal di lubang tambang batubara. Apa yang terjadi di Sempaja Utara sebagai kait-kelindan antara kepentingan oligarki politik, pebisnistambang, dan solidaritas etnik. Politisi-birokrat membangun basis-basis dukungan dengan memelihara organisasi keetnisan, hubungan patron-klien, organisasi preman dan pengusaha, yang kesemuanya diongkosi oleh pengerukan sumber daya alam yang berakibat merosotnya kondisi lingkungan, korupsi, dan matinyaanak-anak di lubang tambang.

Rassela Malinda menuliskan naskah ”Kelapa Sawit Datang, Banjir Sungai Hilang”, tentang potret krisisnelayan dan konsumerisme gaya hidup di Desa Liang Buaya, Kabupaten Kutai Kartanegara. Meskipun tidakbisa berenang, Rassela Malinda tinggal dengan komunitas sungai dengan rumah-rumah apung (mandaan) dan rumah darat yang berderet sepajang tepian Sungai Kedang Rantau, yang dikelilingi gambut. Tata produksikeluarga sejak dulunya, laki-laki merawai atau menjaring ikan dan perempuan pija ikan atau membuat ikan asin.

Naskah yang disusun Kristina Pakpahan, ”Ciu dan Pemiskinan Perempuan Punan Dulau”, inimemaparkan situasi yang dihadapi perempuan Desa Punan Dulau yang tinggal di tepian Sungai Sekatak,Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Kristina berhasil menunjukkan bagaimana proses marginalisasi, penyempitan ruang hidup dan daya bertahan hidup masyarakat adat Punan Dulau yang dipindah paksaoleh tentara pada 1970-an ke wilayah hilir. Sejak itu hutan adat mereka menjadi hutan negara dan hutan perusahaan logging. Mereka tinggal dan beranak-pinak di ”rumah” baru seluas 0,48 hektare, yang 31 tahun kemudian hanya bertambah menjadi 1,8 hektare untuk hunian 67 keluarga dan 42 rumah.

Mereka berusaha bertahan hidup dengan bekerja serabutan menjadi buruh murah perusahaan logging dan HTI, menjadi buruh tani, meminjam tanah pertanian orang Tidung, menjadi penambang emas, menganyam pandan, dan membuat ciu. Upaya-upaya yang membuat perempuan Dulau meningkat beban kerjanya dan menjauh dari adatnya. Saat pesta adat, orang Dulau meminum pengasih—sejenis ciu beralkohol rendah dari beras yang difermentasi sehingga tak membuat mereka mabuk. Kini, Desa Dulaujustru menjadi produsen dan konsumen ciu sekaligus. Kebiasaan mabuk seolah menjadi pelarian akibatruang hidup yang makin menyempit.

Naskah Rini Andriani dan Kristina, ”Cerita Perempuan Dayak Keninjal: Pemindahan dari Gunung ke Sempadan Sungai”, memaparkan tentang perubahan-perubahan agraria di sekitar ruang hidup suku Dayak Keninjal yang kini tinggal di sepanjang tepian Sungai Keninjal di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Penulis memaparkan sejarah perpindahan orang Dayak Keninjal yang dikenal sebagai orang bukitdari perbatasan Kalimantan Tengah ke Kalimantan Barat, ke Dukuh Pengumbut. Namun, kepindahanberikutnya ke Nanga Potai di tahun 1970 ke daerah pesisir sungai oleh pemerintah dengan alasan penyeragaman, bukan kemauan mereka. Kepindahan yang justru  membuat ruang hidup menyempit sebab jarak Pengumbut jauh dari Nanga Potai, kawasan ini juga ditetapkan pemerintah sebagai kawasanlindung.

Pada 2008, sekitar 95% lahan Desa Nanga Potai berstatus hutan lindung. Hanya 5% yang bisadikelola masyarakat dan pemerintahan lokal. Situasi yang mengubah kondisi orang Keninjal, termasukperempuan. Penghasilan mereka menurun karena tak bisa berkebun di Pengumbut yang jaraknya cukup jauh. Budaya perori atau gotong royong untuk mengelola lahan kini berubah menjadi relasi majikan dan buruh karena orang tak punya pekerjaan untuk menghasilkan uang tunai.

Naskah Ramlah Laki, ”Lambori yang Terkoyak: Kisah Perempuan dan Perubahan Corak Produksi diBetaua, Sulawesi Tengah”, memaparkan tentang perubahan lingkungan yang memengaruhi berubahnya corak produksi perempuan. Corak produksi pertanian pangan awal Desa Betaua berupa jagung pulut, jagung karajaona, padi ladang, umbi-umbian, dan pisang melahirkan praktik-praktik sosial budaya pada komunitas yang komunal. Pada 1980-an corak produksi pertanian mulai berubah dan belakangan didominasi jagung hibridayang membutuhkan biaya lebih tinggi untuk pembelian bibit, pupuk, dan pestisida. Sementara penduduk pesisir menghadapi perubahan kawasan tempat tangkapan ikan karena berubah menjadi pelabuhan pertambangan bijih besi pada tahun 2011, meskipun belakangan dapat dihentikan.

Situasi ini berkelindan dengan kepentingan bupati yang mengeluarkan izin pertambangan danpenggelapan dana ADD (anggaran dana desa). Dalam situasi seperti itulah Ramlah Laki memaparkan bagaimana perempuan penganyam lambori atau daun pandan bertahan hidup. Pengalaman mereka membuktikan hubungan yang erat antara alam dan perempuan, tetapi juga perubahan lingkungan akibat kebijakan yangmengantarkan kepada perekonomian desa yang rapuh.

Naskah ”Buruh di Tanah Sendiri: Kisah Para Perempuan Buruh di Desa Transmigrasi Minti Makmur,Kabupaten Dongala di Sulawesi Tengah” ditulis oleh Tirza Pandelaki. Naskah ini dengan gamblang memaparkanbagaimana proses yang dialami perempuan sehingga menjadi buruh di tanahnya sendiri dengan bayaran murah. Ia menggali sejarah transmigrasi dari Jawa dan Bali yang datang ke wilayah Riopakava pada 1991, yangkemudian menjadi desa transmigran Minti Makmur. Kawasan yang mengalami perubahan lanskap beberapa kali, dari hutan menjadi persawahan dimulai tahun 1996, yang kemudian diubah menjadi tanaman yangdibutuhkan pasar global, yaitu kakao (1996-2004), disusul perkebunan sawit (2004-sekarang).

Perubahan dari lahan pertanian pangan menjadi tanaman komoditas global telah mengubah bentanglahan dan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat. Matinya tanaman cokelat karena penyakit dan desakan HGUsawit merampas lahan warga membuatnya tak punya pilihan kecuali mengganti kakao dengan sawit. Situasi inimembuat warga Minti Makmur berpartisipasi menjadi buruh dalam seluruh daur perkebunan sawit, mulai dari pembibitan, sopir, hingga panen. Sejak itu Minti Makmur masuk dalam daur produksi sawit perusahaan, menjadi buruh atau menjadi pemilik kebun yang menjual hasil panennya ke perusahaan. Dalam situasi ini,beban kerja perempuan semakin berat, sekitar 8 jam bekerja di kebun sebagai buruh dan menghabiskan sisanyauntuk kerja- kerja domestik, yang masih disebut sebagai ”membantu suami”. 

 

Refleksi Penutup 

Para mahasiswa yang mengikuti kuliah mengenai metode/metodologi penelitian biasanya dibiasakan oleh anggapan bahwa metode penelitian bagaikan alat penangkap ikan yang bisa dipilih-pilihsesuai dengan keperluan si nelayan. Metafora itu dipakai di sini untuk menunjukkan apa yang selaludianut para pemula, dan kadang kala diajarkan pula oleh para guru metode penelitian sehingga metafora ini terus hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya, termasuk melalui buku-buku dan kuliah metode penelitian. Pandangan ini tidaklah keliru. Namun, pandangan tersebut kurang memadai. Etnografi bukancuma sebagai alat atau cara memperoleh pengetahuan yang bisa dipilih oleh peneliti secara bebas atas dasar pertimbangan kemanjuran dan keterbatasannya.

Pengalaman kesebelas pelajar-peneliti menunjukkan bahwa meneliti dan belajar bersama perempuan kampung adalah suatu dedikasi/pengabdian untuk melintasi batas-batas kelas sosial danruang geografi, masuk dan hidup bersarang di kampung. Yang dipilih untuk dipergunakan di sini adalahterjun dan hidup bersama para perempuan kampung tersebut. Dalam bahasa Inggris, ada istilah untuk metode ini, yakni live in, yang berarti ”to live at the place where you work or study” (hidup di tempat dimana kamu bekerja atau belajar)Alih-alih mengklaim objektivitas, karya-karya yang dihasilkan parapeneliti-pelajar merupakan penjelasan-penjelasan parsial, sesuai dengan maksud kami menghadirkansejumlah situasi perempuan kampung yang para pelajar-peneliti pilih untuk sajikan. Kami di sinimerayakan keistimewaan penjelasan parsial tersebut. Hasilnya adalah pengetahuan-pengetahuan yanglahir berdasarkan situasi tertentu, yang dalam hal ini adalah situasi pelajar- peneliti ataupun situasi perempuan yang diteliti. Inilah yang dimaksudkan sebagai situated knowledge dalam literaturmetodologi penelitian feminis (Hardaway, 1988).

Apa yang dilakukan oleh para pelajar-peneliti adalah membuat suatu ikatan sosial bersama paraperempuan kampung yang sedang berjuang dalam kemelut krisis sosial ekologi. Ikatan ini adalah alas dari hadirnya potongan- potongan cerita pengalaman dan pandangan dari kaum yang berada di bawah tanah(subaltern perspective). Kita semua diistimewakan oleh sajian kesebelas pelajar-peneliti ini untuk melihat cara-cara bagaimana metabolisme alam dan tatanan sosial yang memeliharanya tercabik-cabik (the fracturedlocus – cf. Lugones, tahun 2010), dan status kesejahteraan dari keluarga perempuan-perempuan kampung merosot. Kesemua itu berada dalam konteks reorganisasi ruang yang sedang berlangsung secara besar-besaran, yang terutama digerakkan oleh konsesi-konsesi perkebunan, kehutanan, dan pertambangan demiproduksi komoditas global (Rachman, tahun 2015, 2017). Demikianlah. Etnografi kritis telah diberi kesempatanmenunjukkan keampuhannya, selain membuat kita mengerti lebih baik situasi perempuan yang sedangberjuang dalam kemelut, drama, atau krisis sosial ekologi masing- masing. Lebih dari sekadar memahami, etnografer mempunyai keampuhan etnografis (ethnographic authority), yakni berperan membuat situasisubjek yang diteliti bisa diperlihatkan, atas dasar kehadiran peneliti secara langsung. Pengetahuan yang disajikan menjadi pengisi kekosongan bahkan kritik atas kesadaran kita mengabaikan keberadaannya (disebut: invisibility), hingga kritik terhadap penguasa, dan beragam bentuk penunjuk jalan perubahan bagi para pejuang nasib subjek yang diteliti, demi menghidupkan harapan percapaian cita-cita keadilan sosial, keadilan gender, keadilan ekologis, dan ragam cita-cita mulia lainnya.

Merupakan tantangan berikutnya, bagaimana para etnografer pada gilirannya juga bisa terlibat dalam berbagai situs perjuangan, pertarungan, dan perundingan yang berkenaan dengan upaya perubahan situasisubjek yang diteliti. Tantangan ini, sesungguhnya, bisa merupakan babak selanjutnya dari proses belajar dandedikasi dari para penulis. Bakal menjadi cerita yang menarik di babak berikutnya.

Selamat menikmati.


Daftar Pustaka

Chen, Kuan Hsing. 2010. Asia as Method: Toward Deimperialization. Durham, NC: Duke University Press.

HarawayDonna. 1988. ”Situated Knowledges: The Science Question in Feminism and the Privilege of PartialPerspective”. Feminist Studies 14(3):575- 599.

Lugones, Marta. 2010. Toward a Decolonial FeminismHypatia 25(4):742-759.

Madison, D. Soyini. 2005. Critical Ethnography: Method, Ethics, and Performance. Thousand Oaks, CA:Sage.

Mamdani, Mahmood. 1996. Citizen and Subject: Contemporary Africa and the Legacy of Late Colonialism.Princeton: Princeton University Press.

MarcoesLies M. 2014. Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan. Editor, Roem Topatimasang. Photographs by, Armin Hari. Yogyakarta: Insist Press.

Mignolo, Walter. 2011a. ”Epistemic Disobedience and the Decolonial Option: A Manifesto”.Transmodernity:Journal of Peripheral Cultural Production of the Luso-Hispanic World 1(2):44-66.

         . 2011b. ”Coloniality: The Darker Side of Modernity,” in Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options. Durham and London: Duke University Press, hlm. 39-49.

         . 2008. ”Preamble: The Historical Foundation of Modernity/Coloniality and the Emergence of Decolonial Thinking”. A Companion to Latin American Literature and Culture. Wiley-Blackwell, hlm. 12-32.

Quijano, Anibal. 2000. ”Coloniality of Power and Eurocentrism in Latin America.” International Sociology15(2):215-232.

         . 2001. “Coloniality and Modernity/Rationality” dalam Cultural Studies 21(2–3): 155-167.

Rachman, Noer Fauzi. 2015. ”Memahami Reorganisasi Ruang Melalui Perspektif Politik Agraria”, Bhumi Jurnal Agraria dan Pertanahan 1(1):1-12.

          . 2017. Panggilan Tanah Air. Yogyakarta: Insist Press.

Siscawati, Mia. 2013. ”Memahami Disposesi dan Kuasa Eksklusi dalam Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit Melalui Tutur Perempuan”. Naskah yang disiapkan sebagai bahan diskusi dalam Kursus Agraria Sajogyo Institute, bertemakan ”Perubahan Agraria di Beragam Tempat Komoditas Global,” diselenggarakan di Bogor, 10-17 September 2013.

Wang, Carolinedan Mary Ann Burris. 1997.”Photovoice: Concept, Methodology, and Use for Participatory NeedsAssessment”, Health Education and Behavior, 24 (3), 369-87

 

No comments:

Post a Comment