Kapitalisme Pembuka Kotak Pandora? Terganggunya Kebudayaan Agraris Tradisional dan Penyebaran Zoonosis


Noer Fauzi Rachman (2020) "Kapitalisme Pembuka Kotak Pandora, Terganggunya Kebudayaan Agraris Tradisional dan Penyebaran Zoonosis", dalam  Covid-19, Perubahan Iklim dan Akses Rakyat Terhadap Keadilan - Prosiding Konferensi Nasional "Hak Asasi Manusia, Kebudayaan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia pada Masa Pandemi Covid-19: Tantangan untuk Keilmuan Hukum dan Sosial".  Volume 4. Myrna A. Safitri, Asep Yunan Firdaus, Agung Wibowo (Penyunting). Jakarta: Media Sains Indonesia, 2020. Halaman 1-42

Naskah sepenuhnya secara bebas data diunduh dari https://sisdam.univpancasila.ac.id/uploads/repository/lampiran/DokumenLampiran-28062021135453.pdf 


 

Lukisan Pandora opening her box (James Gillray, 1809). James Gillray (1756-1815) adalah pembuat karikatur dan penatawajah barang cetakan yang terkenal atas satir sosial dan politik yang dibuatnya kisaran 1792 hingga 1810. Banyak karyanya dikoleksi di the National Portrait Gallery at London.  Sumber: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Pandora_opening_her_box_by_James_Gillray.jpg (akses 25/06/2020)  

 

  

 “... Selamatlah rakyatnya, Selamatlah putranya,

Pulaunya, lautnya, semuanya. 

Majulah Negerinya, Majulah pandunya,

Untuk Indonesia Raya. ...”

(Bait ketiga, stanza ketiga, Lirik Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dimuat dalam mlampiran Undang-undang No 24/2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan).  

 


 

I. Pembuka 

Zeus adalah dewa penguasa Dunia. Karena mencuri api dari surga, dan kemudian api itu diberikan pada manusia, Zeus menghukum Promotheus secara brutal, mengikatnya di tebing dan membiarkan burung-buruh memakan tubuhnya. Zeus kemudian memerintahkan Hephaestus, dewa kerajinan tangan, untuk menciptakan seorang perempuan pertama yang cantik di dunia dari tanah liat, dinamai Pandora, yang secara harfiah berarti hadiah yang melimpah, lalu memberinya nyawa dan suara. Para dewa memberkahinya banyak dengan keistimewaan: Aphrodite (dewi cinta) memberinya kecantikan dan pesona-pesona lain, dewa-dewi Horae (para penguasa waktu) meletakkan mahkota dari rangkaian bunga seputih salju yang harum semerbak di kepalanya.  Apollo memberinya kemampuan musik, Hermes memberinya kecakapan membujuk, dan Athena memberkatinya dengan segala gaun-gaun indah dengan perhiasan yang berkilau, dan sebagainya. 

Pandora diberikan untuk Epimetheus, saudara Promotheus, yang dihukum oleh Zeus tadi. Meski Promotheus telah memperingatkan Epimetheus (saudaranya) agar tidak menerima hadiah dari Zeus, Epimetheus mengabaikan nasihat itu dan menerima Pandora. Pandora diberi juga Zeus sebuah sebuah kotak dengan pesan tidak boleh dibuka dalam keadaan apa pun. Terdorong oleh suara-suara godaan dari semua yang dari dalam toples, dan harsat nya untuk membuat Pandora membuka kotak itu. Akibatnya tak terkira semua malapetaka buruk keluar kotak dan menyebar ke seluruh bumi. Dia buru-buru menutup tutupnya, tetapi seluruh isi toples telah terbang keluar, kecuali untuk hal masih ada satu terletak di bagian bawah kotak, dan yang satu itu adalah harapan.[1]

Metafora mitos Yunani tentang Pandora di atas saya pakai disini untuk memaknai suatu wabah pandemi dari suatu penyakit yang dinamai Covid-19, yang sedang melanda sebagian besar umat manusia sekarang ini.[2] Covid-19 adalah nama yang diberikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Covid adalah singkatan dari corona virus desease, penyakit yang disebabkan virus corona jenis khusus yang dinamakan SARS-CoV-2, dan angka 19 dari saat penyakitnya mulai mewabah[3] di bulan Desember 2019 di Wuhan, Cina. 

Setelah menyajikan metafora cerita mitologi Pardora itu, naskah ini akan menjelaskan etiologi dari Covid-19, dan berlanjut dengan saya mengedepankan pendekatan Structural One Heath yang dimotori Robert Wallace dkk (2016, 2020)[4] bahwa Covid-19 yang bermula dari letusan (outbreak) Wuhan, Cina,  dan wabah dari pathogen zoonosis lainnya, menyebar oleh penularan antar manusia yang menyertai rantai komoditas global (global commodity chains) -- satu karakteristik utama dari bekerjanya kapitalisme global dewasa ini. Structural One Health adalah bidang baru, yang meneliti dampak sirkuit modal global dan konteks fundamental lainnya, termasuk sejarah budaya yang mendalam, terhadap agroekonomi regional dan dinamika penyakit terkait lintas spesies (Wallace et al 2015).[5]

Bagian berikutnya dari artikel ini menunjukkan bagaimana pengalaman hidup dalam pandemic Covid-19 ini memberi petunjuk penting bagaimana kapitalisme membentuk kombinasi kerentanan ekonomis, ekologis, dan epidemiologis secara sekaligus, sebagaimana dikemukakan oleh John Bellamy Foster and Intan Suwandi (2020).[6]  

Naskah ini, pengembangan dari artikel saya sebelumnya[7]. Saya mulai menerangkan karakteristik dan asal-usul dari virus ini mulai dari keluarnya dari inang dan primary reservoir-nya, berubah menjadi patogen zoonosis SARS-CoV-2 yang bisa transfer antar manusia, kemudian menyebar, terutama dalam kondisi konsentrasi manusia yang kondusif, serta mobilitas manusia pembawa penyakit, hingga menjadi pandemi yang mengglobal.  

Mulanya adalah pada tanggal 31 Desember 2019, 27 kasus radang paru-paru pneumonia dengan etiologi yang tidak diketahui diidentifikasi di Kota Wuhan, provinsi Hubei di Cina.Kota Wuhan adalah kota terpadat di Cina tengah dengan jumlah penduduk melebihi 11 juta. Semua kasus terkait dengan Pasar Grosir Makanan Laut Huanan Wuhan, yang memperdagangkan ikan dan berbagai spesies hewan hidup termasuk unggas, kelelawar, marmut, dan ular. Separuh lebih dari mereka yang terinfeksi Covid-19 adalah laki-laki dengan usia rata-rata 56 tahun.[8]  Penyebabnya berhasil diidentifikasi dari sampel usap tenggorokan yang dilakukan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Cina (CCDC) pada 7 Januari 2020, dan kemudian dinamai Covid-19 oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).[9] SARS-CoV-2 sangat mudah berpindah dari satu manusia ke manusia lain, melalui butir-butir cairan dari mulut dan hidung (droplet), dan menyebabkan para penderita Covid-19 mengalami gejala klinis pneumonia (radang paru-paru): batuk kering, sesak nafas, demam, dan ada gambaran (infiltrateakibat adanya dahak (mucus) di paru-paru.   Sebagian besar pasien yang terinfeksi Covid-19 di Wuhan itu menderita gejala sulit bernapas akibat terjadinya penumpukan cairan di dalam kantong paru (edema paru), pneumonia berat, dan sindrom gangguan pernapasan akut. Mereka mengalami komplikasi fatal termasuk kegagalan organ, syok septik (keadaan kegawatdaruratan yang disebabkan peradangan di seluruh tubuh).[10]

Virus penyebab covid-19 disebut Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 disingkat SARS-CoV-2 adalah spesies yang tergolong genus betacoronavirus (Beta-CoV), keluarga besar Coronaviridae. Selain SARS-CoV-2, ada enam  spesies virus dalam keluarga besar ini yang diketahui menginfeksi manusia, yakni virus yang diberi kode 229E, NL63, OC43, HKU1, MERS-CoV, dan SARS-CoV. 

 

II. Bagaimana SARS-CoV-2 bisa keluar dari kelelawar sebagai inang utamanya menjadi pathogen zoonosis

 

Virus-virus sesungguhnya mulai dipelajari sebagai asal-muasal kehidupan. Ia berada di antara benda mati dan mahluk hidup. Virus-virus memiliki reputasi buruk karena menginfeksi manusia ini bisa membanyak dengan fasilitasi protein yang menghidupinya, dan membuatnya bisa “berkembang biak”. Dalam kasus Covid-19, virus ini begitu cepat membanyak sedemikian rupa sehingga bisa membuat penderitanya menjadi pilek saja, atau hingga gangguan penafasan yang akut. Ketika berkomplikasi dengan daya tahan tubuh yang lemah, atau penyakit lain yang telah diidap sebelumnya, bisa sampai mengakibatkan gangguan organ yang vital, termasuk kegagalan fungsi organ paru-paru, yang bisa mengakibatkan kematian.

Karena virus bukan mahluk hidup, ia musti meminjam mahluk hidup lain, untuk bisa memiliki siklus hidup hingga melipangandakan dirinya. Coronavirus berukuran sangat kecil (diameter 65-125 nanometer) memiliki materi inti satu untaian RNA ukuran panjangnya 26-32 kbs. Virus  SARS CoV-2 termasuk Coronavirus  dari subfamily Orthocoronaviridae family Coronaviridae, Ordo Nidovirales, dan bisa menginfeksi binatang vertebrata burung, musang, hingga mamalia. Sebenarnya, maksud virus ini berpindah ke manusia sama saja dengan  maksudnya berpindahnya  ke hewan lainnya, yakni mencari kehidupan yang dapat menghidupinya.  Para peneliti etiologi,[11] ilmu mengenai asal-usul penyakit, berhasil menemukan bahwa primary reservoir, tuan rumah pertama,  dari Virus SARS CoV-2 adalah kelelawar. Kemudian mereka menemukan  bahwa sampel yang berasal dari musang yang memperlihatkan hasil deteksi RNA positif, sehingga diduga musang adalah tuan rumah kedua. Genom adalah keseluruhan informasi genetik yang dimiliki  organisme. Telah diketahui lebih dari 80 persen Genom  dari SARSCoV2 identik dengan coronavirus yang lalu (SARS-like bat CoV).  Menurut pohon evolusi, SARS2 berada dekat dengan kelompok coronavirus  SARS CoV. 

Dalam artikelnya, Muhammad Adnan Shereen et al (2020) menerangkan siklus hidup SARS CoV2 mulai dari saat masuk sel tuan rumahnya mulai dengan protein S mengikat pada reseptor cellular ACE2 (lihat Gambar 2). 

 

Gambar 1: Siklus hidup SARS-CoV-2 dalam sel inang 

Setelah mengikat reseptor, protein S  melakukan fasilitasi fusi dari amplop virus dengan sel membran melalui jalan endosom. SARS -COV2 melepaskan RNA ke sel tuan rumah. Lalu Genome RNA diterjemahkan pada viral replicase polyprotein dan mengalirkan produk kecil dengan viral proteinasePolymerase kemudian memproduksi suatu seri  dari mRNA sub genomik dengan menghentikan transkripsi  dan akhirnya menerjemahkan  menjadi protein virus yang relevan. Selanjutnya protein virus  dan genom RNA digabungkan pada virion  dalam ER dan Golgi lalu dikirim melalui vesikula dan dilepaskan keluar dari sel. ACE2, angiotensin-converting enzyme 2; ER, endoplasmic reticulum; ERGIC, ER–Golgi intermediate compartment. Mutasi N501T pada protein  SARS-CoV2 mungkin meningkatkan secara bermakna  kemampuan mengikat untuk ACE2.

Sumber: Muhammad Adnan Shereen, Suliman Khan, Abeer Kazmi, Nadia Bashir, and Rabeea Siddique (2020) “COVID-19 infection: Origin, transmission, and characteristics of human coronaviruses”, Journal of Advanced Research 24 (2020) 91–98.

 

Transmisi macam-macam mikroba-mikroba dari inang-inang utama (primary reservoirs)-nya ke binatang-binatang inang lainnya, lalu ke manusia adalah proses yang lazim terjadi. Apalagi dalam masyarakat yang hidup dalam kebudayaan “tradisional agraris”, yang sebagian makanannya masih didapat dari berburu binatang liar. Yang menjadi masalah kesehatan publik adalah ketika suatu mikroba itu pindah ke manusia menjadi pathogen zoonosis dan pada gilirannya pindah antar manusia, menyebar luas menjadi wabah. WHO (1959) sudah semenjak dahulu meneliti mengenai penyakit zoonotik adalah penyakit yang secara alami dapat menular dari hewan vertebrata ke manusia (atau sebaliknya).[12] Selain virus, pathogen zoonosis bisa dilakukan oleh bakteri, jamur, serta parasite seperti protozoal dan cacing. Taylor et al (2001) berani memperkirakan lebih dari 60% penyakit infeksi pada manusia tergolong zoonosis. [13]  Hal ini menimbul kewaspadaan ahli-ahli kesehatan publik di berbagai negara di Asia, termasuk Indonesia terhadap penyakit infeksi yang baru muncul (EID, emerging infectious disease) serta penyakit infeksi yang muncul kembali (re-emerging infectious disease), di mana mayoritas penyakit-penyakit tersebut merupakan zoonosis.[14] 

Kate E. Jones et al (2008)[15] mengkonfirmasi banyaknya penyakin infeksi disebabkan zoonosis, melalui analisis atas 335 insiden penyakit EID antara tahun 1940 dan 2004, dan menunjukkan pola-pola global yang tidak sembarang (acak). EID telah meningkat secara signifikan dari waktu ke waktu,  dengan puncaknya (pada 1980-an) bersamaan dengan pandemi HIV. Peristiwa EID didominasi oleh zoonosis (60,3% EID): sebagian besar (71,8%) berasal dari satwa liar (misalnya, virus pernapasan akut parah, virus Ebola), dan meningkat secara signifikan dari waktu ke waktu. 54,3% kejadian EID disebabkan oleh bakteri atau rickettsia, yang mencerminkan sejumlah besar mikroba yang resistan terhadap obat. Asal-usul EID secara signifikan berkorelasi dengan faktor sosial-ekonomi, lingkungan dan ekologi, dan memberikan dasar untuk mengidentifikasi daerah-daerah di mana EID baru kemungkinan besar berasal (penyakit yang muncul pada wilayah 'hotspot'). Di banyak kota di Cina, seperti juga di banyak belahan bumi tropis dan sub-tropis, makanan dari binatang liar semakin menjadi bagian sektor ekonomi formal. Ketika produksi peternakan industrial babi, unggas, dan sejenisnya meluas membuka hutan-hutan primer, para pemburu binatang liar untuk dijual, dengan motif peroleh pendapatan/keuntungan, bergerak masuk lebih dalam ke sumber utama habitat populasi hewan liar, termasuk hewan liar yang menjadi inang dari patogen-patogen baru (Wallace 2015, 50-84)[16].



                                                   

Gambar 2. Kover buku yang menjadi rujukan belajar-mengajar mengenai pathogen zoonosis  

I Wayan Suardana (2016) Buku Ajar Zoonosis, Penyakit Menular Hewan ke Manusia. Yogyakarta: Kanisius; 

dan Dyah Ayu Widiasih dan Setyawan Budiharta (2013) Epidemiologi Zoonosis di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.




 



Gambar 3:  Jumlah insiden penyakit yang baru muncul (emerging infectious desease, EID) dan sebaran geografisnya. Insiden EID dikalkulasi per-dekade sehubungan dengan, (a) tipe patogen, (b), tipe transmisi, (c), resistansi terhadap obat dan (d), mode transmisi. 

Sumber: Kate E. Jones, Nikkita G. Patel, Marc A. Levy, Adam Storeygard, Deborah Balk, John L. Gittleman, and Peter Daszak (2008) “Global trends in emerging infectious diseases”, Nature 451:990-994.

 

Tiap-tiap wabah karena pathogen zoonosis senantiasa merupakan gejala yang tidak terduga dan menyebabkan malapetaka kesehatan publik yang parah bagi manusia (dan bisa juga hewan). Biasanya mekanisme umumnya ditelusuri melalui pertumbuhan populasi manusia serta komoditisasi hewan melalui perdagangan, demikian menurut Corrie Brown (2004).[17] Suatu pathogen zoonosis menyebar jadi wabah melalui konsentrasi manusia yang saling kontak fisik. Pada kasus pandemi Flu 1918-1919, konsentrasi dan mobililitas lintas benua dari para tentara dari negara-negara yang terlibat Perang Dunia Pertama 1914-1918. Pandemi Flu 1918 adalah pandemi paling parah dalam sejarah manusia. Penyebabnya virus H1N1 dengan gen asal burung. Meskipun tidak ada konsensus universal mengenai dari mana lokasi virus berasal, ia menyebar ke seluruh dunia selama 1918-1919. Diperkirakan sepertiga populasi dunia terinfeksi virus ini. Jumlah kematian setidaknya 50 juta di seluruh dunia. Tidak adanya antibiotik dan vaksin penangkal virus ini menyebabkan korban berjatuhan di berbagai penjuru dunia. Virus ini turut memicu pneumonia yang menyerang paru-paru, sehingga rata-rata korban meninggal disebabkan oleh kegagalan pernapasan (Taubenberger 2006: 91).[18]

Saat ini, pathogen zoonosis bisa kemudian menyebar melintasi benua jadi pandemi, terutama  karena mobilitas manusia pembawanya dalam rantai komoditas global, hingga penyakit yang tadinya gejala lokal itu segera menyebar menjadi wabah pandemi. Di kalangan ahli epidemiologi,  yang meneliti mucul dan meluasnya jenis-jenis berbagai penyakit-penyakit baru yang berasal dari pathogen zoonosis, kelelawar menjadi salah satu fokus utama karena fungsinya sebagai primary reservoir.

Para peneliti wabah epidemi Ebola di Afrika Barat menyoroti tren berulang munculnya  pathogen zoonosis berbasis virus yang kemungkinan datang dari kelelawar. Ini menyebabkan  yang telah menyebabkan ahli-ahli epidemiologi bertanya "Apakah kelelawar memang special reservoir untuk pathogen zoonosis yang muncul?" Brook and Dobson (2015) mengumpulkan bukti dari penelitian satu dekade terakhir hingga bisa menggambarkan karakteristik yang memungkinkan kelelawar berfungsi sebagai special reservoir demikian. Mereka menunjukkan mekanisme khusus fisiologi kelelawar yang telah berevolusi untuk mengurangi stres oksidatif yang terjadi selama aktivitas yang sulit secara metabolik, seperti terbang. Lebih jauh mereka bisa menggambarkan bagaimana mekanisme tersebut mungkin telah menghasilkan efek tertentu (namanya: pleiotropic effect)  yang bertanggung jawab untuk mitigasi tumor dan kontrol patogen pada kelelawar yang berfungsi sebagai inang. Sinergisme ini memungkinkan toleransi 'khusus' patogen intraseluler pada kelelawar sebagai inang utama. Secara paradoks, hal ini dapat membuat mereka lebih rentan terhadap penyakit-penyakit khusus akibat imun berlebihan, seperti yang dinamakan seperti 'white nose syndrome (sindrom hidung putih)'.[19]

Untuk memastikan apakah kelelawar adalah inang utamanya SARS-CoV-2, Muhammad Adnan et al (2020:91-98) menunjukkan bahwa secara filogenetik ada kesejajaran antara sindrom pernafasan yang akut yang dialami penderita virus SARS-CoV-2 ini, dengan sindrom pernapasan akut yang disebabkan oleh virus lainnya dari kelelawar. Setelah analisis genom yang hati-hati, mereka menyimpulkan, seperti juga mengkofirmasi penelitian WHO disebut di muka, dan lainnya, bahwa kelelawar adalah reservoir primer, inang pertama dari virus ini.[20]



Gambar 4: Transmisi potensial dari SARS-CoV2. 

Sumber: Tauseef Ahmad, Muhammad Khan M, Haroon, Taha Hussein Musa, Saima Nasir, Jin Hui, D. Katterine Bonilla-Aldana, dan Alfonso J. Rodriguez-Morales (2020) “COVID-19: Zoonotic aspects”. Travel Med Infect Dis 2020:101607

 

 

 

 

III. Mekanisme utama pembentukan Pandemi Covid-19

 

Selain penjelasan asal usul penyakit (etiologi), diperlukan pula penjelasan penjelasan epidemiologi, yang menjelaskan cara bagaimana penyakit itu berjangkit tersebar luas.[21] Pada 30 januari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meminta pemerintah Cina menjadikan wabah outbreak Covid-19 di Wuhan itu melakukan serangkaian penanganan yang belum pernah dilakukan sebelumnya, dan memperingatkan “ekspor kasus ini secara internasional lebih lanjut dapat terjadi di negara mana pun.” Dengan demikian, “semua negara harus siap untuk karatina, termasuk pengawasan aktif, deteksi dini, isolasi dan manajemen kasus, pelacakan kontak dan pencegahan penyebaran selanjutnya infeksi dari virus 2019-nCoVection, dan untuk berbagi data lengkap dengan WHO.[22] Selanjutnya, sebuah Misi Bersama WHO-Cina bekerja, dan membuat laporan “Report of the WHO-China Joint Mission on Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) – 16-24 February 2020”, menyebutkan Covid-19 menjadi ancaman global.[23]

Sebuah studi awal yang dilakukan pada Januari 2020, terhadap 41 pasien yang positif infeksi virus yang kemudian diberi nama SARS-CoV-2. 32% dirawat di Unit Perawatan Intensif (ICU). Rata-rata usia mereka 49 tahun, dan setengah dari mereka telah mengidap penyakit lain, termasuk diabetes 20%, penyakit kardiovaskular 15%, dan hipertensi 15%. Gejala mereka terutama demam 98%, batuk 76%, dan lemas kecapekan 44%. Covid-19 menambah komplikasi parahnya keadaan pasien tersebut, termasuk dengan sindrom gangguan pernapasan 29%, RNAaemia 15%, gangguan jantung akut 12%, dan infeksi sekunder lainnya. Dari total pasien yang terinfeksi, persentasi kematian atas ke 41 pasien itu adalah 15%.[24]  

 


 


Gambar 5: Pola perkembangan penyakit untuk COVID-19 di Cina

Catatan: ukuran relatif kotak untuk keparahan penyakit dan hasil mencerminkan proporsi kasus yang dilaporkan pada 20 Februari 2020. Ukuran panah menunjukkan proporsi kasus yang pulih atau meninggal. Definisi penyakit dijelaskan di atas. Kasus sedang memiliki bentuk pneumonia ringan.

https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/who-china-joint-mission-on-covid-19-final-report.pdf  halaman 13. (akses pada 17 mei 2020)

 

Menurut Robert Walace (2020), pengalaman Wuhan di awal wabah menunjukkan rasio kematian akibat Covid-19 dari total penderita kisaran 2–4%, sedangkan di luar Wuhan, kemungkinan kematian sampai 1% bahkan kurang, namun terlihat lonjakan di sana sini, termasuk Italia dan Amerika Serikat. Rasionya, jika dibandingkan, tak seperti SARS (10%), Influenza tahun 1918 (5–20%), flu burung H5N1 (60%), atau Ebola (90%). Namun, yang jelas virus baru ini melebihi flu musiman (0,1%).[25]

Covid-19 yang bermula dari letusan (outbreak) Wuhan, Cina,  dan wabah dari pathogen zoonosis lainnya, menyebar oleh penularan antar manusia yang menyertai rantai komoditas (commodity chains) yang membentuk sirkuit global.  Rantai komoditas (commodity chain) mengacu pada jaringan kerja dan proses produksi yang hasil akhirnya adalah komoditas jadi. Sirkuit rantai komoditas (global commodity chains) ini merupakan satu karakteristik dari bekerjanya kapitalisme global dewasa ini.[26] Kapitalisme lah yang menjadi vector utama penyakit baru yang berasal dari pathogen zoonosis

“Sejumlah patogen muncul langsung dari pusat produksi. Bakteri bawaan makanan seperti Salmonella dan Campylobacter muncul. Yang lain  banyak, seperti Covid berasal dari wilayah perluasan (frontier) produksi raksasa untuk akumulasi modal. Memang, setidaknya 60 persen dari patogen manusia baru muncul dengan menular dari hewan liar ke komunitas manusia, dan beberapa sukses menyebar ke seluruh dunia. ... Dengan ekspansi yang mengglobal, industri pertanian berfungsi sebagai pendorong maupun penghubung melalui mana patogen-patogen itu berasal, bermigrasi dari reservoir yang paling jauh  di pedalaman hutan ke pusat-pusat penduduk  yang paling ramai secara internasional.” (Wallace et al., 2020).

 

Covid-19 hanya butuh dua minggu untuk bergerak ke luar China, secara simultan mengikuti rantai pasokan utama, sepanjang rute perjalanan perdagangan, dan perjalanan udara ke kantong-kantong industri dan pengusaha di kota-kota Asia Timur, Timur Tengah, dan Eropa, Amerika Utara, dan Brazil dan lanjutke sebagian besar Afrika dan sebagian besar Amerika Latin, sedemikian rupa sampai pada 3 Maret, telah mencapai 72 negara.  “Virus ini bergeraknya melalui sirkuit-sirkuit modal dan manusia-manusia yang bekerja di dalamnya”, demikian Kim Moodi (2020).[27]  Benarlah apa yang empat tahun lalu disinyalir oleh Yossi Sheffi (2015) The Power of ResilienceHow the Best Companies Manage the Unexpected,[28] bahwa “(K)eterkaitan ekonomi global yang terus tumbuh membuatnya semakin rentan terhadap penularan. Peristiwa-peristiwa penularan, termasuk masalah medis dan finansial, dapat menyebar melalui jaringan manusia yang seringkali sangat berkorelasi dengan jaringan rantai pasokan.” (Yossi Sheffi 2015:32).

Kota Wuhan ini sangat padat dengan 11 juta orang, kota ke-9 terpadat di Cina, dengan penyediaan infrastruktur transprtasi mobilitas manusia secara masal berlangsung cepat sekali. Sebagai salah satu pusat ekonomi yang menghubungkan Cina Utara, Selatan, Timur dan Barat, transportasi jalur kereta api dan pesawat terbang melalui bandara internasional utama, sangat aktif selama Tahun Baru Cina (Imlek), telah memungkinkan virus meluas ke seluruh Cina. Selanjutnya, melalui rantai pasokan komoditas dan orang-orang yang bekerja di dalamnya, serta mobilitas orang bulak-balik dari dan ke Wuhan tiap hari, wabah covid-19 pun menyebar melintas benua menjadi pandemi. 

Wuhan adalah salah satu pusat interaksi dan konektifitas ekonomi kapitalisme dunia yang membentuk rantai komoditas yang meluas. Dalam dua atau tiga dekade terakhir, perampingan sistem produksi, pengiriman tepat waktu, dan, baru-baru ini, "kompetisi berbasis waktu," bersama dengan perbaikan infrastruktur transportasi dan distribusi, telah mempercepat kecepatan transmisi komoditi (barang-barang jualan). Satu studi dari Indeed, Dun and Bradstreet (2020) menyebutkan bahwa 51.000 perusahaan di seluruh dunia memiliki satu atau lebih pemasok langsung di Wuhan, sementara 938 perusahaan dari 1000 daftar Fortune memiliki satu atau dua pemasok tingkat di wilayah Wuhan.[29]

Lebih dari sebagai ancaman, Covid-19 telah menjadi global game changer yang telah menjadi memporak-porandakan hampir semua aturan main dengan cepat dan drastic. Ini adalah perubahan revolusioner, dengan kekuatan pengubahnya adalah serangan Covid-19, a non human nature, yang menakutkan. Hingga, banyak banyak orang hidup dalam situasi melindungi diri dari serangan, yang disini saya pakai istilah Jerome Binde (2000): Belenggu kedaruratan (the tyranny of emergency), suatu situasi darurat yang diisi oleh rasa terkejut, shock, panik, kuatir, dan lainnya sehingga membentuk reaksi-reaksi praktis melindungi diri, yang berjangka pendek, dan cenderung membentuk gejala rabun jauh sementara (temporary myopia), sehingga tidak tahu apa yang akan berlangsung dan bingunh apa yang sebaiknya dilakukan. Jenis perasaan yang terbentuk secara khas mudah terbentuk menghadapi Covid-19 ini adalah meluasnya rasa curiga hingga prasangka terhadap orang yang mengidap penyakit itu, atau terhadap mereka potensial diperkirakan akan menularkan penyakit itu. Yang memprihatinkan adalah cara bersikap yang kurang memberi jalan bagi pemikiran strategis, termasuk dalam menghadapi efek-efek dari Covid-19 dan berbagai pengaturan pencegahan penularan.

Dalam logika kedaruratan, segala sesuatu diabdikan untuk memperoleh hasil segera, dan untuk kelangsungan hidup mereka yang ditolong. “Darurat (emergency) adalah cara respons langsung yang tidak menyisakan waktu untuk analisis, perkiraan, atau pencegahan. Ini adalah refleks perlindungan langsung, ketimbang pencarian yang bijaksana untuk solusi jangka panjang. Gejala the tyranny of emergency  ini mengabaikan fakta bahwa situasi yang dihadapi harus diletakkan dalam perspektif dan bahwa peristiwa di masa depan perlu diantisipasi.”[30] Dalam pengaturan segala sesuatu berdasar kemanjuran jangka pendek, perkiraan jangka panjang apa pun dibilang buang-buang waktu, sementara setiap pendekatan bertahap yang konstruktif untuk itu pun dibilang sebagai spekulasi murni. Akibatnya,  berkembanglah yang disebut Jerome Binde (2000:52) itu sebagai ”rabun jauh sementara" (temporal myopia). Rabun jauh sementara ini adalah gejala disfungsi yang lebih mendalam, yang memengaruhi kemampuan kita untuk bisa mempersepsi dengan jelas tentang masa depan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan kolektif (Binde 2000:52). Jadi, ini bukan hanya tanda gangguan persepsi jarak fisik, tapi juga skala geografis. Kita tidak sanggup menlihat sebab-musabab dan ramifikasi makro strukturalnya.

Tentu, penularan Covid-19 harus dicegah agar tidak semakin banyak orang yang jadi penderita dan sakit. Early detection, early response, atau “Deteksi dini dan tangani segera” (dedi tangse) harus menjadi pegangan bersama, seperti dianjurkan Larry Brilliant, dokter kesehatan masyarakat yang pernah berhasil mengatasi epidemi cacar di India.[31] Yang sudah terkena harus segera ditangani secara medis. Segala usaha pemerintah, petugas medis hingga para relawan kerja di garis depan sepenuh tenaga dan hatinya untuk menyelamatkan.  Cara-cara layanan kesehatan pun akan berubah, termasuk yang baru-baru ini dicoba: layanan kesehatan virtual (Webster 2020).[32] Pemerintah pun mengatur pencegahan penularan Covid-19, termasuk melalui karantina orang yang potensial terkena virus (orang dalam pemantauan), anjuran-anjuran kebersihan (cuci tangan sesering mungkin, dst), bekerja dari rumah, pembatasan pertemuan skala besar, menyediakan sarpras medis, obat-obatan, dan alat pemeriksaan secara masal, memastikan ketersediaan pangan dan memperbesar paket-paket bantuan sosial, social safety net, untuk membantu orang miskin agar tidak kelaparan, dan mencegah terjadinya penjarahan makanan di gudang-gudang makanan dan toko-toko (food riot), hingga penyebarluasan “protokol-protokol kesehatan” pencegah penularan.

               Semakin cepat kita mengetahui siapa yang terkena dan mengidap covid-19, semakin baik. Karena itu, harus diperbanyak faslitas yang memudahkan warga memeriksakan diri, baik dengan rapid testpemeriksaan antibodi dalam darah, hingga pemeriksaan swab test yang mengambil contoh cairan dari pangkal tenggorokan untuk memastikan ada tidaknya virus itu. Lebih dari itu, adalah tindakan menanggapi temuan, musti segera mengikuti standar dan protokol penanganan penderita covid-19. Sarana dan pra-sarana medis khusus perlu disiapkan, dan petugas-petugas medis musti sigap dan dilindungi dengan alat perlindungan diri yang cukup. Pemerintah mengantur cara bagaimana sarana dan prasarana medis tersedia secara maksimal,  termasuk dengan pemanfaatan penggunaan fasilitas lain untuk dijadikan rumah sakit khusus covid-19. 

               Pencegahan juga diberlakukan secara massal, seperti menjaga jarak fisik, termasuk melalui pembatasan pertemuan skala besar (PPSB). Sayangnya, anjuran social distancing yang bermaksud baik, namun salah kaprah dalam menggunakan istilah. Setiap mahasiswa psikologi sosial belajar teori jarak sosial dari Emori S. Bogardus (1925, 1933) bahwa semakin besar jarak sosial (social distance) menunjukkan kehendak untuk berjauhan secara sosial, dan berarti pula prasangka terhadapnya makin membesar pulap.[33]   Bukan jarak sosial yang harus diperbesar. Bahkan dalam situasi begini, jarak sosial antar kelompok musti semakin dekat, saling tolong menolong, dan bergotong-royong mengatasi masalah bersama. Memperbesar jarak sosial akan berakibat tak disangka, memperbesar prasangka. Lebih tepatnya adalah adalah mengatur physical distancing untuk memutus mata rantai penularan virus. Ini memerlukan perilaku baru untuk waspadai jarak fisik, kebersihan, pemberantasan kuman dengan disinfectan, dsb. Jangan memperbesar egoisme, dan hidup bersikap merasa bener sendiri dan tertutup (group think), sebagaimana cenderung dibentuk oleh algoritma media sosial (enclave algorithm) yang terus menerus menjustifikasi posisi, keyakinan dan pertentangan terhadap “pihak lawan” yang ditandingi (Lim, 2017).[34]

Perubahan revolusioner yang diakibatkan Covid-19 ini tidak terbayangkan sebelumnya, baik dimensi waktu perubahannya (kecepatan, percepatan dan durasi), maupun cakupan dan skala perubahan yang berlangsung, serta cara bagaimana hal-hal itu saling berhubungan satu sama lain. Perhatikan perubahannya mulai dari kebiasaan dan tingkah laku perorangan, hubungan interpersonal, interaksi orang di dalam kelompok, hubungan antar kelompok, kerja dalam organisasi, sistem produksi, distribusi dan konsumsi komoditas, pengatuan sosial, budaya dan lingkungan alam, pengaturan pemerintahan dan masyarakat, hingga sampai hubungan internasional, di lebih 213 negara di dunia (saat ini). 

Banyak dari kita hidup sekarang ini dalam situasi darurat untuk menyelamatkan diri dari serangan covid-19Satu kunci penyelesaian dari wabah pandemi ini ada di tangan ahli epidemiologi yang bekerja di labolatorium pembuatan vaksin khusus untuk menghadapi SARS-CoV-2, lalu industri akan melipatgandakan vaksin itu, serta pemerintah nasional dan dengan kerjama internasional akan mengatur pemberian vaksin secara massal, sehingga tubuh tiap-tiap manusia Indonesia bisa membentuk antibodi yang cukup memadai untuk menangkal serangan covid-19. Selain itu tentunya, saat ini pusat-pusat labolatorim di berbagai belahan dunia, termasuk juga ahli-ahli Indonesia, juga sedang membuat obat-obat anti-virus. Petugas-petugas medis berjuang mengobati pasien-pasien di rumah sakit, termasuk mengatasi simptom demam, batuk, dll., memperkuat daya tahan, mengatasi komplikasi disfungsi organ-organ, dsb. Kesemuanya untuk memulihkannya menjadi sembuh dan mencegah kematian.

  

 

IV. Kesimpulan dan Penutup

 

“Virus mengubah hubungan sosial terutama ketika mereka membahayakan. Mereka menerima perhatian ekstra dan memotivasi tindakan sosial ketika mereka menunjukkan kemampuan untuk membunuh, atau membahayakan kehidupan manusia dan hewan,” demikian tulis Celia Lowe (2017)[35], yang meneliti secara etnografis bagaimana flu burung melanda orang-orang Indonesia, dan menyebut dirinya sebagai viral ethnographer (etnografer yang subjek penelitiannya adalah virus).  Persepsi bahwa virus itu membahayakan sehingga membentuk rasa takut dan kuatir telah menggerakkan semua orang melakukan berbagai cara  agar tidak tertular. Sewaktu menulis kalimat-kalimat itu, Celia Lowe tentu belum membayangkan kecepatan, percepatan, durasi, skala dan cakupan serangan covid-19 ini hingga bisa menggerakkan suatu perubahan yang drastis, cepat, dan meluas ini. Saya telah menganjurkan agar sebagian kita memahami situasi sekarang ini dengan pendekatan lintasdisiplin, multi-situs, dan multi-skala, menggunakan imajinasi ruang-waktu dengan berangkat dari pandangan dasar bahwa Covid-19 dan wabah lain yang disebabkan patogen zoononis lainnya,  adalah perlawanan balik dari alam atas cara-cara produksi komersial pembukaan hutan secara besar-besaran, yang membuat patogen zoonosis keluar dari inang  utama (primary reservoir)nya sampai pada tubuh manusia. 

Dunia sekarang telah dicirikan oleh kesenjangan kekayaan yang dahsyat, belum pernah terjadi di masa sebelumnya. Kesenjangan kekayaan ini bukan sekedar memperburuk efek wabah, melainkan juga dapat merupakan pencipta kondisi yang membuat mekanisme-mekanisme pembentukan wabah pandemi Covid-19 sekarang ini.[36] Covid-19 telah menunjukkan apa yang sebelumnya belum pernah disadari, yakni kerentanan-kerentanan ekonomi, ekologis, dan epidemiologis, yang saling terkait, disusunkan oleh kapitalisme. "COVID-19 has accentuated as never before the interlinked ecological, epidemiological, and economic vulnerabilities imposed by capitalism" seperti ditegaskan oleh John Bellamy Foster and Intan Suwandi 2020).[37]  Mereka menggunakan istilah catastrophe capitalismPada titik ini kita bisa menarik pelajar lebih jauh dari kasus Covid-19 ini. Saya perlu mengutip uraian Rob Wallace (2020) lebih panjang:

“Kapital menjadi ujung tombak perampasan tanah hutan primer dan lahan petani kecil di seluruh dunia. Investasi ini mendorong deforestasi dan menyebabkan munculnya penyakit. Kompleksitas dan keberagaman fungsional yang direpresentasikan dari lahan yang luas ini dibabat sedemikian rupa sehingga patogen-patogen yang tadinya dikurung menyebar ke dalam peternakan lokal dan komunitas manusia. Singkatnya, pusat-pusat kapital, seperti London, New York, dan Hong Kong harus dilihat sebagai sarang penyakit yang utama.

Tidak ada kapital yang bebas dari patogen. Bahkan di tempat paling terpencil sekalipun. Ebola, Zika, virus Corona, flu kuning, varian dari avian influenza, dan flu babi adalah beberapa patogen yang keluar dari pedalaman terpencil menuju pinggiran urban, ibukota, dan akhirnya jejaring global. Dari kelelawar buah di Kongo membunuh orang-orang di Miami dalam beberapa minggu saja.

Planet Bumi sebagian besar adalah planet pertanian, baik dalam biomassa maupun lahan yang digunakan. Agribisnis menyasar pasar pangan. Hampir seluruh proyek neoliberal diorganisasikan untuk mendukung upaya korporasi-korporasi yang berlokasi di negara-negara industri maju untuk merampas tanah dan sumber daya negara-negara lebih lemah. Hasilnya, banyak patogen baru yang sebelumnya dijaga oleh ekologi hutan yang berevolusi panjang, kini keluar mengancam seluruh dunia.

Modal-modal perkebunan yang menggantikan ekologi alamiah seolah menawarkan sarana yang tepat, yang melaluinya patogen dapat berevolusi menjadi fenotip paling berbahaya dan mematikan. Anda tidak bisa mendesain sistem yang lebih baik dari perkebunan berskala modal raksasa untuk membiakkan penyakit-penyakit mematikan ini.           . 

….

Berkembangnya monokultur genetik dari binatang-binatang domestik menghilangkan imun yang mampu memperlambat transmisi virus. Tingkat populasi dan kepadatan yang lebih besar menyediakan tingkat transmisi yang lebih besar pula. Kondisi yang padat itu menekan respons imun. Jumlah yang tinggi, sebagai bagian dari produksi industrial, menyediakan pembaruan kerentanan terus-menerus — bahan bakar bagi evolusi virus. Dengan kata lain, bisnis perkebunan sangat mengutamakan profit, bahwa menyeleksi virus yang membunuh milyaran orang dipandang sebagai risiko sepadan.”

 

Saya ingin menutup artikel ini dengan mengajak kita melihat ‘tyrany of emergency’ sebagai masalah.  Apakah kita bisa keluar dari kemelut ‘tyrany of emergency’ yang membelenggu kegiatan berpikir dan logika kita? Jerome Binde mengingatkan: “(A)pa yang harus dilakukan adalah membalikkan logika darurat, yang mengatur pembenaran diri atas kebijakan saat ini; bukanlah masalah darurat yang mencegah perumusan rencana jangka panjang, tetapi tidak memadainya rencana yang menjadikan kita terjebak dalam ‘tyrany of emergency’” (Jerome Binde 2000:52). Rencana strategis kita defektif bila gagal melihat sebab-sebab struktural dari wabah pandemi ini, dan menempatkannya dalam hubungan dialektis dengan kesadaran yang terbentuk, dan juga pada momen lain ikut membentuknya.

Saat ini kita disituasikan bahwa wabah pandemi covid-19 ini adalah sesuatu serangan yang datang, kita sendiri menjadi (calon) korbannya yang harus membuat tameng perlindungan dari serangan.  Sementara, kita tidak melihat kerentanan ekonomis, ekologis, dan epidemiologis yang berlangsung akibat kapitalisme dan yang memfasilitasinya, di kepulauan Nusantara, terutama sehubungan pembukaan hutan besar-besaran sebagai sutau dengan reorganisasi ruang untuk keperluan konsesi-konsesi pertambangan, kehutanan, dan perkebunan serta lainnya, untuk produksi komoditi global. Yang sering dibicarakan adalah kerentanan ekonomi dan ekologi hingga krisis sosial ekologi meluas, sebagai konsekuensi dari pembentukan konsesi tersebut. Hal-hal ini telah pernah saya uraikan dalam naskah-naskah saya sebelum ini, (Rachman 2013, 2015).[38]  Dengan pandemi Covid-19 ini menjadi terlihat bahwa ada resiko bencana lainnya, yakni berjangkitnya (otbreak) wabah penyakit hingga dapat menjadi epidemi bahkan pandemi. Sesungguhnya, saat ini adalah kesempatan baik untuk kita bisa melihat cara bagaimana kerentanan ekonomi, ekologi, dan epidemiologis terbentuk secara sekaligus sebagai konsekuensi dari pembentukan konsesi-konsesi penguasaan tanah, sumber daya alam dan wilayah, perluasan cara-cara produksi kapitalisme, dan sirkuit global rantai-rantai komoditas.   

Adalah suatu doktrin neoliberal bahwa pasar memiliki kehendak sendiri dan ekspansinya dalam mengkodifikasi alam, manusia dan uang sedemikian rupa tidak dapat ditahan. Padahal seperti dalam rumusan Karl Polanyi (1944) The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time[39] bahwa selama ini dinamika masyarakat modern diatur oleh suatu gerakan ganda (double movement): pasar yang terus ekspansi meluaskan diri, tetapi gerakan (pasar) ini bertemu dengan suatu gerakan tandingan (countermovement) menghadang ekspansi ini agar jalan ke arah yang berbeda. Kalau dahulu gerakan tanding datang dengan gerakan-gerakan masyarakat, maka saat ini kekuatan gerakan tanding itu berasal dari suatu virus, a non-human nature.

Semua orang sekarang ini mengutamakan keselamatan. Menkopolhukan, dan Kapolri pun menggunakan prinsip “keselamatan rakyat hukum tertinggi” (Salus populi suprema lex esto). Saya ingin menutup naskah ini dengan mengajak kita melihat “keselamatan” itu dalam perspektif yang lebih reflektif, melihat ke belakang untuk maju ke depan, melalui panduan yang diberikan oleh Hendro Sangkoyo (dalam Rachman, 2017):

 “Keselamatan rakyat, pada skala orang per orang maupun rombongan, tidak pernah kita urus sebagai syarat yang harus dipenuhi dan dijaga baik oleh para pengurus negara dan alat-alatnya. Hilangnya nyawa, ingatan, tanah halaman, harta benda, nafkah, kesempatan, kehormatan milik rakyat lebih banyak diakibatkan oleh proses penyelenggaraan negara selama tiga puluh tahun terakhir ini adalah bukti tak terbantahkan bahwa selama ini keselamatan rakyat tidak kita persyaratkan sebagai agenda pengurusan masyarakat dan wilayah.”[40]

 

Dalam soal keselamatan dan kesejahteraan ini, covid-19, dan berbagai pengaturan baru untuk menghadapinya, berakibat berbeda-beda pada berbagai golongan sosial ekonomi, bergantung pada kelas sosial, umur, jenis pekerjaan, gender, latar pendidikan, posisi geografis, hingga karakteristik fisik dan mental yang khusus. Umumnya buat rakyat yang paling miskin, efek langsungnya bisa katastrofik, hingga mengalamikelaparan.

Karenanya, mengutamakan “keselamatan rakyat” sebagai syarat perlu  diletakkan bersama-sama dengan syarat perbaikan kesejahteraan rakyat.  Dua syarat berikutnya adalah pemulihan fungsi-fungsi faal termasuk layanan ekologis dari alam sebagai ruang hidup rakyat, dan peningkatan produktivitas rakyat, yang menjamin konsumsi yang cukup dan bergizi untuk rakyat (Hendro Sangkoyo dalam Rachman 2017).

Quo vadis

Bandung, 28 Juni 2020

 

Disklaimer:

Sebagian isinya pernah dimuat dalam “Covid-19, Pemberontakan Mikroba, dan Kemelut 'the Tyranny of Emergency'. 21 May 2020. MongabaiSitus Berita Lingkunganhttps://www.mongabay.co.id/2020/05/21/covid-19-pemberontakan-mikroba-dan-kemelut-the-tyranny-of-emergency/ dan “Keluar dari Kemelut The Tyranny of Emergency Pandemi Covid-19”, Jurnal Kasyaf Nomor 2/2020, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran.



 

[1] Sumber cerita: Menelaos Stephanines dan Yannis Stephanides (1989) Banjir Besar Deukalion  Jakarta: Grafiti Press), halaman 1-6; dan Anonimous (1997) “Pandora”, in Ensiklopedia Mythica https://pantheon.org/articles/p/pandora.html  (diakses 22 Juni 2020).

[2] David MMorensPeter Daszak, and Jeffery KTaubenberger (2020) “Escaping Pandora's Box — Another Novel Coronavirus”, The New England Journal of Medicine 382(14): 1293-1295; juga Dua Azim, Sohail Kumar, Sundus Nasim, Taha Bin Arif, and Deedar Nanjiani (2020) “COVID-19 as a psychological contagion: A new Pandora’s box to close?” Infection Control & Hospital Epidemiology 1–2 , https://doi.org/ 10.1017/ice.2020.127.  

[3] wabah n  penyakit menular yang berjangkit dengan cepat, menyerang sejumlah besar orang di daerah yang luas (seperti wabah cacar, disentri, kolera); epidemi.  wabah » me.wa.bah v  menjadi wabah; merata di mana-mana; menular.https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/wabahhttps://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/mewabah.

[4] Robert Wallace (2016) Big Farms Make Big Flu: Dispatches on Influenza, Agribusiness, and the Nature of Science. NY: Monthly Review Press. Yang terbaru: Robert Wallace, Alex Liebman, Luis Fernando Chaves and Rodrick Wallace (2020) “COVID-19 and Circuits of Capital”. Monthly Review 01 April 2020. https://monthlyreview.org/2020/04/01/covid-19-and-circuits-of-capital/ (Diakses 6 Mei 2020).

[5] Robert G. Wallace, Luke Bergmann, Richard Kock, Marius Gilbert, Lenny Hogerwerf, Rodrick Wallace and Mollie Holmberg (2015)The dawn of Structural One Health: A new science tracking disease emergence along circuits of capital.” Social Science & Medicine129: 68–77.

[6] John Bellamy Foster and Intan Suwandi (2020) “COVID-19 and Catastrophe Capitalism. Commodity Chains and Ecological-Epidemiological- Economic Crises”, Monthly Review 72(2):1-20.

[7] Noer Fauzi Rachman (2020) “COVID-19, Pemberontakan Mikroba dan Kemelut ‘the Tyranny of Emergency’”https://www.mongabay.co.id/2020/05/21/covid-19-pemberontakan-mikroba-dan-kemelut-the-tyranny-of-emergency/  (diakses pada 22 Juni 2020).

[8] H. Lu, C.W. Stratton, Y. Tang (2020) “Outbreak of pneumonia of unknown etiology in wuhan China: the mystery and the miracle J. Med. Virol.  p. 25678.

[9] WHO (2020) Director-General’s Remarks at the Media Briefing on 2019-nCoV on 11 February 2020

https://www.who.int/dg/speeches/detail/who-director-general-s-remarks-at-the-media-briefing-on-2019-ncov-on-11-february-2020

[10] Sohrabi, Catrin,  Zaid Alsafi, Niamh O'Neill, Mehdi Khan, Ahmed Kerwan, Ahmed Al-Jabir, Christos Iosifidis, dan Riaz Agha. (2020) “World Health Organization declares global emergency: A review of the 2019 novel coronavirus (COVID-19)” International Journal of Surgery 76 (2020) 71–76 

[11] Etiologi/eti·o·lo·gi/ /étiologi/ n 1 cabang biologi tentang penyebab penyakit; 2 bagian ilmu penyakit tanaman, khususnya mengenai penyebab utama penyakit, kodrat, sifat, dan ciri-ciri patogen serta hubungannya dengan tanaman inangnya; 3 cabang ilmu kedokteran tentang sebab dan asal penyakit. https://kbbi.web.id/etiologi (akses 13 Juni 2020); 

[12] World Health Organization (1959). “Join WHO/FAO Expert Committee on zoonosis: Second Report”, WHO Technical Report Series169:1–83.

[13] L.H. Taylor, S.N Latham, dan M.E. Woolhouse (2001). "Risk factors for human disease emergence". Philos Trans R Soc Lond B Biol Sci. 356(1411):983–989. 

[14] Untuk keterangan dasar mengenai zoonosis lihat I Wayan Suardana (2016) Buku Ajar Zoonosis, Penyakit Menular Hewan ke Manusia. Yogyakarta: Kanisius; dan Dyah Ayu Widiasih dan Setyawan Budiharta (2013) Epidemiologi Zoonosis di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

[15] Kate E. Jones, Nikkita G. Patel, Marc A. Levy, Adam Storeygard, Deborah Balk, John L. Gittleman, and Peter Daszak (2008) “Global trends in emerging infectious diseases”, Nature 451:990-994.

[16] R.G. Wallace (2009) ““Breeding influenza: The political virology of offshore farming.” Antipode 41:916– 51.

[17] Corrie Brown (2004) "Emerging Zoonoses and Pathogens of Public Health Significance—An Overview", Rev. sci. tech. (OIE). 23(2): 435–442.

[18] Taubenberger, J.K. (2006)“The Origin and Virulence of the 1918 “Spanish” Influenza Virus” Proc Am Philos Soc 150(1): 86–112. Dengan mendasarkan pada penelitian terbaru dalam sejarah, virologi, epidemiologi, psikologi, dan ekonomi, Laura Spinney menceritakan sebuah bencana (cathastrophe) yang mengubah umat manusia selama beberapa dekade selanjutnya, dan terus membuat akibatnya terasa hingga hari ini. Dalam prosesnya dia menunjukkan bahwa Flu Spanyol sama pentingnya - jika tidak lebih - seperti dua perang dunia dalam membentuk dunia modern; dalam memporak-porandakan, dan sering mengubah secara permanen, politik global, hubungan ras, struktur keluarga, dan pemikiran lintas kedokteran, agama, dan seni. Lihat Laura Spinney (2017) Pale RiderThe Spanish Flu of 1918 and How It Changed the World. New York: Public Affairs. Menurut studi ahli statistic kependudukan Sidharth Candra (2013) “Mortality from the influenza pandemic of 1918-1919 in Indonesia”, Population Studies  67(2): 185–193, wabah demam kuning (Geelkoorts) menyebar Juni sampai September 1918, terjangkit di hampir seluruh pulau Jawa, korbannya diperkirakan 4,26-4,37 juta jiwa.  Keterangan lebih jauh mengenai apa yang ebrlangsung di Jawa, lihat Priyanto Wibowo et al (2009) Yang Terlupakan: Sejarah Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda. Jakarta: Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

[19] Cara E. Brook and Andrew P. Dobson (2015) “Bats as ‘special’ reservoirs for emerging zoonotic pathogens” Trends in Microbiology, 23(3): 172-180.

[20]Tauseef Ahmad, Muhammad Khan M, Haroon, Taha Hussein Musa, Saima Nasir, Jin Hui, D. Katterine Bonilla-Aldana, dan Alfonso J. Rodriguez-Morales “COVID-19: Zoonotic aspects”. Travel Med Infect Dis 2020:101607. Juga, AJ Rodriguez-Morales AJ, Bonilla-Aldana DK, Balbin-Ramon GJ, Paniz-Mondolfi A, Rabaan A, Sah R. (2020) “History is repeating itself, a probable zoonotic spillover as a cause of an epidemic: the case of 2019 novel Coronavirus”. Inf Med 2020;28:3–5. Karya Muhammad Adnan Shereen, Suliman Khan, Abeer Kazmi, Nadia Bashir, and Rabeea Siddique (2020) “COVID-19 infection: Origin, transmission, and characteristics of human coronaviruses”, Journal of Advanced Research 24 (2020) 91–98, mendasarkan diri pula pada penelitian-penelitian lain mengenai dugaan binatang-binatang yang menjadi inang dari virus SARS-CoV-2 ini.

[21] Epidemiologi/epi·de·mi·o·lo·gi/ /épidémiologi/ n ilmu tentang penyebaran penyakit menular pada manusia dan faktor yang dapat mempengaruhi penyebaran itu. https://kbbi.web.id/epidemiologi (akses 13 Juni 2020)

[22] WHO (2020) Statement on the second meeting of the International Health Regulations (2005) Emergency Committee regarding the outbreak of novel coronavirus (2019-nCoV). https://www.who.int/news-room/detail/30-01-2020-statement-on-the-second-meeting-of-the-international-health-regulations-(2005)-emergency-committee-regarding-the-outbreak-of-novel-coronavirus-(2019-ncov) (akses 22 juni 2020).

[23] WHO (2020) “Report of the WHO-China Joint Mission on Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) – 16-24 February 2020” https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/who-china-joint-mission-on-covid-19-final-report.pdf  menyebutkan bahwa berdasarkan data yang dipakai bahwa Covid-19 ini memiliki risiko kematian kasus sekitar 1%. Angka resiko kematian ini akan membuatnya berkali-kali lebih parah daripada influenza musiman biasa, menempatkannya di suatu tempat antara pandemi influenza 1957 (0,6%) dan pandemi influenza 1918 (2%).

[24] Nanshan Chen, Min Zhou, Xuan Dong, Jieming Qu, Fengyun Gong, Yang Han, Yang Qiu, Jingli Wang, Ying Liu, Yuan Wei, Jia’an Xia, Ting Yu, Xinxin Zhang, Li Zhang (2020) “Epidemiological and clinical characteristics of 99 cases of 2019 novel coronavirus pneumonia in Wçuhan, China: a descriptive study.”Lancet 2020; (published online Jan 30.http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30211-7

[25] Rob Wallace (2020) “Capitalist agriculture and Covid-19: A deadly combination”, Climate and Capitalism 11 Maret 2020 https://climateandcapitalism.com/2020/03/11/capitalist-agriculture-and-covid-19-a-deadly-combination/ (diakses 6 Mei 2020).

[26] Pendekatan studi rantai-rantai komoditas ini berkembang dengan cepat, dari Global Commodity Chain (GCC), kemudian Global Value Chains (GVC), sejalan dengan upaya untuk menjelaskan struktur sosial dan organisasi ekonomi global dan dinamika dengan memeriksa rantai komoditas dari produk tertentu. Pendekatan GCC pertama kali muncul pada pertengahan 1980-an dari penelitian World Systems yang dirumuskan ulang pada awal 1990-an. Salah satu kritik awal yang menghadapi pendekatan GCC adalah fokus eksklusifnya pada kondisi internal dan keterkaitan organisasi, kurang perhatian sistemik terhadap efek institusi domestik dan kapasitas internal terhadap pembangunan ekonomi. Kritik lain menunjuk pada ruang lingkup sempit pencarian GCC. Ekspansi besar-besaran dalam literatur mengenai commodity chains dekade terakhir ini — tidak hanya dalam volume tetapi juga dalam kedalaman dan ruang lingkup — mencakup tiga tema: tata kelola GVC, "peningkatan," dan konstruksi sosial rantai nilai global.  Perkembangan ringkas studi rantai komoditas ini dapat dilihat pada Joomkoo Lee (2020) “Global Commodity Chains and Global Value Chain”, The Oxford Research Encyclopedia The International Studies Encyclopedia. Robert A. Denemark (Ed.). NY: Wiley-Blackwell. Pp.2987-3006.

[27] Kim Moody (2020) ”How 'Just-in-time' capitalism spread COVID-19: Trade route transmission and international solidarity Spectre, April 8, 2020). https://spectrejournal.com/how-just-in-time-capitalism-spread-covid-19/?fbclid=IwAR2vamNtY6mcuvcAl4dGl-RNpVCkHDC-zhJn9I94F-JrUd2RBnyf-0nTSss. (Diakses 6 Mei 2020).

[28] Sheffi, Yossi (2015) The Power of Resilience: How the Best Companies Manage the Unexpected.  Cambridge, MA: The MIT Press

[29] Sebagaimana dimuat dalam Kim Moody (2020) ”How 'Just-in-time' capitalism spread COVID-19: Trade routes, transmission and international solidarity. By Kim Moody (Spectre, April 8, 2020). https://spectrejournal.com/how-just-in-time-capitalism-spread-covid-19/?fbclid=IwAR2vamNtY6mcuvcAl4dGl-RNpVCkHDC-zhJn9I94F-JrUd2RBnyf-0nTSss. (Diakses 6 Mei 2020). 

[30] Jerome Binde (2000) "Toward an ethics of the future." Public Culture 12 (1): 51- 72

[31] Larry Brilliant: TED Prize wish: Help stop the next pandemicLarry Brilliant helps detect pandemics

https://www.youtube.com/watch?v=MNhiHf84P9c

https://www.ted.com/participate/ted-prize/prize-winning-wishes/instedd  (akses pada 19 April 2020)

[32] Paul Webster (2020) “Virtual health care in the era of COVID-19” Lancet. 11-17 April; 395(10231).

[33] Bogardus, E.S. (1925). “Measuring social distances”. Journal of Applied Sociology, 9, 299- 308. Bogardus, E.S. (1933). “A social distance scale”. Sociology and Social Research, 17, 265-271. 

[34] Merlyna Lim (2017): “Freedom to hate: social media, algorithmic enclaves, and the rise of tribal nationalism in Indonesia”, Critical Asian Studies 49(3): 411-427.

[35] Celia Lowe (2017) “Viral Ethnography: Metaphors for Writing” RCC Perspectives , No. 1, Troubling Species: Care and Belonging in a Relational World, pp. 91-96.

[36] Lihat Laura Spinney (2020) “Inequality doesn't just make pandemics worse, it could cause them”  Guardian 12 April 2020. https://www.theguardian.com/commentisfree/2020/apr/12/inequality-pandemic-lockdown; dan Peter Turchin (2020) “Coronavirus and Our Age of Discord” http://peterturchin.com/cliodynamica/coronavirus-and-our-age-of-discord. Keduanya diakses pada (Diakses 6 Mei 2020). 

[37] John Bellamy Foster and Intan Suwandi (2020) “COVID-19 and Catastrophe Capitalism. Commodity Chains and Ecological-Epidemiological- Economic Crises”, Monthly Review 72(2):1-20.

[38] Noer Fauzi Rachman (2013) “Rantai Penjelas Konflik-konflik Agraria yang Kronis, Sistemik, dan Meluas”. Bhumi, Jurnal Ilmiah Pertanahan PPPM – STPN  37(12): 1-14, http://jurnalbhumi.stpn.ac.id/JB/article/view/148/135 (akses terakhir pada 14/5/2020); dan  Noer Fauzi Rachman (2015) “Memahami Reorganisasi Ruang Melalui Perspektif Politik Agraria”.  Bhumi, Jurnal Ilmiah Pertanahan. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional – STPN  1(1):33-44, http://jurnalbhumi.stpn.ac.id/JB/article/view/39/51  (akses terakhir pada 14/5/2020).

[39] Karl Polanyi 2001 (1944) The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press.

[40] Noer Fauzi Rachman (2017) Panggilan Tanah Air. Cetakan ketiga. Yogyakarta: Insist Press

No comments:

Post a Comment