Perubahan Identitas Kolektif dan Strategi Gerakan Sosial Pedesaan

 


Noer Fauzi Rachman 

Sambutan untuk buku Delima Silalahi (2020) Tombak Haminjon do Ngolu Nami: Masyarakat Adat Batak Pandumaan dan Sipituhuta Merebut Kembali Ruang Hidupnya. Yogyakarta: Insist Press.


 

Buku ini mengangkat suatu tema yang penting, dan saya duga akan satu topik yang menarik perhatian para pelaku dan peneliti gerakan sosial di Indonesia, yakni identitas kolektif dari suatu kelompok gerakan sosial yang berubah dari “petani” menjadi “masyarakat adat”. Cara bagaimana pembentukan identitas kolektif masyarakat adat itu berlangsung perlu dipahami sebagai menjadi penanda pokok dari strategi dan jalan tempuh baru dari suatu gerakan sosial tertentu menghadapi berubahnya konfigurasi dan cara kerja dari kekuatan-kekuatan yang dihadapinya. 

Dalam buku Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga (Noer Fauzi 2005), saya menunjukkan suatu gerakan sosial di Ekuador, Amerika Latin, yang mengubah identitas kolektif dari campesinos (petani) menjadi pueblo indiginas (indigenous peoples)dalam skala sub-nasional. Ekuador  terletak di antara Peru dan Kolombia serta lautan Atlantik. dengan  luasan 272.045 km2 dan penduduk berjumlah 13.710.234 orang. Komposisi ras di Ekuador didominasi oleh Mestiso (campuran antara kulit putih dengan Indian)  55%, orang-orang Indian 25%, kulit putih (spanyol) 10% dan kulit hitam 10%. 

Di Ekuador tahun 1970-an, ada organisasi gerakan agraria yang terpenting bernama FENOC (Federación Nacional de Organizaciones Campesinas atau Federasi Nasional Organsiasi Petani). FENOC mengorganisir panitia pengadaan tanah, mengkordinasikan federasi regional dan menekan terus-menerus agar badan-badan pemerintah menjalankan land reform secara menyeluruh. FENOC ini merupakan pengorganisasian rakyat berbasiskan pendekatan kelas yang menjalankan kampanye land reform di hampir semua propinsi di Ekuador, yang secara khusus menuntut petani mendapatkan tanah yang layak mereka terima. Kampanye ini umumnya menggunakan cara-cara berpolitik yang tradisional, seperti mobilisasi massa ataupun petisi menuntut pemerintah melikuidasi penguasa tanah luas dan kemudian menyediakan tanahnya untuk petani. Para kelompok petani anggota mereka, dalam waktu-waktu tertentu juga menjalankan pendudukan langsung atas tanah yang menandakan kebutuhannya yang mendesak.  Dalam situasi dimana pemerintah yang berkuasa mengabaikan kesadaran etnik dan budaya, petani-petani Indian berjuang dalam dengan identitas kepetanian dan secara efektif menyembunyikan identitas indigenismo mereka dalam kehidupan politik.  Bingkai identitas etnik tidak pernah menjadi tema FENOC. Satu dekade kemudian, di tahun 1980an, berdiri FOIN (Föderation der indigenen Organisationen des Napo) atau federasi organisasi dari Indigenous Peoples  di Napo, satu propinsi dalam negara Ekuador. FOIN membingkai kepentingan atas tanah sebagai syarat dari keberlanjutan hidup kebudayaan asli mereka.  Tidak heran, FOIN peduli dan menyelenggarakan sekolah-sekolah dua-bahasa agar anggota-anggotanya dapat mempelajari pengorganisasian Indigenous Peoples dan pembangunan pertanian, yang tentunya juga mempelajari tradisi lisan dan praktek-praktek kearifan tradisional mereka. Berbeda dengan FENOC, FOIN mengeksplisitkan identias etnik itu dalam gerakan mereka, dengan modus kerja yang kooperatif dengan badan pemerintah penyelenggara land reform (IERAC) untuk mewujudkan klaim-klaim atas wilayah adat mereka. FOIN memfungsikan diri sebagai lembaga yang memperantarai pemerintah dengan anggota komunitas, dan tentunya sekaligus  sebagai mesin sosial-politik perjuangan mereka. Pengalaman sebelumnya dari para tokoh petani ketika berjuang dalam bingkai perjuangan land reform yang berbasiskan kelas menyediakan pengetahuan dan ketrampilan politik yang membuat FOIN dapat bekerja sama dengan badan pemerintahan. Dengan memasukan tema etnisitas dalam retorika maupun dalam praktek perjuangannya, FOIN bukan sekedar menambahkan saja sebuah agenda baru, melainkan memasuki suatu wilayah perjuangan yang lebih kompleks, yakni representasi kewargaan masyarakat adat dalam negara modern. (Thomas Perreault 2003a,b, dan Pallales 2002). 

            Saya berharap penulis buku ini dan pembaca yang budiman dapat memperlengkapi bacaannya dengan perbandingan apa yang terjadi di belahan dunia lainnya. Kita dapat melihat proses perubahan identitas kolektif perjuangan gerakan petani kemenyan di Padumaan-Sipituhuta menjadi gerakan masyarakat adat, bukanlah sesuatu yang sama sekali unik, tak ada duanya.  Kebangkitan gerakan indigenous peoples, selain terjadi di Ekuador, juga terjadi di berbagai negara Amerika Latin lainnya (Yashar 2005). 

Kita perlu membuka diri bahwa karakter, bentuk, tujuan dan teknik yang dipakai gerakan sosial pedesaan saat itu berbeda dengan yang ditampilkan oleh gerakan-gerakan petani terdahulu. Neil Webster menulis, 

Dapat dipastikan adanya perbedaan yang nyata (karakter gerakan sosial pedesaan saat ini)  dengan karakter gerakan-gerakan sosial pedesaan yang dahulu bertumbuhan mulai awal tujuh dekade pertama abad 20 dan seterusnya, baik perubahan bentuk organisasinya, bentuk mobilisasinya, gagasan perjuangan yang disuarakannya, hingga bentuk aksi yang dilancarkannya. Peristilahan yang dipakainya juga berubah; untuk menyebut beberapa contoh saja: Peasant movements telah diganti menjadi  diganti menjadi land movements, farmers’ movements, forest dwellers’ movementsenvironmental movements dan indigenous peoples’ movements (Webster, 2004:2).

Saya menyampaikan selamat untuk Delima Silalahi, penulis buku ini, yang berhasil menyediakan sajian narasi yang mampu membuat pembaca melihat hubungan-hubungan yang selama ini tidak begitu disadari.  Buku ini menunjukkan bahwa masyarakat adat Pandumaan dan Sipituhuta sengaja mengubah strategi gerakan mereka dari gerakan petani kemenyan menjadi gerakan msyarakat adat. Sebab artikulasi perlawanan melalui argumen adat dianggap lebih kuat dan relevan dengan kondisi politik nasional dan internasional yang sedang menaruh perhatian besar dalam isu-isu mayarakat adat. Selain itu terminologi “adat” membuat gerakan ini memiliki kemampuan mengikat yang lebih kuat, melibatkan lebih luas dan meningkatkan leverage dari tuntutan/klaim mereka.

Sebagai aktivis yang bertumbuh dari dalam KSPPM (Kelompok Studi Pengembang Prakarsa Masyarakat) Delima Silalahi telah ditempa dengan pewarisan nilai-nilai dasar perjuangan,  pengetahuan tentang dinamika perjalanan kiprah KSPPM, hingga beragam metodologi dan teknis-teknis pengembangan prakarsa masyarakat. Ternyata, lebih dari itu, ia melatih diri untuk disiplin mempelajari dan mempergunakan pernagkat konsep-konsep analitik untuk studi gerakan sosial, dan metoda-metoda penelitiannya. Dalam literature studi gerakan sosial tersedia konsep-konsep analitik seperti collective action frame, resource mobilization, political opportunity structurecircle of protest, network buildingdan lebih khusus lagi, mengenai  collective identity formation yang menjadi pokok perhatian buku ini (Klandersman dan Staggenborg, Eds, 2002). Keterlibatannya secara mendalam, mendetil dan panjang dalam perjuangan agraria dari rakyat Padumaan-Sipituhuta telah memungkinkannya memiliki kekayaan data dan keterangan, yang bisa dirangkainya. 

Menggabungkan pekerjaan menjadi aktivis dan peneliti pada saat bersamaan bukanlah pekerjaan mudah, dan niscaya berhasil, terutama disebabkan keduanya menuntut kesiapan mental yang berbeda. Misalnya, dalam hal kecepatan membuat kesimpulan. Menjadi pemimpin aktivis gerakan sosial menuntut sikap cepat untuk mengerti apa yang sedang berlangsung dan menanggapi saat-saat genting dan penting (critical and significant moments) yang mungkin dapat mengubah situasi atau konfigrasi kekuatan yang saling bertarung. Sementara itu, sebagai peneliti kita dituntut untuk mampu mengumpulkan data secara memadai sebelum layak melakukan tindakan pengambilan kesimpulan.  Dalam penelitian ada soal kesahihan (validity) dan keterpecayaan/keterhandalan  (reliabilitity) dalam pengambilan data melalui pengukuran. Hanya sedikit orang saja yang mampu meggabungkan kedua jenis pekerjaan sekaligus: meneliti dan menjadi aktivis. 

Selamat membaca.

 

 

Daftar Pustaka

 

Pallares, A. 2002. From Peasant Struggles to Indian Resistance: The Ecuadorian Andes in the Late Twentieth Century, Norman: University of Oklahoma Press.

Perreault, T. 2003a. “Community Organization, Agrarian Change and the Politics of Scale in the Ecuadorian Andes,” Latin American Perspectives 30:1 (January 2003): 98.

___________  2003b. “`A People with Our Own Identity': Toward A Cultural Politics of Development in Ecuadorian Amazonia”, Environment and Planning D: Society and Space 2003, volume 21.

Rachman, Noer Fauzi. 2005. Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Yogyakarta: Insist Press.

Webster, Neal 2004 Understanding the Evolving Diversities and Originalities in Rural Social Movements in the Age of Globalization". United Nation Research Institute for Social Development. Civil Society and Social Movements Programme Paper 7:1-39.

Yashar, Deborah J. 2005. Contesting Citizenship in Latin America: The Rise of Indigenous Movements 

No comments:

Post a Comment