Noer Fauzi Rachman
Dimuat Noer Fauzi Rachman (2019) "Bertani adalah Melawan", Jurnal Analisis Sosial, 23(2):106-113.
Judul Buku : Petani dan Seni Bertani, Maklumat Chayanovian
Judul Asli : Peasants and The Art of Farming: A Chayanovian Manifesto
Penerjemah : Ciptaning Larastiti
Penyunting Ahli : Ben White dan Laksmi A. Savitri
Ilustrasi Sampul : Andi Bhatara dan Giovanni Dessy Austriningrum
Penerbit : Insist Press, bekerjasama dengan Inter-Cruch Organization for
Jumlah Halaman : 226 + xxiv halaman
Sejarawan penulis seri buku sejarah dunia modern, Eric Hobsbawm dalam bukunya the Age of Extremes: A History of the World, 1914-1991 menuliskan observasi penting mengenai apa yang disebutnya sebagai lenyapnya petani (the death of peasantry) sebagai gejala perubahan sosial pembeda dengan yang masa lampau dan yang berlangsung paling dramatis dan berakibat luas dari abad ke-20 lalu (Hobsbawm1994:289, 415). Seabad sebelumnya, Karl Marx penulis buku paling terkenal Das Kapital. Kritik der politischen Ökonomie (edisi bahasa Inggerisnya terbit 1867) telah terlebih dahulu menunjukkan bahwa pembentukan modal untuk per-usaha-an kapitalis pada pertama kalinya dimulai dengan pemutusan paksa hubungan kepemilikan para petani dengan tanahnya (Marx 1867: 874).
Di permulaan abad ke-21 ini, kita menyaksikan proses lenyapnya petani itu terus berlangsung akibat perluasan sistem produksi kapitalis dan segala sesuatu kondisi yang menjadi penyokong operasinya, dan pemerintah yang bekerja mengutamakan kota, atau urban bias, istilah dari Michael Lipton (1977). Tiga kenyataan yang penting diperhatikan adalah konsentrasi penguasaan tanah-tanah oleh perusahaan-perusahaan dan warga kota, konversi tanah pertanian menjadi non-pertanian, migrasi, dan yang tidak bisa diabaikan adalah modifikasi minat bertani para anak-anak petani melalui sekolah. Lebih dari sekedar meninggalkan pertanian, sekolah mendorong anak-anak muridnya bermotivasi untuk tidak lagi berkenan hidup di desa, dan pindah menjadi warga kota-kota, atau setidaknya berkebudayaan kota walau tinggal di desa.
Di tengah gerakan komodifikasi tenaga kerja, uang dan alam, seperti dianalisis Karl Polanyi, dalam karyanya The Great Transformation, the Political and Economic Origin of Our Time 1944, bagaimana petani bertahan hidup? Pertanyaan itu menjadi salah satu sumber utama dalam kajian petani dan perubahan agraria yang semakin bergairah dewasa ini, termasuk Jan Douwe van der Ploeg, penulis buku yang diresensi ini. Gerakan-gerakan pasar yang berakibat pengurangan jumlah petani, depeasantization, semakin membesar, dan sebagai tandingannya, di sana-sini terdapat kebangkitan kesadaran kritis yang bermuara protes atau perlawanan kaum petani. Teka-teki ini menjadi masalah yang penting sebagai pertanyaan penggerak penelitian: apa yang membuat petani dalam pertanian-pertanian keluarga ini tetap terus bisa melanjutkan hidup dan menolak mati bahkan membentuk gerakan tandingan, dalam konteks semakin membesar dan kuatnya kekuatan utama yang bisa mematikan mereka.
Apa yang disampaikan secara ringkas itu berlangsung juga di Indonesia. Depeasantization ini juga adalah satu sumber krisis agraria nasional yang utama. Dari angka Sensus Pertanian tahun 2003 ke 2013, jumlah rumah tangga usaha pertanian berkurang 5 juta, yaitu dari sekitar 31,17 juta menjadi sekitar 26,13 juta. Hasil Survei Pertanian antar Sensus (SUTAS) BPS tahun 2018 menunjukkan angka meningkat 27,68 juta.Berapa jumlah usaha pertanian di tahun 2023 nanti, akan menjadi angka statistik BPS yang ditunggu-tunggu. Sebab utama usaha pertanian ditinggalkan adalah nilai hasil berbanding dengan biaya yang dikeluarkan tidak mampu membuat petani sejahtera, transaksi tanah dan konversi tata guna tanah pertanian menjadi non pertanian, konsentrasi penguasaan tanah baik dengan transasi perdagangan maupun konsesi-konsesi perkebunan, kehutanan, pertambangan, dll., serta last but not least menurunnya minat generasi muda anak-anak petani untuk bertani.
Pengurangan jumlah petani, depeasantization, ini juga menjadi satu tema penggerak kajian petani dan perubahan agraria yang semakin bergairah dewasa ini. Hatta, teka-teki itu membawa kita ke pertanyaan penelitian: apa yang membuat petani dalam pertanian keluarga tetap terus bisa melanjutkan hidup dan menolak mati, bahkan membentuk gerakan tandingan, dalam konteks semakin membesarnya kekuatan utama yang bisa mematikan mereka?
Buku Petani dan Seni Bertani, Maklumat Chayanovian karya Jan Douwe van der Ploeg ini sangat cocok dijadikan rujukan untuk memahami relevansi teori agronomi sosial dari Alexander V. Chayanov, seorang pemikir agraria Rusia, yang berpengaruh besar hingga sampai ke Indonesia. Para penganut dan pengembang pemikiran Chayanovian di Indonesia antara lain, Julius Herman Boeke, Gerard Juliaan Vink, Kaslan Tohir, Sajogyo, S.M.P. Tjondronegoro, Gunawan Wiradi, Amri Marzali, hingga Francis Wahono. Ilmu usaha tani yang dikembangkan ahli-ahli pertanian Indonesia setelah merdeka mewarisi ajaran-ajaran teoritis Chayanovian ini, dan masih terus diajarkan hingga sekarang. Siapakah sekarang yang membaca buku Chayanov, dan menggunakan pendekatan Chayanovian untuk memahami keberlanjutan hidup dari suatu sistem agraria pertanian keluarga?
Buku Petani dan Seni Bertani ini menguraian secara ringkas dan padat teori ekonomi pertanian keluarga dari Chayanov, dan bagaimana relevansinya di saat ini. Chayanov benar-benar berhasil menunjukkan bahwa usaha pertanian rakyat (peasant farm) hadir dan berlanjut hidup dalam suatu ekonomi yang didominasi oleh hubungan-hubungan sosial kapitalistik. Keberlanjutan hidupnya bergantung pada andilnya sebagai suatu bentuk produksi barang dagangan yang khusus dalam sistem perekonomi kapitalis. Dalam dominant-subordinate relations itulah perlu diselidiki secara khusus bagaimana petani dan cara produksi pertanian rakyat dapat berlanjut hidup, bahkan terpelihara secara struktural.
Chayanov berargumen bahwa karakteristik usaha pertanian keluarga didasari dengan logika kerja yang sama sekali berbeda dari usaha pertanian kapitalis (skala besar, industrial). Khususnya, pertanian keluarga dikelola tidak dengan landaskan hubungan modal-tenaga kerja, sebagaimana pertanian kapitalis. Tenaga kerja dalam pertanian keluarga bukanlah tenaga kerja upahan; dan modal di dalamnya bukan dalam pengertian teori kapitalisme. Dalam pertanian keluarga, modal tidak punya logika untuk menghasilkan nilai lebih sebagai sumber akumulasi. Inilah yang disebut “produksi komoditas secara sederhana” (simple commodity production), tanpa reproduksi modal yang meluas.
Hidup menjadi bagian yang penting sistem kapitalisme bukanlah sesuatu yang menyenangkan bagi petani. Sebagian petani berjuang untuk melanjutkan hidup pertanian rakyat dalam menghadapi ancaman nyata dari cara produksi kapitalis yang meluaskan diri dengan cara melenyapkan cara produksi pra-kapitalis dalam logika creative destruction sebagaimana dijelaskan oleh David Harvey dalam artikelnya “Neoliberalism and Creative Destruction” (2006). Sebagian petani yang lain mengikuti jalur mengubah pertanian rakyatnya menjadi pertanian komersial, seperti yang dipromosikan besar-besara oleh pemerintah, yang memiliki kekhususan wewenang baik sebagai pembuat peraturan, pengambil dan penentu alokasi anggaran negara, dan kekuatan birokrasinya, hingga perusahaan-perusahaan negara.
Pertanian keluarga sendiri tentu bukanlah unit produksi kapitalis. Dalam unit kerja pertanian keluarga, para petani yang bekerja bukanlah tenaga kerja upahan. Pertanian rakyat bekerja dalam cara yang benar-benar berbeda dengan cara bagaimana perusahaan kapitalis dikelola, yang berdasar hubungan kerja sosial modal-tenaga kerja. Perhatikanlah, misalnya sebagai petty commodity producer, jual beli barang nya secara umum berada dalam kisaran harga yang jauh lebih murah dibanding harga yang barang yang diproduksi dan diedarkan perusahaan kapitalis yang badan-badan usahanya mempergunakan modal dari hutang bank. Resiko harga jual murah ini ditanggung secara keseluruhan. Struktur internal yang khusus dari pertanian keluarga inilah yang bisa membuat mereka bekerja ketika perusahaan kapitalis tidak bisa. Baik dengan menjual dengan harga murah itu, memperpanjang jam kerja anggota keluarga, mengambil bahan mentah secara gratis dari layanan alam, dan sebagainnya. Dalam kalimat Chayanov (1966: 89), “The peasant farm continues to produce where capitalist farms stop,” dan mereka memiliki keunggulan bisa terus hidup dalam posisi berkompetisi-tapi- tersubordinasi.
Buku van der Ploegh ini, seperti tercermin di judulnya menghadirkan kembali dalam versi ringkas dan padat pemikiran sosial agronomi dari pemikir agraria Uni Soviet, Alexander V. Chayanov. Chayanov berargumen bahwa karakteristik usaha pertanian keluarga sungguh memiliki cara bekerja, logics yang berbeda sama sekali berbeda dengan usaha pertanian kapitalis. Khususnya, pertanian keluarga dikelola, tidak sebagaimana perusahaan kapitalis, dan tidak berlandaskan pada hubungan modal-tenaga kerja. Tenaga kerja dalam pertanian keluarga bukanlah tenaga kerja upahan; dan modal di dalamnya bukan dalam pengertian sebagaimana dipahami dan dijelaskan Karl Marx dalam Das Capital. Di pertanian keluarga, modal dalam pertanian keluarga petani tidak punya logika menghasilkan nilai lebih sebagai sumber akumulasi, yang untuk sebagian besar ditanamkan kembali agar menghasilkan nilai lebih lebih banyak lagi. Pertanian keluarga Ini adalah simple commodity production tanpa reproduksi modal yang meluas.
Adalah argumen Chayanov bahwa logika yang membimbing unit produksi pertanian keluarga berdasar beberapa keseimbangan, terutama keseimbangan kerja-konsumsi dan keseimbangan jerih payah-faedah (Bab 2). Di dalam keseimbangan kerja-konsumsi pada intinya petani memproduksi pangan yang diproduksinya sendiri, dan petani senantiasa mencari keseimbangan antara jumlah tenaga kerja untuk dapatkan jumlah panenan tertentu, untuk kebutuhan konsumsi keluarganya. Kalau kebutuhan konsumsi meningkat, sedangkan lahan langka, terjadilah intensifikasi dan perluasan kerja. Petani juga perlu menyeimbangkan kerja ekstra (berjerih-payah) dan keuntungan ekstra (faedah). Jerih payah ini “dikonotasikan dengan kesengsaraan, kerja sepanjang hari, memeras keringan di bawah terik matahari … bekerja mulai subuh dan di bawah kondisi dingin dan basah kuyup.” Kenapa hal itu tetap dilakukan? Karena faedah yang ingin didapatkan tidak melulu peningkatan produksi jangka pendek, tetapi juga pertanian yang indah dalam jangka panjang. Jadi, “kerja pertanian bisa saja dialami sebagai kegiatan yang menyenangkan dan bermakna.”
Masih banyak keseimbangan lain yang merupakan logika kerja petani. Dalam bab 3, misalnya diuraikan keseimbangan antara manusia dan alam-hidupnya, antar produksi dan reproduksi, antar sumber daya eksternal dan internal, antara otonomi dan ketergantungan, dan antara skala dan intensitas. Yang paling menarik untuk memahami situasi kontemporer adalah “Posisi Pertanian Petani dalam Konteks Lebih Luas” (bab 4), “Hasil Panen”, dan “Pembentukan Kembali Kaum Tani”.
Buku yang ringkas dan padat (226 halaman) ini adalah bacaan bagus bagi pembelajar, terutama baik bagi para pemula studi agraria, di tengah mengemukanya krisis agraria yang melanda petani, dan juga terutama bagi para petani perjuang dan para pembelanya di negeri ini. Buku ini menyuguhkan perspektif mengenai kekuatan petani untuk terus berlanjut hidup. Meskipun tetap menempatkan kelas petani sebagai pihak yang bersanding, bahkan bertanding “melawan” kapitalisme pertanian, buku ini menonjolkan cara pandang mikro yang menyasar jantung logika produksi petani itu sendiri. Bahwa perlawanan petani kecil terhadap proyek-proyek kapitalisme itu sudah menjadi “jiwa” dalam sistem produksi dan reproduksinya, khususnya dalam konteks kontradiksi kapitalisme yang memunculkan celah-celah (interstices) di mana antogonisme kelas terjadi. Argumen ini tersebar di sepanjang bahasan buku ini.
Di bagian akhir, van der Ploeg memaparkan bagaimana “jiwa seni” itu kini tengah mengalami berbagai pembaharuan, seperti prakarsa-prakarsa pertanian organik, pembentukan jaringan pasar mandiri, hingga peran gerakan petani dunia seperti La Via Campesina. Yang penting dicatat di sini adalah bahwa “seni melawan” atau menciptakan alternatif itu tidak bisa dijalankan oleh petani tunggal, melainkan mensyaratkan “jejaring yang luas untuk berkomunikasi dan berbagi pengetahuan .… Jejaring ini, sebagaimana dulunya, merupakan sistem saraf dari pertanian petani .… Terkadang jejaring ini diubah menjadi mekanisme penting dalam perjuangan sosiopolitik petani di pedesaan” (hlm. 138).
Jan Douwe van der Ploeg awalnya adalah seorang insinyur pertanian lulusan University of Wageningen, Belanda, dengan spesialisasi sosiologi agraria untuk negeri-negeri non-Barat, ekonomi pembangunan, serta metode dan teknis penelitian sosial. Van der Ploeg berpengalaman kerja konsultansi di Guinea Bisau, Ghana, Peru, Ivory Coast dan Italia. Setelah mengajar sebentar di Leiden University, ia bergabung dalam almamaternya, hingga kemudian menjadi profesor. Ia juga kemudian menjadi Adjunct Professor dalam bidang sosiologi pedesaan, di China Agricultural University, Beijing. Karya sebelumnya yang berkaliber tinggi dalam kajian petani dan perubahan agraria adalah The New Peasantries: Struggles for Autonomy and Sustainability in an Era of Empire and Globalization (2009). Buku ini menunjukkan kecenderungan yang jelas akan berlangsungya proses kebangkitan petani yang disebut repeasantization, yakni proses pembentukan kembali petani yang berproduksi dalam model pertanian keluarga skala kecil. Proses ini bisa dibilang menjadi antitesis dari proses industrialisasi pertanian yang mengonsentrasikan usaha pertanian ke dalam skala raksasa, intensifikasi, spesialisasi dan artifisialisasi, serta disaktivasi pertanian yang akhirnya mengakibatkan pengurangan hingga penghapusan kegiatan-kegiatan pertanian ‘tradisional’. Pembentukan kembali kaum tani itu tampak jelas di Asia dan Amerika Latin, dan juga yang menarik, adalah di Eropa dan Amerika Utara. Buku Petani dan Seni Bertani itu juga menegaskan kembali gagasan utama buku The New Peasantries itu, menunjukkan terdapat kecenderungan yang jelas adanya re-peasantization, pembentukan kembali petani dalam pertanian keluarga. Seiring proses industrialisasi pertanian yang mengkonsentrasikan usaha pertanian dalam skala raksasa, intensifikasi, spesialisasi dan artificialisasi pertanian, dan disaktivasi yang berakibat pada akhirnya pengurangan hingga penghapusan kegiatan-kegiatan pertanian tertentu. Re-peasantization itu tampak jelas di Asia dan Amerika Latih, dan juga yang menarik, adalah di Eropa dan Amerika Utara.
Versi asal Bahasa Inggris dari buku Petani dan Seni Bertani, Maklumat Chayanovian yang diresensi ini terbit tahun 2013, dan merupakan buku kedua dalam seri “Kajian Petani dan Perubahan Agraria”. Buku pertamanya, Henry Bernstein, Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria juga telah diterbitkan oleh Insist Press 2015. Tiap-tiap buku dalam seri ini ini, seperti dijelaskan dalam pengantar seri buku ini, bermaksud menjawab pertanyaan terkini meliputi apa saja isu dan perdebatan terkini dalam suatu topik, bagaimana posisi tersebut muncul dan berkembang dari waktu ke waktu, bagaimana kecenderungan yang mungkin terjadi, apa saja rujukan kunci, dan last but not least, mengapa penting bagi para pekerja ornop, aktivis gerakan, pekerja pembangunan dan lembaga donor, mahasiswa, akademisi , peneliti dan dan ahli-ahli pembuat kebijakan perlu melibatkan diri secara kritis dengan topik-topik ini.
Buku yang ringkas dan padat (226 halaman), ini bagus untuk pemula yang mulai belajar suatu pemikiran agraria. Para pembaca yang sudah mahfum dengan pemikiran agraria akan segera mengetahui bahwa buku ini adalah buku yang penting dan serius, namun enak dan ringan dibacanya. Terima kasih untuk kerja kordinator penerbitan dan editorial yang cakap dari Penerbit Insist Press. Pilihan huruf, mutu tata letak, perwajahan isi dan ilustrasi sampul buku ini membuat pembaca merasa nyaman. Glosarium di akhir buku dan anjuran bacaan dalam Daftar Pustaka pun sangat membantu. Kita menantikan penerbit ini mengeluarkan buku-buku selanjutnya dari seri Kajian Petani dan Perubahan Agraria ini.
Apakah buku berisikan “ide besar dalam buku kecil” seperti buku ini dapat dibuat untuk kajian pemikiran-pemikiran agraria (di) Indonesia? Provokasi ini penting agar pembuatan peta perjalanan pemikiran agraria Indonesia dapat dikonstruksi, dan para pelaku studi agraria yang semakin membanyak ini pun dapat meletakkan sumbangan studi yang dilakukannya sebagai kelanjutan dari para pendahulunya. Status pengetahuan dari studi-studi agraria Indonesia perlu ditingkatkan dengan menghadirkan pemikiran para tokohnya, dan diletakkan dalam hubungan satu sama lain. Setelah karya Ben White (2005) “Between Apologia and Critical Discourse, Agrarian Transitions and Scholarly Engagement in Indonesia”, belum ada yang melanjutkan.
Bandung, 2 Mei 2020
Daftar Pustaka
Bernstein, Henry. 2015. Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria. Yogyakart: Insist Press.
Harvey, David. 2006. “Neoliberalism and Creative Destruction”. Geogr, Ann,, 88 B (2), p.145–158.
Hobsbawm, Eric. 1994. The Age of Extremes, The Short Twentieth Century, 1914-1991. London, Michael Joseph.
Lipton, Michael. 1977. Why Poor People Stay Poor: Urban Bias in Development. London: Temple Smith.
Polanyi, Karl. 1944. The Great Transformation: The Political and Economic Origin of Our Time. New York: Farrar & Rinehart.
van der Ploeg, Jan Douwe. 2009. The New Peasantries: Struggles for Autonomy and Sustainability in an Era of Empire and Globalization. Earthscan, London,
_____. 2014. Peasants and The Art of Farming: A Chayanovian Manifesto. Fernwood: Practical Action Publishing.
White, Ben. 2005. “Between Apologia and Critical Discourse: Agrarian Transitions and ... Dalam Social Science and Power in Indonesia, diedit oleh Vedi Hadiz dan Daniel Dhakidae, 107-141. Jakarta and Singapura: Equinox and ISEAS.
No comments:
Post a Comment