Mengenang Sediono MP Tjondronegoro dan Reforma Agraria


Noer Fauzi Rachman (2020) "Mengenang Sediono MP Tjondronegoro dan Reforma Agraria", Kompas 5 Juni 2020 

Untuk mengunduh naskah seluruhnya secara bebas: https://www.kompas.id/baca/opini/2020/06/05/mengenang-sediono-mp-tjondronegoro-dan-reforma-agraria


Di ujung Pendahuluan dari buku Dua Abad Penguasaan TanahPola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Sediono MP Tjondronegoro berseru bahwa “… ketekunan Indonesia untuk mencari pemecahan yang tuntas (tentunya yang dimaksudnya adalah terhadap masalah penguasaan tanah, NFR) perlu lebih dirangsang” (Tjondronegoro 1984:xvii).

Buku itu benar-benar menginspirasi kami, generasi pemulai dan pemula aktivisme agraria. Kami mendiskusikan, mendebatkan, menuliskan hingga merujuknya ketika menulis karya kami, baik untuk bahan latihan dan kursus bagi para penggerak rakyat maupun tulisan di koran, majalah, jurnal dan buku.

Sediono MP Tjondronegoro bereputasi tertinggi secara akademik. Ia adalah guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB), anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Kebesaran hatinya memperlakukan kami sebagai teman diskusi, pemberi inspirasi dan penerangan. Ia meninggal 3 Juni 2020 lalu.

Artikel ini mengenang salah satu jasanya, baik melalui naskah-naskah yang ia tulis, maupun pandangan-pandangan intelektual yang ia sampaikan dalam acara diskusi bersamanya yang telah merangsang dan mengembangkan alam pikiran banyak aktivis gerakan sosial muda, yang dari segi umur berbeda generasi, seumur dengan anak-anaknya.

Aktivisme Intelektual

 Nasehat Tjondronegoro untuk kebijakan reforma agraria, mulai kami pelajari dari kepemimpinan beliau dalam Tim Riset Interim Masalah Pertanahan yang ditugaskan oleh  Menteri Riset RI tahun 1978. Tjondronegoro menganjurkan untuk tetap memberlakukan UU nomor 5/1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria, menyelesaikan sejumlah masalah pertanahan yang kronis, juga mengajukan sejumlah usulan tema penelitian.

Ia terlibat aktif pula dalam World Conference on Agrarian Reform and Rural Development (ICARRD) di Roma 1979, hingga forum akademik nasional dan internasional, serta Policy Workshop on Agrarian Reform in Comparative Perspective 1981 (Benjamin White dan Gunawan Wiradi, 2009).

Sejak 1990an generasi aktivis agraria mencari dukungan dan sumbangan pemikiran dari para intelektual kritis dari perguruan tinggi untuk memberi pencerahan mengenai politik dan kebijakan agraria. Kami berkenalan, mendatangi, dan berdiskusi dengan Sediono MP Tjondronegoro dan beberapa guru senior lainnya seperti Sajogyo, Gunawan Wiradi, Tapi Omas Ihromi, Soetandyo Wignjosoebroto, Loekman Soetrisno, Ahmad Sodiki, dan Mochamad Maksum Mochfoedz, untuk menyebut sebagian.

Sediono MP Tjondronegoro memiliki kedudukan istimewa, karena sikap-nya yang rendah hati, ruang lingkup jelajah intelektualnya luas. Wawasan historisnya panjang, sejak masa kolonial. Juga pemahamannya mendalam atas perbedaan geografis dari pulau-pulau di nusantara, serta kedudukan Indonesia dalam konteks globalisasi. Hal itu membuat kami para aktivis memperhatikan perubahan cara pemerintahan nasional berubah dari waktu-ke-waktu, dalam pengaturan kebijakan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.

Untuk menyebut satu ilustrasi, bersama Gunawan Wiradi, dan H.S. Dillon, Sediono MP Tjondronegoro, berperan penting dalam Konferensi Nasional Pembaruan Agraria untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Asasi Petani, yang diadakan 17-20 April 2001 di Jakarta, yang menghasilkan resolusi pembentukan TAP MPR tentang Pembaruan Agraria, dan usulan Deklarasi Hak-hak Petani (yang menjadi cikal dari the United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas yang disahkan Sidang Umum PBB 2019).

Andilnya besar dalam pembuatan dokumen negara TAP MPR Nomor IX/MPRRI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, merupakan tonggak bersejarah, yang menjadi landasan agenda pemerintah maupun organisasi-organisasi masyarakat sipil.

Bukan hanya dalam pembuatannya, juga dalam menindaklanjutinya. Salah satu badan negara yang menindaklanjuti TAP MPR ini adalah Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam konteks keadilan transisi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu.

Sediono MP Tjondronegoro terlibat dalam proses pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) yang disampaikan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Sayangnya, pemerintah melalui Mensesneg Yusril Ihza Mahendra pada tahun 2005 menolak pembentukan komisi tersebut dan merekomendasikan penguatan kelembagaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI untuk menangani konflik-konflik agraria.

Pimpinan BPN-RI periode 2001-2005 menggunakan TAP MPR NO IX/MPRRI/2001 untuk mengusulkan undang-undang baru pengganti UUPA 1960 dengan “meredefinisi prinsip-prinsipnya”. Hal ini mengundang pro dan kontra di kalangan ornop, sarjana hukum agraria, dan pejabat pemerintahan, sebab inistiatif itu tidak didasari konsensus politik yang mantap dan landasan pemikiran mengenai prinsip dasar dan arah revisi yang memadai.

Tjondronegoro mengkritik upaya revisi ini, dan mengawal ketat pandangan bahwa pasal 1 sampai dengan pasal 15 adalah pasal-pasal prinsip yang tidak boleh diubah agar Reforma Agraria tetap memiliki landasan hukum nasional. Menjelang Pemilu 2004, ia bersama kalangan aktivis mengusulkan “Kerangka Pelaksanaan Reforma Agraria, Rekomendasi untuk Calon Presiden Republik Indonesia” (2004).

Dalam rangka ulang tahun ke-80, para muridnya menerbitkan buku kumpulan karya tulis Sediono MP Tjondronegoro,  Negara Agraris Ingkari Agraria: Pembangunan Desa dan Kemiskinan di Indonesia (2008).  Dari buku itu tampak jelas komitmen Tjondronegoro pada kebangsaan dan kerakyatan. Ia sangat peduli pada nasib kaum petani dan rakyat agraris lainnya dalam hubungan bagaimana bangsa ini dikelola oleh para elite pemegang kekuasaan negara.

Imajinasi sosiologis

Kemampuan “imajinasi sosiologis”nya memungkinkan kita memahami bagaimana kesulitan-kesulitan hidup rakyat berhubungan dengan cara bagaimana bangsa ini dikelola oleh elitenya. Dalam suatu karya tulis, yang ditulis akhir abad ke-20,  ia mengungkapkan keluhannya, “… cukup banyak elite bangsa, termasuk cendekiawan dan kaum professional   … tidak lagi menaruh perhatian pada masalah agraria. Lapisan ini tidak lagi memberi perhatian karena beranggapan bahwa tinggal landas dan pertumbuhan ekonomi bisa diwujudkan tanpa pengaturan agraria yang rapi.”

Sebagai intelektual Tjondronegoro istimewa karena mampu menjelaskan sebab-sebab struktural dan politik agraria dari kemiskinan agraria yang kronis yang terjadi dalam rentang waktu panjang, dan konteks geografis yang berbeda-beda. Ia sanggup melakukan retrospeksi ke abad-18, mengkaji sebab-sebab mengapa terjadi keterpurukan rakyat dan desa, untuk kemudian mengungkapkan prospeknya di abad 21. Hal itu dituangkan dalam pengantar ringkas untuk buku versi Indonesia karya sahabatnya Jan Breman (2014) Keuntungan Kolonial dari Kerja PaksaSistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870.  

Nasehat reforma agraria

Sepanjang pengetahuan penulis, aktivisme intelektual Tjondronegoro terakhir adalah keterlibatannya dalam Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria (FIKA) tahun 2013. FIKA menyatakan keprihatinannya atas konflik agraria berkepanjangan, kemudian mengirimkan surat petisi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera mengambil sikap tegas dan langkah nyata menyelesaikan konflik-konflik agraria yang semakin meluas dan bertambah banyak, serta menelan banyak korban (FIKA, 2013). Pada waktu itu Tjondronegoro sudah berusia 85 tahun. Kesehatannya menurun hingga wafatnya.

Penting diingat, Tjondronegoro pernah memberi nasehat terkait reforma agraria. Begini ia mengatakan : “Pelaksanaan reforma agraria, baik segi pengaturan bagi hasil, maupun redistribusi tanah (land reform), pengaturan ganti rugi dan sebagainya (seyogyanya) dikendalikan secara sentral, integral dan serentak ... Tindakan yang tegas perlu, karena pelaksanaan reforma agraria untuk golongan penguasa tanah dimanapun juga tidak menyenangkan dan merupakan pengorbanan. Oleh karena itu, reforma agraria sebaiknya dilakukan serentak dan dalam periode sesingkat mungkin. Semakin baik aparat perencana, pelaksana dan pengawas (termasuk pengadilan) “bersih”, semakin besar wibawa penguasa, dan kemungkinan akan dituruti oleh masyarakat luas. (Tjondronegoro 1982).

(Noer Fauzi Rachman Peneliti politik dan kebijakan agraria Indonesia, dan sekarang mengajar psikologi komunitas di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran)

No comments:

Post a Comment