Resensi Buku: Petani Menolak Punah

Dimuat dalam Kompas.com  27 September 2020, 
https://www.kompas.id/baca/opini/2020/09/27/petani-menolak-punah 


Meskipun tetap menempatkan kelas petani sebagai pihak yang bersanding, bahkan bertanding ”melawan” kapitalisme pertanian, buku ini menonjolkan cara pandang mikro yang menyasar jantung produksi petani itu sendiri.


Judul                           : Petani dan Seni Bertani: Maklumat Chayanovian

Penulis                        : Jan Douwe van der Ploeg

Judul Asli                   : Peasants and The Art of Farming: A Chayanovian Manifesto

Penerbit                      : Insist Press, 2019

Ilustrasi Sampul       : Andi Bhatara dan Giovanni Dessy Austriningrum
Jumlah Halaman      : 226 + xxiv halaman

ISBN                            : 978-602-0857-87-9

 

Pada 24 September 2020 ini, Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 telah berumur enam puluh tahun, dirayakan sebagai Hari Tani oleh banyak kalangan, di atas landasan empiris yang pahit: berkurangnya jumlah petani. Sensus Pertanian  tahun 2003 ke 2013, menunjukkan jumlah rumah tangga usaha pertanian berkurang 5 juta, yaitu dari sekitar 31,17 juta menjadi sekitar 26,13 juta. Hasil Survei Pertanian antar Sensus (SUTAS) BPS tahun 2018 menunjukkan angka meningkat 27,68 juta. Berapa jumlah rumah tangga usaha pertanian di Sensus Pertanian tahun 2023 nanti, akan menjadi angka data statistik BPS yang layak dinantikan. 

Sebab utama berkurangnya rumat tangga petani adalah konsentrasi penguasaan tanah baik dengan konsesi-konsesi perkebunan, kehutanan, pertambangan, dll., maupun melalui transaksi perdagangan, perbandingan nilai hasil pertanian berbanding dengan biaya yang dikeluarkan tidak mampu membuat petani sejahtera, konversi tata guna tanah pertanian menjadi non pertanian, serta last but not least menurunnya minat generasi muda anak-anak petani untuk bertani. 

Karl Polanyi (1944) menulis buku The Great Transformation: The Political and Economic Origin of Our Timeyang menunjukkan meluasnya kerja ekonomi pasar yang membuat tenaga kerja, alam, dan uang menjadi barang dagangan dan merusak berbagai ranah kehidupan masyarakat. Menurut Eric HobsbawmThe Age of Extremes (1994: 289, 415), pengurangan jumlah petani, the death of peasantry, ini adalah penanda penting perubahan jaman ke urbanisasi.  Di tengah arus semakin membesarnya kekuatan utama yang merusak usaha pertanian rumah tangga,  apa yang membuat petani dalam pertanian keluarga tetap terus bisa melanjutkan hidup dan menolak mati, bahkan membentuk gerakan tandingan?

Buku karya Jan Douwe van der Ploeg ini sangat cocok dijadikan rujukan untuk memahami relevansi teori agronomi sosial dari Alexander V. Chayanov, seorang pemikir agraria Rusia, yang berpengaruh besar hingga sampai ke Indonesia, pertama-tama melalui ahli-ahli pertanian Kolonial Belanda yang datang dan berkiprah si Jawa, seperti Julius Herman Boeke, Gerard Juliaan Vink di awal hingga pertengahan abad ke-20. Ilmu usaha tani yang dikembangkan ahli-ahli pertanian Indonesia setelah merdeka mewarisi ajaran-ajaran teoritis Chayanovian ini, dan masih terus diajarkan hingga sekarang. 

Chayanov berargumen bahwa karakteristik usaha pertanian keluarga didasari dengan logika kerja yang sama sekali berbeda dari usaha pertanian kapitalis (skala besar, industrial). Khususnya, pertanian keluarga dikelola tidak dengan landaskan hubungan modal-tenaga kerja, sebagaimana pertanian kapitalis. Tenaga kerja dalam pertanian keluarga bukanlah tenaga kerja upahan; dan modal di dalamnya bukan dalam pengertian Karl Marx dalam Das Kapital: Kritik der politischen Ökonomie (edisi bahasa Inggrisnya terbit pada 1867)Dalam pertanian keluarga, modal tidak punya logika untuk menghasilkan nilai lebih sebagai sumber akumulasi. Inilah yang disebut “produksi komoditas secara sederhana” (simple commodity production), tanpa reproduksi modal yang meluas.

Buku ini menegaskan kembali argumen Chayanov bahwa logika yang membimbing unit produksi pertanian keluarga adalah beberapa keseimbangan, terutama keseimbangan antara kerja dan konsumsi dan keseimbangan antara jerih payah dan faedah (Bab 2). Di dalam keseimbangan kerja-konsumsi, pada intinya petani memproduksi pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarganya sendiri dengan senantiasa mencari keseimbangan antara jumlah tenaga kerja untuk mendapatkan jumlah panenan tertentu. Konsumsi yang dimaksud macam-macam, terutama pangan. Kalau kebutuhan konsumsi meningkat, sedangkan lahan langka, terjadilah intensifikasi dan perluasan kerja. Intensifikasi mengacu pada penggiatan proses produksi pertanian di lahan. Sementara perluasan kerja tentu bisa kita lihat sehari-hari di kalangan petani kecil di Indonesia ketika mereka mencari kerja di luar pertanian di sela-sela pekerjaan di lahan.

Petani juga perlu menyeimbangkan kerja ekstra (jerih-payah) dan keuntungan ekstra (faedah). Jerih payah ini “dikonotasikan dengan kesengsaraan, kerja sepanjang hari, memeras keringat di bawah terik matahari … bekerja mulai subuh dan di bawah kondisi dingin dan basah kuyup” (hlm. 54). Kenapa hal itu tetap dilakukan? Karena faedah yang ingin didapatkan tidak melulu peningkatan produksi jangka pendek, tetapi juga pertanian yang indah dalam jangka panjang. Jadi, “kerja pertanian bisa saja dialami sebagai kegiatan yang menyenangkan dan bermakna” (ibid.).

Masih banyak keseimbangan lain yang merupakan logika kerja petani. Dalam Bab 3, misalnya, diuraikan keseimbangan antara manusia dan alam-hidupnya, antara produksi dan reproduksi, antara sumber daya eksternal dan internal, antara otonomi dan ketergantungan, dan antara skala dan intensitas. Kaum tani, dengan berbagai keterampilan mereka, memainkan semua keseimbangan itu laiknya seorang seniman.

Buku yang ringkas dan padat (226 halaman) ini adalah bacaan bagus bagi pembelajar pemula, di tengah mengemukanya krisis agraria yang melanda petani, dan juga terutama bagi para petani perjuangan dan para pembelanya di negeri ini, karena buku ini menyuguhkan perspektif mengenai kekuatan petani untuk terus berlanjut hidup. Meskipun tetap menempatkan kelas petani sebagai pihak yang bersanding, bahkan bertanding “melawan” kapitalisme pertanian, buku ini menonjolkan cara pandang mikro yang menyasar jantung produksi petani itu sendiri. Bahwa perlawanan petani kecil terhadap proyek-proyek kapitalisme itu sudah menjadi “jiwa” dalam sistem produksi dan reproduksinya, khususnya dalam konteks kontradiksi kapitalisme yang memunculkan celah-celah (interstices) di mana antogonisme kelas terjadi. Argumen ini tersebar di sepanjang bahasan buku ini. 

Di bagian akhir bukunya, van der Ploeg memaparkan bagaimana “jiwa seni” itu kini tengah mengalami berbagai pembaharuan, seperti prakarsa-prakarsa pertanian organik, pembentukan jaringan pasar mandiri, hingga peran gerakan petani dunia seperti La Via Campesina. Yang penting dicatat di sini adalah bahwa “seni melawan” atau menciptakan alternatif itu tidak bisa dijalankan oleh petani tunggal, melainkan mensyaratkan “jejaring yang luas untuk berkomunikasi dan berbagi pengetahu­an .… Jejaring ini, sebagaimana dulunya, merupakan sistem saraf dari pertanian petani .… Terkadang jejaring ini diubah menjadi me­kanisme penting dalam perjuangan sosio­politik petani di pede­saan” (hlm. 138).

Van der Ploeg awalnya adalah seorang insinyur pertanian lulusan University of Wageningen, Belanda, dengan spesialisasi sosiologi agraria untuk negeri-negeri non-Barat, ekonomi pembangunan, serta metode dan teknis penelitian sosial.  Seiring perkembangan akademisnya, van der Ploeg berpengalaman kerja konsultansi di Guene Bisau, Ghana, Peru, Ivory Coast dan Italia. Setelah mengajar sebentar di University of Leiden, ia bergabung dalam almamaternya, hingga kemudian menjadi profesor. Ia juga kemudian menjadi Adjunct Professor dalam bidang sosiologi pedesaan, di China Agricultural University, Beijing. Karya sebelumnya yang berkaliber tinggi dalam kajian petani dan perubahan agraria adalah The New Peasantries: Struggles for Autonomy and Sustainability in an Era of Empire and Globalization(2009). Buku ini menunjukkan kecenderungan yang jelas akan berlangsungya proses kebangkitan petani yang disebut repeasantization, yakni proses pembentukan kembali petani yang berproduksi dalam model pertanian keluarga skala kecil. Proses ini bisa dibilang menjadi antitesis dari proses industrialisasi pertanian yang mengonsentrasikan usaha pertanian ke dalam skala raksasa, intensifikasi, spesialisasi dan artifisialisasi, serta disaktivasi pertanian yang akhirnya mengakibatkan pengurangan hingga penghapusan kegiatan-kegiatan pertanian ‘tradisional’. Pembentukan kembali kaum tani itu tampak jelas di Asia dan Amerika Latin, dan juga yang menarik, adalah di Eropa dan Amerika Utara. Buku Petani dan Seni Bertani semacam menegaskan kembali gagasan utama buku The New Peasantries itu,

Publikasi versi bahasa Indonesia yang menyajikan secara ringkas suatu teori bukan kerja yang mudah berhasil. Pembaca bisa merasa merugi membaca buku-buku teori ilmu sosial karena penerjemahan yang sembrono dan kualitas editing yang buruk. Namun, tidak akan demikian dengan buku ini.  

 

*) Noer Fauzi Rachman, Ph.D., peneliti, penulis, dan pengajar studi-studi agraria, gerakan sosial pedesaan, ekologi politik sumber daya alam, dan psikologi komunitas.

 

 

 

No comments:

Post a Comment