Oleh Noer Fauzi Rachman*) dan Ilsa Nelwan**)
Akhir Desember 2019, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendapat laporan dari Pemerintah Tiongkok soal suatu pneumonia di Kota Wuhan engan sebab musabab tak jelas. WHO menyatakan darurat kesehatan masyarakat pada Januari setelah diskusi dan kunjungan ke Tiongkok.
Sampai akhir Januari bermunculan kasus penyakit ini di Thailand, Jepang, Korea, Hong Kong, Singapore dan Vietnam. Pemerintah Tiongkok memberlakukan karantina di Wuhan pada 22 Januari 2020. Lalu, Maret 2020, WHO menyatakan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) sebagai pandemi.
Sepanjang Januari-Februari 2020, beberapa pejabat Pemerintah Indonesia menyatakan tidak ada COVID-19 di Indonesia, dengan berbagai penjelasan. Februari 2020, Pemerintah Indonesia evakuasi WNI dari Wuhan, kapal pesiar di Yokohama, dan kapal pesiar selat durian Kepulauan Riau.
Pemerintah mempersiapkan tempat isolasi di Natuna, Pulau Galang dan Pulau Sebaru, sebelum para WNI pulang ke rumah masing-masing. Awal Maret 2020, pemerintah mengumumkan ada dua kasus COVID-19 pertama. Gugus Tugas Penanganan COVID-19 diumumkan 13 Maret 2020. Sampai 7 Oktober 2020 ini, warga terpapar corona di Indonesia ada 315.714 orang, dengan sembuh 240.291 orang dan meninggal dunia 11.472 orang.
Hingga kini, COVID-19 dianggap sebagai suatu serangan yang datang dari luar, sebagaimana terlihat dari istilah yang digunakan, misal, “perang melawan COVID.” Lalu, warga diinstruksikan bertahan dengan formula utama 3M: memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan, yang baru sebagian mengikuti baik karena sadar risiko, atau sekadar percaya dan taat pada pemerintah.
Di tengah situasi infodemiks, dengan berlimpah informasi simpang siur mengenai seluk beluk COVID-19, jadi tantangan ilmiah melayani warga masyarakat dengan penjelasan pengetahuan yang memadai mengenai, pertama, etiologi dari virus SARS-CoV-2, agen penyebab penyakit dan cara pembentukannya. Kedua, patogenesisnya, yakni, bagaimana virus SARS-CoV-2 bekerja pada tingkat sel manusia dan membentuk penyakit COVID-19. Ketiga, epidemiologi dari penyakit yang ditularkan dari hewan liar (zoonosis). Ia akan membantu menjelaskan mekanisme-mekanisme cara bagaimana penularan virus berlangsung dari hewan liar ke manusia. Juga penularan antar manusia berlangsung sedemikian rupa hingga menjadi letusan wabah (outbreak), lalu epidemi. Pada gilirannya, jadi pandemi global.
Etiologi mengacu pada studi tentang penyebab penyakit (fisik maupun mental). Agen penyebab yang secara langsung memulai proses penyakit dianggap sebagai faktor etiologis. Faktor etiologis dapat dianggap sebagai kondisi untuk muncul dan berkembang suatu penyakit. Etiologi suatu kondisi tertentu sebagian besar ditentukan tak hanya oleh satu tetapi lebih interaksi berbagai kondisi (biologis, lingkungan, dan lain-lain.).
Untuk mengetahui penyebab COVID-19, tak bisa hanya berdasar pengamatan dan pengalaman sehari-hari apalagi berdasar perkiraan atau ibarat. Jasad renik atau mikro organisme (yang bisa berupa virus, bakteri, protozoa, jamur, cacing, dan lain-lain.) bisa dilihat hanya dengan mikroskop, bahkan untuk virus dengan ukuran sangat kecil hanya bisa oleh mikroskop elektron.
Virus Corona berukuran 100 nanometer atau 1.400 kali lebih kecil dari sehelai rambut manusia. Virus ini berbeda dengan jasad renik lain, karena virus bukan mahluk hidup. Virus berada di antara benda dan mahluk hidup, bisa “meminjam kehidupan” melipatgandakan diri dengan menjadi parasit pada organ inangnya, sekaligus merusak fungsi organ itu.
Patogenesis adalah suatu bidang penelitian yang luas dan penting, mencakup ilmu-ilmu biologi dasar hingga kedokteran klinis yang menjelaskan sebab dan cara berkembang penyakit terutama dalam sel. Termasuk, bagaimana patogen tertentu bekerja menghadapi kekebalan yang ada dalam tubuh mampu dan ampuh menangkal, atau gagal menangkal patogen itu.
Virus yang semula berada dalam kondisi stabil di dalam diri inang pertama (primary host jadi parasit dan berpindah dari inang pertama ke inang-inang berikutnya. Virus yang semula stabil sebagai parasit di inang pertama menjadi tidak stabil setelah berpindah.
Sebelum menjadi SARS-CoV-2, ada virus lain yang tidak ganas, virus ini terus melakukan mutasi dan evolusi menghasilkan strain baru yang makin ganas. Pada saat jadi virus SARS-CoV-2, virus ini sudah sangat mudah menular, walaupun angka kematian tidak setinggi virus SARS sebelumnya. Virus SARS-CoV-2, sangat cepat menular, dan jumlah kematian akibat COVID-19 sangat tinggi.
Selanjutnya, epidemiologi adalah studi tentang penyebaran atau distribusi suatu penyakit atau masalah kesehatan lain, dan kondisi-kondisi, faktor-faktor, peristiwa-peristiwa pembentuk dari penyebaran penyakit atau masalah kesehatan itu dalam populasi tertentu.
Epidemiologi inilah yang akan mengungkap cara-cara bagaimana virus SARS-CoV-2 keluar dari kelelawar sebagai inang primernya, menyebar dari hewan-hewan liar sebagai inang perantara yang diperjual-belikan sebagai makanan manusia di pasar seafood Kota Wuhan, Tiongkok. Lalu virus SARS-CoV-2 itu menular antar manusia jadi letusan wabah, kemudian menyebar dari episentrum ke berbagai negara di dunia hingga jadi pandemi.
Persepsi perang terhadap serangan
Virus SARS-CoV-2 sering dipandang sebagai serangan yang datang dari luar. Sering sekali pandemi COVID-19 ini dimaknai dengan situasi “perang” yang dihadapi dengan melancarkan pendekatan pertahanan (security approach) yang langsung membentuk sikap mental melawan ancaman-ancaman, dan memobilisasi menghadapi “pertempuran-pertempuran.
Yang diperlukan, pendekatan ilmiah yang bermuara pada akumulasi pengetahuan dan pembentukan pengetahuan baru yang membuat pemahaman dan penjelasan akurat berdasarkan pengukuran. Yang kurang digencarkan adalah komunikasi risiko berdasar pengetahuan ilmiah itu.
Saat ini, Pemerintah Indonesia mengambil langkah menangkal dan pengendalian penyebaran Virus SARS-Cov-2, berupa, pertama, mengadakan fasilitas dan menyelenggarakan pemeriksaaan, kedua, menyediakan infrastruktur, memobilisasi sumber daya manusia, dan menyelenggarakan layanan medis dan perawatan warga yang terkena serangan (istilahnya: kasus konfirmasi).
Ketiga, meminta mereka yang diduga terkena (istilahnya: kasus suspek) isolasi baik mandiri maupun dalam fasilitas khusus. Keempat, membuat bermacam pengaturan pembatasan untuk mencegah penularan ke lebih banyak orang, kelima, mengkampanyekan kepatuhan atas protokol kesehatan: pakai masker, jaga jarak, rajin cuci tangan, menghindari kerumunan, dan sebagainya. Keenam, pemantauan dan pelaporan indikator kerentanan epidemiologis yang biasa diukur oleh naik-turunnya (variabilitas) jumlah angka kasus konfirmasi, kasus aktif, kasus dirawat inap, dan kasus meninggal, yang diumumkan secara regular. Ketujuh, mengusahakan pengadaan vaksin, baik melalui kerjasama internasional dari perusahaan farmasi milik negara, maupun mandiri dibuat di laboratorium-laboratorium di lembaga penelitian khusus maupun universitas milik pemerintah.
Keampuhan vaksin untuk membentuk antibodi yang mampu menangkal penularan virus SARS Cov-2 itu diandalkan pemerintah pusat, dalam hal ini Komite Pengendalian COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020.
Vaksin akan diadakan dalam jumlah cukup melalui fasilitas publik yang dikelola pemerintah, dan pada gilirannya untuk semua warga. Sementara menunggu pengadaan vaksin, kita menghadapi angka penularan yang makin meningkat dari waktu ke waktu, dipenuhi usaha mengurus kasus-kasus konfirmasi dengan merawat penderita yang bergejala dan pengaturan tingkah laku untuk pencegahan penularan.
Sesungguhnya naik-turun angka kasus itu bukan karena virus menjadi lebih ganas dan berkembang pesat, lebih karena faktor sosial dari perilaku dari (semata-mata) faktor biologi dan klinis. Selain mereka yang bergejala, yang tidak terdeteksi adalah penularan mereka yang asimtomatik, yakni orang-orang yang mengidap COVID-19 tetapi tidak memiliki gejala, atau hanya batuk pilek (sekitar 40% dari mereka yang ditest positif). Orang-orang ini tidak merasa sakit, tidak tahu bahwa mengidap COVID-19, dan bisa jadi tidak tahu mereka vektor yang bisa menularkan COVID-19 ke orang-orang lain.
Manusia, vektor penular sekaligus penderita
Konsentrasi manusia dalam pabrik-pabrik produksi komoditas global, dan mobilitas manusia dalam rantai yang mengiringi komoditas global itu bersirkulasi, membuat manusia dalam rerantai komoditas (commodity chains) itu jadi vector, dan penderita sekaligus.
Walhasil, COVID-19 dari Wuhan, Tiongkok, berpindah ke kota-kota lain di Tiongkok dan seantero belahan bumi lain sedemikian rupa dengan transportasi bus, kereta, kapal laut dan pesawat terbang, hingga jadi pandemi global.
Pandemi COVID-19 dibentuk secara sosial oleh sirkuit modal (circuit of capital), selain dibentuk faktor biomedis. Merujuk pada argumen Brendean Montague (2020), kondisi penularan virus corona dari kelelawar ke manusia bukanlah (pengaturan) ‘komunis’ atau khas Tionghoa, namun khas kapitalis. Hal itu secara khusus adalah hasil dari keputusan negara Tiongkok untuk memiliki kontrol lebih lemah, membebaskan industri pertanian dan usaha bertani dan membiarkan “pasar” memutuskan makanan apa yang diproduksi dan dalam kondisi apa. Selanjutnya, Rob Wallace menyatakan, bahwa ‘capitalism is a hotspot disease,’ dalam wawancaranya dengan Yaak Panst (2020).
Sejak meletus, COVID-19 hanya perlu dua minggu untuk bergerak ke luar Tiongkok, secara simultan mengikuti rantai pasokan utama, sepanjang rute perjalanan perdagangan, dan perjalanan udara ke kantong-kantong industri dan pengusaha di kota-kota Asia Timur, Timur Tengah, Eropa, Amerika Utara, Brazil dan lanjut ke sebagian besar Afrika serta sebagian besar Amerika Latin. Dengan jumlah penduduk 11 juta orang, Wuhan merupakan kota terpadat kesembilan di Tiongkok.
Penyediaan infrastruktur transportasi mobilitas manusia massal berlangsung sangat cepat. Sebagai salah satu pusat ekonomi yang menghubungkan Cina Utara, Selatan, Timur dan Barat, transportasi jalur kereta api dan pesawat terbang melalui bandara internasional utama, sangat aktif selama perayaan Imlek (Tahun Baru Tionghoa), telah memungkinkan virus meluas ke seluruh Tiongkok.
Selanjutnya, melalui rantai pasokan komoditas dan orang-orang yang bekerja di dalam tiap mata rantai, serta mobilitas orang bolak-balik dari seantero kota penerbangan dan pelabuhan di dunia dari dan ke Wuhan tiap hari, wabah COVID-19 pun menyebar melintas benua menjadi pandemi.
Belenggu kedaruratan
Pandemi COVID-19 ini mengubah aturan permainan (game changer) secara revolusioner (berlangsung secara cepat, drastis, dan menyeluruh) mengakibatkan perubahan perilaku-perilaku manusia dalam skala yang tidak pernah dialami sebelumnya. Juga memporak-porandakan pengaturan-pengaturan kehidupan yang sebelumnya dianggap normal.
Pengetahuan yang cukup dan imajinasi ruang-waktu yang memadai, merupakan kondisi yang diperlukan untuk memahami dimensi-dimensi perubahan, berlangsung sangat cepat dan berbabak-babak di berbagai situs yang saling berhubungan satu sama lain.
Sisi lain, dari pendekatan keamanan adalah “utamakan selamat” yang menyebar dengan merata, berpengaruh terhadap karakter kepribadian orang per-orang, pengaturan kehidupan sosial (keluarga, lingkup tetangga, organisasi komunitas dan pergaulan sosial dalam masyarakat luas). Juga, pengajaran umum maupun vokasional (sekolah, madrasah, kursus-kursus hingga kampus, maupun lembaga-lembaga penelitian), penyelenggaraan layanan pemerintahan (desa/kelurahan, pemerintahan daerah hingga kantor-kantor pemerintahan pusat). Kemudian, perekonomian (usaha produksi makanan, manufaktur, jasa wisata, restoran, dan hiburan, perdagangan antar daerah, dalam dan luar negeri), hingga sosial-keagamaan (perkawinan, mudik, hingga ibadah), politik pemerintahan dalam dan luar negeri (rapat-rapat, perjalanan, hingga diplomasi), pengelolaan sumber daya alam dan wilayah, dan lain-lain.
Sesungguhnya, yang kita alami ini adalah suatu krisis, yang dimaknakan Antonio Gramsci (1971) sebagai situasi pengaturan yang terdahulu sedang sekarat dan pengaturan baru tidak dapat lahir dalam situasi peralihan tak menentu ini, beragam variasi simtom marabahaya. Krisis yang kita dialami sekarang ini tergolong ke dalam the tyranny of emergency, belenggu kedaruratan.
Merujuk pada pandangan Jerome Binde (2000:52), the tyranny of emergency membentuk gejala rabun melihat jauh secara sementara (temporal myopia), dan refleks perlindungan langsung untuk senantiasa memikirkan kepentingan praktis dan pragmatis untuk menyelamatkan diri. Dengan tidak menyisakan waktu untuk memikirkan apa yang sesungguhnya terjadi, analisis hubungan-hubungan sebab-akibat, menghitung risiko, dan memperkiraan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, dalam menemukan solusi jangka panjang.
Sesungguhnya, situasi ini harus diletakkan dalam perspektif waktu ke belakang, menemukan solusi jangka panjang agar bisa mengantisipasi masa depan secara bijaksana. “Apa yang harus dilakukan adalah membalikkan logika darurat, yang mengatur pembenaran diri atas kebijakan saat ini, bukanlah masalah darurat yang mencegah perumusan rencana jangka panjang, tetapi tidak ada rencana yang menjadikan kita terjebak dalam ‘tyrany of emergency’” (Jerome Binde 2000:52).
Seperti dikemukakan Homi K. Bhabha (1994:41) bahwa,“The state of emergency is also always a state of emergence.” Alih-alih terperangkap dalam the tyrani of emergency, situasi krisis penuh marabaya ini jadi tantangan untuk kelompok-kelompok pemaju kebudayaan tampil menunjukkan eksistensi dan andil, dan mungkin sekali jadi kekuatan mentransformasikan situasi saat ini.
Kultural baru
Dalam situasi krisis ini, sebagian orang mengidam-idamkan agar kembali ke zaman normal. Menurut MacKenzie (2020:363), setelah kita dilanda situasi porak poranda dari awal hingga sekarang ini, sesungguhnya tidak bisa kembali seperti situasi normal terdahulu. Sebab, yang normal itulah yang membuat kita jadi begini.
Sesungguhnya, seperti dikemukakan oleh Homi K. Bhabha (1994:41) bahwa “the state of emergency is also always a state of emergence,” suatu keadaan darurat juga merupakan suatu keadaan yang bisa menghadirkan hal baru. Situasi krisis ini merupakan kesempatan terbaik untuk memikirkan sungguh-sungguh cara-cara mewujudkan motto, “Keselamatan Rakyat adalah Hukum Tertinggi.” Juga menjadikan itu modalitas utama setiap sektor pemerintahan dalam memberi layanan publik terbaik, termasuk layanan kesehatan.
Strategi kunci untuk keluar dari kemelut pandemi COVID-19, adalah penggunaan asumsi dasar kesehatan adalah hak asasi manusia, dan pemerintah memiliki kewajiban menyelenggarakan layanan pemenuhan hak kesehatan warga dengan prinsip kesetaraan posisi dan partisipasi warga.
Variabilitas naik-turun angka kasus konfirmasi, kasus aktif, kasus rawat inap, kasus meninggal, dan ukuran lain yang berdasarkan tampilan statistik itu, misal, zonasi merah, oranye, kuning dan hijau, untuk strategi pengendalian perlu serius mempertimbangkan efek dan risiko dari COVID-19. Juga upaya-upaya pengendalian yang diterima berbeda-beda, oleh berbagai golongan warga negara, berdasarkan kelas sosial kaya miskin, budaya, lokasi geografis, mata pencaharian dan jenis-jenis pekerjaan, latar pendidikan, umur, gender, keadaan fisik dan mental.
Guna memberi layanan terbaik, pemerintah perlu memobilisasi para ahli termasuk para epidemiolog, ahli-ahli kesehatan publik, dan ilmuan sosial maupun perilaku yang memiliki pemahaman dan kecakapan khusus mengurus kebutuhan berbeda-beda dari golongan warga negara ini.
_______________
*) Noer Fauzi Rachman, PhD adalah pengajar Psikologi Komunitas, Fakultas Psikologi, Universitas Padjadjaran, peneliti dan penulis mengenai perubahan politik dan kebijakan agraria, ekologi politik pengelolaan sumber daya alam, studi pembangunan, gerakan sosial, pendidikan populer, dan pengembangan masyarakat.
**) Dr. Ilsa Nelwan MPH adalah dokter yang menyelesaikan master of Public Health (MPH) Field Of Study Epidemiology, Columbia University School of Public Health. Penulis pernah bekerja di World Health Organization Asia Tenggara sebagai Health Systems Regional Advisor.
Foto: 3M, pakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak untuk pencegahan tertular Virus Corona. Foto: Falahi Mubarok.
No comments:
Post a Comment