Tantangan Pimpinan KPA yang Akan Datang


Bekerja di Dalam dan Dengan Negara, Kepemilikan Tanah Bersama, dan Peningkatan Kemampuan Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah secara Kolektif

Noer Fauzi Rachman, 25 September 2021.

Saya beranggapan naskah ini sampai dan dibaca setelah pertanggungjawaban Dewan, Sekjen KPA dan pimpinan wilayah KPA telah selesai diterima. Naskah ini saya buat untuk kandidat Anggota Dewan Nasional, Sekjen, dan pimpinan wilayah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang akan dipilih, dan pada gilirannya terpilih.

Para pimpinan KPA (Dewan Nasional, Sekjen, dan pimpinan KPA Wilayah) Konsorsium Pembaruan Agraria sedang menghadapi tiga masalah penting, yakni (i) bagaimana cara pimpinan KPA bekerja dengan badan-badan negara untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan kepastian hak dan akses pada tanah dan sumber daya alam?; (ii) bagaimana cara pimpinan KPA menghadapi  kecenderungan dari status kepemilikan tanah secara perorangan dari tanah-tanah yang diperoleh melalui redistribusi tanah sebagai bagian dari program pemerintah;  dan (iii) bagaimana cara pimpinan KPA mengembangkan kemampuan/kompetensi para anggota dalam menggunakan dan memanfaatkan tanah secara kolektif yang status haknya diperoleh dari pemerintah.

Ketiga masalah yang berhubungan satu dengan lainnya ini merupakan suatu tantangan sehubungan dengan warisan dari pimpinan periode sebelumnya yang cenderung mengembangkan narasi negatif terhadap rejim pemerintahan yang sedang berkuasa, dan mengembangkannya dari kritik terhadap kebijakan, perundang-undangan, program hingga personil pemerintahan. Tentu saya menyadari dan ikut meletakkan dasar-dasar objektif atas kritik-kritik yang disampaikan dulu dan sekarang itu.  

 

Saya menganjurkan jalan kolaborasi kritis.

Kita tahu ada kekuatan-kekuatan pro reforma agraria yang bekerja bersama dan dengan pemerintahan, selain tentu ada pula yang anti, atau mengabaikan reforma agraria. Sejumlah orang memiliki kemampuan mempraktekkan prinsip yang dulu saya teorikan “masuk dari pintu yang disediakan, keluar dari pintu yang dibuat bersama.” Saya sadari tidak mudah bagi sebagian kalangan memahami jalan tempuh ini. Karenanya, pimpinan KPA yang akan datang, sebaiknya berusaha memanen pengetahuan dari sejumlah orang yang bekerja di badan-badan negara, pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga desa. Pasti senantiasa ada perbedaan antara niat, pelaksanaan dan hasil. Justru perbedaan ini menjadi sumber utama pemeriksaan, studi hingga refleksi. Jadi, alih-alih memaknai perbuatan itu sebagai tindakan sia-sia,atau  mencelanya, sebaiknya pengalaman, pengetahuan serta cara-cara kerjanya itu sebaiknya dapat dipanen untuk rujukan pendidikan maupun pedoman kerja kepemimpinan KPA berikutnya. Saya menyadari adanya peredaran rumus “dikalikan nol” saja: bahwa, apapun yang dikerjakan dan dihasilkan sejumlah orang yang bekerja demikian itu, dikalikan konstanta nol, maka hasilnya nol pula.  

Para pimpinan KPA wajib bekerja dengan mereka yang ada di dalam tubuh pemerintahan, termasuk terus membentuknya menjadi kekuatan pro-reforma agraria. Mana ada legalitas hak dan akses atas tanah tanpa andil pemerintah. Lebih dari itu, mana bisa land reform bisa berlangsung tanpa program, kewenangan dan kekuatan pemerintah? Kemampuan atau kompetensi kita bekerja dalam dan dengan pemerintah bisa tumbuh dengan proses belajar dan memperbaiki diri dari waktu-ke-waktu, dari yang sederhana ke yang lebih rumit, dari tingkat yang rendah ke tingkat yang tinggi. 

 

Mengenai masalah sertifikat tanah perorangan.

Memang masalah kepastian hukum atas tanah-tanah yang dikuasai rakyat dijawab pemerintah dengan penyediaan layanan dan program pendaftaran tanah, baik sporadis maupun sistematis. Juga merupakan pandangan umum dan bisa jadi tuntutan dari para petani, nelayan dan penduduk pedesaan lain bahwa hak atas tanah sebaiknya dikukuhkan melalui sertifikat tanah individual. Tentu bisa kita pahami dan terima bila sertifikat atas tanah  tersebut diberikan untuk perorangan ketika penggunaan dan pemanfaatannya untuk permukiman. Tapi, yang saya permasalahkan ini adalah tanah-tanah pertanian. Tanah-tanah pertanian yang diperoleh melalui redistribusi tanah dengan sertifikat individual memperoleh nilai dan harga yang melesat tinggi, dan menjadi objek jual-beli. Lebih dari itu, sebagian petani yang telah memperoleh sertifikat tanah memiliki kecenderungan menganggap perjuangan agrarianya telah selesai. Pembagian tanah secara perorangan akan menyulitkan pengunaan dan pemanfaatan tanah secara kolektif, juga karena skala ekonomi dari perorangan itu terlalu kecil untuk diusahakan untuk produksi komoditi secara koperatif. 

Pada jangka menengah dan panjang praktek jual-beli tanah pertanian itu adalah salah satu jalan untuk terbentuknya konsentrasi kepemilikan tanah, dan kehilalangan akses pada tanah produktif.  Karenanya, para pemimpin KPA yang akan datang perlu memikirkan alternatif bentuk pemilikan tanah bersama sebagai pembatasan atas jual-beli tanah-tanah yang berasal dari pemberian hak dan akses atas tanah negara, termasuk yang diterima melalui skema pemerintah untuk redistribusi tanah. Sayangnya, pimpinan KPA yang terdahulu bersikap menolak program pemerintah Perhutanan Sosial.  Padahal kita bisa belajar dari cara bagaimana  Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan kurat-surat keputusan pemanfaatan hutan negara dan pengakuan hutan adat, yang tidak memberi sertifikat hak secara perorangan, namun perorangan berada dalam satuan kolektif. 

 

Saya anjurkan KPA memiliki program sekolah lapang dalam skala yang masif  meningkatkan kemampuan penggunaan dan pemanfaatan tanah secara kolektif.  

Status hak atas tanah yang diperoleh secara kolektif inilah yang memberi kesempatan lebih besar bagi para pimpinan KPA untuk bekerja mengembangkan kemampuan atau kompetensi serikat petani, serikat nelayan, komunitas masyarakat adat, dan lainnya, dalam menggunakan dan memanfaatkan tanah secara kolektif, termasuk dengan badan hukum koperasi dan Badan Usaha Milik Desa/Kampung (BUMDes/BUMKam). Para aktivis agraria dari kota perlu banting setir dari hanya belajar kemampuan kampanye dan tergoda menjadikan dirinya menjadi pengembang narasi negatif, menjadi  belajar dan memimpin kelembagaan usaha produkti ini, termasuk dengan memperkenalkan alat, teknik, metoda dan ilmu serta teknologi baru. Akumulasi kekayaaan karena produksi dan sirkulasi serta perdagangan atas komoditi yang diproduksi benar-benar perlu didasari setidaknya oleh kelembagaan yang menjamin pemerataan dan kemajuan bersama, dan sumber daya manusia pengelola yang handal. Kemampuan sumber daya manusia dalam menata penguasaan tanah, menaata penggunaan tanah, membentuk sistem produksi,  sirkulasi dan perdagangan (rantai nilai/pasok) serta mengatur konsumsi, harus lah menjadi agenda belajar dan praktek para pejuang agraria.

Penatagunaan dan pemanfaatan tanah tanah senantiasa berhubungan dengan layanan alam. Restorasi ekologi dengan prinsip kearifan lokal, pengetahuan masyarakat adat, dan ilmu-ilmu modern, perlu diusahakan baik pada tanah-tanah di dataran tinggi, pedesaan pedalaman, pinggir kota, hingga pesisir pantai dan pulau-pulau kecil, perlu diatur sehingga layanan alam, termasuk dari kenekaragaman hayati dari hutan tropis hingga mangrove. Krisis-krisis sosial-ekologi sebagaimana saya uraikan dalam buku Panggilan Tanah Air (2017) menanti untuk kita penuhi dengan haluan dan pedoman kerja yang praktis.

Terima kasih kawan-kawan semua yang berkenan membaca dan memahami tiga masalah apa yang saya sampaikan ini. Selamat MUNAS KPA 2021. Saya mendoakan semoga MUNAS ini mampu meletakkan dasar-dasar organisasi KPA yang lebih baik, dan memilih pemimpin KPA yang mampu menghadapi tantangan warisan masa lampau, dan  menyongsong risiko dari jaman baru yang akan datang.

 

Wallahualam bissawab.