Sumbangan Karya-karya Akademik untuk Membentuk Agenda dan Kerangka Kerja Reforma Agraria Perkotaan


Noer Fauzi Rachman dan Herlily (2021) "Sumbangan Karya-karya Akademik untuk Membentuk Agenda dan Kerangka Kerja Reforma Agraria Perkotaan",   Prolog dalam buku Panen Pengetahuan Akademik Reforma Agraria (Pandemik-RA). Riset Inovatif Produktif (RISPRO) Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Tim Peneliti Joko Adianto, Herlily, Paksi Cattra Kamang Walandouw, dan Rossa Turpuk Gabe; Penanggung Jawab Biblio: Noer Fauzi Rachman dan Bosman Batubara; Penyusun Bibliografi Anotasi: Oswar Mungkasa, Peter Yogan, Gandakusuma Rika Febriyani, Rossa Turpuk Gabe, Esher Toding, M. Azka Gulsyan, Fildza Miranda, Astri Puspita, Annisa Permata Sari Gery Ages; ataletak & Desain kover: Adinda Christina, Annisa Permata Sari, Farrah Eriska Putri, & Astri Puspita; Penyelia aksara: Rizki Dwika Aprilian; Picture Research: Tubagus Rachmat. Penerbit Buku: UI Publishing, 2022. Halaman vii-xii.

Buku ini dapat dibaca sepenuhnya secara bebas pada http://epub.uipublishing.com/books/ekms/ 


     Para pemrakarsa Reforma Agraria Perkotaan di provinsi DKI Jakarta berangkat dari kepedulian pada nasib dari warga miskin dan permukiman kampung kota, di tengah gelombang besar yang sedang dihadapi kota Jakarta menjadi kota raksasa (megacity).  Reorganisasi ruang (spatial reorganization) berlangsung dengan sangat cepat dan dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya menjadi penyebab dari tergusur, terusir dan terpinggirkannya warga miskin dan berubahnya lokasi-lokasi yang awalnya adalah kampung-kampung kota menjadi kawasan kompleks permukiman, perkantoran, dan perdagangan modern, bahkan ada yang super-modern, yang dinikmati kelas menengah dan atas. Gejala ini bukan hanya fenomena khas Jakarta, melainkan terjadi di banyak kota metropolis, baik belahan dunia bagian utara maupun selatan. Inilah yang kemudian disebut oleh sejumlah ahli studi perkotaan dengan istilah planetary gentrifications atau gentrifikasi-gentrifikasi pada skala planet bumi (Loretta Lees, Hyun Bang Shin and Ernesto López-Morales, Planetary gentrification, Cambridge, England, and Malden, MA, Polity Press, 2016).

        Pertanyaan penggerak para pemikir Reforma Agraria adalah bagaimana cara-cara pemerintah bisa memenuhi kebutuhan dan hak dari warga miskin untuk terus bisa hidup dalam permukiman kampung kota sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban konstitusional negara mewujukan keadilan sosial ?

 

Inisiasi Reforma Agraria Perkotaan Provinsi DKI Jakarta

   Reforma Agraria Perkotaan yang dijalankan Pemerintah DKI Jakarta merupakan kebijakan afirmasi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk mendahulukan dan memenuhi kepentingan keamanan bermukim dan keberlanjutan hidup warga miskin secara bersama di berbagai Kampung Kota. Dimulai dengan suatu yang disebut “kontrak politik” antara kandidat calon gubernur Anies Baswedan dengan para pemimpin yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) dari 26 kampung kota, 3 wilayah PKL (Pedagang kaki Lima), 1 rumah susun, 1 serikat beca dari 16 pangkalan di Jakarta Barat, Jakarta Utara dan Jakarta Timur, PADA 9 April 2017, di lapangan Kampung Muka Kelurahan Ancol Jakarta Utara, disaksikan sekitar 100 warga.  Salah satu isu utamanya yang diperjanjikan adakah kepastian hak penguasaan dan pemanfaatan atas tanah untuk permukiman dan lahan usaha.   

   Ketika pasangan Anies Bawedan dan Sandiaga Uno memenangkan kontestasi dalam pemilukada DKI, para aktivis gerakan sosial  kampung kota berinteraksi lebih intensif dengan unsur baru pembentuk kebijakan pemerintahan daerah, sehingga menghasilkan salah satunya adalah keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta nomor 878/2018  tentang Gugus Tugas Penataan Kampung dan Masyarakat, yang pada gilirannya menetapkan 21 kampung-kampung prioritas sebagai lokasi sasaran penataan kampung. 

   Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di tingkat provinsi hingga kotamadya dan kabupaten melalui Keputusan Gubernur DKI Jakarta (Kepgub) Nomor 162 Tahun 2019 dan Nomor 574 Tahun 2019. Gubernur DKI Jakarta melakukan peluncuran GTRA DKI Jakarta pada 27 Mei 2019 di Balai Agung Jakarta. Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta, dalam sambutannya mengatakan "Mari kita tetapkan reforma agraria ini lebih dari sekadar administrasi. Ini adalah soal menjadikan Jakarta sebagai kota yang berkeadilan." Struktur GTRA DKI Jakarta berisi gabungan instansi Pemprov DKI Jakarta dan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta (Kanwil BPN) sesuai amanat Perpres 86 Tahun 2018. Hanya saja di DKI Jakarta terdapat sedikit perbedaan komposisi struktur dari pengaturan yang ada di Perpres Nomor 86 Tahun 2018, yaitu adanya Ketua Pelaksana Harian 1 dan 2 yang diisi oleh Kepala Kanwil BPN DKI Jakarta, dan Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta.

  GTRA DKI Jakarta menggelar rapat kerja perdana pada 7 Agustus 2019 di balaikota yang dihadiri oleh pejabat-pejabat unsur Lembaga dalam GTRA, beberapa ahli politik dan kebijakan agraria, studi perkotaan, dan pengorganisaian-pengembangan masyarakat (yang kemudian menjadi bagian dari Tim Pemnggerak GTRA), dan unsur organisasi masyarakat. Tim GTRA memaparkan rencana aksi reforma agraria di DKI Jakarta kepada peserta rapat. Pelaksanaan rencana kerja GTRA DKI Jakarta akan berlangsung untuk 2019-2022 mengikuti masa kerja gubernur yang sedang menjabat. Pada rapat itu, GTRA juga menetapkan wilayah sasaran kerja GTRA akan mengacu pada Kepgub Nomor 878 tahun 2018 Tentang Gugus Tugas Pelaksanaan Penataan Kampung dan Masyarakat, meliputi 21 kampung di Jakarta, plus kampung Bukit Duri. Alasan pemilihan 21 kampung itu karena lokasi itu telah memiliki dasar hukum penetapan dan sebagai upaya untuk menyambungkan program Reforma Agraria dengan program Penataan Kampung di DKI Jakarta, sedangkan untuk kampung Bukit Duri, merupakan korban kebijakan dan praktek penggusuran dari kebijakan gubernur sebelumnya, dan korbannya belum mendapatkan jalan pemulihan.

            Semua kampung ini memiliki persoalan status penguasaan tanahnya. Beberapa di antaranya mengalami pengalaman digusur paksa. Di kampung-kampung padat ini mayoritas warganya miskin, bekerja di sektor informal sebagai buruh harian, pedagang, tukang becak, ojek, buruh rumahan, karyawan, jasa reparasi, dan sebagainya. Posisi kampungnya di pinggiran sungai, rel, laut, dan sebagainya, tanpa memiliki surat menyurat kepemilikan yang memadai, dengan sarana dan prasarana keciptakaryaan yang kurang memadai,bahkan untuk sebagian tidak tersedia. Publikasi kajian-kajian etnografis mengenai kampung-kampung kota di Jakarta sudah banyak dilakukan, dan akan terus lahir karya-karya baru yang dilakukan oleh kalangan akademik, mahasiswa, dosen dan para peneliti. 

  Gubernur memerlukan satu cara baru mengorkestrasi potensi segenap pihak (pemerintah pusat, pemda propinsi, masyarakat, para ahli studi perkotaan, badan usaha milik negara, daerah dan swasta, dan lainnya) dengan mempergunakan posisi, kewenangan, pengaruh, dan lainnya, untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan kepemimpinan lokal Kampung Kota dalam menginisiasi reforma agraria perkotaandengan mengambil inspirasi dari pengalaman berbagai komuntas di negara lain. 

 

Cara Panen dari karya-karya akademik yang melimpah

           Dalam rangka memberi nasehat yang otoritatif, Tim Penggerak GTRA diminta untuk membuat suatu argumen yang memadai berdasar pada studi-studi akademik yang pernah ada. Bentuk naskahnya adalah yang kemudian disebut Naskah Akademik. Diperlukan studi bibliografi beranotasi dan kajian pustaka untuk bisa mengkoleksi dan kodifikasi kekayaan pengetahuan akademik mengenai kampung kota dan berbagai aspeknya, di propinsi DKI Jakarta, maupun kota-kota besar lainnya. Untuk melakukannya, sudah tersedia pedoman pembuatannya dalam buku Noer Fauzi Rachman dan Ahmad Nashih Lutfi (2020) Nanos Gigantum Humeris Insidentes: Sebelum Meneliti Susunlah Bibliografi Beranotasi dan Kajian Pustaka. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN). Siapakah yang dapat melakukannya secara komprehensif dan meyeluruh?

        Agenda dan kerangka reforma agraria perkotaan di Provinsi DKI Jakarta perlu memanfaatkan karya-karya akademik yang melimpah, bukan hanya perihal kampung-kampung kota itu, yang lebih banyak bersifat empiris, spesifik, dan deskriptif, tapi juga kajian analisis yang berbasiskan teori, umum, dan analitis.  Berangkat dari dasar pikir tersebut, maka kami mengusulkan kegiatan panen atas pengetahuan-pengetahuan akademik untuk reforma agraria perkotaan, yang kemudian oleh Joko Ardianto diberi singkatan Pandemik RA (Panen Pengetahuan Akademik Reforma Agraria Perkotaan). Dengan mengkombinasikan pengetahuan akademik dalam kajian-kajian agraria (agrarian studies) dan kajian-kajian perkotaan (urban studies), kami menseleksi naskah-naskah jurnal akademik dan buku-buku hasil penelitian yang cocok, berdasarkan kelompok tema sebagai berikut: Jakarta context, Access, exclusion and land politics, housing question, spatial justice, right to the city, disaster capitalism, aesthetic and politics, the agency of mapping, urban metabolism, formalization of urban land. Pada prakteknya, tema aesthetic and politics ditiadakan, tema ini sudah beberapa kali muncul dalam diskusi tema-tema lainnya.

 

 

        Selain karena relevansinya, naskah-naskah dipilih dengan kriteria naskah klasik yang membentuk tema studi itu, misalnya naskah Michael Leaf (1994) “Legal authority in an extralegal setting: The case of land right in Jakarta”, atau naskah J.C. Ribot dan N.L. Peluso (2003) “A Theory of Access”; Naskah dipilih juga karena sifatnya yang mampu memberi review pengantar tematik tersebut, seperti karya Kamie Peck, Nik Theodore dan Neil Breneer (2009) “The neoliberal urbanism: Models, moments, mutations”, dan Loretta Lees (2014) “Gentrification in Global South”. Atau naskah yang mampu memberi kritik yang otoritatif, seperti  M. Wade (2019) “Hyper-planning Jakarta: The Great Garuda and planning the global spectacle”, dan Alan Gilbert (2012) “De Soto’s The Mystery of Capital: Reflection on the Book’s Public Impact”. Panen dari naskah-naskah yang dikaji itu dimulai dengan membuat resensi atas naskah-naskah yang telah dipilih, dan diampu oleh seseorang yang telah terlebih dahulu telah menguasai metodologi studi bibliografi, menguasai cara fasilitasi diskusi, dan terlebih dahulu menguasai topik yang akan didiskusikan.  


Penutup            

Karya-karya akademik yang dipilih untuk dibahas dalam Pandemik RA ini memang bisa membantu memahami situasi dari tema-tema atau topik-topik yang dibahasnya, dan menerangkan hubungan-hubungan sebab-akibat yang penting diketahui dalam rangka diagnosa masalah.  Lebih dari itu semua, apa yang mau dihasilkan dari Pandemik RA ini adalah mendapatkan inspirasi untuk rekomendasi aksi. 

Di tengah gelombang reorganisasi ruang untuk akumulasi modal, pada kenyatannya terbentuk kesenjangan kekayaan dan pemilikan aset tanah dan bangunan di kota-kota raksasa semakin melebar. Inisiatif reforma agraria perkotaan ini adalah langkah permulaan, yang berupa pembentukan arus balik. Pengetahuan yang dihasilkan dapat menjadi landasan bagi cara-cara baru dari kebijakan-kebijakan keadilan sosial yang terus dikembangkan, dan di lain pihak menciptakan manusia- manusia pembentuk kebijakan yang tidak putus asa dan berhenti terus menyuarakan dan membuat cita-cita keadilan sosial terwujudkan. 

AbdouMaliq Simone (2013) dalam artikelnya berjudul “Cities of uncertainty: Jakarta, the urban majority, and inventive political technologies”, Theory, Culture and Society, 30(7–8): 243–263,  menulis bahwa

“Kota-kota raksasa (megacities) semakin mengerahkan kekuasaannya yang besar atas praktik dan aspirasi kehidupan dan budaya warga, serta ekonomi negara dan wilayah. (Seperti jalannya suatu mobil) mereka mengubah individu dan komunitas (berjalan) dengan gigi yang berbeda, pola-pola pengaturan diri dan penilaian sosial yang berbeda, dan kriteria keberhasilan yang tidak mudah diikat bersama dalam paket yang rapih dan koheren ... 

Sesungguhnya, ketidakpastian adalah inti dari urbanisme, karena urbanisme bukan sebuah tujuan tetapi merupakan suatu pekerjaan selalu dalam proses (a work always in progress) ... 

Memastikan terpenuhinya tempat tinggal (bagi kaum miskin kota) mensyaratkan proses yang terus-menerus untuk mengubah apa-apa yang dapat dijadikan alat-alat pembentuk kemungkinan-kemungkinan dan perhatian baru."

            Siapakah yang terpanggil untuk memenuhi panggilan keadilan sosial ini, dan senantiasa menciptakan cara-cara dan alat-alat kerja baru ?

 


 


No comments:

Post a Comment