Situasi Pemuda/i Desa Jawa Barat dalam Kemelut Masalah Agraria

Noer Fauzi Rachman dan Boy Fidro (2022) merupakan pengembangan lebih lanjut dari naskah Noer Fauzi Rachman (2022) "Sekolah Lapang ini mengajarkan Ilmu Bersarang" dalam Eka Yudha Garmana, Siti Maryam (2022) Tempat Kembali, Ngamumule Lemah Cai, Perjalanan kembali ke Kampung Halaman melalui Sekolah Lapang. Yayasan Tanah Air Semesta bekerja sama dengan Samdhana Institute, Perum Perhutani, Koperasi Klasik Beans, dan Paguyuban Tani Sunda Hejo. Halaman iii-viii. https://www.noerfauzirachman.id/2022/09/

 

Noer Fauzi Rachman*) dan Boy Fidro**)

Pembukaan


Apa yang menyebabkan dunia pertanian dan pedesaan menjadi hanya tempat berangkat dari kebanyakan para pemuda-pemudi desa, dan tidak menjadi tujuan pengabdian mereka? Puisi Rendra Sajak Seonggok Jagung (1996) mengartikulasikan dengan jelas

Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.

Aku bertanya:

Apakah gunanya pendidikan

bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya?

Demikian pula ungkapannya dalam Sajak Pemuda (1996)

Gelap. Pandanganku gelap.

Pendidikan tidak memberi pencerahan.

Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan.

Gelap. Keluh kesahku gelap.

Orang yang hidup di dalam pengangguran.

Apakah yang terjadi di sekitarku ini?


Apa yang sedang terjadi dan mau kemana semua ini?

Sekolah-sekolah formal kebanyakan telah mengajarkan ilmu-ilmu yang membuat pemuda-pemudi desa pergi. Semakin tinggi tingkat sekolah orang-orang desa, semakin kuat pula aspirasi, motif dan dorongan mereka untuk meninggalkan desanya. Desa ditinggalkan pemuda-pemudi yang pandai, untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.  Semua itu akibat aspirasi, motif dan dorongan untuk punya suatu cara dan gaya hidup baru perkotaan modern, yang dianggap sebagai keniscayaan yang harus ditempuh

Pemuda/i yang pergi dari tempat mereka berasal

Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Provinsi Jawa Barat tahun 2017, tingginya pengangguran di Jawa Barat didominasi oleh usia muda. Penelitian yang dilakukan tiga civitas akademika Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Adhitya Wardhana, Bayu Kharisma, dan Yayuf Faridah Ibrahim (2019) menunjukkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengangguran usia muda dilihat dari karakteristik demografi, sosial, ekonomi, dan regional. Hasilnya menunjukkan bahwa pendidikan berpengaruh positif terhadap peluang pengangguran usia muda di Jawa Barat tahun 2017[1]. Penelitian ini mengkonfirmasi banyak penelitian yang yang dirujuknya, termasuk laporan World Bank (2010)[2], bahwa metode dan kurikulum pembelajaran di sekolah sangat akademis, para siswa tidak dikembangkan keterampilan praktis yang relevan dengan pekerjaan dan pengetahuan teknis, serta keterampilan berwirausaha. Tingginya penganggur pada lulusan pendidikan menengah atas dan perguruan tinggi muncul karena ketidakcocokan keterampilan antara kualitas pendidikan dan keterampilan yang diminta oleh pasar tenaga kerja, yang sebagian besar disebabkan oleh rendahnya kualitas pendidikan dan hasil pendidikan yang kurang relevan untuk pasar tenaga kerja.

Masalah Hak Ulayat dalam Kajian dan Kebijakan Pertanahan Nasional



Noer Fauzi Rachman

Perluasan dari sajian Noer Fauzi Rachman dalam International Conference on Land Acquisition, “Global Trend on Compulsory Acquisition of Unregistered and Customary Lands. How to Avoid a Costly Delay while Promoting Fairness for All?”, World Bank East Asia & Pacific (EAP) and the Republic of Indonesia’s Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning, Jakarta 1 December 2022. Rekaman konferensi dapat ditonton selengkapkan International Conference On Land Acquisition on www.youtube.com. Tulisan ini juga adalah perluasan dari naskah penulis “Perjuangan Pengakuan Hak Ulayat”, Kompas 18 Oktober 2022, Perjuangan Pengakuan Hak Ulayat

Tulisan penulis dedikasikan sebagai hadiah ungkapan terima kasih saya untuk Prof. Endriatmo Sutarto, yang telah membantu saya melalui berbagai cara bisa meneliti politik dan kebijakan agraria untuk keperluan disertasi (2007-2009), mengembangkan Lingkar Belajar Bersama Reforma Agraria (LIBBRA) sepanjang beliau memimpin Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) 2006-2012, dan sepanjang saya memimpin Sajogyo Institute (2012-2014).


Abstract

            The article elucidates aspects of past and present issues on the recognition and the denial of Hak Ulayat in colonial dan post-colonial Indonesia. The purpose of this article is (a) to elucidate how a legacy of particular discourse in colonial agrarian politics has contemporary relevance for current land, resources and territorial struggles, as well as government policy, regulation, and programs; and (b) to explicate ontological differences between modern, capitalistic and market oriented property, and customary (b) to explicate ontological differences between modern conception of private property rights  and customary property rights, and (c) to show the way in which the ontological differences lead to the need for a new methodology for valuation of customary lands, territories, and natural resources owned by indigenous communities in Indonesia.

Beri Kesempatan pada Reforma Agraria Perkotaan

Monolog pada Rangkaian dari Kegiatan Dies Natalis FEB UI 

dan Merayakan Krisis Habitat di Kota, 

Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Senin, 31 Oktober 2022 

 

 (Menit 1:44:00 sampai 2:05:35)



 

            Tema yang saya ajukan sekarang adalah “Reforma Agraria Perkotaan”. Ini adalah suatu usulan yang diajukan karena ada krisis di dalam penguasaan tanah dan pemukiman bagi kaum miskin di kota-kota besar. Kita sadari satu masalah kota-kota besar di Indonesia, yang sebenarnya terjadi di banyak negara pasca kolonial, adalah sedang menghadapi arus besar gentrifikasi. Gentifikasi ini bila terus berlanjut akan menggusur keberadaan kampung-kampung kota yang menjadi habitat ruang hidup kaum miskin kota. 

Perjuangan Pengakuan Hak Ulayat

 


Noer Fauzi Rachman*)


Dimuat dalam rubrik Opini Kompas 17 Oktober 2022 https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/17/perjuangan-pengakuan-hak-ulayat


            Domein verklaring adalah satu doktrin politik hukum agraria kolonial yang berbasiskan pada klaim/deklarasi/pernyataan negara memiliki seluruh tanah yang tidak dilekati hak milik secara perorangan. Ward Berenschot, guru besar  Antropologi Politik Komparatif   dari Universty of Amsterdam, menulis  “150 Tahun Belenggu atas Hak Tanah” (Kompas 20 Juli 2020)  menunjukkan  dampak negatif ”domein verklaring” terhadap kesejahteraan dan kualitas hidup jutaan masyarakat Indonesia sejak 1870.  Artikel ini menunjukkan bagaimana “Hak Ulayat” merupakan konsep tanding  atas domein verklaring, dan perjuangan pengakuannya berada dalam proses perjuangan yang panjang, terjal dan mendaki.


Asal-usul intelektual Hak Ulayat

            Saya membaca disertasi Upik Djalins di Cornell University, berjudul Subjects, Law Making And Land Rights: Agrarian Regime and State Formation In Late-Colonial Netherlands East Indies, mengenai pembentukan rezim agraria kolonial Hindia Belanda antara tahun 1870 – 1939. Ia menggunakan lensa perampasan tanah yang difasilitasi oleh aturan hukum kolonial, dan berfokus pada cara bagaimana elite dari kaum terjajah berpartisipasi secara aktif dalam dalam pembentukan rejim agraria kolonial. 

Koperasi Sebagai Subjek Reforma Agraria Perkotaan


Noer Fauzi Rachman dan Joko Adianto

Pengembangan lebih lanjut dari sejumlah bagian konseptual dalam Noer Fauzi Rachman dan Joko Adianto, Buku Putih Kebijakan Reforma Agraria Perkotaan Tahun 2019-2022. Depok: UI Publishing, 2022. Halaman 57-96.
Naskah buku sepenuhnya dapat dibaca pada http://epub.uipublishing.com/books/xpas/ 


1. Hak Menguasai dari Negara 

        Negara sebagai lembaga kekuasaan seluruh rakyat adalah pemegang kuasa atas bumi, air, dan kekayaan alam di di dalamnya. Pernyataan ini selaras dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) yang tertulis “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Sementara pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 2 ayat (2), hak menguasai negara memberi negara wewenang untuk: 

a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut; 
b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa, dan; 
c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. 

        Selanjutnya Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 2 ayat (3) tertulis bahwa “Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.” Oleh karenanya, kewenangan penguasaan dan pemanfaatan tersebut harus diselenggarakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, termasuk pemenuhan hak bermukim yang adil serta rumah layak dan terjangkau, termasuk bagi yang tergolongkan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di perkotaan. 

Konsep-konsep untuk Reforma Agraria Perkotaan


Noer Fauzi Rachman dan Joko Adianto

Pengembangan lebih lanjut dari sejumlah bagian konseptual dalam Noer Fauzi Rachman dan Joko Adianto, Buku Putih Kebijakan Reforma Agraria Perkotaan Tahun 2019-2022. Depok: UI Publishing, 2022.

Naskah buku sepenuhnya dapat dibaca pada http://epub.uipublishing.com/books/xpas/ 

1. Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)

        Istilah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dicetuskan oleh Pemerintah Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Pada Pasal 5 ayat 1 tertulis bahwa “Rumah susun dibangun sesuai dengan tingkat keperluan dan kemampuan masyarakat terutama bagi yang berpenghasilan rendah.” Namun undang-undang ini tidak memberi definisi jelas tentang kelompok ini. Baru dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, MBR memperoleh definisi sebagai masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah. Namun sejak tahun 2007, Pemerintah melalui Kementerian Negara Perumahan Rakyat sudah menentukan kriteria MBR melalui Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan melalui KPR Sarusun Bersubsidi. Pasal 2 ayat 1 peraturan ini menentukan 3 (tiga) kelompok MBR yakni, yang berpenghasilan Rp3,5-4,5 juta/bulan, Rp2,5-3,5 juta/bulan dan Rp1,2-2,5 juta/bulan. Batasan ini terus berubah seiring berjalannya waktu di tiap pemutakhiran peraturan terkait penyediaan perumahan. Dalam peraturan terkini, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 10 Tahun 2019 tentang Kriteria MBR dan Persyaratan Kemudahan Perolehan Rumah Bagi MBR, kriteria penghasilan MBR menyesuaikan harga unit rumah yang dapat disediakan oleh pengembang atau pelaku pembangunan perumahan lainnya. 

Sekolah Lapang ini Mengajarkan Ilmu Bersarang


Noer Fauzi Rachman (2022) "Sekolah Lapang ini mengajarkan Ilmu Bersarang", pengantar dalam Eka Yudha Garmana, Siti Maryam (2022) Tempat Kembali, Ngamumule Lemah Cai, Perjalanan Kembali ke Kampung Halaman melalui Sekolah Lapang. Yayasan Tanah Air Semesta bekerja sama dengan Samdhana Institute, Perum Perhutani, Koperasi Klasik Beans, dan Paguyuban Tani Sunda Hejo. Halaman iii-viii. Keseluruhan buku ini bisa diunduh secara keseluruhan https://drive.google.com/file/d/1_0qtRFopSA6uXe6ytcuQinBJwH2tIJq0/view?usp=share_link  


I


 

Saya membuka naskah pengantar ini dengan puisi Rendra (1996), Sajak Seonggok Jagung

Seonggok jagung di kamar 
tak akan menolong seorang pemuda 
yang pandangan hidupnya berasal dari buku, 
dan tidak dari kehidupan. 
Yang tidak terlatih dalam metode, 
dan hanya penuh hafalan kesimpulan, 
yang hanya terlatih sebagai pemakai, 
tetapi kurang latihan bebas berkarya. 
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.
Aku bertanya : 
Apakah gunanya pendidikan 
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing 
di tengah kenyataan persoalannya ? 
Apakah gunanya pendidikan 
bila hanya mendorong seseorang 
menjadi layang-layang di ibukota 
kikuk pulang ke daerahnya ? 
Apakah gunanya seseorang 
belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran, 
atau apa saja, 
bila pada akhirnya, 
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata : 
Di sini aku merasa asing dan sepi !

Apa yang menyebabkan pemuda/i meninggalkan tanah airnya?  Apa yang sedang terjadi dan mau kemana semua ini

 

 

II

 

            Sekolah-sekolah formal yang berjenjang mulai sekolah dasar, sekolah menengah, dan pergkita telah mengajarkan ilmu-ilmu yang membuat peuruan tinggi muda-pemudinya pergi dari kampung halaman tanah airnya.  Semakin tinggi tingkat sekolah orang-orang desa, semakin kuat pula aspirasi, motif dan dorongan mereka untuk meninggalkan kampung halamannya. Desa ditinggalkan pemuda-pemudi yang pandai, untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.  Semua itu akibat aspirasi, motif dan dorongan untuk punya suatu cara dan gaya hidup modern, yang dianggap sebagai keniscayaan yang harus ditempuh. Pemuda-pemudi sekarang ini telah dan sedang menganut ideologi bahwa tenaga kerja manusia adalah komoditi, barang yang diperdagangkan. Bagi mereka yang tinggal di desa, kota menjadi daya tarik, magnet yang luar biasa. Badan mereka di desa, tapi imajinasinya  hidup di kota-kota. Lulusan sekolah menjadi tenaga kerja urban. Mereka berpikir, dan bertindak berbeda dengan orang tua mereka.

Refleksi COVID-19: ‘One Health’, Cara-cara Akhiri dan Cegah Wabah Berikutnya

Ilsa Nelwan dan Noer Fauzi Rachman* 


Hampir tiga tahun dunia hidup bersama Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), sejak kali pertama muncul di Kota Wuhan, Tiongkok, akhir Desember 2019, kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia menjadi pandemi. Artikel ini akan menguraikan situasi terkini dari penularan (epidemiological update) pandemi COVID-19, dan menegaskan kunci mengakhirinya, tak lain tak bukan dengan mencegah penularan dari manusia penderita ke manusia non-penderita.

Dalam tulisan ini juga ingin menunjukkan perlu mencegah kehadiran wabah penyakit yang ditularkan dari binatang ke manusia atau sebaliknya (zoonosis) berikutnya. Memahami asal-mula suatu penyakit dan keadaan yang menyebabkan wabah COVID-19 meletus merupakan studi etiologi penting mencegah kemunculan wabah berikutnya. Meski peristiwa sudah lewat, asal mula dari kemunculan wabah masih menarik dan penting diteliti.

 

Petugas medis dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka,NTT sedang mengambil sampel swab dari pelaku perjalanan yang menjalani karantina. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Situasi terkini COVID-19

Sudah menjadi pengetahuan umum kalau COVID-19 bisa berakhir bila tak ada lagi penularan, sementara virus terus bermutasi.

Masalah ilmiah yang menentukan cara pengendalian wabah saat ini adalah mempelajari mutasi yang terjadi. Saat ini, galur atau spesies SARS CoV2 yang melanda dunia sebagian besar adalah Omicron galur BA.5 yang sangat mudah menular.

Epoch Baru: The Anthropocene. Akibat Berpikir dalam Skala Bumi.



Noer Fauzi Rachman

Presentasi ini disampaikan pada acara diskusi “Apa yang harus dilakukan: Indonesia melawan krisis iklim” dalam rangka Peluncuran Gerakan Climate-Hub Indonesia DAN Peluncuran Organisasi Masyarakat Sipil Eco-Marin. 23 Juni 2022.

Ringkasan

          Saat ini sedang terbentuk pengetahuan,  perilaku, teknologi, jenis usaha hingga kebijakan yang penting dan menarik untuk dikenali akibat dari disadarinya akibat-akibat dari semua itu pada kesehatan bumi. Saat ini Bumi kita telah memasuki era the Anthropocene sebagai babak baru sejarah bumi secara geologis.  

        Sajian ini mengajak pembaca/pendengar untuk  berpikir dalam skala global yang merupakan Hasil dari refleksivitas ekologis kita.

        Apa yang disebut refleksivitas ekologis (ecological reflexivity), yakni:

“kapasitas dari suatu agensi, struktur, atau proses untuk mengubah diri dalam hubungannya dengan refleksi mengenali dan mengantisipasi hasil dan dampak dari tampilannya pada sistem sosial-ekologi, dan mendengarkan dengan seksama umpan balik dari sistem tersebut”.(lihat: Pickering, J., 2018, “Ecological reflexivity: Characterising an elusive virtue for governance in the Anthropocene.” Environmental Politics, 28, 1–22)

          Banyak masalah utama sekarang terbentuk oleh cara berperilaku dari orang-orang, organisasi-organisasi masyarakat, korporasi, birokrasi pemerintah, hingga lembaga-lembaga internasional yang dominan terus-menerus mengabaikan, melupakan, dan ‘merepresi’ (to repress) dalam ketidaksadarannya secara sistematis informasi dan pengetahuan tentang kondisi ekologi pada berbagai skala, dan mengutamakan kepentingan ekonomi dan lainnya yang sempit dan pendek.

Sebagai obat penawarnya, semuanya itu dapat:

(a)  Menumbuhkan ecological reflexivity, kapasitas dari suatu agensi, struktur, atau proses untuk mengubah diri dalam hubungannya dengan refleksi mengenali dan mengantisipasi hasil dan dampak dari tampilannya pada sistem sosial-ekologi,
(b)  Mendengarkan dengan seksama umpan balik dari sistem tersebut, dan merefleksikan secara kritis nilai-nilai dasar sehubungan umpan balik itu; dan
(c)  secara adekuat dengan mentransformasikan kiprah dan tampilannya.

          Ecological reflexivity terdiri dari tiga komponen perilaku yakni (1) mengakui, (2) memikirkan kembali, dan (3) menanggapi (recognition, rethinking and response).

          Secara etis, kita butuh pemikiran ulang yang mampu menjelajahi bagaimana keadilan, keberlanjutan dan demokrasi perlu dipikirkan dan diaktualkan kembali dalam kondisi rusaknya layanan-layanan alam skala bumi di jaman Anthropocene dewasa ini.

          Selanjutnya lihat bahan sajian pada link berikut ini, yang dapat diunduh bebas secara keseluruhan: Rachman 2022 - Epoch Baru The Antropocene - Akibat Berpikir Skala Bumi.pdf


Sumbangan Karya-karya Akademik untuk Membentuk Agenda dan Kerangka Kerja Reforma Agraria Perkotaan


Noer Fauzi Rachman dan Herlily (2021) "Sumbangan Karya-karya Akademik untuk Membentuk Agenda dan Kerangka Kerja Reforma Agraria Perkotaan",   Prolog dalam buku Panen Pengetahuan Akademik Reforma Agraria (Pandemik-RA). Riset Inovatif Produktif (RISPRO) Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Tim Peneliti Joko Adianto, Herlily, Paksi Cattra Kamang Walandouw, dan Rossa Turpuk Gabe; Penanggung Jawab Biblio: Noer Fauzi Rachman dan Bosman Batubara; Penyusun Bibliografi Anotasi: Oswar Mungkasa, Peter Yogan, Gandakusuma Rika Febriyani, Rossa Turpuk Gabe, Esher Toding, M. Azka Gulsyan, Fildza Miranda, Astri Puspita, Annisa Permata Sari Gery Ages; ataletak & Desain kover: Adinda Christina, Annisa Permata Sari, Farrah Eriska Putri, & Astri Puspita; Penyelia aksara: Rizki Dwika Aprilian; Picture Research: Tubagus Rachmat. Penerbit Buku: UI Publishing, 2022. Halaman vii-xii.

Buku ini dapat dibaca sepenuhnya secara bebas pada http://epub.uipublishing.com/books/ekms/ 


     Para pemrakarsa Reforma Agraria Perkotaan di provinsi DKI Jakarta berangkat dari kepedulian pada nasib dari warga miskin dan permukiman kampung kota, di tengah gelombang besar yang sedang dihadapi kota Jakarta menjadi kota raksasa (megacity).  Reorganisasi ruang (spatial reorganization) berlangsung dengan sangat cepat dan dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya menjadi penyebab dari tergusur, terusir dan terpinggirkannya warga miskin dan berubahnya lokasi-lokasi yang awalnya adalah kampung-kampung kota menjadi kawasan kompleks permukiman, perkantoran, dan perdagangan modern, bahkan ada yang super-modern, yang dinikmati kelas menengah dan atas. Gejala ini bukan hanya fenomena khas Jakarta, melainkan terjadi di banyak kota metropolis, baik belahan dunia bagian utara maupun selatan. Inilah yang kemudian disebut oleh sejumlah ahli studi perkotaan dengan istilah planetary gentrifications atau gentrifikasi-gentrifikasi pada skala planet bumi (Loretta Lees, Hyun Bang Shin and Ernesto López-Morales, Planetary gentrification, Cambridge, England, and Malden, MA, Polity Press, 2016).

        Pertanyaan penggerak para pemikir Reforma Agraria adalah bagaimana cara-cara pemerintah bisa memenuhi kebutuhan dan hak dari warga miskin untuk terus bisa hidup dalam permukiman kampung kota sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban konstitusional negara mewujukan keadilan sosial ?

Cara-cara Berpikir Global, Beraksi Lokal: Refleksi Kritis atas Narasi-narasi dan Undangan untuk Pendekatan Sejarah Geografi

Noer Fauzi Rachman (2022) " Cara-cara Berpikir Global, Beraksi Lokal: Refleksi Kritis atas Narasi-narasi  dan Undangan untuk Pendekatan Sejarah Geografi", dalam Hasyim, Z., M. Ali, O.Y. Setiyo, dan N. Fitria (Eds) (2022) Persahabatan Utara dan Selatan, Cerita dari Mereka yang Berjuang Menyelamatkan Lingkungan Indonesia Bersama Siemenpuu 2002 - 2021.  Pakanbaru: Jikalahari dan Siemenphu Foundation.  Halaman 158-167.


Pengantar

            Orang-orang yang bergerak sebagai aktivis organisasi-organisasi non-pemerintah, pertama-tama, mempunyai suatu kekayaan pengamatan dan empati mengenai semakin sulitnya  posisi,  kondisi dan pengalaman hidup dari kelompok-kelompok komunitas yang lemah, miskin, marjinal, rentan, atau tertindas. Ada banyak contoh dikemukakan dalam buku ini, termasuk dalam golongan merosotnya layanan alam akibat kerusakan ekologis, ancaman-ancaman keselamatan dan kesejahteraan rakyat, hingga menurunnya produktivitas rakyat dan sebagainya. Peristiwa demi peristiwa yang asalnya berada dalam ruang dan waktu tertentu kemudian terlepas dari asal-usul keberadaannya yang konkrit dan spesifik. Para aktivis memiliki cara-cara mengumpulkan, mendokumentasikan dan bercakap-cakap mengenai sebab musab sebab-sebab musababnya, hingga apa-apa yang membuat kondisi ini bertahan. Para aktivis belajar dan mengembangkan metodologi yang manjur, baik untuk memeriksa apa yang sesungguhnya terjadi, hingga merumuskan cara-cara bekerja bersama komunitas.   Lebih dari sekedar kerja memahami dan menafsirkan apa yang sedang terjadi, para aktivis ini mengembangkan cara bekerja bersama pemimpin dan kelompok-kelompok komunitas itu, maupun bersama para pihak yang punya andil untuk mengubah kebijakan publik yang relevan. Berada dan berinteraksi antara  komunitas,  dan elite pembuat kebijakan publik merupakan suatu posisi istimewa dan sekaligus tantangan dari para aktivis.  

Tinjauan Buku: Siasat Kuasa dan Kemelut Hidup di Papua dalam Etnografi Kritis


Dimuat sebagai Resensi Buku dałam kompas.id 22 Mei 2022. https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/05/10/siasat-kuasa-dan-kemelut-hidup-di-papua

Pelajaran penting yang hendak ditunjukkan kedua buku karya I Ngurah Suryawan adalah kita perlu memikirkan kembali dampak-dampak transformasi sosial budaya di Tanah Papua dari perspektif arus bawah, yakni dari ”kampung”. Tanpa ada andil dari para etnografer kritis, kita tidak bisa memahami apa yang sedang terjadi pada orang-orang asli Papua yang sedang berjuang melanjutkan hidup dalam kemelut-kemelutnya.

Sampul buku <i>Hidup Papua Suatu Misteri</i> (2022) dan <i>Siasat Elite Mencuri Kuasa</i> (2020).


Penulis Buku  : I Ngurah Suryawan

Judul Buku 1   : Siasat Elite Papua Mencuri Kuasa, Dinamika Pemekaran Daerah di Papua Barat  

Tahun              : Basabasi, Yogyakarta 2020

Ketebalan        : 220 halaman

 

Judul Buku 2   : Hidup Papua Suatu Misteri  

Penerbit           : Basabasi, Yogyakarta 2022

Ketebalan        : 220 halaman


Noer Fauzi Rachman

Tak terbayang juga tak terduga/Beginilah kenyataan ini/Aku terkurung di dalam duniaku/Yang kudamba, yang kunanti/Tiada lain hanya kebebasan/Andai saja aku burung elang/Terbang tinggi mata menelusur/Tapi sayang nasib burung sial/Jadi buruan akhirnya terbunuh/Yang kudamba yang kunanti/Tiada lain hanya kebebasan. (Syair lagu ”Hidup ini Suatu Misteri” karya Arnold Clement Ap)

            Sejak 1969, ketika Tanah Papua resmi menjadi bagian negara-bangsa Indonesia, masyarakat dan kaum intelektual Indonesia belum benar-benar bisa memahami apa yang terjadi di Tanah Papua, apa yang dirasakan oleh orang Papua, dan apa yang mereka inginkan. Sejumlah peneliti antropologi berupaya mengkaji berbagai dimensi kehidupan masyarakat di Tanah Papua, melampaui kacamata politik dan kacamata konflik. Membangun pemahaman yang lebih luas, mendalam, dan juga kritis. Tak hanya melihatnya sebagai ”proyek pembangunan”.

            Dari sedikit peneliti tentang Tanah Papua, nama I Ngurah Suryawan salah satu di antaranya. Dia antropolog di Universitas Papua, Manokwari, Papua Barat, yang konsisten meneliti pelbagai isu tentang Papua ”dari kampung”. Ngurah Suryawan banyak menghasilkan kajian antropologi berupa buku, makalah, ataupun pelbagai esai tentang Tanah Papua. (hlm 11-13) Buku Hidup Papua Suatu Misteri (2022) dan Siasat Elite Mencuri Kuasa: Dinamika Pemekaran Daerah di Papua Barat (2020) berisi hasil kajian tentang Tanah Papua terbilang karya terbaru Ngurah Suryawan.

Extended Agrarian Question in Concessionary Capitalism: The Jakarta’s Kaum Miskin Kota

Bosman Batubara and Noer Fauzi Rachman (2022) "Extended Agrarian Question in Concessionary Capitalism: The Jakarta’s Kaum Miskin Kota", Agrarian South: Journal of Political Economy 11(2):232–255. https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/22779760221095121  

This article reassesses agrarian questions by using the ongoing explo- sion in urban and urbanization theories to explain Jakarta’s urban poor (the Kaum Miskin Kota) as an extended agrarian question. It shows how the two capitalist development trajectories identified by Lenin as the Russian and American paths, or the transformation of feudal large-scale and small landholders into capitalists, respectively, do not apply in Indonesia. In the latter, a “concessionary capitalism” of large-scale land claims and allocations by the state is observed. This specific pro- cess produces specific agrarian questions of soil/land and labor through which the urban poor germinated. It closes with a political project, that is, to open more alliance-building possibilities between urban and rural social movements.

Keywords

Extended agrarian question, urbanization, near-South, Indonesia, urban poor, concessionary capitalism

Papua Development Paradigm

 

versi Bahasa Indonesia 

Kompas, 29 Maret 2022 


Papua is now entering the new phase, with the central government issuing Law No. 2/2021 as an  amendment to Law No. 21/2001 concerning special autonomy for the Papua province.


        The implementation of the first 20-year phase of the Papuan special autonomy policy ended in 2021 and it is now entering the second phase (2022-2041). Thanks to the special autonomy policy that saw the administrative proliferation of provinces and regencies, Papuan educated elites, be they professionals, scientists and academics of various educational majors have received greater opportunities for political positions as local government heads or staff who have authority and control over financial resources and others.

        A dissertation by anthropologist I Ngurah Suryawan (2020) titled Siasat Kuasa, Dinamika Pemekaran di Papua Barat (strategy of power, dynamics of administrative proliferation in West Papua) shed light on the Papuan ethnographic issues of the region’s latest development. During the first 20 years of special autonomy, the economic dualism in Papua did not change with the production capitalist system of mining extraction, forestry and plantations continue to expand. Land concessions, production relations, the deployment of technology and human resources formed economic extractive enclaves under the control of urban capitalists.

        What JH Boeke referred in his 1953 book Economics and Economic Policy of Dual Societies, as Exemplified by Indonesia as the theory of economic dualism in Java during colonial times is also prevalent in Papua.

Paradigma Pembangunan Papua

Kompas,  9 Maret 2022  


Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas tengah menyusun Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP) 2022-2041. RIPPP ini bersifat strategis, tetapi hanya bisa dicapai dengan memakai cara-cara baru.

 Oleh: NOER FAUZI RACHMAN




        Pelaksanaan kebijakan otonomi khusus Papua babak pertama selama 20 tahun telah berakhir pada 2021 dan kini mulai memasuki babak kedua (2022-2041).

        Elite terdidik Papua, selain tentunya sesuai jalurnya menjadi profesional, ilmuwan, dan akademisi —sesuai dengan jurusan pendidikan tingginya—pada masa 20 tahun otonomi khusus jilid pertama memperoleh kesempatan baru dengan pemekaran provinsi dan kabupaten di Papua ini, untuk meraih posisi politis, yakni jabatan pemimpin dan staf pemerintahan daerah, yang berkuasa, berwenang, mengatur, memiliki akses pada sumber daya finansial, dan lainnya.

Bangunlah Badannya, Bangunlah Jiwanya untuk Tanah Air Beta


https://insistpress.com/katalog/panggilan-tanah-air-tinjauan-kritis-atas-porak-porandanya-indonesia/ 

Lanjutan Panggilan Tanah Air
-- Catatan 1 Januari 2022

 Noer Fauzi Rachman

 

Pendahuluan

Pemuda-pemudi pedesaan  hidup dalam gelombang arus globalisasi perdagangan, teknologi, dan informasi yang dahsyat dan belum pernah kita alami sebelumnya. Gelombang arus itu menjadi kekuatan-kekuatan global yang berkombinasi dengan kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) dari sekolah formal yang berjenjang dan mengajarkan “ilmu-ilmu pergi”, ikut membentuk merosotnya minat mereka melanjutkan jenis kerja-kerja orang tua mereka di sektor pertanian, kehutanan, peternakan, hingga perikanan darat dan laut. Mereka ini mengamati bagaimana kerja-kerja pertanian, kehutanan peternakan, dan perikanan  dari para orang tuanya tidak menjanjikan kesejahteraan yang lebih baik dan sesuai aspirasi mereka. Selain itu, mereka menyaksikan pula peralihan kepemilikan tanah kepada orang-orang dan badan-badan usaha dari kota, konversi tanah pertanian ke non-pertanian, hingga berubahnya metabolisme alam akibat berubahnya hutan, danau-danau dan rawa-rawa yang berfungsi sebagai reservoir air dan tempat hidup keanekaragaman flora-fauna, hingga ekstrasi sumber daya alam yang mengubah siklus hidrologis, rantai makanan, dan pemulihan ekologis kesuburan tanah.