https://insistpress.com/katalog/panggilan-tanah-air-tinjauan-kritis-atas-porak-porandanya-indonesia/
Lanjutan Panggilan Tanah Air,Noer Fauzi Rachman
Pendahuluan
Pemuda-pemudi pedesaan hidup dalam gelombang arus globalisasi perdagangan, teknologi, dan informasi yang dahsyat dan belum pernah kita alami sebelumnya. Gelombang arus itu menjadi kekuatan-kekuatan global yang berkombinasi dengan kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) dari sekolah formal yang berjenjang dan mengajarkan “ilmu-ilmu pergi”, ikut membentuk merosotnya minat mereka melanjutkan jenis kerja-kerja orang tua mereka di sektor pertanian, kehutanan, peternakan, hingga perikanan darat dan laut. Mereka ini mengamati bagaimana kerja-kerja pertanian, kehutanan peternakan, dan perikanan dari para orang tuanya tidak menjanjikan kesejahteraan yang lebih baik dan sesuai aspirasi mereka. Selain itu, mereka menyaksikan pula peralihan kepemilikan tanah kepada orang-orang dan badan-badan usaha dari kota, konversi tanah pertanian ke non-pertanian, hingga berubahnya metabolisme alam akibat berubahnya hutan, danau-danau dan rawa-rawa yang berfungsi sebagai reservoir air dan tempat hidup keanekaragaman flora-fauna, hingga ekstrasi sumber daya alam yang mengubah siklus hidrologis, rantai makanan, dan pemulihan ekologis kesuburan tanah.
Penawaran kesempatan kerja, dan perolehan pendapatan yang
menggoda berkait-kelindan dengan pendorong dari dalam berupa
bercita-cita kuat hidup menjadi orang modern membuat mereka keluar dari desa. Hal
inilah yang kemudian populer di kalangan orang-orang desa bahwa
meninggalkan desa dan di hidup kota-kota dalam dan luar negeri adalah
cara ampuh keluar dari kemiskinan (to exit poverty).[1] Kiriman uang dari para migran kembali ke desa (financial remittance), dan lebih-lebih segala nilai, pemikiran serta
bentuk-bentuk gaya dalam berekspresi (cultural remittance)
benar-benar menggoda bagi pemuda/i yang masih tinggal di
desa.
Selain itu, gelombang arus besar lain mengakibatkan keberlanjutan pengurusan kolektif atas sumber daya bersama (the commons, common resource) saat ini terancam. Kekuatan pengancamnya berasal dari kepentingan dan kekuatan korporasi yang memasukkan
sumberdaya bersama itu, misalnya yang ada di dalam dan berupa lahan pertanian,
perladangan, hutan, padang rumput, rawa gambut, danau, pantai, dsb, ke
dalam konsesi–konsesi pertambangan, kehutanan dan perkebunan. Konsesi-konsesi itu berasal mula dari lisensi (ijin atau hak
pemanfaatan) yang diberikan pemerintah (pusat dan daerah) untuk
perusahaan-perusahaan swasta. Konsesi itu adalah bagian hulu
dari sirkuit komoditas global, mulai dari penguasaan tanah, ekstraksi sumber daya alam, sistem produksi kapitalistik, lalu sirkuit dari rantai komoditas yang bersirkulasi secara global, dan pada akhirnya kesemua itu membentuk
konsentrasi kekayaan perusahaan-perusahaan raksasa, yang diperantarai
oleh jual-beli komoditas global ini yang meluas karena kemampuan teknologi
memodifikasi hasrat dan daya beli konsumen. Lalu, setelah umur pakai komoditas selesai, para konsumen membuang
sampahnya ke alam.
Menghadapi semua arus ini, di catatan 1 Januari 2022 ini, saya hendak
mengajak para pembaca melihat kekuatan memanggil “tanah air” untuk para
pemuda/i agar belajar, berjuang, dan pada saatnya nanti menjadi pemimpin
yang mampu ciptakan arus balik melawan gelombang arus komoditisasi itu.
Tanah air ini adalah suatu konsep yang dipakai (working concept)
semenjak pemuda/i menyingsingkan lengan baju dan berjuang melawan
kolonialisme dan memerdekakan rakyat Indonesia.
Naskah pendahuluan ini bermaksud menunjukkan jalan yang bisa ditempuh
para pemuda/i yang terpanggil dan mulai bekerja sebagai pemandu
kelompoknya masing-masing di seantero tanah air. Isi dari naskah
ini, pertama, adalah uraian konsep tanah air secara
lokal. Kedua, kekuatan etis tanah air yang bisa memanggil
para pemuda/i menghadapi kekuatan yang memporak-porandakan tanah airnya,
termasuk cara bagaimana perlunya etika mendahulukan
kepentingan umum dan mempertahankan lalu memulihkan layanan sumber daya
bersama (the commons). Lalu, ketiga, mengenai
keutamaan pengurusan bersama atas sumber daya bersama
itu. Keempat, arahan metode pendidikan yang
dipakai oleh sanggar-sanggar untuk kita belajar kebudayaan baru. Dan,
terakhir, adalah penutup (coda), adalah mengenai betapa
pentingnya jaringan pengetahuan yang mampu membantu proses belajar para
pemuda/i yang bersarang di sanggar-sanggar yang dikelola para pandu
tanah air.
Pertama, konsep tanah air
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanah air diartikan sebagai negeri tempat kelahiran,[2] sedangkan dalam Tesaurus Tematis Bahasa Indonesia, tanah air sebagai nominamemiliki pasangan dengan “warga
negara” dan dipersamakan dengan ibu pertiwi, negeri, nusa, tanah
kelahiran, tanah tumpah darah, watan; sementara
sebagai verba dipasangkan dengan “pembelaan” dan
dipersamakan dengan bela bangsa, bela negara, bela tanah air.[3]
Tanah air punya banyak padanan katanya dalam berbagai bahasa di Indonesia, contoh tiga ungkapan bahasa dari tiga wilayah di kepulauan: Aceh,
Sulawesi, dan Maluku Utara. Di Aceh, ada istilah trimeng geunesah yang merupakan ungkapan pendek dari nangroe atau negeri. Nangroe
atau negeri merupakan narasi "tanah air" dalam gambaran besar, sementara
gampung adalah tanah air dalam lingkup kecil di Aceh Utara. Di Sulawesi
ada beberapa suku, dengan bahasa masing-masing. Dalam bahasa
Makasar, ada istilah "Siri Napacce”. Siri artinya
malu. Pacce artinya pese, pedih-perih kokoh
dan kuat, siapapun menggangu merampas hak-hak orang Makasar, maka akan
dilawan sampai darah penghabisan. Falsafah hidupnya adalah
mempertahankan hidup dan hak miliknya. Di Tidore, Kepulauan di Maluku
Utara, ada istilah kie se gama malinga. Kie segammenggambarkan tanah air yang paling umum dalam bahasa Tidore. Kie
artinya gunung, gam itu kampung = tanah air. Ada peribahasa, sari-sari ahu ma, kie segama to sadia, yaya seba tosoninga jou koma,
fio raosito. Artinya perjalanan hidup yang berliku, tanah airku tinggalkan,
ibu bapak ku kenangkan wahai, kapankah akan kembali. Adapula
peribahasa Dodomi ma gonyihi. Artinya tempat tali
pusar, tempat kelahiran, seperti dalam ungkapan "Gammalamo se oti maside yo so nou dodokmi mgonyihi taogi-togi geno
koliho, raro kie se gam dodomi ma goniyhi." Artinya tanah di kampung dan layar-layar perahu, menaungi kampong
halaman kami, walau kau pergi, wahai anakku pulanglah dan lihatlah tanah
airmu, tempat tali pusarmu terkubur.
Tiap-tiap tanah air selalu merupakan tempat lahir yang membentuk muatan
emosi dan lokasi identifikasi diri seseorang pada suatu tempat
kelahiran. Tanah air membawa kita pada urusan hidup dan mati bisa bertaruh nyawa
kita memperjuangkan tanah air kita. Tanah air tumpah
darahku. Hubungan rakyat dengan tanah airnya adalah seperti
ikatan dengan tali pusar, ikatan tanah kelahiran, tak tergantikan. Tanah
air yang selalu punya kekuatan memangil. Tidak ada kekuatan lain yang
memiliki panggilan sekuat tanah air.
Tanah air punya banyak bentuk cara memanggil, termasuk dalam bentuk
syair dan lagu. Ingatkah pada puisi berjudul Tanah Air karya Muhammad Yamin pada 1920 dan 1922. Ingatkah pada lagu Tanah Airku karya dari Saridjah Niung, yang lebih terkenal dengan nama Ibu Sud, pada
1927. Ingatkah pula lagu Indonesia Pusaka karya Ismail
Marzuki pada 1942?
Kedua. panggilan dari tanah air yang diporak-porandakan
Saya menggunakan istilah “panggilan tanah air” sebagai suatu yang datang dari situasi tanah air, dan kemelut-kemelut yang dialami rakyat miskin pedesaan
di seantero tanah air di kepulauan Nusantara.[4] Mereka yang telah terpanggil oleh tanah air kemudian
belajar untuk menjadi pandu-pandu yang pada gilirannya mampu memberi
petunjuk yang mudah untuk memahami situasi yang dihadapi, dan memberi
petunjuk cara bagaimana para pemuda/i lainnya merintis
jalan membangun kekuatan menghadapi kekuatan-kekuatan yang
memporak-porandakan tanah airnya, dan membentuk arus balik memulihkan
status dan kondisi tanah airnya.
Sebagaimana
termuat dalam bait pertama stanza pertama dari lagu kebangsaan Indonesia
Raya, “Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku”. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) 2017 mengartikan pandu sebagai,
1. Penunjuk jalan; perintis jalan;
2. Mualim (di kapal);
3. Kapal penunjuk jalan (dalam
pelabuhan);
4. Anggota perkumpulan pemuda yang berpakaian
seragam khusus, bertujuan mendidik anggotanya supaya menjadi orang yang
berkesatria, gagah berani, dan suka menolong sesama makhluk;
5. Sebutan untuk pramuka sebelum tahun 1961.[5]
Para
pandu menyadari dari mana diri dan para pelajar sekelilingnya
berasal-usul, dan bagaimana ia bisa berkembang dari keluarga-keluarga
yang hidup dalam kelas sosial, etnik budaya dan lokasi geografis tertentu di kampung halaman, tanah airnya masing-masing. Orang tua dan leluhur mereka di desa-desa
pada mulanya adalah pemanfaat dan penghasil berbagai barang yang
bernilai guna untuk keberlanjutan hidup keluarga-keluarga. Sebagian yang
dihasilkan, berupa barang dagangan yang bernilai tukar dan
diperdagangkan untuk membuat mereka peroleh uang, sebagai alat tukar
bagi pembelian barang-barang lain kebutuhan.
Para
pandu juga perlu menyadari cara bagaimana tanah air mereka
dijajah dan sebagai akibat peralihan status kepemilikannya, kemudian wilayah tanah
air mereka berada dalam kendali elite, sumber daya alam
diambil dan dimanfaatkan segelintir elite dan para pengusaha kapitalis.
Dulu, para elite penguasa negara kolonial dan pengusaha-pengusaha Eropa
itu bersekongkol membentuk cara produksi kapitalisme, yang menghasilkan
barang dagangan dengan dasar perolehan layanan alam dan bahan mentah
dari alam yang murah (cheap nature), lalu diekspor ke Eropa.
Seiring dengan proses itu, komoditisasi manusia-manusia agraris menjadi tenaga kerja bebas
berlangsung secara cepat, drastis dan brutal dimulai dengan perubahan
status kepemilikan atas tanah, lalu berlanjut sebagian menjadi tenaga
kerja dalam hubungan sosial produksi yang baru.
Sesungguhnya,
membicarakan kapitalisme dalam hubungan dengan tanah air, bukanlah sesuatu topik yang baru bagi Indonesia sebagai bangsa Indonesia. Cara bagaimana kapitalisme kolonial memporak-porandakan tanah air Indonesia sudah secara gamblang dulu
ditunjukkan oleh Soekarno dalam karyanya Indonesia Menggugat (1930). Lebih lanjut, bagaimana perjuangan kemerdekaan Indonesia
dimaknai sebagai arus balik menandingi kapitalisme, imperialisme dan
kolonialisme dapat dipelajari pada karya Tan Malaka (1925) Naar de ‘Republiek-Indonesia’ (Menudju Republik Indonesia), Mohammad Hatta
(1932) Ke Arah Indonesia Merdeka, Soekarno (1933) Mentjapai Indonesia Merdeka.
Sepanjang
sejarahnya, tanah air diubah secara drastis sedemikian
rupa sehingga dikuasai oleh perusahaan-perusahaan kapitalis
yang memperoduksi barang-barang dagangan yang bernilai tukar
dalam jumlah yang masif, dan mempekerjakan tenaga kerja yang juga adalah
barang dagangan. Keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan
kapitalis adalah kekayaan uang diakumulasikan oleh kaum pemilik
perusahaan, baik untuk perluasan dan peningkatan kuantitas atau kualitas
produksinya, membiayai usaha-usaha membentuk kondisi dan investasi baru
yang penting untuk kelangsungan dan perluasan produksinya, dan sebagian
lain untuk hidup dalam kemewahan kaum pemilik itu. Akibatnya,
secara kurang dari 1% orang kaya telah menguasai lebih
separuh kekayaan tanah air kita.
Kapitalisme
sama sekali bukanlah suatu cara produksi barang dagangan yang
statis. Saya menganjurkan agar para pandu terus menerus mempelajari cara-cara bagaimana kapitalisme berubah, dan cara bagaimana negara kolonial, lalu negara nasional paska kolonial, menjadi arena dan
sekaligus kekuatan untuk mereorganisir ruang-ruang di tanah air untuk untuk kelangsungan dan perluasan sistem ekonomi berbasiskan produksi
kapitalis itu.[6] Para pandu perlu pula menyadari pengaruh sistem ekonomi kapitalis
itu pada keanekaragaman hayati, geografi fisik, budaya dan kelembagaan
sosial di wilayah tanah airnya sepanjang waktu, baik berupa penguasaan,
pemusnahan, pengusiran dan konsentrasi surplus dan keuntungan akibat
logika cara bekerjanya kapitalisme itu, serta menyisakan sumberdaya
bersama (the common, common resource) yang belum bisa
mereka komoditisasikan, sehingga masih terus berlanjut keberadaan dan
fungsinya. Selanjutnya, para pandu juga belajar bersama para pelajarnya
untuk melindungi dan menyelamatkan sumberdaya bersama yang tersisa itu,
memperbaiki layanan alamnya untuk kepentingan umum, hingga
memastikan sumberdaya bersama itu menjadi sumber kekuatan
untuk menghidupi rakyat, dan khususnya gerakan sosial kemasyarakatan
untuk menandingi bekerjanya sistem ekonomi kapitalisme itu.
Ketiga. Pengurusan kolektif atas Sumber daya bersama (the commons)
Kita perlu memfokuskan pada sumber daya bersama (the commons, common resources), karena situasi darurat dan keperluan
menyelamatkan beraneka ragam pengelolaan kolektif atas sumber daya
bersama ini sehubungan dengan ekspansi kapitalisme sebagai suatu sistem
ekonomi yang dominan saat ini. Sebagai sistem produksi yang khusus,
kapitalisme ini memberi tempat hidup dan insentif bagi semua yang
efisien, dan menghukum mati atau membiarkan mati hal-hal yang tidak
sanggup menyesuaikan diri dengannya. Sistem yang membuat kita
berkompetisi, dan saling memangsa. Selanjutnya, di atas apa-apa yang
telah dihancur-leburkan itulah dibangun sesuatu yang baru, yang dapat
lebih menjamin keberlangsungan akumulasi keuntungan.[7]
Badan-badan negara sering diperalat perusahaan-perusahaan yang menjadi penggerak
dari sistem ekonomi kapitalis itu untuk melancarkan kerja-kerja
privatisasi dari pengelolaan sumber daya bersama ini. Negara
pulalah yang seharusnya mengusung norma konstitusional dan dapat menjadi
pelindung dari keberadaan dan keberlanjutan sumber daya milik bersama
ini.
Sumber daya bersama yang dimaksud disini dapat mencakup segala sumber
daya yang ada dalam danau, hutan, sungai, laut, atmosfir, yang
kesemuanya bersifat alamiah, atau yang ada dalam alam yang dibuat
manusia, seperti sistem irigasi, tanah adat, situ
buatan, tanah pengembalaan, permukiman, lainnya. Sekali satu
sumber daya tertentu dimanfaatkan oleh satu pihak, dan pihak itu
memilikinya, maka akses pihak lain pun dibatasi.[8] Akses adalah kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu, dan
eksklusi adalah lawan sebaliknya dari akses, yakni kemampuan membatasi
pihak-pihak lain untuk memperoleh manfaat dari sesuatu itu. Suatu akses
yang dipunyai suatu komunitas atas sumber daya bersama tertentu itu
terbentuk secara sosial semenjak dahulu, dan pemanfaatnya memiliki
cerita yang menjadi pembenar atas kedudukannya sebagai pemanfaat. Sekali mereka memanen sesuatu dari sumber daya bersama itu, maka
sesuatu itu miliknya si pemanen itu, dan orang lain tidak lagi bisa
memanfaatkannya. Seperti misalnya, ikan kerapu yang telah dipanen dari
terumbu karang merupakan milik nelayan itu, rumput yang diambil dari
tanah pengembalaan merupakan milik peternak, rotan yang diambil dari
hutan merupakan milik pengambilnya, air irigasi yang masuk ke sawah
menjadi miliknya petani, dan banyak contoh lainnya lagi. Pihak-pihak
lain itu pada dasarnya sudah tidak punya akses lagi.
Siapakah yang mengendalikan siapa yang mempunyai akses dan siapa yang
dibatasi aksesnya? Ada kelembagaan tertentu yang memiliki kewenangan mengatur, misalnya lembaga adat
memberlakukan larangan pengambilan (dalam contoh di Maluku
disebut sasi) atas sumber daya tertentu, misalnya sasi
kelapa, atau sasi ikan Lompa. Atau dalam kasus lain, pemerintah membuat
aturan tertentu, seperti Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dapat membuat larangan memburu Elang Jawa tertentu, karena fauna itu
masuk dalam daftar yang langka dan dilindungi. Pengatur ini, pada kenyataannya, tidak lah tunggal. Bisa jadi
terdapat pluralisme hukum dan kelembagaan yang mengatur sumber daya
bersama. Yang bisa jadi bentrok satu sama lain, atau saling mengisi satu
sama lain. Lain kasus lain situasinya.
Sumber daya bersama ini sering berhadapan dengan
kepentingan-kepentingan pribadi dari pemanfaat yang membuat resiko bagi
pemenuhan kepentingan umum/bersama. Misalnya pengambilan ikan, udang dan
biota laut lainnya secara berlebihan di laguna Sagara Anakan oleh kapal
pukat harimau (trawl), pemakaian bom untuk mengambil ikan terumbu
karang di desa Arakan dan Wawontulap Kabupaten Minahasa Selatan,
pencemaran air karena dasar sungai terus dieksploitasi untuk
pertambangan emas di Sungai Kapuas, dsb. Pemerintah atau
lembaga lokal sebenarnya punya posisi dan kewenangan mengatur
kepentingan pribadi yang merusak kepentingan umum/bersama itu, namun
tidak jarang membiarkan diri kalah atau menurut begitu saja pihak yang
punya kepentingan pribadi atas sumberdaya bersama itu.
Sumber daya bersama ini dapat dimiliki oleh suatu komunitas sebagai kepemilikan
bersama (common property), atau dimiliki pemerintah menjadi milik publik (negara), atau miliki
perusahaan sebagai kepemilikan swasta (private), atau tidak ada
kepemilikan siapapun (open access).[9]
Ketika sumber daya bersama ini tidak dimiliki siapapun, atau status
kepemilikan atas sumber daya bersama ini secara de facto tidak berfungsi; maka sumber daya bersama ini merupakan
sumberdaya akses terbuka (open access resource). Tidak ada hak penguasaan/pemilikan atas sumberdaya, sumberdaya bersama
akan bebas dan terbuka dimanfaatkan oleh siapapun, tidak ada regulasi
yang mengatur akibatnya hak-hak pemilikan tidak jelas. Selain itu, bisa
pula sumber daya bersama ini dikuasai suatu rejim kepemilikan privat (private property): Sumberdaya bersama dimiliki oleh individu atau badan usaha swasta.
Ada aturan yang mengatur hak-hak pemilik dalam memanfaatkan sumberdaya
alam, manfaat dan biaya ditanggung sendiri oleh pemilik, dan hak
pemilikan atas sumber daya dapat
dipindah-tangankan. Bisa pula, sumber daya itu berada
di bawah rejim kepemilikan negara (state property): Hak
pemanfaatan sumberdaya alam secara eksklusif dimiliki oleh pemerintah.
Pemerintah memutuskan siapa yang dapat mengambil manfaat, hingga tingkat
dan sifat eksploitasi sumberdaya alam, yang diatur oleh
perundang-undangan.
Yang penting diperhatikan adalah sumber daya bersama yang dilekati rejim kepemilikan sumberdaya bersama dan dimiliki oleh suatu komunitas masyarakat (common property regimes), yang dibedakan dengan private property regime atau state property regime. Anggota komunitas memiliki hak-hak untuk memanfaatkan, melindungi,
mengelola dan melarang orang luar memanfaatkan sumberdaya yang dikuasai
komunitas tersebut. Sumberdaya dikuasai oleh sekelompok masyarakat
dimana para anggota punya kepentingan untuk kelestarian pemanfaatan.
Pihak luar bukan anggota tidak boleh memanfaatkan. Hak pemilikan bersama
ini diatur dan aturan pemanfaatan bersama ini mengikat anggota kelompok.
Maka, keberlanjutan akses atas sumber daya bersama lebih ditentukan oleh
kelembagaan lokal, dan ancamannya ketika ada satu pihak yang mengubah
motifnya, menjadi mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari aksesnya
itu.[10]
Sistem pengurusan bersama tidak cocok untuk tindakan dari pihak
pemanfaat yang memiliki motif pencarian keuntungan, karena beresiko pada
saling terus saling membentuk lomba memanfaatkan sumber daya itu, dengan
resiko ketersediaan maupun perusakan sumber bersama itu. Hal ini pada
gilirannya mengakibatkan, apa yang dituliskan oleh Hardin (1968)
sebagai The Tragedy of the Commons, yang banyak dirujuk para
ahli sebagai metafora untuk masalah penggunaan berlebih dan degradasi
sumber daya alam, termasuk pengrusakan sumber daya perikanan, panen kayu
yang berlebihan, dan degradasi sumber daya air. Lebih jauh, para ahli
itu umumnya setuju pada perlunya pemegang kewenangan eksternal untuk
menegakkan peraturan dan regulasi pada para pihak pengguna lokal, karena
mereka tidak bisa mengatur diri mereka sendiri.[11]
Bisa terjadi satu pihak mengusir warga pemanfaat sumberdaya bersama, atau melarang untuk meneruskan pemanfaatannya yang sudah berlangsung
turun-temurun, baik karena mereka memegang lisensi, maupun melakukan pembelian, apalagi pemaksaan secara perampasan. Bisa
juga terjadi, warga mempertahankan aksesnya, menolak pengusiran dan paksaan yang memutus akses masyarakat umum atas sumber daya bersama itu, hingga warga melancarkan tindakan bertahan dan melawan tindakan-tindakan pemutusan akses itu, mendelegitimasi klaim lawannya, lalu melakukan aksi-aksi menuntut pejabat publik memulihkan akses itu,
bahkan hingga reklaim dan okupasi kembali, maka terbentuklah konflik agraria struktural. Aksi-reaksi ini bisa berlangsung lama, dan menjadi konflik agraria
struktural yang sistemik, meluas, dan kronis.[12] Jadi, dalam konteks ini, ada keperluan darurat untuk para pandumencegah hal itu dengan cara menguatkan pengurusan kolektif atas sumber daya bersama itu. Ketika hal itu terjadi, maka perjuangan atas sumber daya itu akan
berlangsung dengan sekaligus menjadikannya sebagai perjuangan yang
diberi makna sebagai perjuangan atas tanah air.
Ancaman terbesar atas keberlanjutan hidup sistem-sistem pengurusan
kolektif oleh komunitas atas sumber daya bersama itu terancam
kepentingan dan kekuatan korporasi yang memasukkan sumberdaya bersama itu, misalnya yang ada di dalam dan berupa lahan pertanian,
perladangan, hutan, padang rumput, rawa gambut, danau, pantai, dsb, ke
dalam konsesi–konsesi pertambangan, kehutanan dan perkebunan. Konsesi-konsesi itu berasal mula dari lisensi (ijin atau hak
pemanfaatan) yang diberikan pemerintah (pusat dan daerah) untuk
perusahaan-perusahaan swasta. Konsesi itu adalah bagian hulu
dari sirkuit komoditas global, mulai dari penguasaan tanah, ekstraksi sumber daya alam, sistem produksi kapitalistik, lalu sirkuit dari rantai komoditas yang bersirkulasi secara global, dan pada akhirnya kesemua itu membentuk
konsentrasi kekayaan perusahaan-perusahaan raksasa, yang diperantarai
oleh jual-beli komoditas global ini yang meluas karena kemampuan teknologi
memodifikasi hasrat dan daya beli konsumen. Lalu, setelah umur pakai komoditas selesai, para konsumen membuang
sampahnya ke alam.
Keempat. Arahan tentang metoda belajar
Sistem sekolah yang dominan ini bagaikan investasi di bank. Ini diistilahkan Paulo Freire sebagai “konsep bank” (banking concept of education), dimana pelajar diberikan ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Jadi anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak diperlakukan berbeda dengan komoditi lainnya yang lazim dikenal. Depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan berkuasa, sementara depositonya adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak-didik. Anak-didikpun lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya kelak. Jadi guru adalah subyek aktif, sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut, dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang diajarkan kepada mereka, sebagai obyek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat melumpuhkan dimana guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihapalkan.
Pendidikan Gaya Bank: Hubungan Sosial Searah
Tentunya, sistem dalam sekolah formal tidak bebas dari kepentingan
politik dan tujuan memelihara sistim sosial ekonomi maupun kekuasaan.
Sekolah yang diselenggarakan oleh kelas dominan, selalu digunakan demi
melanggengkan dominasi mereka. Bagi mereka, hakikat fungsi sekolah ini
tidak lebih sebagai sarana untuk mereproduksi kelas-kelas sosial.
Pandangan ini dikenal dengan 'teori reproduksi kelas sosial'.[13] Berbeda dengan teori reproduksi ini, ada pandangan yang
juga datang dari kelompok pendidik kritis, yang justru berangkat dari
keyakinan bahwa pendidikan adalah proses 'produksi' kesadaran kritis.
Paulo Freire (1984, 1985, 2001a, 2001b)[14] dengan jernih telah menunjukkan prinsip bahwa mengajar
bukan mengalihkan pengetahuan tapi menciptakan
kemungkinan-kemungkinan bagi produksi atau konstruksi pengetahuan.
Pendidikan merupakan suatu sarana untuk membentuk kesadaran untuk
mengembalikan kemanusiaan manusia. Pendidikan hadap-masalah ditujukan
untuk membangkitkan kesadaran kritis memahami penindasan sebagai
prasarat upaya untuk pemerdekaan (= dekolonisasi!), dengan tujuan
permanennya adalah humanisasi.
Para guru pada mulanya harus memobilisasi sumber daya, mempelopori pembentukan infrastruktur sanggar belajar, dan merancang program belajar bersama untuk sejumlah pelajar, dengan menggunakan metoda pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing pelajar sesuai tahapan pertumbuhannya. Mereka diaktifkan dalam belajar bersama menyelidiki tema-tema kehidupan yang penting secara eksistensial. Sekedar menyebut satu program belajar permainan anak-anak: Anak-anak yang sedang dalam tahap pertumbuhan yang melatih kordinasi motorik, persepsi gerak, dan tanggapan antisipasitif, ajaklah dalam permainan bola bekel, congklak, batu dampu, gala asin, dan sebagainya. Sedangkan untuk remaja, diajak transek melihat aliran air hujan, hingga bisa menampilkan cara bagaimana metabolisme air dari curah hujan hingga masuk ke dalam tanah dan sungai hingga ke laut. Pada gambar tersebut, termuat penjelasan mengenai masalah yang diangkat misalnya banjir.
Selanjutnya, setelah pengungkapan masalah tematik
tertentu, berbagai teknik pengajaran dipakai untuk membuka
tabir hubungan-hubungan sebab-akibat yang tersembunyi mengenai tema
tertentu yang dipilih, mengembangkan analisis sosial dan
ekologis, baik melalui dialog hingga melakukan aksi-aksi
percobaan-percobaan yang khusus dan kongkrit. Metoda ini adalah
menyatukan teori dan praktek. Teori saja tanpa praktek
menjadi verbalisme, sedangkan praktek tanpa teori menjadi kerja tanpa
arah. Praksis pendidikan demikian ini menghasilkan rasa
percaya diri dan otonomi pada pelajar, dalam membebaskan diri dari
kungkungan keharusan-keharusan. Setidaknya terdiri dari tiga babak yang
dialektis:
(a (a) penyelidikan tematik, ketika pendidik menemukan semesta kosakata siswa,
kata-kata generatif dan kandungan tematik yang nyata dari
kehidupan. ;
(b (b) dialog problematisasi, ketika tema dikodifikasikan dan didekodifikasikan melalui dialog sampai bisa membuka hubungan-hubungan yang tersembunyi melalui
analisis sosial dan ekologis. Pelajar memperoleh kesadaran baru yang lebih kritis atas dunia yang dialami:
(c (c) Proses aksi – refleksi – aksi, di mana peserta belajar mengubah ketidakadilan yang melingkupi hidup para pelajar, keluarga dan
komunitasnya.
Dengan pendidikan hadap-masalah, kita mengembangkan kapasitas dan
kemampuan para pendidik dan yang dididik untuk mampu berpikir kritis.
Pada mulanya bisa melihat, menganalisis dan menanggapi segala bentuk
dominasi, penindasan, penjajahan, eksplotasi, kekerasan, diskriminasi,
dan ketidakadilan sosial lainnya, yang berlangsung terhadap manusia,
mahluk lain dan alam, di lokasi tanah air
masing-masing. Secara khusus, semua diajak kritis, menjadi
peka dan mencontohkan wujud keberpihakan pada kelas bawah,
perempuan, anak-anak, orang tua berusia lanjut, difabel, dan golongan
masyarakat marginal, agar bisa memperbaiki situasi kehidupan mereka
lebih nyaman dan membaik dari waktu ke waktu. Seiring dengan itu, para
guru adalah pemandu yang mampu secara khusus, kongkrit, dan praktis
menunjukkan contoh-contoh bagaimana aksi perubahan dilakukan secara
partispatoris dan makin meluas pada (4) empat tingkatan: pribadi
orang-per-orang, keluarga-keluarga, komunitas, dan kelembagaan yang
berwenang dalam urusan publik.
Apa yang harus diubah adalah
ajaran-ajaran, cara berpikir dan bertindak yang menghasilkan
masalah-masalah publik (public issues). Dalam bidang agraria
dan lingkungan hidup, bisa diungkap perihal ketidadilan agraria,
mandegnya kesejahteraan, merosotnya layanan alam, menurunnya
produktivitas, gairah konsumsi barang pabrik, hingga perilaku membuang
sampah. Masalah ketidakadilan agraria misalnya, semakin banyaknya akses
rakyat untuk tanah-tanah usaha pertanian/peternakan/ perikanan/kehutanan
dibatasi akibat konsesi-konsesi yang menguasai tanah-tanah di wilayah
pedesaan. Masalah layanan alam misalnya penghancuran bukit karst untuk
diambil kapur bahan baku semen, mengakibatkan hilangnya mata air yang
menimbulkan kesulitan rakyat mendapatkan air bagi kebutuhan pertanian
sawah, dan dengan hilangnya gua sarang kelelawar, kelelawar akan
mengungsi dan mempengaruhi fungsinya menyerbukkan bunga-bunga pohon buah
oleh kelelawar. Menurunnya produktivitas dan kesejahteraan rakyat petani
berkenaan dengan biaya sarana produksi berupa kecanduan pembelian bibit
yang dimodifikasi secara genetik, pupuk kimia, pestisida, herbisida, dan
sebagainya dengan harga semakin tinggi, sementara harga jual produk
pertanian di tingkat produsen tidak seimbang dengan biaya-biaya
produksi. Konsumsi rumah tangga yang didominasi oleh bumbu dapur
berdasar produk pabrik dari pada produk halaman dan kebun petani, dengan
akhibat khusus pada ketidakcukupan gizi dari makanan anak-anak balita
dan remaja. Terakhir, contohnya adalah masalah sampah plastik, yang
dibuang mencemari tanah-tanah halaman dan pertanian. Di jaman sekarang
ini, ada jenis masalah public yang baru, kemana sampah-sampai
elektronik dibuang? Kemana?
Masih banyak masalah publik lainnya lagi
yang bisa dijadikan tema.
Penutup
Para
pandu perlu membuat aturan penyelenggaraan sanggar-sanggar belajar
bersama, di dalam komunitas, di tanah air masing-masing. Kita bisa
belajar dari aturan-aturan yang menjadi dasar-dasar pondok-arama Taman
Siswa (Ki Hadjar Dewantara, 1931),[15] sebagai berikut:
Dasar-dasar Pondok-Asrama Taman Siswa
A. Azas Kemerdekaan Diri
1. Segala kehendak dan perbuatanmu haruslah kamu fikir-fikirkan dan
rasa-rasakan yang masak, karena fikiran dan rasa itu pemimpinmu yang
sejati.
2. Segala tenagamu haruslah sesuai dengan maksud dan tujuan adat istiadat
dari rakyatmu, karena adat istiadat itulah penunjuk jalan yang
sempurna.
3. Jikalau kamu ada dalam kegelapan fikiran, mintalah nasehat kepada
saudara-saudaramu yang lebih tua dalam pengetahuan dan pengalaman.
B. Sendi Pondok-Asrama
1. Pondok-asrama Taman Siswa, yaitu rumah-rumah pendidikan untuk
murid-murid dan guru-guru Taman Siswa, yang diatur menurut azas-azas
Taman Siswa.
2. Pondok-asrama Taman Siswa dipergunakan untuk tempat kediaman anak-anak
Taman Siswa yang memerlukan pemeliharaan dan pendidikan seari-harinya
atas permintaan orang tuanya; juga dimaksud untuk menyokong sekedarnya
dan meringankan hidupnya guru-guru Taman Siswa, teristimewa mereka yang
sudah beristri dan beranak.
3. Urusan pelaksanaannya dipegang oleh orang-orang dan badan-badan di
bawah pimpinan Majelis Guru sebagai epngurus dengan sokongan uang atau
barang-barang dari kas cabang yang jumlahnya ditetapkan dengan mengingat
keperluan lain-lainnya dari Taman Siswa.
C. Peraturan Tertib-damai
1. Di dalam tiap-tiap pondok-asrama harus diadakan peraturan ketertiban
dan kedamaian yang harus disahkan oleh pengurus. Jika perlu,
peraturan-peraturan itu boleh ditulis sebagai peraturan.
2. Di dalam tiap-tiap pondok-asrama, harus ada orang atau badan pemimpin
murid-murid dan/atau guru-guru yang memegang pemimpin umum atas nama
pengurus.
3. Buat pondok-merdeka, badan pemimpin ialah pengurus yang pada tiap
tengah-tengah tahun pengajaran dipilih oleh dan dari penduduk
pondok-merdeka itu.
4. Dalam tiap-tiap pondok-asrama, harus ditetapkan waktu belajar, waktu
bersuka ria, dan waktu mengaso, sesuai dengan maksud pendidikan pada
umumnya.
5. Di dalam pondok-asrama dari anak-anak murid Taman Dewasa ke atas, harus
diadakan pembagian pekerjaan untuk murid-murid buat waktu-waktu yang
ditetapkan (mingguan, bulanan, atau kuartalan).
6. Peraturan ketertiban harus sesuai dengan anggapan umum tentang keadaan
dan kesopanan, teristimewa menurut rasa kebangsaan.
Dalam tiap-tiap pondok-asrama, anak-anak harus dibiasakan menjaga dan
mengatur diri sendiri.
Pemimpin pondok-asrama boleh boleh menolak datangnya orang-orang dari
luar ke dalam pondok-asrama kalau dipandang perlu. Segenap guru dan
anggota pengurus Taman Siswa dianggap wajib dan berhak turut
mengamat-amati ketertiban dalam pondok-asrama Taman Siswa, dengan
mempunyai suara penasehat. Segenap murid harus menganggapnya sebagai
pengetuanya.
7. Anak-anak yang melanggar peraturan yang sah boleh dikeluarkan dari
pondok-asrama oleh atau atas nama pengurus. Jika perlu, pengurus boleh
mengeluarkan anak itu dari sekolah.
“Wasita-Pusara” Jilid II No. 3-6 - Agustus 1931.
Bagaimana pengaturan dibuat di sanggar-sangar belajar
masing-masing?
Sekian.
Bandung 1 Januari 2022
[1] Secara teori pandangan umum ini seiring sejalan dengan
argumentasi E. Murrugarra, Larrison J, Sasin M, eds. (2011) Migration and poverty toward better opportunities for the poor. Washington, DC, USA: The World Bank.
[2] https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/tanah%20air (akses terakhir 18 September 2021)
[3] http://tesaurus.kemdikbud.go.id/tematis/lema/tanah%20air (akses terakhir 18 September 2021).
[4] NF Rachman (2016), Panggilan Tanah Air. Yogyakarta: Insist
Press.
[5] https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pandu (akses terakhir 18 September 2021).
[6] Cara bagaimana reorganisasi ruang tersebut bekerja, lihat N.F. Rachman
(2015), “Memahami Reorganisasi Ruang dari Politik Agraria” (http://jurnalbhumi.stpn.ac.id/index.php/JB/article/view/39 akses terakhir 18 September 2021).
[7] J.A. Schumpeter (1944) Capitalism, Socialism and Democracy (New York: Harper &
Row) menyebut hal ini sebagai the process of creative
destruction (proses penghancuran yang kreatif). Konsep ini
dipakai oleh David Harvey untuk menjelaskan bagaimana kerja
kapitalisme dewasa ini, Lihat D. Harvey (2016) Neo-liberalism as creative destruction. Geogr. Ann., 88 B (2):
145–158; dan D. Harvey (2007) “Neoliberalism as Creative Destruction.” The ANNALS of
the American Academy of Political and Social Science, 610(1), 21
[8] J. Ribot,. and Peluso, NL (2003) “A Theory of Access”. Rural
Sociology 68(2): 153-81. D. Hall, P. Hirsch, and T. Li (2011) Powers
of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia. Singapore and Manoa:
NUS Press.
[9] Ciriacy-Wantrup, S. V., & R.C. Bishop, R. C. (1975) “Common property” as a concept in natural resources policy.” Natural Resources Journal, 15, 713-727. M. Goldman (1997) “‘Commons in Common’: The Epistemic World of the
Commons Scholars.” Theory and Society 26: 1-37.
[10] Lihat Ostrom, E., R. Gardner, R. and J. Walker
(1994) Rules, Games, and Common-Pool Resources. Ann Arbor:
University of Michigan Press;
[11] G. Hardin (1968) “The Tragedy of the
Commons.” Science 162: 1243-8. Cf. E. Ostrom (1999) “Coping with the Tragedies of the Commons”. Annual Review of Political Science, 2, 493-535, dan E. Ostrom (2002) “Reformulating the commons.” Ambient. soc. 10:5-25.
[12] NF Rachman (2013) “Rantai penjelas konflik-konflik agraria
yang kronis, sistemik, dan meluas di Indonesia.” BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan, 1-14.
[13] S.C.N. De Jong (1984), Sosiologi Pendidikan : Suatu Ikhtisar Teoritis Tentang Pendidikan, Pekrmbangan dan.
Modernisasi. Jakarta: YIIS & LPSP – IPB.
[14] Lihat: P. Freire (1984) Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, Alois A. Nugroho (penerjemah), Jakarta, Gramedia, 1984; P. Freire
(1985), Pendidikan Kaum Tertindas, Utomo Dananjaya,
dkk (penerjemah), Jakareta, LP3ES, 1985; P. Freire
(2001), Pedagogi Pengharapan-Menghayati Kembali Pedagogi Kaum
Tertindas, A. Widyamartaya (penerjemah), Yogyakarta, Kanisius; P.
Freire (2001), Pedagogi Hati, A. Widyamartaya
(Penerjemah), Yogyakarta, Kanisius..
[15] Ki Hadjar Dewantara (1931) “Dasar-dasar Pondok-Asrama Taman Siswa”, Wasita-Pusara Jilid II No. 3-6 - Agustus 1931, dimuat kembali dalam Karya Ki Hadjar Dewantara – Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1971. Halaman 372-374.
No comments:
Post a Comment