Oleh: NOER FAUZI RACHMAN
Pelaksanaan kebijakan otonomi khusus Papua babak pertama selama 20 tahun telah berakhir pada 2021 dan kini mulai memasuki babak kedua (2022-2041).
Elite terdidik Papua, selain tentunya sesuai jalurnya menjadi profesional, ilmuwan, dan akademisi —sesuai dengan jurusan pendidikan tingginya—pada masa 20 tahun otonomi khusus jilid pertama memperoleh kesempatan baru dengan pemekaran provinsi dan kabupaten di Papua ini, untuk meraih posisi politis, yakni jabatan pemimpin dan staf pemerintahan daerah, yang berkuasa, berwenang, mengatur, memiliki akses pada sumber daya finansial, dan lainnya.
Buku hasil disertasi antropolog I Ngurah Suryawan (2020), Siasat Kuasa, Dinamika Pemekaran di Papua Barat, menunjukkan fenomena ini secara etnografis. Dalam periode 20 tahun otonomi khusus (otsus) babak pertama, basis sistem ekonomi yang dualistis di Papua tak berubah. Sistem produksi ekstraktif pertambangan, kehutanan, dan perkebunan terus berlanjut dan kian meluas. Terutama melalui konsesi-konsesi penguasaan tanah dan membentuk hubungan-hubungan produksi baru, dan pengerahan teknologi dan SDM manajerial, membentuk kantong-kantong ekstraktif sebagai situs operasi dari struktur kapitalisme di kota-kota metropolis.
Apa yang dulu diungkapkan dalam teori JH Boeke (1953), Economics and Economic Policy of Dual Societies, as Exemplified by Indonesia, dan terkenal sebagai ”dualisme ekonomi” di Jawa masa kolonial, berlangsung pula di Papua.
Dalam periode 20 tahun otonomi khusus (otsus) babak pertama, basis sistem ekonomi yang dualistis di Papua tak berubah.
Perbedaan pokoknya adalah manusia Jawa dapat diubah menjadi petani tak bertanah dan tenaga kerja upahan, termasuk kuli (koeli) yang dipindah ke Sumatera Timur dan negara lain jajahan Belanda. Sementara di Papua, para kapitalis fokus memenuhi kebutuhannya akan tanah dan sumber daya alam (SDA)-nya dan tidak memerlukan manusia-manusia yang berasal dari wilayah tersebut untuk menjadi tenaga kerja dalam hubungan sosial kapitalis di korporasi-korporasinya itu.
Tentu ini berdampak pula pada kesejahteraan masyarakat Papua, terlebih kalau pembentukan kantong-kantong kapitalisme itu dikawal dengan menggunakan pengawal-pengawal dan memakai cara-cara pemaksaan, dan bukan persetujuan. Pada gilirannya, warga yang asalnya hidup dari tanah dan sumber daya itu bergeser mengandalkan hidup di lokasi-lokasi baru, termasuk bermigrasi permanen ataupun sirkuler ke kota-kota sekitar sebagai kaum marjinal.
Di kota-kota, mereka secara ekonomi berhadapan dengan penduduk migran dari pulau lain yang sudah menguasai perdagangan, transportasi, jasa, dan lain-lain, formal ataupun informal.
Proses peminggiran/marjinalisasi ini dikhawatirkan masih berlanjut dengan masih bertahannya pandangan dan praktik bahwa kebudayaan tradisional merupakan hambatan bagi pembangunan. Unsur budaya tradisional, seperti sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencarian hidup, dan sistem teknologi dan peralatan, perlu diganti dengan yang baru dari dunia modern.
Dikotomi tradisi versus modern merupakan suatu penyederhanaan atau simplifikasi yang sangat sarat dengan maksud memberi jalan bagi proyek-proyek modern yang diadakan pemerintah seraya merendahkan atau setidaknya mengabaikan unsur-unsur budaya tradisional. Sesungguhnya, praktik-praktik yang bersifat transplantasi demikian ini telah menciptakan masalah keterasingan kewarganegaraan warga lokal yang pada mulanya hidup dalam masyarakat-masyarakat tradisional.
Praktik demikian menyebabkan apa yang dikonsepsikan sebagai old societies ini akan terus berada dalam ketegangan dan konflik dengan new states (Cf Clifford Geertz, Old Societies and New States: A Quest for Modernity in Asia and Africa, 1963). Lebih parah jika melihat cara bagaimana korporasi pertambangan, kehutanan, dan perkebunan bekerja lewat strategi membuat kantong-kantong penguasaan wilayah atau konsesi.
Tampak jelas bahwa dalam pembentukan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), korporasi yang memiliki strategi menguasai tanah dan SDA, melalui kebijakan pemerintah dan kemudian mengubah kekayaan alam jadi komoditas yang diperdagangkan dalam suatu sirkuit kapitalisme yang tak terbayangkan oleh masyarakat adat di sana (Ito et al, Power to Make Land Dispossession Acceptable: A Policy Discourse Analysis of the Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), Papua, Indonesia, 2014; dan Zakaria et al, MIFEE: Tak Terjangkau Angan Malind, 2011). Supriyanto
Pendekatan kemampuan manusia
Setelah otsus jilid pertama (2001-2021) berakhir, kini Papua memasuki babak baru, dimulai dengan pemerintah pusat mengeluarkan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas tengah menyusun Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP) 2022-2041.
RIPPP ini memiliki sifat strategis bagi hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan orang asli Papua (OAP), khususnya komunitas-komunitas masyarakat adat. Para pembuat RIPPP ini telah bertekad dan secara eksplisit berkomitmen untuk memperlakukan OAP, khususnya komunitas-komunitas masyarakat adat, sebagai pihak penerima manfaat dari kebijakan dan tindakan afirmatif dari pemerintah. Tujuan baru ini memang baik, tetapi hanya bisa dicapai jika cara-cara yang dipilih untuk mencapai itu juga baru. Tidak bisa tujuan baru memakai cara-cara lama.
Pendekatan dan teori kemampuan manusia (human capability) dari buku Amartya Sen dan Marta Nusbaum, Capability and Well-Being (1983), bisa dipakai sebagai rujukan konseptual baru. Ada dua asumsi. Pertama, kemerdekaan untuk mencapai kesejahteraan lahir batin adalah kepentingan moral yang utama. Kedua, kemerdekaan untuk mencapai kesejahteraan lahir batin itu harus dipahami dari segi orang-orang yang memiliki kemampuan.
Pendekatan dan teori kemampuan manusia
(human capability) dari buku Amartya Sendan Marta Nusbaum, Capability and Well-Being (1983), bisa dipakai sebagai rujukan konseptual baru.
Nussbaum (2011) dalam buku Creating Capabilities: The Human Development Approach menguraikan lebih lanjut pendekatan kemampuan (capability approach) sebagai paradigma teoretis baru dalam dunia pembangunan dan kebijakan yang menyasar pada kesempatan yang terbuka bagi perkembangan kemampuan rakyat, dengan berangkat dari pertanyaan ”apa yang rakyat sungguh dapat lakukan dan menjadi?”
Alih-alih menempatkan kebudayaan tradisional sebagai hambatan bagi pembangunan yang diselenggarakan pemerintah, kita perlu menempatkan kebudayaan itu sebagai ruang dari mana manusia, kelompok, dan komunitas mencapai kesejahteraan lahir batin (well-being) dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Tugas dari perencana pembangunan dengan pendekatan ini adalah mengevaluasi kesesuaian pengaturan-pengaturan dari kelembagaan sosial dengan kemerdekaan untuk meningkatkan kemampuan manusia agar bisa mewujudkan fungsi yang mereka idam-idamkan.
Setidaknya yang bisa dilakukan pembangunan adalah menghilangkan atau mengurangi hambatan dari pengembangan kemampuan manusia agar bisa hidup sejahtera lahir dan batin. Perencanaan pembangunan dengan human development approach demikian ini sungguh berbeda dengan proses perencanaan pembangunan new geography economic yang berpusat pada pembangunan pusat-pusat produksi untuk perluasan sistem ekonomi kapitalisme dunia, seperti diurai dalam naskah Bank Dunia (2008), ”World Development Report 2009: Reshaping Economic Geography”.
Bukan lagi berfokus pada geografi ekonomi regional yang berpusat pada sebaran produksi berbasis sumber daya dan pendapatan agregat yang dikombinasi dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita di tingkat nasional, melainkan fokus pada pemerdekaan dari berbagai hambatan sosial, ekonomi, dan politik dari pribadi, kelompok, dan komunitas untuk berkembang mencapai kesejahteraan lahir batinnya.
Afirmasi pada orang asli Papua
Sering dikenali bahwa OAP memiliki ras Polinesia yang sama, tetapi tidaklah seragam dan homogen, berbeda-beda sesuai dengan latar belakang etnik, lokasi geografis, bahasa, kelas, jender, umur, posisi pekerjaan, hingga agama dan kepercayaannya. Dengan kesadaran keberagaman ini, para pembuat RIPPP 2022-2041 bertekad memberi afirmasi pada OAP. Lebih dari posisi sebagai sasaran dan pemanfaat, di sini harus dieksplisitkan bahwa komunitas-komunitas masyarakat adat yang hidup dalam satuan-satuan etnik sebagai pihak yang menjadi sasaran kebijakan dan aksi afirmatif haruslah tidak menjadi penerima pasif, tetapi pelaku yang aktif.
Pendekatan afirmasi itu pun perlu dijalankan dengan pendekatan dari bawah (bottom up), dan berpihak pada yang paling lemah, miskin, dan marjinal, terutama kaum perempuan, pemuda/i dan anak-anak. Menyadari durasi keberlakuan dokumen perencanaan RIPPP ini selama 20 tahun (2022-2041), berarti ada kesempatan memperbaiki status kesejahteraan lahir batin ini dalam perspektif lintas generasi, khususnya fokus perhatian pada subyek anak-anak dan remaja yang masih dalam masa perkembangan yang formatif sifatnya.
Sepanjang masa penerapan otonomi khusus 2001-2021, penikmat dana otsus kebanyakan adalah pemerintah daerah dari provinsi, kabupaten, distrik, hingga pengurus kampung. Kekeliruan penggunaan dana otsus ini perlu dikoreksi dari andilnya sebagai penambah dari dana-dana pembagian keuangan pusat-daerah. Dana otsus ini harus langsung dipakai untuk dan oleh OAP. Saya mengusulkan agar posisi dan peran para penggerak inovasi sosial dalam satuan-satuan sanggar-sanggar seni dan budaya jadi ujung tombak perbaikan kualitas SDM dari anak-anak, remaja, dan pemuda/i.
Sanggar ini setidaknya berfungsi sebagai ruang ekspresi seni-budaya, resosialisasi norma-norma adat, pengajaran kembali pengetahuan dan teknologi tradisional, melatih usaha ekonomi bersama, pembentukan perilaku, sehat, pro-sosial dan pro-lingkungan yang baru, perbaikan perilaku dan asupan gizi yang cukup, hingga pengajaran pengetahuan, dan sikap ilmiah serta teknologi komunitas modern.
Suatu hal yang benar-benar mengguncangkan bagaimana patologi sosial sudah tersebar dan jadi perilaku OAP. Ditambah, menjadi tantangan zaman disrupsi teknologi digital yang sampai juga ke anak-anak dan remaja.
Siapakah yang dapat memberi dasar-dasar pemahaman cara bekerja ruang dan teknologi digital itu, pengenalan digital literacy and ethics, dan mengajarkan segala macam kemungkinan buruk, seperti kecanduan internet dan kejahatan digital, hingga kritis terhadap cara kerja algoritma dalam games, tontonan, dan medsos lain?
Suatu hal yang benar-benar mengguncangkan bagaimana patologi sosial sudah tersebar dan jadi perilaku OAP.
Sanggar-sanggar inilah yang menjadi saluran dan sekaligus arena belajar melalui mana sebagian anak-anak dan pemuda/i adat menjadi manusia modern dengan akar-akar tradisi yang kuat, tanpa merasa minder dari pembandingannya dengan segenerasinya. Sanggar-sanggar ini bisa berbentuk kegiatan ekstrakurikuler sekolah dasar dan menengah, sekolah adat, rumah baca atau perpustakaan kampung, sanggar pelatihan seni suara/rupa/teater dan lainnya, sekolah alam, layanan khusus untuk kaum difabel dan anak-anak tidak sekolah dari keluarga tidak mampu.
Dana otsus ini perlu pula dialokasikan sebagai fasilitas untuk berfungsinya sanggar-sanggar yang tersebar di seantero Papua, baik keperluan infrastruktur, penyelenggaraan, maupun biaya-biaya untuk proses belajar bisa lancar dan nyaman di sanggar-sanggar termaksud. Navigasi atas keberadaan dan operasi sanggar-sanggar ini perlu dilakukan dengan prinsip-prinsip pengorganisasian komunitas praktisi, yakni sekelompok orang yang memiliki kepedulian dan kegairahan atas sesuatu yang mereka lakukan dan pelajari terus-menerus agar lebih baik, dan berinteraksi secara periodik dan berkelanjutan.
Sebagai komunitas praktisi, kita perlu menjalin dan merajut para pembaru/inovator sosial yang sudah berkiprah selama ini dan bisa diandalkan untuk mengembangkan jaringannya menjadi komunitas praktisi menjadi agen utama perubahan sosial-budaya-ekonomi-ekologi yang kita harapkan terwujud.
Komunitas-komunitas praktisi dari sanggar-sanggar itu adalah pengusung identitas baru sebagai pembaru kebudayaan Papua dengan sumber inspirasi dari segala penjuru, bekerja dengan keistimewaan, termasuk keanekaragaman budaya dan alam, meraih dan mendapatkan perbaikan status kesejahteraan lahir batinnya dalam menjalankan fungsi-fungsi yang mereka idam-idamkan. Bukankah ini jalan yang merupakan pengamalan Pasal 28H Ayat 1, 18B Ayat 2, dan Pasal 28 I Ayat 3 UUD 1945?
Noer Fauzi Rachman, Dosen Psikologi Komunitas Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran-
dimuati Kompas Online 29 Maret 2022
www.kompas.id
No comments:
Post a Comment