Epoch Baru: The Anthropocene. Akibat Berpikir dalam Skala Bumi.



Noer Fauzi Rachman

Presentasi ini disampaikan pada acara diskusi “Apa yang harus dilakukan: Indonesia melawan krisis iklim” dalam rangka Peluncuran Gerakan Climate-Hub Indonesia DAN Peluncuran Organisasi Masyarakat Sipil Eco-Marin. 23 Juni 2022.

Ringkasan

          Saat ini sedang terbentuk pengetahuan,  perilaku, teknologi, jenis usaha hingga kebijakan yang penting dan menarik untuk dikenali akibat dari disadarinya akibat-akibat dari semua itu pada kesehatan bumi. Saat ini Bumi kita telah memasuki era the Anthropocene sebagai babak baru sejarah bumi secara geologis.  

        Sajian ini mengajak pembaca/pendengar untuk  berpikir dalam skala global yang merupakan Hasil dari refleksivitas ekologis kita.

        Apa yang disebut refleksivitas ekologis (ecological reflexivity), yakni:

“kapasitas dari suatu agensi, struktur, atau proses untuk mengubah diri dalam hubungannya dengan refleksi mengenali dan mengantisipasi hasil dan dampak dari tampilannya pada sistem sosial-ekologi, dan mendengarkan dengan seksama umpan balik dari sistem tersebut”.(lihat: Pickering, J., 2018, “Ecological reflexivity: Characterising an elusive virtue for governance in the Anthropocene.” Environmental Politics, 28, 1–22)

          Banyak masalah utama sekarang terbentuk oleh cara berperilaku dari orang-orang, organisasi-organisasi masyarakat, korporasi, birokrasi pemerintah, hingga lembaga-lembaga internasional yang dominan terus-menerus mengabaikan, melupakan, dan ‘merepresi’ (to repress) dalam ketidaksadarannya secara sistematis informasi dan pengetahuan tentang kondisi ekologi pada berbagai skala, dan mengutamakan kepentingan ekonomi dan lainnya yang sempit dan pendek.

Sebagai obat penawarnya, semuanya itu dapat:

(a)  Menumbuhkan ecological reflexivity, kapasitas dari suatu agensi, struktur, atau proses untuk mengubah diri dalam hubungannya dengan refleksi mengenali dan mengantisipasi hasil dan dampak dari tampilannya pada sistem sosial-ekologi,
(b)  Mendengarkan dengan seksama umpan balik dari sistem tersebut, dan merefleksikan secara kritis nilai-nilai dasar sehubungan umpan balik itu; dan
(c)  secara adekuat dengan mentransformasikan kiprah dan tampilannya.

          Ecological reflexivity terdiri dari tiga komponen perilaku yakni (1) mengakui, (2) memikirkan kembali, dan (3) menanggapi (recognition, rethinking and response).

          Secara etis, kita butuh pemikiran ulang yang mampu menjelajahi bagaimana keadilan, keberlanjutan dan demokrasi perlu dipikirkan dan diaktualkan kembali dalam kondisi rusaknya layanan-layanan alam skala bumi di jaman Anthropocene dewasa ini.

          Selanjutnya lihat bahan sajian pada link berikut ini, yang dapat diunduh bebas secara keseluruhan: Rachman 2022 - Epoch Baru The Antropocene - Akibat Berpikir Skala Bumi.pdf


Sumbangan Karya-karya Akademik untuk Membentuk Agenda dan Kerangka Kerja Reforma Agraria Perkotaan


Noer Fauzi Rachman dan Herlily (2021) "Sumbangan Karya-karya Akademik untuk Membentuk Agenda dan Kerangka Kerja Reforma Agraria Perkotaan",   Prolog dalam buku Panen Pengetahuan Akademik Reforma Agraria (Pandemik-RA). Riset Inovatif Produktif (RISPRO) Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Tim Peneliti Joko Adianto, Herlily, Paksi Cattra Kamang Walandouw, dan Rossa Turpuk Gabe; Penanggung Jawab Biblio: Noer Fauzi Rachman dan Bosman Batubara; Penyusun Bibliografi Anotasi: Oswar Mungkasa, Peter Yogan, Gandakusuma Rika Febriyani, Rossa Turpuk Gabe, Esher Toding, M. Azka Gulsyan, Fildza Miranda, Astri Puspita, Annisa Permata Sari Gery Ages; ataletak & Desain kover: Adinda Christina, Annisa Permata Sari, Farrah Eriska Putri, & Astri Puspita; Penyelia aksara: Rizki Dwika Aprilian; Picture Research: Tubagus Rachmat. Penerbit Buku: UI Publishing, 2022. Halaman vii-xii.

Buku ini dapat dibaca sepenuhnya secara bebas pada http://epub.uipublishing.com/books/ekms/ 


     Para pemrakarsa Reforma Agraria Perkotaan di provinsi DKI Jakarta berangkat dari kepedulian pada nasib dari warga miskin dan permukiman kampung kota, di tengah gelombang besar yang sedang dihadapi kota Jakarta menjadi kota raksasa (megacity).  Reorganisasi ruang (spatial reorganization) berlangsung dengan sangat cepat dan dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya menjadi penyebab dari tergusur, terusir dan terpinggirkannya warga miskin dan berubahnya lokasi-lokasi yang awalnya adalah kampung-kampung kota menjadi kawasan kompleks permukiman, perkantoran, dan perdagangan modern, bahkan ada yang super-modern, yang dinikmati kelas menengah dan atas. Gejala ini bukan hanya fenomena khas Jakarta, melainkan terjadi di banyak kota metropolis, baik belahan dunia bagian utara maupun selatan. Inilah yang kemudian disebut oleh sejumlah ahli studi perkotaan dengan istilah planetary gentrifications atau gentrifikasi-gentrifikasi pada skala planet bumi (Loretta Lees, Hyun Bang Shin and Ernesto López-Morales, Planetary gentrification, Cambridge, England, and Malden, MA, Polity Press, 2016).

        Pertanyaan penggerak para pemikir Reforma Agraria adalah bagaimana cara-cara pemerintah bisa memenuhi kebutuhan dan hak dari warga miskin untuk terus bisa hidup dalam permukiman kampung kota sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban konstitusional negara mewujukan keadilan sosial ?