Noer Fauzi Rachman
Naskah ini ditulis atas permintaan Mukti-Mukti 14 Juli 2006.
Dimuat kembali untuk mengenang 31 tahun perjalanan bermusiknya Mukti-Mukti, wafat pada Senin (15/8/2022) pukul 16.00 WIB, di kota Bandung.
Lagu-lagu Mukti-mukti dapat dilihat dan diperlihatkan, bukan sekedar dapat didengar dan diperdengarkan. Sejumlah film dokumenter membuktikannya. Yufik dan beberapa teman lain telah membuktikannya melalui film-film dokumenter yang dibuat para aktivis gerakan agraria.
Dalam film Mimpi-mimpi Bertarung di Sarimukti, petikan lagu berjudul Nangela menjadi jelas sosoknya sebagai tragedi para petani tidak bertanah di suatu desa dan usaha keras untuk mengungkap sebab-sebab yang membuat mereka menderita. Alunan lagu itu bersuarakan:
“Satu lagi pada dunia
Ku masih ada dan bersuara Meniti hari menanam rasa Dengan mereka yang buta kata Dengan mereka yang buta peta
Dengan mereka yang dilarang bertanya Bertanya tanah yang hilang
Kenapa hilang kenapa hilang.”
Lebih dari itu, saya menemukan petikan lagu Nangela juga merupakan saripati dari apa yang telah dan akan terus dilakukan aktivis gerakan agraria, yakni:
“Kuharus melangkah dan berkata-kata Kuharus menanam kata-kata”
Petikan lagu Duka Ibunda dari syair Budi Godot, yang merupakan pembuka film Duka Ibunda, Kesaksian Korban Operasi Wanalaga Lodaya 2003 di Kabupaten Garut Jawa Barat dapat dilihat sebagai ibu-ibu dan anak-anak yang menjeritkan rasa sakit mereka akibat tindakan pengusiran petani dari tanah garapan mereka, penangkapan beberapa orang yang dituduh sebagai kriminal, dan pengrusakan rumah-rumah dan tanam- tanaman yang bakal dipanen petani. Alunan lagu itu bersuarakan:
“Duka Ibunda, duka sepanjang zaman Sepasang sayapnya, adalah kasih sayang Merebak di keluasan, dari ufuk ke ufuk Melesat ke cakrawala, cakrawala ketinggian Memerah arak-arakan awan
Menjadi hujan di atas dahan-dahan Ranting, akar, dahan, jiwa pohon kita”
Saya mengalami lagu-lagu Mukti bukan sekedar untuk mendengarkannya. Tapi saya mengalami lagu-lagu itu juga untuk melihat kenyataan-kenyataan pahit hidup rakyat yang melebihi asal mula kenyataan penderitaan rakyat, penindasan, ironi dan romantika hidup yang menginsipirasi Mukti membuat lagu-lagu itu.
Dengar dan lihatlah. Bandung, 14 Juli 2006
No comments:
Post a Comment