Situasi Pemuda/i Desa Jawa Barat dalam Kemelut Masalah Agraria

Noer Fauzi Rachman dan Boy Fidro (2022) merupakan pengembangan lebih lanjut dari naskah Noer Fauzi Rachman (2022) "Sekolah Lapang ini mengajarkan Ilmu Bersarang" dalam Eka Yudha Garmana, Siti Maryam (2022) Tempat Kembali, Ngamumule Lemah Cai, Perjalanan kembali ke Kampung Halaman melalui Sekolah Lapang. Yayasan Tanah Air Semesta bekerja sama dengan Samdhana Institute, Perum Perhutani, Koperasi Klasik Beans, dan Paguyuban Tani Sunda Hejo. Halaman iii-viii. https://www.noerfauzirachman.id/2022/09/

 

Noer Fauzi Rachman*) dan Boy Fidro**)

Pembukaan


Apa yang menyebabkan dunia pertanian dan pedesaan menjadi hanya tempat berangkat dari kebanyakan para pemuda-pemudi desa, dan tidak menjadi tujuan pengabdian mereka? Puisi Rendra Sajak Seonggok Jagung (1996) mengartikulasikan dengan jelas

Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.

Aku bertanya:

Apakah gunanya pendidikan

bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya?

Demikian pula ungkapannya dalam Sajak Pemuda (1996)

Gelap. Pandanganku gelap.

Pendidikan tidak memberi pencerahan.

Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan.

Gelap. Keluh kesahku gelap.

Orang yang hidup di dalam pengangguran.

Apakah yang terjadi di sekitarku ini?


Apa yang sedang terjadi dan mau kemana semua ini?

Sekolah-sekolah formal kebanyakan telah mengajarkan ilmu-ilmu yang membuat pemuda-pemudi desa pergi. Semakin tinggi tingkat sekolah orang-orang desa, semakin kuat pula aspirasi, motif dan dorongan mereka untuk meninggalkan desanya. Desa ditinggalkan pemuda-pemudi yang pandai, untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.  Semua itu akibat aspirasi, motif dan dorongan untuk punya suatu cara dan gaya hidup baru perkotaan modern, yang dianggap sebagai keniscayaan yang harus ditempuh

Pemuda/i yang pergi dari tempat mereka berasal

Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Provinsi Jawa Barat tahun 2017, tingginya pengangguran di Jawa Barat didominasi oleh usia muda. Penelitian yang dilakukan tiga civitas akademika Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Adhitya Wardhana, Bayu Kharisma, dan Yayuf Faridah Ibrahim (2019) menunjukkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengangguran usia muda dilihat dari karakteristik demografi, sosial, ekonomi, dan regional. Hasilnya menunjukkan bahwa pendidikan berpengaruh positif terhadap peluang pengangguran usia muda di Jawa Barat tahun 2017[1]. Penelitian ini mengkonfirmasi banyak penelitian yang yang dirujuknya, termasuk laporan World Bank (2010)[2], bahwa metode dan kurikulum pembelajaran di sekolah sangat akademis, para siswa tidak dikembangkan keterampilan praktis yang relevan dengan pekerjaan dan pengetahuan teknis, serta keterampilan berwirausaha. Tingginya penganggur pada lulusan pendidikan menengah atas dan perguruan tinggi muncul karena ketidakcocokan keterampilan antara kualitas pendidikan dan keterampilan yang diminta oleh pasar tenaga kerja, yang sebagian besar disebabkan oleh rendahnya kualitas pendidikan dan hasil pendidikan yang kurang relevan untuk pasar tenaga kerja.

Masalah Hak Ulayat dalam Kajian dan Kebijakan Pertanahan Nasional



Noer Fauzi Rachman

Perluasan dari sajian Noer Fauzi Rachman dalam International Conference on Land Acquisition, “Global Trend on Compulsory Acquisition of Unregistered and Customary Lands. How to Avoid a Costly Delay while Promoting Fairness for All?”, World Bank East Asia & Pacific (EAP) and the Republic of Indonesia’s Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning, Jakarta 1 December 2022. Rekaman konferensi dapat ditonton selengkapkan International Conference On Land Acquisition on www.youtube.com. Tulisan ini juga adalah perluasan dari naskah penulis “Perjuangan Pengakuan Hak Ulayat”, Kompas 18 Oktober 2022, Perjuangan Pengakuan Hak Ulayat

Tulisan penulis dedikasikan sebagai hadiah ungkapan terima kasih saya untuk Prof. Endriatmo Sutarto, yang telah membantu saya melalui berbagai cara bisa meneliti politik dan kebijakan agraria untuk keperluan disertasi (2007-2009), mengembangkan Lingkar Belajar Bersama Reforma Agraria (LIBBRA) sepanjang beliau memimpin Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) 2006-2012, dan sepanjang saya memimpin Sajogyo Institute (2012-2014).


Abstract

            The article elucidates aspects of past and present issues on the recognition and the denial of Hak Ulayat in colonial dan post-colonial Indonesia. The purpose of this article is (a) to elucidate how a legacy of particular discourse in colonial agrarian politics has contemporary relevance for current land, resources and territorial struggles, as well as government policy, regulation, and programs; and (b) to explicate ontological differences between modern, capitalistic and market oriented property, and customary (b) to explicate ontological differences between modern conception of private property rights  and customary property rights, and (c) to show the way in which the ontological differences lead to the need for a new methodology for valuation of customary lands, territories, and natural resources owned by indigenous communities in Indonesia.