Restu Achmaliadi dan Noer Fauzi Rachman
Pengantar buku Claudia Francesca D’Andrea (2013) Kopi, Adat, dan Modal: Teritorialisasi dan Identitas Adat di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Bogor: Tanah Air Beta, Sajogyo Institute, Yayasan Tanah Merdeka.
Perjuangan
orang Katu untuk mendapatkan kembali hak-haknya atas tanah pasca reformasi
1998 sangatlah terkenal di kalangan para aktivis gerakan agraria, lingkungan
hidup, dan peneliti. Perjuangan orang Katu untuk bisa tetap
tinggal dan hidup di tanah adatnya menjadi inspirasi berbagai pihak yang
memperjuangkan hak-hak agraria rakyat dan gerakan lingkungan hidup yang
menghargai tata cara tradisional dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Surat
Pernyataan Kepala Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) No.
35/VI-BTNLL.1/1999 pada garis besarnya mengakui hak adat Orang Katu. Taman
Nasional membolehkan Orang Katu tinggal pada areal seluas 1.178 hektar dan
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengelolaan kawasan konservasi
seluas 229.000 hektar itu.
Buku “Kopi, Adat, dan Modal: Teritorialisasi dan Identitas Adat di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah” berasal dari disertasi doktoral dari Claudia Francesca D’Andrea, sarjana ekologi politik dari University of California, Berkeley (USA). [1]
Buku ini secara umum menceritakan tentang dinamika pengakuan keberadaan Orang Katu dalam BTNLL, serta hubungannya dengan berbagai wacana nasional-internasional tentang identitas adat, konservasi modern, dan teritorialisasi. Secara umum buku ini sangat menarik, khususnya untuk para aktivis agraria Indonesia; lebih-lebih yang bekerja di Sulawesi Tengah perlu membacanya dengan seksama. Dalam resensi buku ini kami hanya menyoroti dan memberikan penekanan pada butir-butir tertentu dalam buku ini yang kami anggap sangat menarik, termasuk di dalamnya memberi makna yang lebih luas terhadap butir-butir itu.
Momentum Reformasi dan Euforia Masyarakat Adat
Buku
ini mengulas tentang bagaimana momentum reformasi 1998 sebagai momentum yang
mendukung menguatnya isu masyarakat adat di ranah publik
Indonesia. Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) bisa
terselenggara dengan gegap gempita pada Maret 1999 merupakan buah momentum
reformasi. Keberanian Kepala BTNLL – Ir. Banjar Yulianto Laban,
MM. – mengeluarkan Surat Pernyataan No. 35/VI-BTNLL.1/1999 tentang pengakuan
keberadaan Orang Katu di dalam BTNLL juga merupakan buah dari momentum
reformasi dan menguatnya wacara masyarakat adat di kancah nasional.
Akan
tetapi terminologi masyarakat adat, bagaimanapun, merupakan terminologi yang
masih terus diperdebatkan oleh para ahli, khususnya para ahli
antropologi. Di satu pihak ada ahli yang melihat berbagai
keterbatasan apabila menggunakan terminologi masyarakat adat digunakan untuk
mendukung perjuangan para petani marjinal. Ada juga ahli yang
tetap melihat ketidakcocokan terminologi masyarakat adat untuk konteks
Indonesia. Selain itu cukup banyak pihak yang mempercayai,
khususnya para aktivis pendukungnya, bahwa masyarakat adat yang penuh
kearifan merupakan kunci keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk
hutan, yang selama ini menjadi gantungan hidupnya.
Kutipan
pendapat E.P. Thompson (1993) tentang adat, dalam pembuka Bab 2 buku ini,
sangatlah menarik:
“Memang, sebagian ’adat’ adalah penemuan baru, dan benar-benar merupakan klaim atas ’hak’ yang baru... adat merupakan retorika legitimasi bagi hampir semua pengguna, praktik, atau hak yang dituntut. Karenanya, adat yang tidak terkodifikasi –atau bahkan yang terkodifikasi—senantiasa tidak pasti... Sebab itu, jauh dari kepastian yang tersirat pada kata ”tradisi”, adat merupakan kancah perubahan dan pertarungan, sebuah arena di mana masing-masing kepentingan yang berseteru membuat klaim-klaim yang berbenturan.”
Jadi, adat adalah bukan sesuatu yang beku, stereotype dan pasti, akan tetapi selalu penuh dengan klaim-klaim baru yang berbenturan. Ia adalah suatu bentuk retorika legitimasi, yakni retorika dari kaum yang tertindas dalam perjuangan agraria mereka!
Buku
ini dengan rinci dan baik sekali menggambarkan bagaimana Orang Katu secara
strategis memanfaatkan isu “masyarakat adat” untuk mendukung perjuangan
mendapatkan pengakuan kembali hak-haknya atas tanah. Apa yang
dilakukan Orang Katu dalam memberi makna kata “masyarakat adat” ternyata
sangat berbeda dengan berbagai terminologi masyarakat adat, atau berbeda
dengan makna masyarakat adat yang selama ini dengan klise dipahami oleh
publik, yakni berupa tata nilai feodal, atau kental dengan kekunoan, atau
keterbelakangan; bahkan juga berbeda dengan pemahaman para ahli antropologi,
atau bahkan berbeda dengan idealitas masyarakat adat yang sering diimpikan
oleh para aktivis.
Bagi
para petani seperti Orang Katu, istilah masyarakat adat telah diisi dengan makna baru serta
kebanggaan dan kepentingan simbolik baru. Meskipun ada upaya kuat negara
untuk mendepolitisasi dan melebih-lebihkan makna adat, proses-proses baru
ini membantu para petani Katu menangkap dan menghidupkan istilah ini dalam
cara-cara baru. Para petani Katu memanfaatkan identitas masyarakat adat untuk
memperjuangkan haknya atas tanah, baik haknya sebagai masyarakat adat yang
merupakan bagian dari warganegara Indonesia maupun secara aktif menandingi
paham konservasi modern yang akan menghilangkan hak-hak dasar Orang Katu
atas tanah adatnya.
Pertarungan Wacana dan Teritorialisasi
Teritorialisasi
umumnya didefinisikan sebagai proses di mana negara modern mendefinisikan dan menerapkan otoritas, tidak hanya atas perbatasan nasional, melainkan juga atas orang dan sumber daya di dalam wilayah nasional (Vandergeest dan Peluso 1995). Pertarungan wacana dan proses teritorialisasi selalu
berlangsung pada suatu bentang alam di mana berbagai kepentingan hadir dan
menghadirkan diri untuk selalu bertarung.
Katu,
sebuah desa kecil di Sulawesi Tengah, bisa menjadi cermin pertarungan wacana
dan praktik teritorialisasi yang terus berlangsung. Pertengahan
abad XIX misionaris Kristen mulai memasuki pegunungan tengah
Sulawesi. Pemerintah kolonial Belanda, memang, mengkonstruksikan
“penakhlukan” daerah pegunungan Sulawesi dengan pengerahan tenaga-tenaga
misionaris; dan tidak menggunakan kekuatan militer sebagaimana di Jawa atau
Sumatera. Para misionaris inilah yang mulai mengkonstruksikan
pencatatan dan penggolongan penduduk berdasarkan bahasa dan
etnisitas. Sementara itu daerah pesisir Sulawesi tetap dibiarkan
di bawah pengaruh Islam, sebagaimana telah berlangsung sebelumnya.
Sementara
itu wacana tentang adanya hukum adat yang berlaku di nusantara didengungkan
oleh Van Vollenhoven dan para pendukungnya. Van Vollenhoven
menggolong-golongkan nusantara menjadi berbagai kelompok hukum
adat. Konsekwensinya adalah bahwa suatu wilayah hukum adat
dibayangkan sebagai suatu wilayah yang homogen di mana suatu hukum adat bisa
berlaku dengan ideal. Wacana pro dan kontra terhadap hukum adat
terus berlangsung. Berbagai penelitian yang lebih rinci tentang
etnisitas dan bahasa juga terus berlangsung di nusantara. Wacana
ini turut menjadi bagian teritorialisasi ruang dengan berbagai makna dan
akibat yang nyata di lapangan.
Pemerintah
kolonial Belanda, secara formal, memasuki pegunungan tengah Sulawesi sekitar
permulaan abad XX. Beberapa langkah teritorialisasi pemerintah
kolonial ini antara lain memindahkan berbagai kelompok penduduk ke
tempat-tempat yang lebih mudah dikontrol – Orang Katu juga menjadi korban
relokasi awal kebijakan kolonial ini --, menarik pajak untuk komoditi
tertentu, memetakan hutan damar yang menjadi sumber pajak kolonial.
Proses
teritorialisasi versi negara ini — awalnya oleh pemerintah kolonial Belanda
seperti terperi di atas -- terus berlangsung setelah Kemerdekaan
(1945). Wilayah tengah Sulawesi, termasuk Katu di dalamnya,
dikelompok-kelompokkan menjadi berbagai tipe kawasan hutan negara, tanpa
mempedulikan keberadaan manusia dan pemukiman yang ada di
dalamnya. Kelompok-kelompok pemukiman diadministrasikan menjadi
bentuk-bentuk desa, tanpa mempedulikan kelembagaan lokal yang telah ada dan
berkembang di dalam masyarakat. Masih banyak lagi jenis
tindakan-tindakan teritorialisasi yang pada intinya adalah kontrol negara
terhadap penduduk dan sumberdaya.
Sejak
diresmikannya Taman Nasional Yellow Stone (1873) di Amerika Serikat, ilmu
konservasi modern terus berkembang. Secara umum tujuan dari
konservasi adalah menyediakan suatu bentang alam tertentu yang digunakan
untuk melestarikan hewan-hewan dan atau aneka tumbuhan dan atau ekosistem
yang rentan dan dianggap akan punah. Paham konservasi, sangat
jelas, tidak menyertakan manusia di dalamnya. Sulawesi bagian
tengah, khususnya Katu, tidak lepas dari pengaruh paham konservasi modern,
baik nasional maupun internasional. Penetapan Taman Nasional Lore
Lindu (BTNLL) pada 1993 tidak lepas dari pengaruh kuat konsep dan terapan
ilmu konservasi modern. Pengukuhan BTNLL, yang diikuti oleh
rencana program relokasi Orang Katu dengan menggunakan dana Asia Development
Bank (ADB) pada hakikatnya merupakan kerjasama antara negara dan agen-agen
konservasi internasional.
Paham
dan konsep konservasi modern merupakan bentuk teritorialisasi tersendiri,
yang harus diakui, memerlukan suatu teritori “yang dianggap kosong” untuk
keutamaan kepentingan kelestarian hewan dan atau tumbuhan tertentu; dan
menomorduakan kepentingan kelompok manusia, kalaupun ada, dalam
suatu rencana teritori konservasi. Cukup banyak kelompok-kelompok
manusia, termasuk di Indonesia, yang menjadi “korban” paham dan konsep
teritorialisasi konservasi modern. Peta sebagai produk
teritorialisasi paham konservasi modern memiliki akibat-akibat nyata di
lapangan.
Persepsi Orang Katu
Bagaimana Orang Katu menghadapi aneka konsep dan praktik teritorialisasi
yang menimpa wilayah hidupnya ? Ternyata Orang Katu bukan
kelompok masyarakat yang pasif dan menerima begitu saja ragam efek
teritorialisasi yang terjadi di wilayah hidupnya. Orang Katu
aktif melawan dan memberikan argumen logis terhadap aneka teritorialisasi
ini, khususnya aplikasi teritorialisasi negara dan konservasi
modern.
Orang
Katu, kemudian, membuat teritorialisasi dan klaim atas wilayah
hidupnya. Dengan memanfaatkan momentum merebaknya tuntutan
masyarakat adat pasca reformasi, Orang Katu mengidentifikasikan diri sebagai
masyarakat adat dan berusaha mengkonstruksikan kembali gambaran klaim
wilayah hidupnya; meskipun di internal Orang Katu tidak se-homogen apa yang
dibayangkan oleh para aktivis dan peneliti antropologi. Dibantu
oleh para aktivis agraria, Orang Katu menggambarkan peta teritorialisasi
wilayah hidupnya dan menjadikannya sumber klaim. Peta ini
dilengkapi dengan dokumentasi konstruksi sejarah Orang Katu dan dokumentasi
tata cara pemanfaatan sumberdaya alam versi Orang Katu.
Jadi,
Orang Katu membuat teritorialisasinya sendiri; mengcounter teritorialisasi
versi lain, baik versi negara maupun agen-agen konservasi internasional,
yang dikenakan pada wilayah hidupnya. Teritorialisasi versi Orang
Katu inilah yang digunakan sebagai argumen untuk menolak rencana relokasi
pemukiman Orang Katu yang akan dibiayai oleh ADB, yang sejatinya merupakan
kompromi teritorialisasi versi negara dan versi agen konservasi
internasional. Orang Katu, sendiri, aktif mendebat dan menolak
rencana pemerintah dan ADB ini.
Keaktifan
Orang Katu berargumen dan menolak relokasi yang “dikawal” negara dan
agen-agen konservasi internasional bukan hanya merupakan wacana lokal dan
berimplikasi di wilayah Katu saja. Gaung dari argumentasi Orang
Katu ini turut mewarnai wacana nasional, bahkan internasional, tentang
konservasi, masyarakat adat, dan argumen teritorialisasi “baru” ala
masyarakat adat. Apa yang dilakukan oleh Orang Katu menjadi
inspirasi baru banyak pihak dalam berhubungan dengan kawasan konservasi,
baik yang menentang maupun yang berkompromi dengan paham konservasi
modern.
Orang
Katu sudah sejak lama digolongkan sebagai masyarakat yang marjinal; lokasi
hidupnya terpencil, kampungnya dianggap tanah negara, oleh tetangga-tetangga
kampungnya dianggap terbelakang, telah beberapa kali dipaksa
relokasi. Akan tetapi apa yang dilakukan oleh Orang Katu sama
sekali berbeda dengan berbagai stereotypetentang kelompok
masyarakat marjinal; lemah, rentan terhadap ancaman pihak lain, perlu
“ditolong”, harus diberdayakan, dll. Orang Katu ternyata mampu
membuat teritorialisasi alternatif tersendiri, menandingi berbagai narasi
teritorialisasi yang lain. Orang Katu mampu berargumen dengan
apik melawan pihak-pihak yang meremehkan teritorialisasi alternatif
itu. Orang Katu, dengan dukungan sedikit, mampu melawan dan
menggagalkan program relokasi paksa atas Desa Katu, yang sejatinya merupakan
dominasi teritorialisasi negara dan paham konservasi modern.
Apa
yang dilakukan oleh Orang Katu, berargumen mempertahankan hak-haknya atas
tanah, merupakan proses advokasi yang sangat kuat. Proses
dokumentasi yang kuat dan detail (peta partisipatori, dokumentasi sejarah,
dokumentasi pemanfaatan sumberdaya, dokumentasi inventory sumberdaya)
dijadikan alas untuk proses advokasi. Kasus Katu membuktikan
bahwa dokumentasi yang kuat merupakan alat yang ampuh dalam melakukan proses
advokasi. Kasus Katu juga merupakan contoh proses advokasi kuat
yang menunjukkan sinergi, baik antara para pendukung dan Orang Katu
sendiri. Kasus Katu juga menunjukkan bahwa advokasi yang kuat
memerlukan keaktifan dari kelompok masyarakat sendiri. Advokasi
bukan hanya sekedar blaming kasus yang dilakukan para
aktivis, yang seringkali cuma wara-wiri tidak keruan. Advokasi
yang serius memerlukan keaktifan dan peran utama kelompok masyarakat
sendiri; para aktivis hanya sekedar mendukung.
Revitalisasi dan Adaptasi Nilai-nilai Adat
Telah
diperikan di atas bahwa Orang Katu memanfaatkan momentum meggemanya wacana
masyarakat adat untuk revitalisasi dirinya sendiri, sekaligus menjadi
pijakan dalam berargumen dan menolak upaya-upaya relokasi paksa Orang Katu
dari wilayah hidupnya. Petani-petani Katu mampu meletakkan batas-batas baru, tidak hanya sekitar
teritori mereka, tapi juga seputar identitas adat dan rasa memiliki tempat
tersebut. Inilah batas-batas di mana sesuatu yang lain mulai terkuak dan menguat. Rasa diri menjadi “masyarakat adat” menjadikan Orang Katu memiliki
kesadaran kolektif yang sangat kuat, sangat berbeda dengan rasa menjadi
“petani” yang telah menjadi profesinya sehari-hari.
Masyarakat
adat, secara klise, sering dipersepsikan atau dibayangkan sebagai masyarakat
yang statis dianggap agak kuno, memiliki pranata yang cenderung feodal,
merupakan kelompok yang khas, hidup di sekitar hutan yang agak terpencil,
rentan terhadap program pembangunan, dan seterusnya. Atau, di
kalangan aktivis, masyarakat adat diromantiskan sebagai sangat tergantung
dan arif dengan lingkungan sekitarnya, memiliki wilayah adat yang pasti,
memiliki asal-usul leluhur yang jelas, memiliki
sistem governance yang sudah teruji turun-temurun, mampu
mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan, dan
lain-lain. Apa yang terjadi dan dialami oleh Orang Katu agak
berbeda dengan berbagai gambaran itu.
Orang
Katu menggunakan term masyarakat adat untuk merevitalisasi
diri dan mengkonstruksikan kembali klaim-klaim mereka atas ruang di
sekitarnya. Petani-petani Katu membangun klaim-klaim identitas adat dalam berbagai
keterlibatan strategis di mana mereka menggunakan suatu adat yang telah diperbaharui secara konseptual. Petani-petani ini menggunakan identitas kultural
yang direka kembali untuk mengembangkan kesempatan-kesempatan baru dalam
arena wacana teritorialisasi dan ekonomi politik. Ini adalah hal yang tidak lumrah karena hal ini
bertentangan dengan asumsi-asumsi tentang adat yang diasosiasikan dengan
praktek-praktek pra-kapitalis; menunjukkan gagalnya mitos-mitos usang tentang adat.
Masyarakat
adat sering diasumsikan mempraktikkan model ekonomi pra-kapitalis; sangat
sedikit berhubungan dengan pasar, belum ada stratifikasi kelas dan kerja
yang jelas, dan lain-lain. Apa yang terjadi di Katu sungguh
berbeda. Bukannya menurunkan ritme ekonomi – setelah “pengakuan”
keberadaan Katu 1999 --, para petani Katu bahkan meningkatkan
kegiatan-kegiatan ekonomi pertaniannya. Penanaman padi sawah
digalakkan. Komoditi coklat diperkenalkan dan dibudidayakan
secara intensif. Komoditi kopi yang pada mulanya hanya ditanam
sekedarnya, kemudian, diintensifkan budidayanya. Dengan lebih
terkontrol, pemanfaatan rotan dilakukan dengan lebih
intensif. Pertimbangan utama intensifikasi kopi dan coklat adalah
bahwa kopi dan coklat merupakan komoditi yang strategis di
pasar. Para petani Katu berargumen bahwa mereka selama ini sering
diusir dari wilayah hidupnya dan dianggap terbelakang oleh pihak lain
dikarenakan kemiskinan mereka. Karena itu penguatan ekonomi
diperlukan sebagai bagian memperkuat posisi tawar mereka sebagai masyarakat
adat.
Adat
juga diasumsikan memiliki pranata atau aturan-aturan yang
baku. Bahkan di tempat tertentu ada upaya untuk melakukan
kodifikasi hukum adat. Di Katu, perihal aturan dan pranata,
berlangsung berbeda. Justru, dengan “pengakuan” atas Katu banyak
hal-hal baru yang diatur. Perluasan usaha pertanian – padi sawah,
coklat, kopi, rotan – juga merupakan bagian aturan yang disepakati
bersama. Aturan-aturan tentang penggembalaan ternak
diperbarui. Aturan-aturan tentang pembagian kerja juga berubah
dengan dinamis. Bahkan, Orang Katu menetapkan areal tertentu
sebagai “areal konservasi ala Katu” dengan berbagai aturan yang mengikat
Orang Katu terhadap areal ini. Tentu saja, model konservasi ala
Katu ini jauh berbeda dengan teritorialisasi konservasi modern yang telah
digambarkan di depan.
Model
pemanfaatan sumberdaya merupakan bagian pengetahuan Orang Katu yang
didokumentasikan dan kemudian menjadi bahan argumen teritorialisasi ala
Katu. Salah satu bagian dalam model pemanfaatan sumberdaya ini
meliputi pola perladangan dan pertanian di Katu. Di dalam pola
perladangan ini, secara implisit, termaktub aturan tenurial Orang
Katu. Akan tetapi, berdasarkan wawancara penulis buku ini dengan
penduduk Katu, terdapat variasi persepsi terhadap pengaturan tentang hak dan
tata cara pemanfaatan tanah. Jadi, dalam aturan-aturan “adat”
yang sangat penting – tentang tanah – pun bukan merupakan sesuatu yang
pasti; terdapat dinamika tersendiri. Masih soal tanah, Orang Katu
sangat taat membayar pajak tanah. Mereka berargumen bahwa pajak
merupakan salah satu cara memperkuat klaim hak atas tanah.
Upaya-upaya
Orang Katu untuk merevitalisasi diri, bahkan dengan membuat berbagai aturan
baru, merupakan sebuah proses. Apa yang terjadi di Katu, saat
ini, merupakan permulaan proses panjang yang masih akan terus berlangsung.
Pranata yang sudah ada, bahkan juga aturan-aturan baru, yang telah
disepakati itu tidak mudah begitu saja mengikat seluruh petani di
Katu. Terdapat berbagai perjalanan dinamis menegakkan
peraturan-peraturan itu. Aturan untuk mengikat dan mengandangkan
kerbau milik, misalnya, mengalami suatu proses dan kejadian-kejadian agar
benar-benar menjadi pegangan para petani Katu. Praktik
pengumpulan rotan juga mengalami proses yang dinamis untuk kemudian menjadi
kesepakatan-kesepakatan
baru.
Sangatlah
jelas bahwa “pengakuan” Orang Katu sebagai masyarakat adat yang menjadi
bagian BTNLL hanya merupakan sebuah permulaan. Orang Katu
mewarnai pengakuan ini dengan merevitalisasi berbagai aspek, bahkan mereka
membuat hal-hal baru yang diargumentasikan sebagai bagian untuk menguatkan
identitas sebagai masyarakat adat. Para aktivis idealis yang
meromantiskan bahwa masyarakat adat masih menerapkan ekonomi pra-kapitalis,
memiliki sistem governance yang teruji, memiliki wilayah
adat yang jelas, memiliki pranata adat yang dengan teguh dijalankan, dan
lain-lain, haruslah berlapang dada dan mengakui realitas yang dinamis dari
apa yang disebut masyarakat adat itu. Para petani Katu, yang
menyatakan diri sebagai masyarakat adat, mempunyai tata cara, praktik, dan
interpretasi tersendiri terhadap apa itu yang disebut “masyarakat adat.”
Masyarakat
adat Katu melakukan adaptasi dan proses yang dinamis terhadap apa itu yang
disebut ‘adat’. Orientasi ekonomi, tata cara bertani, proses
kelembagaan, bahkan asal usul penduduknya pun, melewati proses yang dinamis
dan ujian yang berulang untuk benar-benar menjadi acuan pranata di
Katu. Akan tetapi semua proses dinamis ini tetap dengan rasa yang
sama bahwa mereka adalah Orang Katu.
Penutup
Meskipun
sangat banyak pernik detail isi buku ini yang bisa menjadi kekhususan dari
perjuangan Orang Katu, kami melihat ada empat hal sangat menarik dari uraian
D’Andrea ini yang dapat kami tarik sebagai sumber pelajaran.
Pertama,
pertarungan wacana narasi – lokal, nasional, internasional --,
teritorialisasi, dan politik selalu terjadi dalam suatu bentang alam; dalam
hal ini Katu dan sekitarnya sebagai contoh kasus. Perta-rungan
ini pada hakikatnya memperebutkan sumberdaya dan ruang sosial pada bentang
alam itu.
Kedua,
Orang Katu tidaklah pasif dan menerima begitu saja pertarungan wacana dan
teritorialisasi yang tentunya akan menimbulkan akibat-kibat nyata, baik pada
sumberdaya maupun ruang sosial di sekitarnya. Orang Katu memilih
bertarung aktif; bersiasat dengan “adat”, membuat teritorialisasi tandingan,
serta menolak teritorialisasi lain dan akibat-akibat yang akan kemudian
ditimbulkan. Sikap Orang Katu sungguh berbeda dengan asumsi
kondisi masyarakat adat yang dicitrakan marjinal, rentan, terpinggirkan,
perlu “dibantu”, dan lain-lain.
Ketiga,
“pengakuan” bahwa Orang Katu merupakan “masyarakat adat” yang menjadi bagian
tak terpisahkan dari Balai Taman Nasional Lore Lindu merupakan awal dari
proses dinamis dan peneguhan ‘adat’ di Katu. Orang Katu terus
melakukan revitalisasi diri pada berbagai aspek kehidupan, membuat orientasi
baru, membuat aturan-aturan baru, serta secara dinamis menguji berbagai
proses peneguhan berbagai tata nilai yang disepakati.
Keempat,
kasus Katu merupakan contoh proses advokasi yang kuat. Orang
Katu, didukung oleh para aktivis agraria, bersinergi aktif memperjuangkan
teritorialisasi ala Orang Katu. Ini merupakan contoh yang tepat
tentang pentingnya dokumentasi yang baik dan lengkap (peta partisipatif,
konstruksi adat Orang Katu, model pengelolaan sumberdaya alam, inventory
sumberdaya alam) dalam proses advokasi. Proses advokasi Katu juga
memanfaatkan sarana dan media yang digarap dengan serius: poster, terbitan
kertas posisi, seminar, bahkan demonstrasi.
Secara
keseluruhan karya D’Andrea ini bisa menjadi contoh bagi kerja analitik atas
suatu gerakan sosial dilakukan. Alat-alat analitiknya sungguh bekerja-keras,
tekun dan sungguh-sungguh untuk menjelaskan teka-teki yang difikirkannya.
Beliau, dengan rinci, mengamati kejadian-kejadian di Katu, dan kemudian
dengan jernih menghubungkannya dengan teori atau wacana
nasional-internasional. Buku ini patut segera diterbitkan
sehingga bisa dibaca oleh banyak pihak -- akademisi, aktivis agraria,
aktivis lingkungan, pengambil kebijakan, atau bahkan masyarakat luas – yang
ingin memahami suatu contoh pertarungan teori, wacana, politik,
bahkan realitas sehari-hari, yang bercermin pada kejadian-kejadian yang
terjadi pada suatu lokus bentang alam khas; yakni
Katu.
Satu
pertanyaan pokok, apakah kasus keberhasilan perjuangan Orang Katu
mempertahankan tanah adatnya ini adalah suatu keistimewaan yang tidak dapat
diulang di tempat lain oleh orang lain dengan perjuangan yang lain pula?
Atau, bagaimana membuat pelajaran Orang Katu menginspirasi perjuangan
agraria lainnya? Pertanyaan-pertanyaan ini sangat menarik untuk
didiskusikan.
Daftar Pustaka
D’Andrea, Claudia Francesca. Akan terbit. “Kopi, Adat, dan Modal: Teritorialisasi dan Identitas Adat di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah”. Terjemahan “Cofee, Custom, and Capital: Territorialization
and Adat Identity in Central Sulawesi’s Lore Lindu National
Park. Dissertation on University of California Berkeley, Fall 2003. Budi
Prawitasari (Penerjemah), Noer Fauzi Rachman (penyunting bahasa).
Yogyakarta: Tanah Air Beta.
Thompson, Edward. P. (1993). Customs in Common: Studies in Traditional Popular Culture. New York, The New Press.
Vandergeest, Peter dan Nancy L. Peluso. 1995. "Territorialization and State
Power in Thailand." Theory and Society24(3): 385-426.
[1] D’Andrea telah mengambil prakarsa untuk menerjemahkan buku
ini, dengan Budi Prawitasari sebagai penerjemah, dan Noer
Fauzi Rachman sebagai editornya. Naskah versi bahasa Indonesianya siap
untuk diterbitkan.
No comments:
Post a Comment