Belajar Menghadapi Masalah Dengan Metoda Live In

-- Suatu Panduan Metodologi  




Noer Fauzi Rachman 

 

 

Datangilah rakyat;

Hiduplah bersama mereka;

Belajarlah dari mereka;

Cintailah mereka;

Mulailah dengan yang mereka tahu;

Bangunlah dengan apa yang mereka miliki;

Ketahuilah pemimpin yang terbaik adalah ketika pekerjaan selesai dan tugas dirampungkan, rakyat berkata, “Kami sendirilah yang mengerjakannya”.

Lao Tsu[1]  

 

  

Pendahuluan 

 

Apakah yang menyebabkan kampung-kampung  di pedesaan tidak menjadi tujuan pengabdian para pemuda-pemudi sekarang ini, dan sekadar menjadi tempat berangkat? Salah satu jawabannya, karena sekolah telah mengajarkan ilmu-ilmu yang membuat pemuda-pemudinya pergi. Semakin tinggi tingkat sekolah orang-orang desa, semakin kuat pula aspirasi, motif, dan dorongan mereka untuk meninggalkan desanya. Desa ditinggalkan pemuda-pemudi yang pandai untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi.  Semua itu akibat aspirasi, motif, dan dorongan untuk memperoleh cara dan gaya hidup baru perkotaan modern, yang dianggap sebagai keniscayaan yang harus ditempuh. Pemuda-pemudi desa sekarang ini telah dan sedang menganut paham bahwa tenaga kerja manusia adalah komoditas, barang yang diperdagangkan. Kota menjadi daya tarik, magnet, yang luar biasa. Badan mereka di desa, tapi imajinasinya  hidup di kota-kota. Lulusan sekolah menjadi tenaga kerja di kota (urban workers). Mereka berpikir dan bertindak yang berbeda secara total dengan orang tua mereka. 

Pada gilirannya, pemuda-pemudi inilah yang semakin memenuhi kota-kota kabupaten, provinsi, dan metropolitan. Migrasi ke kota-kota dan pertumbuhan kota semakin deras oleh orang-orang dari desa. Mereka dari desa, yang terdidik dan berhasil menjadi kelas menengah di kota-kota, tidak kembali ke desa. Mereka menjadi bagian dari penduduk konsumtif, dengan membeli tanah dan/atau rumah untuk tinggal di pinggiran kota, serta motor dan mobil baru untuk transportasi, yang pada gilirannya membuat infrastruktur jalan di kota-kota provinsi dan metropolitan tidak lagi memadai. Di kota-kota metropolitan, terjadi macet di mana-mana setiap pagi pada jam pergi menuju pusat kota, dan sore jam pulang menuju pinggiran kota.

Kesempatan kerja di sektor pertanian semakin tidak menarik sempit dari tahun ke tahun. Minat bekerja pada bidang pertanian juga semakin menipis. Banyak sekali lapisan orang miskin di pedesaan, yang mayoritas tidak bertanah dan tidak bisa menikmati sekolah tinggi, harus mengambil risiko dengan memilih pergi ke luar desa untuk mendapatkan pekerjaan melalui kerja migran di kota-kota provinsi, metropolitan, hingga ke luar negeri. Sebagian besar rakyat pekerja migran ini berhasil memperoleh upah kerja yang lebih baik, mengirimkan pendapatannya ke desa, dan kemudian menjadi daya tarik bagi pemuda-pemudi desa generasi berikutnya mengikuti jejak langkah mereka. Anehnya, pengalaman pahit hidup kerja sebagai migran, mulai kondisi kerja yang tidak layak, penipuan, diskriminasi hingga kekerasan, umumnya dipersepsi sebagai nasib buruk, namun tidak mampu mencegah rombongan lain untuk pergi. 

Selanjutnya, bagaimanakah nasib alam agraris dan kebudayaan rakyat di desa-desa, yang mengandalkan produksi makanannya dari kegiatan pertanian, wanatani, budidaya perikanan, kelautan, peternakan, dan lainnya, dan telah ditinggal oleh banyak pemuda/i menjadi para pencari kerja ke kota-kota? 

Sementara itu, kita juga menyaksikan tanah, wilayah, dan sumber daya alam di desa-desa diincar sebagai kapling-kapling perusahaan-perusahaan yang bergerak di usaha perkebunan, kehutanan hingga pertambangan, dengan memperoleh izin-izin yang diberikan oleh pemerintah pusat dan daerah. Kita juga menyaksikan penyingkiran dan peminggiran rakyat agraris (petani, nelayan, dan masyarakat adat yang mengumpulkan hasil hutan, laut, dan sebagainya) dari tanah dan ruang hidupnya. Perusahaan penghasil komoditas global itu membentuk sirkuit rantai komoditas global, mulai dari saat diproduksi hingga sampai di tangan konsumen, yang diperantarai oleh ragam macam proses dengan motif efisiensi mencari keuntungan. Kepemilikan dan tata guna tanah di kampung, ladang, sawah, hutan, sungai, dan pantai telah, sedang, dan akan terus diubah oleh industri pengerukan (batu bara, timah, nikel, pasir besi, bauksit, emas, semen, marmer, dsb.), industri pulp and paper, industri perkebunan (kelapa sawit, dll.), industri perumahan dan turisme, industri manufaktur, dan lain sebagainya. Hasil dari semua itu, mereka menciptakan orang-orang yang lepas dari ikatan pada tanah airnya. Mereka butuh tanah dan alamnya, dan hanya membutuhkan sedikit rakyat penghuninya, yakni kelompok-kelompok pekerja yang dengan terpaksa atau rela siap sedia didisiplinkan untuk menjadi tenaga kerja, penggerak sistem produksi kapitalis itu. 

Sebagai tandingan, cara belajar utama yang dianjurkan naskah ini adalah terjun dan belajar bersama rakyat di tanah airnya, di kampung-kampung pedesaan. Dalam bahasa Inggris, istilah untuk metode ini adalah live in. Secara generik, live in berarti to live at the place where you work or study” (hidup di tempat kamu bekerja atau belajar)         

Judul bab per bab naskah ini diambil dari satu puisi Lǎo Zǐ di atas. Setelah bab Pendahuluan ini, penulis akan menunjukan cara belajar menghadapi masalah berdialog langsung dengan rakyat, dengan metoda live in. Lalu berurutan sejumlah bab dimulai dengan uraian bagaimana memulai live in, lalu, cara belajar dari rakyat dengan mencintainya, membangun dari apa yang diketahui rakyat, dan membangun dari apa yang mereka miliki. 

Naskah ini dimaksudkan untuk menjadi bahan bacaan rujukan bagi setiap orang yang berencana melatih sejumlah orang terjun, dalam periode waktu tertentu, untuk belajar memahami situasi rakyat dalam kampung-kampung, dengan cara tinggal bersama dan terlibat dalam kehidupan orang-orang kampung itu sendiri. Naskah ini bisa juga dipakai sebagai pemandu cara-cara yang perlu ditempuh para pelajar, yang bertekad terjun langsung ke kampung-kampung pedesaan. Para pelajar diberi bekal cara-cara untuk datang, tinggal, dan bekerja bersama keluarga rakyat di kampung dalam rangka memahami situasi hidup mereka. 


1. Pendekatan Belajar Menghadapi Masalah

Paulo Freire[2] mengusulkan pendekatan belajar menghadapmasalah. Para guru, yang berpahamkan pemerdekaan manusia, harus mempergunakan kewenangannya agar para pelajar dapat dengan bebas mengubah hubungan-hubungan penindasan, yang mereka sadari sebagai hubungan yang mengerangkeng. Karena itu pendidikan, pada hakekatnya, adalah upaya membangkitkan kesadaran kritis dan prasyarat dari proses pembebasan (humanisasi). Model belajar hadapmasalah mengandalkan dialog dalam praktiknya. Posisi guru mengajar dalam model ini dapat menjadi pembelajar. Sebaliknya, murid pembelajar juga dapat menjadi pengajar. Mereka bertanggung jawab terhadap proses perkembangan masing-masing secara bersama-sama.  

Guru dan murid akan memandang dunia bukan sebagai realitas yang statis, tetapi realitas yang berada dalam gerak perubahan. Jadi, bentuk-bentuk penyelenggaraan pendidikan berada dalam proses perubahan. Pendidikan hadap-masalah menegaskan manusia sebagai mahluk yang berada dalam proses “menjadi”, sebagai sesuatu yang tak pernah selesai, sebagai makhluk yang tidak pernah sempurna di dalam dan dengan realitas yang juga tidak pernah selesai. Karena itu pendidikan selalu diperbaharui dalam praksisnya. Model belajar hadap-masalah membentuk sikap yang revolusioner, menjadi kekuatan pengubah situasi masa kini dan masa lalu, untuk masa depan yang berbeda dan lebih baik. Pendidikan hadap-masalah adalah satu praktik pemerdekaan manusia, bahwa siapapun yang menjadi korban penindasan harus berjuang bagi kemerdekaan dirinya dari belenggu penindasan dalam berbagai bentuknya.  

Penyadaran (Concientization, Concientizacaoadalah proses mengembangkan kesadaran kritis terhadap kenyataan dan pengalaman sekarang melalui aksi dan refleksi.  Dalam Pendidikan Hadap Masalah. Guru dan Murid sama-sama menghadapi masalah penindasan. Penyadaran adalah proses bersama. Guru bukan sekadar mendidik melulu, tapi juga dididik.

Bagi Freire, dialog yang sejati akan menghasilkan refleksi mengenai penindasan sebagai sebab dari situasi mereka. Lalu, kesadaran itu menggerakkan perubahan perilaku (aksi) yang nyata, yang kemudian direfleksikan dalam hubungan dengan struktur-struktur penindasan, sebelum melanjutkannya dengan aksi berikutnya. Proses aksi-refleksi inilah yang diberi nama sebagai Praksis. Praksis ini merupakan perjuangan terus-menerus kaum tertindas menjadi manusia baru yang merdeka

Paulo Freire memperhadapkan cara belajar hadap-masalah ini dengan cara belajar “gaya bank”. Sekolah-sekolah yang menggunakan “gaya bank” akan mencetak pelajarnya sebagaimana mau si guru dan sekolah. Murid dianggap sebagai tabungan, pengetahuan sebagai investasi, dan murid mengikuti dan menyesuaikan apa yang disampaikan guru. Dalam cara belajar Gaya Bank, pelajar adalah objek investasi. Ilmu pengetahuan ditanamkan agar kelak hasilnya berlipat ganda. Investornya adalah para guru yang mewakili para penguasa melanggengkan dominasi mereka. menunjukkan bahwa  mitos-mitos yang melanggengkan struktur penindasan ditanamkan ke kesadaran kaum tertindas. Pendidikan hadapo masalah diselenggarakan agar kaum tertindas memahami penindasan, struktur-struktur dan cara-cara bekerjanya, berdasar pada pengungkapan masalah yang dialami, dan kebutuhan yang nyata.

Metode-metode pendidikan  yang diberikan ke murid dimaksudkan memberi resep dan “jawaban yang benar". Sebagian yang diajarkan adalah “kurikulum tersembunyi” untuk menanamkan ke para murid mitos-mitos yang melanggengkan struktur-struktur penindasan. Apa yang diberikan ke murid dimaksudkan memberi resep dan “jawaban yang benar". Sebagian yang diajarkan adalah “kurikulum tersembunyi” untuk menanamkan ke para murid mitos-mitos yang melanggengkan struktur-struktur penindasan.

Dalam soal kemiskinan, keterbelakangan dan lainnya, pendidikan Gaya Bank sering menganggap sebagai kemiskinan adalah kondisi yang harus diterima sebagai keharusan. Padahal kemiskinan dan lainnya itu adalah akibat dari struktur-struktur penindasan yang bekerja secara sosial, geografis dan menyejarah. Dengan tidak memperlihatkan struktur-struktur penindasan yang bertingkat-tingkat, mereka memberi kesan bahwa kemiskinan bisa ditanggulangi dengan hanya mengubah kebiasaan kaum miskin melalui pengajaran perbaikan mental, pengajaran keterampilan teknologi, perubahan budaya, dll., tanpa mengubah struktur-struktur yang menindas mereka itu. Mereka beranggapan bahwa kaum miskin mempunyai kebiasaan dan sifat yang menjelaskan kemiskinan mereka dan menghambat mereka sendiri: Kekurangan motivasi untuk berprestasi, memiliki budaya yang kolot mengikuti alam, malas dan enggan mencoba inovasi baru, kurang bersedia menanggung risiko, gagap dalam memahami teknologi maju, dan sebagainya. Dengan memberi kesan bahwa kemiskinan itu disebabkan oleh kaum miskin itu sendiri, dan bukan karena penindasan dan paksaan struktural, maka mereka sesungguhnya mereka menyalahkan para korban. Istilah yang tepat dari judul buku  William Ryan (1971) adalah  Blaming the Victim. [3]

 

2. Datangilah rakyat, hiduplah bersama mereka


Tinggal, dan belajar  hidup bersama keluarga-keluarga rakyat pedesaan dalam periode waktu tertentu tentunya membutuhkan persiapan khusus. Satu hal terpenting dimiliki bagi yang hendak melakukannya adalah motivasi, apa yang menggerakkan diri untuk terjun ke lokasi-lokasi tertentu dan menemui orang-orang yang hidup di dalamnya. Motivasi ini sangat penting untuk disadari sepenuhnya oleh mereka yang hendak terjun. Selain itu, mereka juga membutuhkan imajinasi yang dituangkan dalam perencanaan mengenai apa yang akan dilakukan dari waktu ke waktu.

Satu hal yang perlu diketahui dan disadari sepenuhnya, bahwa para pelajar akan menemui bukan hanya perbedaan lokasi tempat berasal, melainkan juga mungkin perbedaan kelas sosial, ras, etnik, kebudayaan, ekologi hingga ruang hidup dan gender, dibandingkan dengan yang biasa dialami mereka sehari-hari. Jarak antar semua perbedaan itu akan diperantarai oleh kehendak dan kesediaan belajar bersama agar memperoleh pengetahuan dan akses untuk mengubah nasib rakyat ke arah yang lebih baik. 

Dalam tradisi gerakan sosial Indonesia ada istilah “turun ke bawah” disingkat turba. Secara metaforik topografis, istilah itu menandakan ada pihak-pihak yang di atas dan di bawah. Pengertian atas dan bawah dalam istilah “turba” ini bukan dalam arti fisik material, namun berangkat dari hierarki kelas sosial, yang disertai dengan atribut-atribut lain, misalnya dari kota ke desa, dari alam modern ke alam tradisional, dan sebagainya. 

Karakter pendidikan tinggi di Indonesia adalah membuat para pelajar mempelajari keahlian-keahlian tertentu. Sebagian besar kaum terpelajar yang bersekolah dan lulus dari perguruan tinggi di kota-kota tidak mendapatkan bekal yang cukup mengenali situasi dan kehidupan keluarga-keluarga rakyat di kampung-kampung dalam alam pedesaan Indonesia yang begitu beragam. Para lulusan perguruan tinggi yang memilih untuk terjun ke kampung di desa-desa akan merasakan jarak yang jauh antara kota dengan desa, antara teori dengan praktik, serta antara yang diajarkan di sekolah dengan kenyataan hidup sesungguhnya. 

Bukanlah sesuatu yang aneh ketika mereka yang bersekolah dan lulus dari sekolah dianggap berada pada posisi yang lebih tinggi, sehingga dianggap punya jarak dengan kenyataan masyarakat di bawah. Lulusan perguruan tinggi, atau pernah mengenyam perguruan tinggi, memiliki lebih banyak pengetahuan yang bersifat konseptual, abstrak, dan umum. Sementara itu, kebanyakan orang-orang di kampung dengan pengalaman sekolah lebih sedikit memiliki persoalan yang konkret dan spesifik. Dengan demikian, untuk mendekatkan jarak di antara dua golongan tersebut, mereka yang berpendidikan tinggi lah yang harus terjun belajar bersama orang-orang kampung dan menghadapi beragam macam persoalan keseharian mereka, yang disebabkan tekanan struktural terhadap posisi marginal mereka secara sosial, ekonomipolitik, dan sebagainya, sehingga hidup dalam situasi yang sulit.  

Para pelajar tinggal dan hidup bersama orang-orang kampung. Mereka mempunyai kesempatan dan pengalaman untuk mendengar cerita cara-cara orang-orang kampung hidup secara konkret dan spesifik. Secara khusus, para pelajar merekam yang mereka amati, menuliskan yang mereka dapat melalui percakapan wawancara, membuat catatan lapang,gambar, foto, peta, sketsa, hingga bisa meyajikannya jadi esai, rangkaian foto hingga film, yang menghadirkan gambaran khusus dari alam dan manusia di kampung-kampung tempat mereka masing-masing bersarang. Semua itu adalah pengalaman yang akan mengendap di masing-masing pengalaman dan badan para pelajar. 

 

Memulai dengan Memperbesar  Sikap  Sabar Mengikuti Proses


Pertama-tama kita perlu memeriksa latar belakang, motif, ciri-ciri pribadi, dan niat diri sendiri menjadi pelajar yang belajar dari hidup bersama rakyat dalam tanah airnya. Panduan yang disajikan di sini dapat dipakai sebagai rujukan, yang penerapannya harus disesuaikan dengan keadaan para pelajar. Mereka yang memilih “belajar bersama orang kampung" sesungguhnya telah mengambil keputusan berani dan penting dalam menentukan jalan hidupnya. Alih-alih mengikuti arahan yang diprogramkan untuknya, mereka yang memilih untuk menjadi organisator rakyat telah terlebih dahulu membebaskan diri dari “keharusan struktural” yang membentuknya. Sikap berani memutuskan membebaskan diri dari tali kekang/kendali “keharusan struktural” ini adalah yang pertama dan utama dipunyai oleh para pelajar. 

Agar proses belajar berhasil dan memperoleh manfaat yang besar, ada sikap-sikap utama lainnya yang perlu terus ditumbuhkan, di antaranya adalah sabar berproses, gemar menolong, dan kritis terhadap penyebab serta cara-cara bekerja kekuatan-kekuatan yang mengekang kebebasan rakyat.

Belajar, terutama sekali belajar langsung dari kehidupan masyarakat, tidak akan memperoleh hasil dengan cara seketikaseperti layaknya proses produksi sebuah pabrik. Belajar seperti ini juga tidak akan seperti belajar dari sebuah buku, yang hanya dengan mencari waktu untuk membacanya, kita akan memperoleh langsung uraian lengkapnya, lalu ikut ujian. Proses belajar melalui terlibat bersama masalah rakyat akan merupakan suatu perjalanan untuk memahami bagaimana kekuatan yang diandalkan, situasi yang dihadapi, hingga siasat yang manjur dan gagal dipakai dalam berjuang mengubah posisinya. Perjalanan perjuangan rakyat berbeda-beda dan berbabak-babak. Tentunya ada banyak pelaku di kampung, lelaki atau perempuan, baik tua maupun muda di berbagai posisi. Kita tidak akan berhasil mengerti bila tidak ada kesabaran berproses. Jika ingin cepat dan langsung dapat informasi, seperti sikap seorang wartawan kejar tayang yang ingin mendapat cerita narasumber dengan cepat, lalu menyusun tulisan berdasar hasil wawancara, kemudian disajikan pada publik, selesailah sampai di situ pekerjaannya. 

Proses belajar bersama para pemimpin kampung adalah pekerjaan tekun dari hari ke hari, mengikuti apa yang dilakukan dan menggali apa yang telah dialami oleh orang-orang kampung, kemudian meletakkannya dalam suatu konteks atau situasi, yang oleh mereka sendiri mungkin tidak diketahui sebab-sebabnya. Mereka tidak senantiasa tahu apa sebab-musabab kerusakan kondisi sosial-ekologi di kampung mereka, baik pelakunya maupun cara perusakannya. Mereka hanya tahu dan alami kondisi berangkat dari posisinya sebagai penerima akibat. Korban tidak selalu bisa menelusuri sebab-sebab penderitaanya, menyadari sumber masalah dan cara kerja masalah yang melanda mereka. Dengan demikian, tak cukup berhenti pada menyelidiki atau menemukan dan mengumpulkan keterangan yang dialami, namun lebih jauh juga menelusuri sebab-musababnya, yang mungkin ada di luar pengalaman rakyat itu sendiri. Dengan demikian, kehadiran orang dalam turba ini bukan sekadar menjadi pelajar-peneliti, namun ada segi perubahan yang hendak diciptakan. Diperlukan ketekunan untuk selalu berorientasi pada perubahan ini, hingga ada perubahan perilaku untuk mengubah nasib mereka sendiri.

 

Mengembangkan Sikap Kritis dan Rendah Hati Sekaligus

Sikap mental berikutnya yang perlu dipasang adalah sikap kritis. Kritik terhadap bangunan atau struktur sosial yang menindas, terhadap nilai-nilai yang ditanamkan oleh penindas pada mental dan pikiran kaum tertindas, terhadap kebiasaan yang melanggengkan hubungan penindasan, dan terhadap keengganan untuk mengubah diri (inersia). Seperti diuraikan oleh Paulo Freire (1970), kaum penindas telah menanamkan kepentingannya dengan cara menjadikannya sebagai kebiasaan-kebiasaan kaum tertindas. Oleh karena itu, proses dasar pembebasan adalah mengaktualkan sifat manusia sebagai pengambil keputusan untuk mengubah diri dan nasibnya, daripada menyesuaikan diri (beradaptasi) pada situasi buruk yang diterimanya. Kemampuan merenungi diri (berefleksi) dan otokritik menjadi penting. Di kampung, pelajar bertemu banyak orang dengan berbagai posisi. Ia perlu kritis mengenali mana saja yang dapat diandalkan sebagai petunjuk dari kenyataan yang diteliti. Tiap narasumber dapat menyusun cerita, yang tentunya berfungsi khusus bagi dirinya, baik dalam kerangka maksud tertentu maupun dalam rangka mendapatkan satu keuntungan tertentu. Pada saat terlibat bersama para narasumber di lapangan, maka pelajar juga akan ikut mengalami perasaan senang, marah, dan kagum, yang semuanya mampu membangun antusiasme atau rasa semangat untuk terus belajar di lapangan bersama mereka.

Pasangan tak terpisahkan dari sikap kritis ini adalah rendah hati, yang berlawanan artinya dengan sombong. Banyak yang terjebak dengan merasa diri lebih tahu dari rakyat dan alam yang dijadikan objek pelajaran. Bila terjun ke masyarakat, jadinya posisinya asimetris: pendatang mengajarkan dan masyarakat adalah pihak yang diajarkan. Jika sikap ini dipelihara, maka kita tidak akan mampu mendengarkan, tidak akan mendapatkan apa-apa, dan tidak akan memperoleh kejutan apapun. Hubungan yang seperti ini akan menjadi penghambat bagi proses belajar. Karena itu, sikap rendah hati merupakan paket tak terpisah dengan sikap kritis. Dengan rendah hati, sikap kritis yang cenderung sombong  akan dicegah hadir. Dengan rendah hati, kita akan terbuka: telinga akan selalu mendengar, mata akan selalu melihat dan menyaksikan, dan orang akan menerima kejutan-kejutan yang mungkin bakal menjadi kejadian pengubah hidupnya. 

 

Melengkapi Diri dengan Wawasan dan Pengetahuan  

Persiapan terpenting adalah melengkapi diri dengan wawasan dan pengetahuan yang cocok dengan karakter wilayah yang akan diterjuni. Banyak cara mengembangkan wawasan dan menambah pengetahuan. Misalnya, memilih buku yang tepat dan membacanya. Buku yang disunting oleh Roem Topatimasang (2004) Orang-orang Kalah: Kisah Penyingkiran Masyarakat Adat Kepulauan Maluku[4] adalah buku yang sangat baik, untuk memberi pengetahuan dasar mengenai pentingnya memahami kekalahan masyarakat adat menghadapi kekuatan-kekuatan yang menyingkirkan mereka di sejumlah pulau-pulau di kepulauan Maluku, dari pengalaman masyarakat secara kolektif. Pada mulanya buku ini merupakan hasil kajian lapangan delapan orang yang terjun ke masing-masing kampung. Hasilnya adalah 10 potret “orang-orang kalah” dari tiga “tombak bermata tiga” atau “trisula”, yang ditusukkan oleh duet modal dan kekuasaan, sebagaimana disarikan oleh P. M. Laksono di pengantar buku itu, “Pertama, investasi di sektor ekstraktif yang bertujuan menguras kekuatan sumber alam (hutan, tambang dan laut) demi akumulasi modal. Kedua, proses depolitisasi lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi rakyat demi pemusatan kekuasaan. Ujung tombak ketiga adalah penjinakan para warga penghuni rimba atau para warga tempatan melalui pemaksaan nilai-nilai asing yang sekuler melalui aparatur sipil birokrasi dan lainnya” (halaman 1). 



Selanjutnya, Noer Fauzi Rachman (2019Panggilan Tanah Air,[5] menunjukkan ekspansi sistem produksi kapitalis dan proses menghadirkan negara membentuk reorganisasi ruang (spatial reorganization) yang khusus. Dengan demikian, sistem produksi yang bercorak kapitalistik bisa meluas secara geografis (geographic expansion), melalui lisensi-lisensi yang mendasari pembentukan kapling-kapling konsesi kehutanan, perkebunan, atau pertambangan. Sistem produksi kapitalis adalah suatu sistem produksi yang mendasarkan pada: pemisahan antara pemilik dan pekerja, serta manajer pengelola produksi, yang senantiasa berorientasi untuk pelipatgandaan keuntungan si pemilik, serta mesin-mesin industrinya yang harus terus bergerak memproduksi tidak henti menghasilkan komoditi atau barang dagangan secara standar dan massal. Barang dagangan atau komoditi itu kemudian disirkulasikan sedemikian rupa lewat berbagai rantai distribusi untuk bisa sampai pada konsumen.[6]

            Ada lagi yang juga penting dipelajari, yakni etnografi multisitus (multisited ethnography). Etnografi multisitus memang terlihat seperti “investigasi”. Kerja teknisnya sendiri dikategorikan dalam beberapa teknik, yang tiga di antaranya relevan untuk memeriksa kebutuhan perempuan pejuang. Pertama, adalah follow the people. Pengertian ringkas teknik ini fasilitator memfokuskan untuk mengikuti orang. Riset yang biasa dilakukan untuk membahas diaspora dan migrasi ini memiliki prosedur untuk tetap tinggal dan mengikuti berbagai perubahan subjek di lokasi berbeda. Kedua, adalah follow the thing atau mengikuti barang, hadiah, komoditas, uang dan beragam objek material. Teknik ini dilakukan dengan mengonstruksi berbagai ruang untuk melacak sirkulasi atau rantai pendistribusian objek material. Ketigafollow the conflict atau mengikuti konflik.  Teknik ini amat berkaitan dengan isu-isu yang saling berkontestasi antara hukum legal formal, hidup keseharian dan mungkin juga media massa. Ketiga teknik itu bisa saling terhubung satu sama lain, dan tidak bersifat khusus.[14]

Penderitaan rakyat, masalah agraria, dan krisis sosial ekologis yang dialami akibat kapling-kapling konsesi kehutanan, perkebunan, atau pertambangan bukan sesuatu yang sama sekali baru. Semua itu sudah menyejarah sejak masa kolonial. Kita perlu memiliki bukan hanya wawasan rekonstruksi geografis, tapi harus diperlengkapi dengan wawasan sejarah, sehingga kemudian menjadi sejarah geografi. Secara khusus pendekatan sejarah geografi ini berguna untuk memahami lokasi kampung, situasi rakyat, dan perubahan sosial ekologi yang melanda kampung itu dari waktu ke waktu.

Cobalah menonton "Sumatera: The Island of Yesterday" yang dibuat pada 1920 oleh Goodyear Tire and Rubber Co., Inc.[7] Film ini mempertontonkan proses hutan-hutan dibersihkan, dibongkar, dan diganti menjadi perkebunan monokultur karet seluas 780 ribu hektar di dataran rendah Sumatera Timur —sekarang Sumatera Utara. Bahan mentah yang diperoleh dari perkebunan tersebut kemudian diolah di pabrik-pabrik yang memproduksi barang dagangan global. Kuli-kuli kontrak dikerahkan dari Jawa. Mereka adalah tenaga kerja yang sebelumnya adalah para petani tak bertanah, sejak tanah pertaniannya di Jawa diambil alih oleh Jawatan Kehutanan dan perkebunan-perkebunan yang dibangun semenjak 1870. Film ini dipertontonkan untuk memikat para pemegang saham perusahaan Goodyear. Film disajikan sebagai iklan memperadabkan pribumi dan membuat tanah-tanah hutannya menjadi lebih produktif. Orang-orang Jawa, yang tak punya tanah, dipindahkan menjadi tenaga kerja kuli, yang lantas didisiplinkan. 

Penjelasan sejarah mengenai ekspansi geografis yang berlangsung seperti ini bisa menginspirasi dan memberi wawasan penting untuk menghasilkan pemahaman mengenai sejarah geografi dari suatu wilayah. Pemahaman tentang perubahan waktu dan ruang hidup di kampung perlu diperlengkapi pengamatan bagaimana perbedaan ruang hidup dan pandangan para lelaki dan perempuan sehari-hari. Apakah ada perbedaan yang menyolok antara lelaki dan perempuan dalam ruang hidup dan pandangan tertentu? Perspektif gender bisa diperoleh melalui proses belajar lapangan pula, termasuk dengan melihat perbedaan akses dan kontrol antara lelaki dan perempuan terhadap sumber daya maupun pengambilan keputusan di skala rumah tangga hingga politik skala kampung.

 

Etiket   

Ada waktunya datang, ada waktunya tinggal, dan pada gilirannya ada pula saatnya pergi. Untuk setiap proses “belajar dari orang kampung” tentu harus dipersiapkan kampung yang akan diterjuni. Peribahasa “datang menunjukkan muka, pulang menunjukkan punggung” menunjukkan pentingnya secara terang dan terbuka keberadaan proses dari memulai hingga mengakhiri. Tiap-tiap lokasi tempat yang akan diterjuni oleh pelajar harus terlebih dahulu dipersiapkan, tidak boleh dilakukan serba mendadak. Sebaiknya organisasi penyelenggara pendidikan atau organisasi yang menjadi mitra penyelenggara pendidikan telah bekerja di kampung itu. Dengan demikian, terdapat kemudahan yang telah disediakan dari proses sebelumnya, karena kampung ini sudah pernah diurus oleh organisasi yang menjadi penanggung jawab keberadaan pelajar yang akan diterjunkan.

Berbeda halnya bila kampungnya sama sekali baru. Tentu penyelenggara memiliki alasan-alasan mengapa memilih kampung baru untuk diterjuni, misalnya diperkirakan kampung itu memiliki posisi strategis dan penting sebagai reservoir (tempat pemasok dan pengumpul) tenaga-tenaga kerja, di antaranya bagi perusahaan-perusahaan perkebunan. Dalam situasi seperti ini, diperlukan terlebih dahulu pembuka jalan. Bisa dilakukan dengan cara formal menggunakan surat, didatangi, dan kemudian mendapatkan jawaban atas permintaan kita. Bisa juga dilakukan secara informal, dengan mendekati orang yang sudah kita kenal sebelumnya dan berhubungan baik dengannya, hingga ia membolehkan kita menitipkan pelajar yang hendak “belajar dari orang kampung”. 

Yang paling penting untuk diperhatikan, tiap-tiap kampung memiliki tata cara sendiri yang perlu diperhatikan, tidak cukup sekadar meminta persetujuan atau izin si tuan/puan pemilik rumah yang akan dijadikan tempat tinggal pertama pelajar yang turun ke kampung. Kita mesti juga memberitahu dan meminta izin pengurus wilayah misalnya RT/RW serta kepala kampung/desa setempat. Hal ini akan memudahkan pelajar yang akan diterjukan lokasi tersebut nanti.

Memperbanyak Sikap Gemar Menolong

Sikap gemar menolong mendasarkan pada prinsip memberi lebih penting dari menerima. Sering orang memasangkan kegiatan memberi dan menerima seperti dalam mekanisme pasar melalui transaksi jual-beli. Sesungguhnya, memberi adalah suatu perbuatan yang perlu dihadirkan karena ciri eksistensial manusia sebagai makhluk yang saling bergantung satu sama lain. Berbeda dengan binatang atau tumbuhan, yang pada mereka memberi adalah sikap dasar dan alamiah. Dalam struktur sosial manusia yang hierarkis, masyarakat tersusun berdasarkan golongan. Tiap golongan elite memiliki hak-hak istimewa, sementara golongan massa di bawah memiliki keterbatasan tertentu. Maka perbuatan menolong menjadi perbuatan baik hati dari yang kaya pada yang miskin, dari yang berkuasa pada yang dikuasai, atau dari yang berilmu pada yang bodoh. Posisi atas bawah demikian ini diterima sebagai kondisi yang wajar. 

Bagaimana tolong-menolong sesama kaum tertindas? Inilah yang bisa diterangkan dalam rasa senasib dan sepenanggungan. Perasaan sepenanggungan inilah yang perlu dikembangkan melalui tindakan tolong-menolong. Sikap menolong ini sangat berhubungan dengan sikap mau berkorban. Diri manusia memang diperlengkapi oleh motif untuk mementingkan diri sendiri. Kepentingan untuk diri sendiri tidak senantiasa bisa bersesuaian dengan kepentingan bersama. Banyak kepentingan umum/bersama yang harus dibentuk dalam diri-diri pribadi para pelajar yang pada gilirannya menempa diri jadi pandu-panduSetelah rasa senasib dan sepenanggungan, yang perlu dilihat pertumbuhan dan pencapaiannya adalah rasa setujuan, yang berhubungan pula dengan rasa sekepemimpinan dan rasa seperjuangan.

 

3. Belajarlah dari mereka, cintailah mereka

Dedikasi atau pengabdian untuk berada di kampung tidak hanya memerlukan sikap mental yang tepat, tapi juga alat kerja yang memadai untuk bisa menggali, menemukan, menangkap masalah-masalah yang dihadapi orang-orang kampung hingga menyajikannya

Cara apa yang dapat dipakai seorang pelajar untuk mengumpulkan keterangan mengenai situasi yang dialami suatu kelompok rakyat tertentu? Kenyataan alam dan kebudayaan rakyat sebagian dapat dikumpulkan keterangannya melalui tuturan orang kampung, berdasar pengalaman hidup dan pengamatan mereka, serta berbagai sumber lain berupa pengamatan hingga keterlibatan langsung.   

Bayangkanlah seseorang pelajar yang tergoda untuk mengetahui proses kain tenun dihasilkan oleh mama-mama Molo di Timur Tengah Selatan. Kita memang dapat memperoleh keterangan dari sumber-sumber yang tersedia di perpustakaan, atau di dunia maya.[8]

Namun bukan demikian cara yang dianjurkan di sini. Pilihan yang dianjurkan di sini adalah mendatangi, hidup dan belajar bersama mereka, dengan sikap utama: mencintai mereka, mama-mama para penenunDi Molo, Timor Tengah Selatan, hanya perempuan yang menjadi penenun. Tidak ada lelaki yang menenun. Si perempuan menguasai seluruh ruang dalam proses pembuatan tenun. Penenun adalah suatu kelompok rakyat yang memiliki situasi khusus yang perlu dipahami. Para pelajar perlu memiliki cara/metode untuk memperoleh keterangan-keterangan agar bisa memahami situasi yang dialami mereka. Para pelajar menemui perempuan penenun, menemani mereka, menggali pengetahuan dan kearifan serta filosofi hidupnya, melalui percakapan, pengamatan dan ikut bersama terlibat membantu pekerjaan si penenun. Inilah pintu masuk yang baik.

Memahami perubahan ruang hidup tertentu, seperti dalam kerja menenun tadi, haruslah menyertakan perhatian kita pada hubungan laki-laki dengan perempuan. Apa saja perbedaan yang menyolok antara posisi dan peran lelaki dan perempuan dalam ruang hidup tertentu? Amat penting orang di lapangan menguasai analisa gender guna menunjukkan posisi, pengalaman, dan pengetahuan yang berbeda antara lelaki dan perempuan, sehubungan dengan akses dan kendalinya terhadap sumber daya dan reorganisasi ruang.[9]  

Kapan awalnya dan bagaimana menenun menjadi ruang perempuan saja?[10]    Pertanyaan penggerak dapat diarahkan pada situasi apa yang membuat perempuan yang menjadi penguasa ruang tenun? Selanjutnya pertanyaan dapat diarahkan pada topik yang baru mereka alami, misalnya awal mula mama-mama penenun terlibat dalam gerakan protes untuk menentang konsesi dan ekstraksi tambang marmer, dengan cara menenun secara bersama dalam waktu beberapa bulan, lalu hasil tenunannya dipakai untuk menyelimuti pohon-pohon yang berada di sekitar tambang marmer tersebut. Pelajar akan bertemu dengan perubahan pengalaman individu dalam masyarakat tentang bentang alam atau lanskap tertentu. 

Dalam soal tenun, misalnya, si pelajar dapat menelusuri awal mula bagaimana pohon-pohon kapas tidak lagi diandalkan sebagai sumber dari benang-benang. Apakah mereka mendapatkan keuntungan atau kerugian kala mereka kehilangan akses terhadap kapas yang diproduksi di kebun-kebun mereka? Bagaimana rantai pasokan hingga benang-benang itu sampai pada mereka. Bisa juga, misalnya, menyelidiki sejak kapan dan dalam kondisi apa kerja menenun menjadi pekerjaan dan ruang para perempuan. Pertanyaan penggerak semacam itu dapat terus ditanyakan, sehingga kita dapat memperoleh narasi rekonstruksi sejarah geografi pembentuk situasi para penenun itu. 

Selanjutnya, kita menelusuri proses pembuatan kain tenun dari hulu sampai hilir. Mulai dari memanen kapas, memintal kapas menjadi benang, membuat pewarna dan melakukan pewarnaan benang, kemudian menjemurnya hingga benangnya siap untuk ditenun. Tentu berbeda jalur tempuh yang ditelusuri, bila mereka menggunakan benang yang dibeli di pasar. Para pelajar dapat terlibat ikut serta bersama mereka, dan bercakap-cakap, mengamati lalu bisa berlanjut dengan merekam secara sistematik semua temuannya. Untuk mendapatkan pola umum, ia bisa lakukan bukan hanya pada satu individu. Ia bisa berlanjut dari satu individu ke individu lainnya. Lalu, bisa saja diajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan kekuatan-kekuatan dan kondisi-kondisi yang pada mulanya membentuk, atau yang kemudian memelihara, keberlanjutan suatu gejala yang menarik perhatiannya.

 

Menengok sejenak ke Etnografi Kritis

Etnografi adalah suatu cara yang akan mengayakan pengetahuan dan imajinasi para pelajar, bukan hanya sepanjang ia menggali pengetahuan dari para narasumber, namun juga sepanjang ia menuliskan, bahkan ketika menyajikannya. Etnografer akan mendapatkan kejutan-kejutan, yang salah satunya adalah memperoleh pemahaman bagaimana suatu kejadian penting dapat membentuk suatu pola baru. Setelah hasil etnografi dituliskan, pengetahuan hasil etnografi akan dinikmati pembaca. Di sisi pembaca, pesona etnografi bisa dinikmati ketika bertemu dengan narasi yang indah, isinya yang mengritik, dan pesannya yang memberi inspirasi untuk perubahan. Inilah yang James Clifford and George E. Marcus (1986) dalam bahasa Inggris disebut poetic and politics of ethnography[11]. Etnografi senantiasa memiliki maksud untuk bukan hanya merekam dan mendokumentasikan situasi-situasi yang dialami narasumber melalui pengamatan terlibat dan menyajikannya dengan indah, melainkan juga hasilnya dapat berupa kritik dan apresiasi yang menginspirasi pembacanya untuk melakukan agenda perubahan.

            Pengetahuan yang dihasilkan berbagai penelitian bersifat ekstraktif berbeda dengan penelitian yang menerapkan metode etnografi. Pengetahuan yang dihasilkan secara ekstraktif biasanya dipergunakan sedemikian rupa oleh penguasa untuk mengukuhkan bangunan/struktur kekuasaan yang timpang. Kemudian atas dasar pengetahuan tersebut, penguasa memperlakukan sekelompok rakyat, etnik pribumi, atau kelompok marjinal lainnya tetap berada dalam kondisi marginal. Dasar-dasar penelitian yang bersifat ekstraktif diletakkan oleh para ahli kolonial dari negara-negara barat (Eropa, dan kemudian Amerika) untuk mempelajari negeri, bangsa, etnik, ras, dan kehidupan sekelompok rakyat, yang hidup jauh di negeri seberang lautan. Banyak peneliti yang melanjutkannya pada masa pemerintahan pascakolonial, termasuk di zaman sekarang ini. Produksi pengetahuan dan pengetahuan mengenai keadaan kaum marjinal dipergunakan untuk melanggengkan keadaan ketertindasan kaum marginal.

Etnografi kritis perlu diberi kesempatan untuk menunjukkan keampuhannya, termasuk dalam membuat para pelajar mengerti lebih baik mengenai topik dan subjek yang diteliti. Perbedaan dengan metode lainnya, etnografer terlibat dalam berbagai situs perjuangan, pertarungan, dan perundingan. Lebih dari sekadar memahami, etnografer mempunyai ethnograpic authority untuk berperan menyampaikan kritik, pujian, dan beragam bentuk penunjuk jalan perubahan, yang memberi harapan untuk mewujudkan cita-cita keadilan sosial, keadilan gender, keadilan ekologis, dan ragam cita-cita mulia lainnya.[12]

Etnografi kritis bisa juga secara khusus digunakan menceritakan pengalaman perempuan yang khusus sehubungan akibat perubahan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah seperti ditunjukkan oleh Julia & Ben White (2012), untuk kasus perluasan perkebunan kelapa sawit di komunitas Sayak Hibun di Kalimantan Barat.[13]

Etnografi dapat digunakan untuk melihat kerentanan perempuan ketika relasi gender berubah seiring perubahan percaturan distribusi akses dan kontrol sumber daya. Perempuan seringkali mengalami penyingkiran ganda atau disebut sebagai “eksklusi dua skala,”  sebagaimana diurai dalam artikel etnografi berdasar pengalaman perempuan Dayak Hibun yang digambarkan Julia dan White (2012)Eksklusi skala pertama terjadi lantaran perbedaan hak akses terhadap tanah antara perempuan dan lelaki. Fenomena ini bisa juga disebut sebagai intimate exclusion ketika pengambilan keputusan atas pengorganisasian akses sumber daya tidak dipegang oleh perempuan. Eksklusi skala kedua didorong kuat oleh kebijakan pengelolaan sumber daya yang “buta gender”. Persoalan yang cukup jelas adalah rencana tata ruang yang tak melibatkan masyarakat. Demikian pula dengan berbagai rangkaian skema perizinan, yang tak terbuka, dan sertifikasi atas kemitraan perkebunan sawit, yang jarang mengakui kepemilikan kepala keluarga bukan lelaki, membuat para perempuan ini tidak berperan dalam proses pengambilan keputusan atas pemanfaatan sumber daya.

Lihat misalnya, naskah etnografi yang dihasilkan Mia Siscawati (2013) “Memahami Disposesi dan Kuasa Eksklusi dalam Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit Melalui Tutur Perempuan” (naskah belum diterbitkan).  Pengalaman yang diceritakannya berkenaan dengan hilangnya hak-hak perempuan terhadap akses pada tanah karena dalam administrasi pendaftaran tanah biasanya diberinama suami sebagai kepala keluarga. Pengalaman lainnya berkaitan dengan pembagian kerja antara lelaki dan perempuan semenjak kehadiran sawit, terjadi pula feminisasi pertanian rumah tangga. Di bawah pengaturan ekonomi uang, perempuan dianggap sebagai komplementer bagi suaminya. Oleh karenanya untuk menambah penghasilan, mereka bekerja sebagai tenaga kerja upahan dengan kerja yang dianggap remeh namun berisiko tinggi, seperti penyemprotan pestisida ataupun pemupukan. Hal lain adalah hadirnya perempuan sebagai kelas tenaga kerja perkebunan. Mereka memegang peran kunci untuk mereproduksi tenaga kerja perkebunan sawit. Bila perempuan tidak bisa masuk dalam pasar tenaga kerja perkebunan sawit, maka pilihan satu-satunya untuk mendapatkan uang tunai adalah melalui pekerjaan sebagai pemulung brondol. Pekerjaan ini amat rentan dituduh ilegal dan sarat intimidasi dari keamanan perkebunan. 

Konsesi-konsesi perkebunan, kehutanan, pertambangan hingga konservasi sulit hidup berdampingan secara damai dengan hubungan kepemilikan dan sistem produksi pertanian keluarga. Para perempuan harus berjuang berhadapan dengan sistem-sistem pengelolaan sumber daya alam yang asing, koersif dan hadir sebagai bentuk sistem yang didahului oleh ijin-ijin yang diberikan oleh pemerintah. Bacalah buku  Perempuan di Tanah KemelutSituasi Perempuan dalam Situs-situs Krisis Sosial Ekologis (2019) memuat kisah-kisah yang terjadi di sekitar perempuan yang terpapar krisis ekologis yang mengubah sebagian bahkan semua tatanan sosial yang berkait kelindan dengannya. Perubahan sosial-ekologis telah mengubah peran perempuan sedemikian rupa. Kompilasi sebelas tulisan dari para pelajar-peneliti yang live in dengan pendekatan etnografi kritis, berhasil menunjukkan kisah konkret di lapangan memotret secara nyata perempuan dalam konteks perubahan sosial-ekologi yang nyata di seantero lokasi di pedesaan pedalaman Indonesia.

Bagaimana menyiasati perbedaan waktu dalam etnografi? Untuk bisa menilainya, lakukanlah etnografi di berbagai waktu, pagi, siang atau malam hari. Malam hari memiliki kekhususan karena merupakan saat istirahat. Istilah dalam bahasa Inggrisnya nocturnal ethnography. Metode ini menempatkan ruang hidup perempuan sebagai rute tersendiri yang harus dilihat secara istimewa. Untuk mendapatkan pengetahuan, fasilitator harus jeli dan teliti pada momen apa dan kapan waktu yang tepat untuk berbincang dengan perempuan. Etnografi memberi ruang untuk mendapat cerita utuh mengenai perempuan. Etnografi yang dilakukan pada malam hari ini sangat penting dilakukan untuk melihat daur hidup si perempuan. Salah satu indikasi keberhasilan dari proses etnografi malam adalah fasilitator dapat bercakap-cakap dengan si perempuan di dalam dapurnya, karena aktivitas tersebut menunjukkan sudah tidak ada batas lagi, ketika peneliti membaur dengan pihak yang diteliti.[15]

 

4. Mulailah Dengan yang Mereka Tahu

 

Para pelajar yang turun ke bawah atau bersarang di satu kampung harus belajar cara berinteraksi dengan bapak dan ibu yang rumahnya ia tinggali, dan dengan masyarakat setempat. Pelajar harus memulai dengan beradaptasi pada lingkungan baru agar dapat hidup bersama. Mereka perlu menyadari bahwa orang-orang kampung memiliki keahlian yang sudah mereka praktikkan bertahun-tahun lamanya. Seringkali orang-orang kampung dan keahlian mereka tidak tampil terlihat oleh orang luar. Yang terlihat beredar adalah produk-produknya, yang sebagian besar merupakan barang dagangan. Ketika sudah menjadi barang dagangan, tidak tampak lagi si pembuatnya, proses pembuatannya, dan lokasi pembuatannya. 

Satu metode belajar yang baik untuk dipakai oleh para pelajar untuk mengenali setiap narasumber di kampung yang ditinggalinya adalah “belajar dari empunya”. Metode ini dipergunakan untuk menjembatani manusia, alam, dan budaya antar-generasi. Metode ini diciptakan berawal dari keprihatinan pada menurunnya pengetahuan dan perhatian generasi muda terhadap kehidupan sehari-hari dan akar budaya mereka sendiri, yang terkait erat dengan kondisi tanah air mereka.  

Secara umum dunia agraris pedesaan berubah dengan cepat. Perubahan yang pesat terlihat di kota-kota, yang pada gilirannya sampai pula ke desa-desa, menggerus kearifan, keterampilan dan nilai-nilai yang diwariskan secara turun-temurun dalam memanfaatkan tanah dan sumber daya alam secara berkelanjutan. Dampaknya dapat dilihat terutama pada para pemuda/i-nya. Pada gilirannya, perubahan ini juga mencerabut akar budaya, adat istiadat, dan bahasa daerah yang dikuasai pemuda/i dan  berkaitan erat dengan kehidupan tradisional berbasis tanah dan sumber daya alam. 

Para pelajar harus bisa menemukan kembali nilai-nilai yang terkandung di dalam kehidupan tradisional dan budaya lokal, untuk mencari jalan keluar dari persoalan krisis sosial-ekologis di masa kini, melalui belajar dari para empu sedikit demi sedikit dan secara sistematis.

Belajar dari empu: Dengar, simak dan tuliskan

            Anjuran belajar dari empu dengan cara mendengar, menyimak, lalu menuliskan. Ada metode kikigaki koshienyang dipakai oleh Kyouzonno-Mori Network di Jepang mulai tahun 2002Pelajarilah buku Kikigaki, Mendengar dan Menulis. Menjembatani Manusia, Alam dan Budaya Antargenerasi, yang ditulis oleh Motoko Shimahami, dkk.[16]

Terdapat dua pihak yang dilibatkan dalam penyelenggaraan kikigaki koshien. Pihak pertama adalah para narasumber dari generasi tua Jepang, yang dalam kesehariannya memanfaatkan tanah dan sumber daya alam berdasar warisan dari generasi sebelumnya, lengkap dengan kearifan atau pengetahuan lokal, cara pandang, dan cara berpikirnya. Para narasumber ini disebut dengan meijin, umumnya bekerja sebagai petani, pengrajin atau nelayan. Pihak kedua adalah pelajar pendatang yang menggunakan kikigaki untuk menggali dan mendokumentasikan perjalanan hidup para meijinmelalui percakapan/wawancara/dialog secara tatap muka. 

Kikigaki adalah gabungan dari dua kata dalam bahasa Jepang, yaitu kiki berarti mendengar dan gaki berarti menulis. Dalam praktiknya, dua keterampilan berbahasa itulah yang menonjol, meskipun kemampuan berbicara dan membaca juga tetap berperan di dalam metode ini. Para pelajar merekam dan menyimak baik-baik cerita dari para meijin, kemudian menuliskan pengalaman para meijin tersebut secara utuh. Proses dialog yang dilakukan antara pelajar dengan meijin-nya kemudian dituliskan secara verbatim, secara utuh sebagaimana diucapkan oleh pelajar maupun sang meijin. Pada akhir proses penulisan, karya kikigaki tampil seolah-olah sang meijin sendiri yang menuturkan kisah hidupnya. Dengan demikian, para pembaca akan merasakan secara nyata kehadiran hidup dan karakter setiap meijin.

Tidak seperti kikigaki koshien, yang narasumbernya ditentukan oleh para penyelenggara dan dilakukan satu kali di masa belajar pelajar pendatang, bagi para pelajar yang sudah live in, mereka penya kesempatan banyak sehingga  sebaiknya metode ini dilakukan berkali-kali pada banyak empu di kampung sepanjang waktu.

 

5. Akhirnya: “Bangunlah dengan apa yang mereka miliki

 

Lapis demi lapis tuntunan yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya akan memberi manfaat yang sangat besar bagi para pelajar, ketika seluruhnya dipraktekkan, dan pada gilirannya mengendap menjadi bagian diri mereka masing-masing. Para pelajar, yang telah banyak belajar dan hidup bersama rakyat pedesaan, perlu waspada untuk tidak terjebak proses menambang pengetahuan (knowledge extraction) mengenai masalah-masalah rakyat, lalu mewartakan pada publik lebih luas  demi memperkaya pengetahuan orang banyak, namun melupakan perbaikan hidup rakyat pedesaan yang menjadi tempatnya belajar. Sedikit demi sedikit, selama proses belajar, para pelajar bersama dengan rakyat yang ditinggalinya membangun cara-cara baru menghadapi maslah dengan tindakan-tindakan perubahan.  

Kita bisa menghasilkan berbagai tulisan esai, rangkaian foto, hingga film berisi kepingan-kepingan pengalaman dan rakitan pengetahun para pelajar selama bersarang di kampung, dan sebagian telah dicetak dan disebar. Para pelajar ini juga secara sosial memperoleh kerabat baru dengan orang-orang di kampung yang ikatannya tidak mudah terputus panjangnya waktu.  

Masalah-masalah yang digadapi rakyat bisa jadi bersifat kronis, menyejarah, telah mengendap menahun di berbagai lapis pengalaman sejumlah orang kampung. Tahap terakhir dan penting dilakukan oleh para pelajar adalah membangun bersama masyarakat yang menjadi tempat mereka belajar. Tahap inilah yang seharusnya menjadi ajang para pelajar menanam benih pengalaman dan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Benih-benih pengalaman dan pengetahuan itu bersatu dengan kekhasan karakter masing-masing pelajar ini, adalah bekal mereka untuk pada saatnya menentukan titik mengabdi di pedesaan memulihkan krisis sosial ekologis bersama masyarakat lokal.

Dengan demikian, tahap akhir yang paling penting dan mungkin tidak akan pernah ada titik ujungnya ini diurai dari pengalaman para perempuan pegiat sosial lain. Mereka telah menetapkan titik mengabdi, menanam benih, dan menumbuhkan akar untuk menjadi bagian dari masyarakat lokal dan bersama-sama membangun upaya pemulihan krisis sosial ekologi wilayah mereka. Tak masalah seberapa besar dan seberapa banyak upaya yang telah mereka lakukan, namun uraian dalam bab ini ingin memberikan semacam bekal pengetahuan lain mengenai praktik-praktik pemulihan yang dapat dilakukan.

Membangun Sarang Hidup Bersama  

Hal pertama yang perlu dimiliki para pelajar untuk dapat bersarang adalah tanah untuk menjadi tempat tinggal sekaligus tempat kegiatan bersama. Ada bermacam cara untuk memperolehnya, bisa dengan upaya sendiri atau bisa juga dengan bantuan dari kawan-kawan pegiat gerakan sosial, atau dengan patungan swadaya organisasi masyarakat lokal. Tanah memang merupakan modal utama sebagai alat produksi agar bisa bertahan hidup di wilayah pedesaan di Indonesia. Para pegiat gerakan sosial, yang hendak mengabdi untuk bersama-sama rakyat lokal memulihkan krisis sosial ekologis dan membangun wilayah mereka, harus membaurkan diri dengan kegiatan harian masyarakat lokal dan lebih jauh lagi, harus dapat bertahan hidup dari tanah yang akan ditinggalinya.

Tentunya sebelumnya sang pegiat yang hendak mengabdi perlu melalui proses komunikasi dan penerimaan dari komunitas setempat. Dalam proses ini, pegiat dapat mengamati dan menjelajah kemungkinan peran yang dapat diambilnya di dalam komunitas tersebut. Apakah menjadi petani yang dapat meneladani dan mengajari cara pertanian ramah ekologi sepenuhnya. Apakah sekaligus menjadi guru, baik di sekolah formal atau pesantren yang sudah ada maupun di sekolah yang dibangunnya sendiri. Apakah sekaligus menjadi bidan desa. Apakah sekaligus menjadi pengrajin, pedagang, dsb. Apapun itu, dengan memiliki peran khusus dalam komunitas, para pegiat akan memiliki daya pengaruh yang cukup kuat untuk berinisiatif dan bergerak bersama memperbaiki kehidupan masyarakat lokal. 

Bisa juga terlibat dalam sekolah formal. Akan lebih baik bila terlibat dalam pendidikan nonformal, agar pegiat dapat lebih fokus belajar dambil mengajar, tanpa terganggu oleh urusan-urusan administratif formal persekolahan.  Mengapa hal ini disarankan sebagai pilihan utama? Pemulihan krisis sosial ekologis lebih baik dilakukan oleh generasi muda pedesaan, yang relatif masih panjang usianya dan masih memiliki ketahanan yang cukup baik. Selain itu, usia muda masih sangat lentur untuk menerima perubahan terhadap kebiasaan-kebiasaan yang tanpa masyarakat lokal sadari merusak kondisi sosial ekologi lingkungan mereka sendiri. Sekolah ini dapat menjadi arena belajar generasi muda pedesaan untuk memahami krisis yang melanda tempat tinggal mereka dan mempelajari cara-cara baru yang dapat mereka praktikkan untuk memulihkannya.

Perhatikanlah secara khusus kaum perempuan remaja.  Sesungguhnya, perempuan yang tinggal di pedesaan mengalami "penindasan" berlapis. Sebagian besar perempuan pedesaan tidak pernah memiliki kesempatan untuk memutuskan banyak hal yang dapat mengubah jalan hidupnya. Sejak lahir, ada ayahnya sebagai kepala keluarga yang memutuskan dia disekolahkan atau tidak, disekolahkan di mana, disekolahkan sampai tingkat apa, sampai terkadang dinikahkan dengan siapa. Setelah menikah, giliran suaminya yang akan memutuskan berbagai hal penting dalam kehidupannya sebagai seorang istri dan kehidupan rumah tangga mereka, bahkan misalnya untuk menentukan waktu berhenti memperoleh anak serta cara yang dipilih untuk itu. Anak-anak perempuan membutuhkan pendidikan yang membebaskan, agar mereka dapat memiliki pemahaman bahwa kehidupan mereka adalah milik sendiri, dan mereka juga memiliki kemampuan dan kekuatan untuk memberikan perubahan pada masyarakat dan lingkungannya.

Hal lain yang juga penting untuk diajarkan adalah berbagai keterampilan yang berguna untuk keberlanjutan hidup anak-anak dan remaja pedesaan, yang sesuai dengan perkembangan zaman tanpa mengabaikan situasi dan kondisi sosial ekologi di wilayah mereka. Keterampilan paling utama adalah bertani dengan memperhatikan keberlanjutan ekologi, untuk pedesaan yang kehidupan ekonominya mengandalkan produksi dari tanah daratan, atau melaut untuk yang kehidupan ekonominya mengandalkan produksi dari laut. Pegiat yang hendak mengabdi harus bersedia untuk juga turun bertani atau melaut, dan memberi teladan mempraktikkannya dengan cara mempertahankan keberlanjutan ekologi, tanpa perlu mengorbankan pendapatan ekonomi.

Para pelajar dapat bersama orang-orang kampung  membangun tempat pendidikan generasi muda/i desa menghadapi kenyataan yang berubah, berubah secara cepat dan drastis. Misalnya, meningkatkan kualitas manusianya dari tingkat keluarga adalah soal pengetahuan untuk produksi makanan melalui penmanfaatan tanah dan sumber daya alam di tanah air masing-masing.  Di sini perempuan dapat berperan besar dengan memanfaatkan mulai tanah pekarangan, garapan hingga sumber daya Bersama seperti air, danau, hutan dan sebagainya untuk menghasilkan berbagai jenis tanaman pangan dan obat-obatan sebagai konsumsi harian keluarga. Tanaman pekarangan umumnya tidak mendapatkan perawatan yang menggunakan bahan-bahan kimia tidak ramah lingkungan, sehingga terbebas dari pestisida maupun insektisida dengan pupuk alami. Tanaman pekarangan juga mendapat perhatian yang lebih intensif, karena berada dekat dengan kediaman. Untuk dapat memancing perubahan kebiasaan para perempuan desa dalam memperlakukan pekarangan dan makanan yang dihasilkan dari situ, para pegiat tentunya harus masuk dalam ruang-ruang dapur para ibu setempat.

Forum berbagi pengetahuan mengenai benih tanaman karbohidrat, kacang-kacangan, buah-buahan, dan menjadikannya enis-jenis makanan dan bagaimana cara menyajikannya, akan membuat para pemuda/i akan belajar banyak mengenai kekuatannya sebagai generasi selanjutnya dari pemimpin kampung. Hal ini dapat meningkatkan kepercayaan diri mereka. Pada gilirannya, peningkatan kepercayaan diri akan membuat perempuan menemukan suaranya untuk menyampaikan hal-hal penting yang dapat mengubah kehidupan mereka sendiri, serta menemukan cara untuk melakukan upaya penguatan ekonomi keluarga dengan menggunakan keterampilan yang sudah mereka miliki.

Hal penting yang perlu disadari secara rendah hati adalah bahwa masalah-masalah yang dihadapi rakyat sehari-hari di kampung-kampung akan bisa diselesaikan oleh datangnya para pelajar berpengetahuan abstrak dan umum, yang berasal dari kota. Jangan berharap demikian. Kita yang turun ke bawah itu sesungguhnya sedang belajar bersama orang-orang kampung. Ada saatnya datang, ada pula saatnya pulang. Datang menampakkan muka, pulang menampakkan punggung. Hubungan sosial dan ikatan sosial yang sudah terbangun selama periode waktu tertentu di kampung telah menjadi pembentuk pribadi para pelajar. Di lain pihak, hidup sebagian orang kampung tentu diisi juga oleh pengalaman baru  yang dimulai ketika para pelajar datang hingga saatnya para keluar dari kampung. Kita berharap, orang-orang kampung memiliki rujukan-rujukan baru yang membentuk praktik sosial kesehariannya.

Satu keberhasilan kecil yang dilakukan secara tulus, akan menghasilkan upaya-upaya lain yang lebih besar. Prinsip menjalankan upaya-upaya tersebut adalah memanfaatkan hal yang sesungguhnya telah dimiliki oleh rakyat setempat, namun tidak mereka sadari dapat menjadi potensi untuk memperbaiki kehidupan mereka sendiri. Oleh karena itu, setiap upaya yang dilakukan memang harus selalu melibatkan setiap orang yang mau aktif melakukan perubahan untuk diri dan lingkungan mereka sendiri. Dengan demikian, maka pada saatnya orang-orang dan pemimpin kampung akan dapat mengatakan: "Kami sendirilah yang mengerjakannya.*)

 

Sekian, 

NFR, Padepokan Perdikan Insist, Pakem, Yogyakarta. 10 Februari 2023



[1] Lǎo Zǐ (570-470 SM) lahir di Provinsi KuChuguo, sekarang Provinsi Henan).  Nama lain nya ditulis da;am Tionghoa: 老子, Pinyin: Lǎo Zǐ, Inggris:  Laozi atau  Lao-Tse. Ia pendiri dan Guru Besar Tao. Buku yang terkenalnya adala Tao Te Ching artinya Ajaran-ajaran Tao.

[2] Baca: Paulo Freire (2013) Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta: LP3ES)

[3] William Ryan (1971) Blaming the Victim. New York, Vintage Books.

 

[4] Roem Topatimasang (2004) Orang-orang Kalah: Kisah Penyingkiran Masyarakat Adat Kepulauan Maluku (Yogyakarta: Insist Press)  

[5] Noer Fauzi Rachman (2019) Panggilan Tanah Air. Yogyakarta: Insist Press.

[6] Buku, yang lebih baru dan penting, untuk memahami masalah agraria dan krisis sosial ekologi yang melanda rakyat adalah Noer Fauzi Rachman dan Dian Ardhy (2014) MP3EI Master Plan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial Ekologi Indonesia (Bandung: Sajogyo Institute). Buku ini adalah hasil penelitian dan kerja lapangan dari tujuh kasus di seantero Nusantara. Ketujuh kasus tersebut menjadi ilustrasi masalah agraria dan krisis sosial ekologi yang melanda kampung-kampung pedesaan, yang berada di berbagai lanskap yang berbeda-beda.

[7]  Goodyear Tire and Rubber Co., Inc., Motion Picture Division (1920)  “Island of Yesterday: Sumatra, Dutch West Indies, The” Video 09.44 https://archive.org/details/Islandof1920 (diakses 26/10/2021)

[8] Misalnya lihat: Siti Maimunah  (2015). Mollo, Pembangunan dan Perubahan Iklim: Usaha Rakyat. Memulihkan Alam yang Rusak.Jakarta: Kompas

[9] Mansour Fakih (2000) Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

[10] Lihat Siti Maimunah (2017). Tenun dan Para Penjaga Identitas. Jakarta: Terasmitra. 

[11] James Clifford & George E. Marcus  (Eds), (1986) Writing Culture: The Poetics and Politics of Ethnography. Berkeley: University of California Press.

[12] Etnografi kritis dimulai saat pelajar menyadari ketidakadilan sosial, ketidakadilan gender, penindasan politik, diskriminasi rasial, perampasan tanah, penghisapan ekonomi, marginalisasi geografis, dan sebagainya, yang dialami orang-orang yang menjadi narasumbernya. Karenanya, tugas etnografi adalah melakukan pembangkangan epistemik (epistemic disobedience) terhadap berbagai penjelasan yang melestarikan ketidakadilan itu. Lihat Walter Mignolo (2009) Epistemic Disobedience, Independent Thought and De-Colonial Freedom” dalam Theory, Culture & Society 26(7–8): 1–23.

[13] Julia & B. White (2012) “Gendered Experiences of Dispossession: Oil Palm Expansion in A Dayak Hibun Community in West Kalimantan" dalam Journal of Peasant Studies, 39(3-4), 995-1016.

[14] Lihat selanjutnya  George E. Marcus (1995) “Ethnography in/of the World System - The Emergence of Multi-Sited Ethnography” dalam Annual Review of Anthropology 24: 95-117.

[15] Salah satu contoh adalah tulisan etnografi dari Siti Maimunah di tahun 2015 mengenai hilangnya akses perempuan transmigran di Makroman akibat alih fungsi tanah menjadi wilayah tambang. Lihat: Maimunah (2014) “Makroman di Tanah Pinjaman” (Bogor: Sajogyo Institute). https://pejuangtanahair.org/mencari-makroman-di-tanah-pinjaman/ (akses terakhir 26/11/2021)

[16] Motoko Shimahami, dkk. (2015) Kikigaki, Mendengar dan Menulis. Menjembatani Manusia, Alam dan Budaya Antargenerasi, yang ditulis oleh. (Yogyakarta: Insist Press)

No comments:

Post a Comment