Beri Kesempatan pada Reforma Agraria Perkotaan

Monolog pada Rangkaian dari Kegiatan Dies Natalis FEB UI 

dan Merayakan Krisis Habitat di Kota, 

Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Senin, 31 Oktober 2022 

 

 (Menit 1:44:00 sampai 2:05:35)



 

            Tema yang saya ajukan sekarang adalah “Reforma Agraria Perkotaan”. Ini adalah suatu usulan yang diajukan karena ada krisis di dalam penguasaan tanah dan pemukiman bagi kaum miskin di kota-kota besar. Kita sadari satu masalah kota-kota besar di Indonesia, yang sebenarnya terjadi di banyak negara pasca kolonial, adalah sedang menghadapi arus besar gentrifikasi. Gentifikasi ini bila terus berlanjut akan menggusur keberadaan kampung-kampung kota yang menjadi habitat ruang hidup kaum miskin kota. 

            Kaum miskin kota ini kebanyakan dari mereka adalah limpahan dari orang-orang desa, dalam tanda petik ‘pengungsi’ akibat proses yang biasa disebut de-agrarisasi. Menghlangnya suatu ruang hidup di desa-desa. Menyempitnya pekerjaan-pekerjaan pertanian, perikanan, perternakan, perkebunan, hingga kehutanan di pedesaan, dan pada gilirannya menghilangkan minat para pemuda pemudi untuk tinggal di desa. Pada kesempatan sekarang ini saya akan membantu untuk kita mengerti bagaimana sebenarnya cara mewujudkan keadilan sosial, yang utamanya adalah mengenai ruang hidup di kota. Ini biasa disebut sebagai perjuangan untuk spatial justice atau keadilan ruang kota. Hak untuk kota atau right to the city. Ini adalah satu cara pandang gerakan sosial dan hak asasi manusia yang digerakkan oleh kenyataan hidup kaum miskin kota dan kebutuhan mereka akan kepastian serta keberlanjutan ruang hidupnya. Kita sudah tahu bahwa yang utama dari ruang hidup kaum miskin kota ini adalah hunian yang layak, kenyamanan bermukim di tengah situasi mereka sebagai orang miskin. Kita sesungguhnya memerlukan perhatian dan inisiatif, proses-proses kreatif, yang mampu membuat kaum miskin kota itu, bisa punya cara baru menjadikan mereka agen perubahan. 

            Apakah kita bagian dari intelektual perguruan tinggi yang membantu memahami situasi kaum miskin kota? Apakah kita bagian dari pengurus pemerintah yang melayani kaum miskin di kota ini? Apakah kita bagian dari perencana kota yang mempertimbangkan kehadiran ruang hidup kaum miskin kota di perkampungan-perkampungan yang padat?

            Kemudian, kita perlu memiliki suatu penghargaan terhadap pekerjaan para penggerak, pendamping, organizer, yang memberdayakan kaum miskin kota, pemimpin mereka, laki-laki dan perempuan, sehingga dapat menjadi wakil dari kaum miskin kota. Mengajak mereka berdiskusi dengan orang-orang yang berada di perguruan tinggi, orang-orang yang ada di sisi pemerintahan, serta dengan para profesi-profesi yang bekerja sebagai perencana kota. Semua ini perlu berkombinasi membentuk kekuatan yang memperjuangkan keadilan sosial, dengan menyediakan syarat-syarat keberlanjutan ruang hidup mereka, terutama penguasaan tanah yang terjamin, hunian yang layak dan permukiman nyaman. 

            Kita tahu kenyataannya sekarang bahwa kota-kota ini adalah suatu penanda yang jelas sekali dari proses akuisisi kekayaan pada segelintir orang yang mampu mengubah kota menjadi berwajah mewah, baik itu dalam bentuk permukiman gated community. Permukiman yang berpagar, dengan infrastruktur, bentuk rumah, bentuk halaman, bentuk landscape yang mewah. Kita terus juga menyaksikan adanya apartemen-apartemen raksasa, sebagai sesuatu yang belum lama terjadi. Kita lihat bagaimana apartemen ini tumbuh setelah gated community. Kita juga menyaksikan akumulasi kekayaan itu tampak dalam bentuk perkantoran-perkantoran elite yang mewah. Bagaimana tempat-tempat, mall-mall, yang juga menunjukkan perdagangan barang-barang dari seluruh dunia. 

            Pada satu pihak ada pertumbuhan kemewahan yang makin meluas, sedangkan disisi lain kita melihat bagaimana kampung-kampung kota, tempat orang-orang tetap miskin semakin padat. Orang-orang baru dari desa-desa yang mengisi bagian-bagian yang paling kotor, paling padat, paling jelek infrastrukturnya. Tidak ada jaminan sarana prasarana, seperti air bersih, jalan-jalan, pengolahan sampah, hingga saluran air kotor, dan penyediaan air bersih. 

            Istilahnya:  jomplang, kesenjangan. Kita perlu punya cara baru dengan memikirkan nasib rakyat miskin ini, sekaligus untuk keberlanjutan kota. Bagaimana keadilan ruang di perkotaan  sebagai suatu prinsip perencanaan kota, dasar filosofi yang dipakai oleh negara Republik Indonesia, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Marilah kita mulai menseriusi Reforma Agraria Perkotaan.

            Biasanya reforma agraria itu adalah sesuatu yang dibicarakan di wilayah-wilayah pedesaan atau pedalaman yang menyangkut konsentrasi penguasaan tanah oleh kapling-kapling kehutanan, perkebunan, pertambangan, dan lainnya, yang sesungguhnya mendominasi dan terus mengancam pertanian rakyat.

            Kampling-kapling itu adalah wujud gelombang konsentrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah,   kami tunjukkan di dalam satu karya tulis disebut concessionary capitalism. Jadi konsesi atau penguasaan tanah yang luas disertai pengendalian wilayah, orang dan ekologi. Ini merupakan suatu complex systems. Penting sekali disadari bahwa cara bekerja seperti ini  adalah warisan kolonial yang masih diteruskan di zaman pasca kolonial. Arus besar konsentrasi tanah ini kemudian membuat pertanian rakyat semakin kecil andilnya,  orang-orang kehilangan tanah, dan pada gilriannya menjadi miskin. Selain itu muncul juga kesulitan-kesulitan untuk melanjutkan usaha-usaha pertanian, peternakan dan juga perikanan rakyat di dalam tradisi kepulauan di Nusantara. Di lain pihak, ada kesulitan lain yang berasal dari merosotnya minat untuk bekerja di dalamnya. Selain itu, jumlah dari biaya yang diperlukan untuk menghasilkan produksi lebih besar daripada apa yang didapat dari perdagangan  nilai tukar dari komoditi yang dihasilkan. Makin lama makin kecil, dan makin merugi.  

            Statistik tahun 2003 sampai 2013 menunjukkan bahwa tiap menit Indonesia kehilangan petani, atau keluarga yang bekerja di pertanian menjadi pekerjaan non-pertanian. Lahan pertanian, berupa sawah dan ladang berubah menjadi lahan non-pertanian. Semua itu merupakan kombinasi pendorong orang pergi ke kota, lebih-lebih karena anak muda-mudi, anak-anak muda remaja, atau mereka yang biasa disekolahkan, tidak diajarkan kembali cara hidup dan kecakapan sebagai petani keluarga. Kita sering mendengar ekspresi di keluarga petani, “kerja di kota-kota, jangan di pertanian, jangan seperti ayah dan ibumu”. Ini adalah ajaran dari ilmu-ilmu pergi. Itu semua membuat mereka semua mempunyai persepsi dan kerangka memperlakukan dirinya sebagai komoditi. Maka disebut sebagai sumber daya manusia. Mereka bukan manusia yang terikat pada lingkungan tempat mereka bekerja. Mereka akan mengisi ruang kota. Jika mereka berhasil mereka akan menjadi kelas menengah. Tetapi apabila mereka tidak berhasil mereka akan memasuki ruang kerja sektor informal yang luas ini dan hidup di dalam kampung-kampung kota, dan ini sudah kita saksikan. Awal abad 21 jumlah orang yang hidup di kota-kota di Indonesia sudah lebih besar dari orang yang tinggal di desa. 

            Kita perlu punya momentum yang harus disertai dengan suatu cara kerja agar keadilan ruang   bisa diperjuangkan. Pada ruang desa dan pertanian rakyat, agenda ini biasa disebut reforma agraria, tetapi juga sekarang kita perlukan sesuatu yang namanya reforma agraria perkotaan. Bagaimana caranya dilakukan? Kita perlu perubahan dari orientasi kota yang berkelanjutan, dengan fokus pada kepastian penguasaan tanah (land tenure security), dan pembangunan permukiman yang layak dan nyaman untuk kaum miskin kota di kampung-kampung kota.

            Kita bisa menyaksikan pameran rencana kota, bahwa apa yang direncanakan oleh urban planner pada tingkat kota, itu tidak menyertakan kampung kota di dalamnya. Itu berarti ada sesuatu epistimologi penghilangan secara sistemik di dalam pikiran para urban planner itu. Hal ini  kemudian berkombinasi dengan para aspirasi modernisme dari para pemerintahan. Dua aspirasi itu bertemu perusahaan yang memang berkepentingan dengan akumulasi kekayaan dengan permukiman. Kita saksikan bagaimana unit-unit apartemen dan gated communitydiperjualbelikan dalam pasar kelas menegah hingga tingkat atas. 

            Di lain pihak, pemerintah mengalami kesulitan pengadaan tanah, dan juga pelaksanaan proyek-proyek permukiman untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Kita harus punya cara baru, kalau bisa suatu unit dinas kota harusnya punya program khusus untuk Reforma Agraria Perkotaan. INi suatu cara perlindungan pemerintah atasi arus besar gentrifikasi, dengan cara menggusur? Harusnya ada fungsi strategis perlindungan.. Bukan hanya fungsi strategis layani akumulasi modal dan fungsi strategis layani keindahan kota, atau untuk sirkulasi logistik barang infrastruktur, tetapi juga adakan fungsi strategis yang melindungi memberi tempat bagi kehidupan kaum miskin kota hidup berlanjut di kota. Kaum miskin kota pun harus mampu mengorganisasi dirinya sendiri. Kita bisa melihat selama ini gerakan anti penggusuran, baik dari rakyat maupun aktivis-aktivis, atau para intelektual progresif, mengartikulasikan protes dan kritik  bagaimana kaum miskin koyta kehilangan ruang hidup, dan seharusnya nasib kaum miskin kota ini menjadi perhatian pemerintah. 

            Kita hari ini menyaksikan perlunya usulan kebijakan baru. Jadi ada suatu moral dari kebijakan, bagaimana kaum miskin kota bisa ikut berpartisipasi dalam kebijakan yang dibuat pemerintahan kota. Ini merupakan panggilan untuk para profesional, pemerintah, administrator, dan organisasi kemasyarakatan. Matri bahu membahu membantu terciptanya kebijakan perkotaan yang berpihak pada orang miskin dan mengubah mereka. Kita sekarang bisa melihat bagaimana perlawanan ataupun kekalahan dari orang-orang yang tergusur, ada etnografi-etnografi yang dibuat, ada laporan-laporan jurnalisme, ada juga visualisasi oleh media sosial. Ada juga pemanfaatan  ruang untuk menuntut keadilan melalui administrasi pengadilan, didaftarkan sebagai perkara, dari pengadilan negeri hingga Mahkamah Konstitusi. Semua ini tampil sebagai kritik, dan kita butuh lebih daripada itu.  

            Saya melihat situasi sekarang ini sebagai panggilan agar kita memikirkan, bukan hanya kebijakan Reforma Agraria Perkotaan yang baru, tapi cara baru agar masalah kaum miskin ini bisa tampak, hadir, tidak dihilangkan dalam rencana dan desain pembangunan kota. Jadi yang pertama, perjuangan untuk bisa nampak terlihat, struggle for visibility. Nomor dua, mereka butuh utusan-utusan yang sanggup menunjukkan keadaan hidup kaum miskin, serta juga bisa menjadi pihak di dalam proses-proses perencanaan pembangunan kota. Mereka harus mampu mengartikulasikan bukan hanya kritik, tapi  usulan-usulan yang sifatnya konkret, spesifik dan praktis, sehingga bisa ditindak lanjuti. 

            Dalam tradisi ilmu sosial, sudah biasa dilakukan pendekatan seperti survey research, dan focus group discussion, terhadap kaum miskin kota. Memang hal ini dapat saja mendeskripsikan situasi kaum miskin kota. Tapi, yang saya maksudkan disini bukan hanya data yang mewakili mereka, dan diwakili elite peneliti. Tapi mereka harus punya utusan untuk menunjukkan mereka ada dengan situ- asi mereka. Ada usulan praktis yang bisa diangkat, kombinasi kerja apa yang bisa membuat utusan kaum miskin kota dibantu tampil dalam proses pembuatan kebijakan. Ini adalah perubahan perilaku, dan kita harus bisa menghargai bahwa partisipasi mereka benar-benar didasari oleh hilangnya hambatan yang membuat mereka tidak bisa partisipasi. Hambatan yang pertama adalah prasangka, stereotip, serta diskriminasi yang menghilangkan mereka dalam proses pembuatan kebijakan. Kedua, mereka tidak punya kesanggupan sebagai pelaku pembangunan. Ubahlah pandangan ini untuk menjadikan mereka pelaku dari pembangunan. Bukalah pandangan ini, ubah sampai mekanisme, sampai kepada prosedur-prosedur yang memungkinkan mereka ikut serta di dalam pelaksanaan program pembangunan. Jadi, bukan hanya mereka menjadi pemanfaat (beneficiary group). Buatlah satu proses yang memungkinkan mereka menjadi penerima, pelaksana, bahkan pihak yang mengevaluasi cocok atau tidak cocok dengan yang mereka butuhkan. Sehingga keberadaan mereka juga meningkat dari crowd, menjadi community, menjadi organized community, lalu ketika sudah masuk dalam usaha ekonomi, dapat membentuk koperasi. 

            Kalau itu terjadi dalam bentuk kampung susun seperti yang terjadi di beberapa tempat di Jakarta seperti Kampung Akuarium, atau yang lain, itu semua membutuhkan organisasi pengelola, dan mereka bisa menjadi pengelola wilayah hidupnya. Dengan begitu saya meyakini mereka bisa naik tampil dalam suatu posisi yang bisa menjadi pengelola kampung kota baru dengan organisasi. Kalau perlu koperasi dengan bentuk badan hukum formal. Pada berbagai negara lain ada yang disebut community land trust, housing cooperative, dan  ini semua bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam pengadaan permukiman. Saya pernah memfasilitasi suatu pertemuan internasional Leaders and Organizers of Community Organization in Asia (LOCOA). LOCOA ini adalah network dimana organizer, dan pemimpin kampung kota dari berbagai negara, Thailand, Jepang, Indonesia, Korea, mendiskusikan partisipasi kaum miskin kota di kota-kota besar Asia.  Ini berarti sudah ada jaringan internasionalnya. Kita harus melihat pengorganisasian di masing-masing kota itu sebagai sesuatu yang memungkinkan agendanya bermetamorfosa dari survival menuju kebijakan Reforma Agraria Perkotaan. Inilah proposal saya, usulan yang menjadi bahan pikir kita bersama.*) 

 

 

No comments:

Post a Comment