Monolog pada Rangkaian dari Kegiatan Dies Natalis FEB UI
dan Merayakan Krisis Habitat di Kota,
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Senin, 31 Oktober 2022
Tema yang saya ajukan sekarang adalah “Reforma Agraria Perkotaan”. Ini adalah suatu usulan yang diajukan karena ada krisis di dalam penguasaan tanah dan pemukiman bagi kaum miskin di kota-kota besar. Kita sadari satu masalah kota-kota besar di Indonesia, yang sebenarnya terjadi di banyak negara pasca kolonial, adalah sedang menghadapi arus besar gentrifikasi. Gentifikasi ini bila terus berlanjut akan menggusur keberadaan kampung-kampung kota yang menjadi habitat ruang hidup kaum miskin kota.
Kaum
miskin kota ini kebanyakan dari mereka adalah limpahan dari orang-orang
desa, dalam tanda petik ‘pengungsi’ akibat proses yang biasa disebut
de-agrarisasi. Menghlangnya suatu ruang hidup di desa-desa. Menyempitnya
pekerjaan-pekerjaan pertanian, perikanan, perternakan, perkebunan, hingga
kehutanan di pedesaan, dan pada gilirannya menghilangkan minat para pemuda
pemudi untuk tinggal di desa. Pada kesempatan sekarang ini saya akan
membantu untuk kita mengerti bagaimana sebenarnya cara mewujudkan keadilan
sosial, yang utamanya adalah mengenai ruang hidup di kota. Ini biasa disebut
sebagai perjuangan untuk spatial justice atau keadilan
ruang kota. Hak untuk kota atau right to the city. Ini
adalah satu cara pandang gerakan sosial dan hak asasi manusia yang
digerakkan oleh kenyataan hidup kaum miskin kota dan kebutuhan mereka akan
kepastian serta keberlanjutan ruang hidupnya. Kita sudah tahu bahwa yang
utama dari ruang hidup kaum miskin kota ini adalah hunian yang layak,
kenyamanan bermukim di tengah situasi mereka sebagai orang miskin. Kita
sesungguhnya memerlukan perhatian dan inisiatif, proses-proses kreatif, yang
mampu membuat kaum miskin kota itu, bisa punya cara baru menjadikan mereka
agen perubahan.
Apakah
kita bagian dari intelektual perguruan tinggi yang membantu memahami situasi
kaum miskin kota? Apakah kita bagian dari pengurus pemerintah yang melayani
kaum miskin di kota ini? Apakah kita bagian dari perencana kota yang
mempertimbangkan kehadiran ruang hidup kaum miskin kota di
perkampungan-perkampungan yang padat?
Kemudian,
kita perlu memiliki suatu penghargaan terhadap pekerjaan para penggerak,
pendamping, organizer, yang memberdayakan kaum miskin kota, pemimpin
mereka, laki-laki dan perempuan, sehingga dapat menjadi wakil dari kaum
miskin kota. Mengajak mereka berdiskusi dengan orang-orang yang berada di
perguruan tinggi, orang-orang yang ada di sisi pemerintahan, serta dengan
para profesi-profesi yang bekerja sebagai perencana kota. Semua ini perlu
berkombinasi membentuk kekuatan yang memperjuangkan keadilan sosial, dengan
menyediakan syarat-syarat keberlanjutan ruang hidup mereka, terutama
penguasaan tanah yang terjamin, hunian yang layak dan permukiman
nyaman.
Kita
tahu kenyataannya sekarang bahwa kota-kota ini adalah suatu penanda yang
jelas sekali dari proses akuisisi kekayaan pada segelintir orang yang mampu
mengubah kota menjadi berwajah mewah, baik itu dalam bentuk
permukiman gated community. Permukiman yang berpagar, dengan
infrastruktur, bentuk rumah, bentuk halaman, bentuk landscape yang mewah.
Kita terus juga menyaksikan adanya apartemen-apartemen raksasa, sebagai
sesuatu yang belum lama terjadi. Kita lihat bagaimana apartemen ini tumbuh
setelah gated community. Kita juga menyaksikan akumulasi
kekayaan itu tampak dalam bentuk perkantoran-perkantoran elite yang mewah.
Bagaimana tempat-tempat, mall-mall, yang juga menunjukkan perdagangan
barang-barang dari seluruh dunia.
Pada
satu pihak ada pertumbuhan kemewahan yang makin meluas, sedangkan disisi
lain kita melihat bagaimana kampung-kampung kota, tempat orang-orang tetap
miskin semakin padat. Orang-orang baru dari desa-desa yang mengisi
bagian-bagian yang paling kotor, paling padat, paling jelek
infrastrukturnya. Tidak ada jaminan sarana prasarana, seperti air bersih,
jalan-jalan, pengolahan sampah, hingga saluran air kotor, dan penyediaan air
bersih.
Istilahnya: jomplang,
kesenjangan. Kita perlu punya cara baru dengan memikirkan nasib rakyat
miskin ini, sekaligus untuk keberlanjutan kota. Bagaimana keadilan ruang di
perkotaan sebagai suatu prinsip perencanaan kota, dasar filosofi
yang dipakai oleh negara Republik Indonesia, keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Marilah kita mulai menseriusi Reforma Agraria
Perkotaan.
Biasanya
reforma agraria itu adalah sesuatu yang dibicarakan di wilayah-wilayah
pedesaan atau pedalaman yang menyangkut konsentrasi penguasaan tanah oleh
kapling-kapling kehutanan, perkebunan, pertambangan, dan lainnya, yang
sesungguhnya mendominasi dan terus mengancam pertanian rakyat.
Kampling-kapling
itu adalah wujud gelombang konsentrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah, kami tunjukkan di dalam satu karya tulis
disebut concessionary capitalism. Jadi konsesi atau penguasaan
tanah yang luas disertai pengendalian wilayah, orang dan ekologi. Ini
merupakan suatu complex systems. Penting sekali disadari bahwa
cara bekerja seperti ini adalah warisan kolonial yang masih
diteruskan di zaman pasca kolonial. Arus besar konsentrasi tanah ini
kemudian membuat pertanian rakyat semakin kecil
andilnya, orang-orang kehilangan tanah, dan pada gilriannya
menjadi miskin. Selain itu muncul juga kesulitan-kesulitan untuk melanjutkan
usaha-usaha pertanian, peternakan dan juga perikanan rakyat di dalam tradisi
kepulauan di Nusantara. Di lain pihak, ada kesulitan lain yang berasal dari
merosotnya minat untuk bekerja di dalamnya. Selain itu, jumlah dari biaya
yang diperlukan untuk menghasilkan produksi lebih besar daripada apa yang
didapat dari perdagangan nilai tukar dari komoditi yang
dihasilkan. Makin lama makin kecil, dan makin merugi.
Statistik
tahun 2003 sampai 2013 menunjukkan bahwa tiap menit Indonesia kehilangan
petani, atau keluarga yang bekerja di pertanian menjadi pekerjaan
non-pertanian. Lahan pertanian, berupa sawah dan ladang berubah menjadi
lahan non-pertanian. Semua itu merupakan kombinasi pendorong orang pergi ke
kota, lebih-lebih karena anak muda-mudi, anak-anak muda remaja, atau mereka
yang biasa disekolahkan, tidak diajarkan kembali cara hidup dan kecakapan
sebagai petani keluarga. Kita sering mendengar ekspresi di keluarga petani,
“kerja di kota-kota, jangan di pertanian, jangan seperti ayah dan ibumu”.
Ini adalah ajaran dari ilmu-ilmu pergi. Itu semua membuat mereka semua
mempunyai persepsi dan kerangka memperlakukan dirinya sebagai komoditi. Maka
disebut sebagai sumber daya manusia. Mereka bukan manusia yang terikat pada
lingkungan tempat mereka bekerja. Mereka akan mengisi ruang kota. Jika
mereka berhasil mereka akan menjadi kelas menengah. Tetapi apabila mereka
tidak berhasil mereka akan memasuki ruang kerja sektor informal yang luas
ini dan hidup di dalam kampung-kampung kota, dan ini sudah kita saksikan.
Awal abad 21 jumlah orang yang hidup di kota-kota di Indonesia sudah lebih
besar dari orang yang tinggal di desa.
Kita
perlu punya momentum yang harus disertai dengan suatu cara kerja agar
keadilan ruang bisa diperjuangkan. Pada ruang desa dan
pertanian rakyat, agenda ini biasa disebut reforma agraria, tetapi juga
sekarang kita perlukan sesuatu yang namanya reforma agraria perkotaan.
Bagaimana caranya dilakukan? Kita perlu perubahan dari orientasi kota yang
berkelanjutan, dengan fokus pada kepastian penguasaan tanah (land tenure security), dan pembangunan permukiman yang layak dan nyaman untuk kaum miskin kota
di kampung-kampung kota.
Kita
bisa menyaksikan pameran rencana kota, bahwa apa yang direncanakan
oleh urban planner pada tingkat kota, itu tidak menyertakan
kampung kota di dalamnya. Itu berarti ada sesuatu epistimologi penghilangan
secara sistemik di dalam pikiran para urban planner itu.
Hal ini kemudian berkombinasi dengan para aspirasi modernisme
dari para pemerintahan. Dua aspirasi itu bertemu perusahaan yang memang
berkepentingan dengan akumulasi kekayaan dengan permukiman. Kita saksikan
bagaimana unit-unit apartemen dan gated communitydiperjualbelikan dalam pasar kelas menegah hingga tingkat atas.
Di
lain pihak, pemerintah mengalami kesulitan pengadaan tanah, dan juga
pelaksanaan proyek-proyek permukiman untuk masyarakat berpenghasilan rendah
(MBR). Kita harus punya cara baru, kalau bisa suatu unit dinas kota harusnya
punya program khusus untuk Reforma Agraria Perkotaan. INi suatu cara
perlindungan pemerintah atasi arus besar gentrifikasi, dengan cara
menggusur? Harusnya ada fungsi strategis perlindungan.. Bukan hanya fungsi
strategis layani akumulasi modal dan fungsi strategis layani keindahan kota,
atau untuk sirkulasi logistik barang infrastruktur, tetapi juga adakan
fungsi strategis yang melindungi memberi tempat bagi kehidupan kaum miskin
kota hidup berlanjut di kota. Kaum miskin kota pun harus mampu
mengorganisasi dirinya sendiri. Kita bisa melihat selama ini gerakan anti
penggusuran, baik dari rakyat maupun aktivis-aktivis, atau para intelektual
progresif, mengartikulasikan protes dan kritik bagaimana kaum
miskin koyta kehilangan ruang hidup, dan seharusnya nasib kaum miskin kota
ini menjadi perhatian pemerintah.
Kita
hari ini menyaksikan perlunya usulan kebijakan baru. Jadi ada suatu moral
dari kebijakan, bagaimana kaum miskin kota bisa ikut berpartisipasi dalam
kebijakan yang dibuat pemerintahan kota. Ini merupakan panggilan untuk para
profesional, pemerintah, administrator, dan organisasi kemasyarakatan. Matri
bahu membahu membantu terciptanya kebijakan perkotaan yang berpihak pada
orang miskin dan mengubah mereka. Kita sekarang bisa melihat bagaimana
perlawanan ataupun kekalahan dari orang-orang yang tergusur, ada
etnografi-etnografi yang dibuat, ada laporan-laporan jurnalisme, ada juga
visualisasi oleh media sosial. Ada juga pemanfaatan ruang untuk
menuntut keadilan melalui administrasi pengadilan, didaftarkan sebagai
perkara, dari pengadilan negeri hingga Mahkamah Konstitusi. Semua ini tampil
sebagai kritik, dan kita butuh lebih daripada itu.
Saya
melihat situasi sekarang ini sebagai panggilan agar kita memikirkan, bukan
hanya kebijakan Reforma Agraria Perkotaan yang baru, tapi cara baru agar
masalah kaum miskin ini bisa tampak, hadir, tidak dihilangkan dalam rencana
dan desain pembangunan kota. Jadi yang pertama, perjuangan untuk bisa nampak
terlihat, struggle for visibility. Nomor dua, mereka butuh
utusan-utusan yang sanggup menunjukkan keadaan hidup kaum miskin, serta juga
bisa menjadi pihak di dalam proses-proses perencanaan pembangunan kota.
Mereka harus mampu mengartikulasikan bukan hanya kritik,
tapi usulan-usulan yang sifatnya konkret, spesifik dan praktis,
sehingga bisa ditindak lanjuti.
Dalam
tradisi ilmu sosial, sudah biasa dilakukan pendekatan seperti survey research, dan focus group discussion, terhadap kaum miskin kota. Memang hal ini dapat saja mendeskripsikan
situasi kaum miskin kota. Tapi, yang saya maksudkan disini bukan hanya data
yang mewakili mereka, dan diwakili elite peneliti. Tapi mereka harus punya
utusan untuk menunjukkan mereka ada dengan situ- asi mereka. Ada usulan
praktis yang bisa diangkat, kombinasi kerja apa yang bisa membuat utusan
kaum miskin kota dibantu tampil dalam proses pembuatan kebijakan. Ini adalah
perubahan perilaku, dan kita harus bisa menghargai bahwa partisipasi mereka
benar-benar didasari oleh hilangnya hambatan yang membuat mereka tidak bisa
partisipasi. Hambatan yang pertama adalah prasangka, stereotip, serta
diskriminasi yang menghilangkan mereka dalam proses pembuatan kebijakan.
Kedua, mereka tidak punya kesanggupan sebagai pelaku pembangunan. Ubahlah
pandangan ini untuk menjadikan mereka pelaku dari pembangunan. Bukalah
pandangan ini, ubah sampai mekanisme, sampai kepada prosedur-prosedur yang
memungkinkan mereka ikut serta di dalam pelaksanaan program pembangunan.
Jadi, bukan hanya mereka menjadi pemanfaat
(beneficiary group). Buatlah satu proses yang
memungkinkan mereka menjadi penerima, pelaksana, bahkan pihak yang
mengevaluasi cocok atau tidak cocok dengan yang mereka butuhkan. Sehingga
keberadaan mereka juga meningkat dari crowd, menjadi
community, menjadi organized community, lalu ketika sudah masuk
dalam usaha ekonomi, dapat membentuk koperasi.
Kalau
itu terjadi dalam bentuk kampung susun seperti yang terjadi di beberapa
tempat di Jakarta seperti Kampung Akuarium, atau yang lain, itu semua
membutuhkan organisasi pengelola, dan mereka bisa menjadi pengelola wilayah
hidupnya. Dengan begitu saya meyakini mereka bisa naik tampil dalam suatu
posisi yang bisa menjadi pengelola kampung kota baru dengan organisasi.
Kalau perlu koperasi dengan bentuk badan hukum formal. Pada berbagai negara
lain ada yang disebut community land trust, housing cooperative,
dan ini semua bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam
pengadaan permukiman. Saya pernah memfasilitasi suatu pertemuan
internasional Leaders and Organizers of Community Organization in Asia (LOCOA). LOCOA ini
adalah network dimana organizer, dan pemimpin
kampung kota dari berbagai negara, Thailand, Jepang, Indonesia, Korea,
mendiskusikan partisipasi kaum miskin kota di kota-kota besar
Asia. Ini berarti sudah ada jaringan internasionalnya. Kita harus
melihat pengorganisasian di masing-masing kota itu sebagai sesuatu yang
memungkinkan agendanya bermetamorfosa dari survival menuju
kebijakan Reforma Agraria Perkotaan. Inilah proposal saya, usulan yang
menjadi bahan pikir kita bersama.*)
No comments:
Post a Comment