Inspirasi untuk Kebijakan Land Reform, Resensi Michael Lipton (2009) Land Reform in Developing Countries


Noer Fauzi Rachman

Judul Buku    Land Reform in Developing Countries, Property Rights and Property Wrongs
Penulis            : Michael Lipton
Penerbit          : Routledge
Tahun terbit  : 2009
Jumlah           : 456 halaman



                                                                                               
In many developing countries, land reform is a live, often burning, 
issue twenty years after the end of the cold war. 
The debate about land reform is alive and well. 
So is land reform itself. And they should be. 
(Lipton, 2009:322).

Para peneliti land reform sekarang ini tidak boleh mengabaikan karya-karya akademik Michael Lipton, termasuk buku barunya yang terbit tahun 2009 lalu, yakni Land Reform in Developing Countries: Property Rights and Property Wrong.  

Siapakah Michael Lipton? Lipton lahir tahun 1937 di London, Inggris. Karir terakhirnya sebagai professor riset pada Institute of Development Studies, University of Sussex, khususnya pada Unit Penelitian Kemiskinan (Poverty Research Unit) yang ia dirikan. Kaliber, pengaruh dan kemashurannya melebihi disiplin ekonomi pembangunan, tempat ia berangkat. David Simon, penulis buku Fifty Key Thinkers on Development (2006) memasukkan Michael Lipton dalam daftar limapuluh Pemikir Pembangunan terkemuka di dunia. John Harris yang menulis entri mengenai Lipton dalam buku itu. Ia menguraikan perjalanan karir intelektualnya semenjak menjadi murid Paul Streeten, membantu Gunnar Myrdal menuliskan draf bagian apendiks 10 mengenai iklim, menyiapkan analisis yang intensif mengenai data-data akunting nasional dari negara-negara Asia Selatan, dan analisis perbandingan mengenai pembangunan Asia Selatan yang kemudian menghasilkan buku yang penting Why Poor People Stay Poor: Urban Bias and World Development (1977), hingga menjadi pengkritik revolusi hijau dan penganjur land reform (atau agrarian reform, reforma agraria).

Setelah memeriksa karya-karya utamanya, Harris menyimpulkan bahwa di sepanjang karirnya baik sebagai peneliti, penulis, maupun konsultan badan-badan pembangunan internasional, Lipton punya keteguhan untuk membela produser pertanian skala kecil dan peran pertanian dalam pembangunan. Dalam hal ini, Lipton sangat dipengaruhi oleh pemikiran Alexander Chayanov, seorang ekonom dan sosiolog agraria dan pedesaan dari Rusia.

Salah satu argumen utama yang dikedepankan Lipton, dan yang terinspirasi oleh pemikiran Chayanov (1888–1937) adalah prinsip inverse relationship between productivity and farm size. Pada pokoknya, ia menyatakan bahwa unit produksi pertanian skala kecil jauh lebih efisien – perbandingan hasil panen per satuan wilayah – dibandingkan unit produksi pertanian skala besar.

Belum lama ini prinsip tersebut dikemas dan ditampilkan kembali dengan bahan-bahan penelitian kontemporer oleh Keith Griffin, Azizur Rahman Khan and Amy Ickowitz. Di bawah pengaruh Lipton, mereka bertiga menulis artikel yang terkenal yaitu “Poverty and the Distribution of Land dalam Journal of Agrarian Change No. 2(3): 279-330. Artikel ini mendapatkan apresiasi dan kritik yang serius dari kalangan Marxis dalam Journal of Agrarian Change 2004 No.4 (1&2). Mereka bertiga kemudian menanggapi kritik-kritik tersebut dalam karya “In Defence of Neo-Classical Neo-Populism”, Journal of Agrarian Change 2004 No. 4(3):361–386.

 Sumbangan lain dari Lipton yang banyak mendapat perhatian kalangan akademis dan pembuat kebijakan adalah konsep bias kota (urban bias), yakni ide bahwa kebijakan pembangunan di negara-negara berkembang mengutamakan produksi dan harga bahan makanan murah dibuat dalam rangka melayani kepentingan-kepentingan penduduk kota. Kebijakan ini pada gilirannya akan mendukung bekerjanya kapitalisme industri, namun ia berjalan dengan pengorbanan para petani kecil dan pekerja pertanian lainnya yang miskin.

 Pengaruh Lipton dan sarjana neo-populis lainnya bisa dilihat dalam sebuah laporan pembangunan yang sangat terkenal di kalangan badan-badan internasional yakni Rural Poverty Report 2001: The Challenge of Ending Rural Poverty, yang diterbitkan oleh IFAD (International Fund for Agricultural Development).

 Laporan tersebut menganjurkan keunggulan dari pertanian skala kecil (small-farm/smallholder) yang dapat diandalkan dalam upaya peningkatan produktifitas, dan karenanya mereka menganjurkan untuk meredistribusikan tanah-tanah tidak produktif, baik yang dikuasai oleh negara, tuan tanah, atau pengusaha perkebunan skala besar  bagi para petani melalui kebijakan reforma agraria sebagai strategi yang handal untuk pemberantasan kemiskinan.

 Karya utama Lipton sebelumnya mengenai reforma agraria adalah (i) "Towards a Theory of Land Reform", dalam D. Lehmann (Ed.) Agrarian Reform and Agrarian Reformism (Cambridge: Cambridge University Press, 1974); dan (ii) “Land reform as commenced business: the evidence against stopping” yang dimuat dalam jurnal World Development No. 21/1993.

 Dalam karyanyaTowards a Theory of Land Reformitu, Lipton berangkat dengan suatu kepercayaan bahwa reforma agraria adalah “jalan utama yang perlu ditempuh menuju pemerataan dalam kehidupan pedesaan dengan menganggap bahwa tanah adalah sumber daya utama yang terbatas dan karenanya merupakan sumber utama pula dalam ketidaksamaan dan ketimpangan kekuasaan di pedesaan” (Lipton 1974:271).

 Di sini pula Lipton mendefinisikan reforma agraria yang “mencakup (1) pengambilalihan tanah secara paksa, yang sering kali (a)oleh negara, (b)dari pemilik tanah luas, dan (c)dengan kompensasi sebagian; dan (2) penggarapan tanah pertanian tersebut dengan cara sedemikian rupa untuk memperluas keuntungan dari hubungan baru manusia pedesaan dengan tanah dibanding sebelum pengambilalihan tanah tersebut. Negara dapat memberikan, menjual atau menyewakan tanah tersebut untuk penggarapan individual (distributivist reform) atau tanah-tanah itu dikelompokkan secara bersatu dan pemanfaatannya dilakukan secara bersama melalui koperasi, kolektif, maupun usaha pertanian negara (collectivist reform)” (Lipton 1974:270).

 Reforma agraria yang memang merupakan suatu kebijakan pemerataan, setidaknya diniatkan demikian,dapat saja meningkatkan memacu pertumbuhan, tapi pertumbuhan bukanlah motivasi utama dari dijalankan kebijakan reforma agraria. Motivasi utamanya adalah untuk mengurangi kemiskinan melalui mengurangan ketimpangan, meskipun tidak niscaya menolong mereka yang paling miskin, atau semua orang miskin di pedesaan.

 Dalam karya berikutnya, "Land Reform as Commenced Business: The Evidence against Stopping”, Lipton mendebat argumen-argumen para sarjana yang merendahkan pentingnya reforma agraria sebagai suatu jalan untuk meningkatkan pendapatan dan memberdayakan kaum miskin pedesaan. Bagi Lipton, reforma agraria adalah urusan yang baru saja dimulai, yang sama sekali tidak relevan untuk dihentikan.

 Memang, dalam karya-karya terdahulunya Lipton belum mempertimbangkan kemudahan akses orang miskin di pedesaan pada sumber pendapatan dari kota. Tapi dalam karya barunya Land Reform in Developing Countries: Property Rights and Property Wrongs (2009), Lipton menjawab bahwa situasi ketimpangan kekayaan yang mencolok di pedesaan yang dilandasi oleh ketimpangan penguasaan tanah, sama sekali tidak berarti hilangnya reforma agraria sebagai prioritas kebijakan pembangunan pedesaan. Urbanisasi tidaklah menghilangkan andil yang menentukan dari pekerjaan pertanian skala kecil dalam menyangga kehidupan kaum miskin pedesaan.

 Membaca karya barunya ini,  kita akan menikmati karya puncak dari seorang Guru, penganjur reforma agraria ternama di dunia. Dalam karya masterpiece terbaru itu,, Lipton menteorisasi dan membuat taksonomi praktek land reform di seantero negara yang sedang berkembang. Lipton berargumen bahwa bahwa debat tentang land reform di Negara berkembang tetaplah merupakan isu yang hidup dan sering kali merupakan “isu yang panas membara dalam kurun waktu dua puluan tahun setelah perang dingin berlalu di tahun 1990-an. Debat tentang land reform sekarang ini sungguh hidup dan baik. Demikian pula land reform itu sendiri. Dan memang seharusnya demikian” (Lipton 2009: 322).

         Saya mengajurkan untuk terlebih dahulu membaca Appendix “Defining land reform” dari buku Land Reform in Developing Countries. Property Rights and Property Wrong, halaman 323-330. Appendix tujuh halaman itu menyajikan suatu cara bagaimana Lipton sampai pada definisi land reform yang dianjurkannya. Keseriusan Lipton dalam memberikan uraian detil membuat kita bersetuju dengan definisi itu dan dengan demikian membuat definisi itu menjadi otoritatif. Bab 1-2 mendiskusikan berbagai hubungan land reform sesuai dengan tujuan-tujuan para pendukungnya. Bab 3-6 mengemukakan tipe-tipe dan contoh land reform dan menilai apakah (cocok tidaknya dan bagaimana kah) land reform itu dengan definsisi yang dianjurkannya.  Ia mendefinisikan  land reform sebagai “legislasi yang diniatkan dan benar-benar diperuntukan meredistribusi kepemilikan, (mewujudkan) klaim-klaim, atau hak-hak atas tanah pertanian, dan dijalankan untuk memberi manfaat  pada kaum miskin dengan cara meningkatkan status, kekuasaan, dan pendapatan absolut maupun relatif mereka, berbanding dengan situasi tanpa legislasi tersebut” (Lipton, 2009:328).

Bogor, 11 Desember 2012


Daftar Pustaka 

Lipton, Michael. 1974. "Towards a Theory of Land Reform", Agrarian Reform and Agrarian Reformism (Cambridge: Cambridge University Press, 1974).

_____. 1977  Why Poor People Stay Poor: Urban Bias and World Development (Cambridge: Harvard University Press, 1977)

_____. 1993. “Land reform as commenced business: the evidence against stopping” World Development 21:641-657.

_____. 2009. Land Reform in Developing Countries. Property Rights and Property Wrong (London: Routledge)

IFAD. 2001. Rural Poverty Report 2001: The Challenge of Ending Rural Poverty. (Roma: International Fund for Agricultural Development).

Griffin, Keith, Azizur Rahman Khan and Amy Ickowitz. 2002. “Poverty and the Distribution of Land Journal of Agrarian Change No. 2(3): 279-330.

_____. “In Defence of Neo-Classical Neo-Populism”, Journal of Agrarian Change 2004 No. 4(3):361–386.

Rachman, Noer Fauzi. 2012. Land Reform dari Masa ke Masa, 1945-2009. (Yogjakarta: Tanah Air Beta bekrjasama dengn Konsorsium Pembaruan Agraria).

Simpson, Bradley. Economists with Guns: Authoritarian Development and U.S.- Indonesian. Relations, 1960-1968. Stanford, California: Stanford University

_____ 2009. “Indonesia’s “Accelerated Modernization” and the Global Discourse of Development, 1960–1975. Diplomatic History 33:467–486.

 


No comments:

Post a Comment