Noer Fauzi Rachman
Dimuat dalam Kompas, 5 Juli 2017. Kembali ke Fitrah Orang Indonesia
Khutbah Iedul Fitri 25 Juni 2017 oleh Profesor Quraish Sihab di Masjid Istiqlal memberi rujukan yang penting untuk mengajak Muslim Indonesia “dengan jiwa kuat penuh optimism” kembali ke fitrah sebagai bangsa, “betapa pun beratnya tantangan dan sulitnya situasi”. Ia menjalankan tugas utama ulama dalam menyampaikan tanda-tanda zaman, dan memberi panduan ke masa depan dengan menyadari bahwa keadaan saat ini adalah hasil dari perbuatan kita masa lampau. Situasi masyarakat Indonesia saat ini, menurutnya, secara sosial sedang sakit, dengan tanda utama “menyebarluaskan fitnah dan hoax serta menanamkan perilaku buruk serta untuk memecah belah persatuan dan kesatuan”. Ironisnya, masyarakat yang sakit ini tidak menyadari bahwa dia sakit. Mereka bagaikan orang yang telah selesai menenun, kemudian membuat tenunannya menjadi pakaian, lalu melepaskan pakaiannya dan satu persatu mengurai pakaiannya itu menjadi benang kembali.
Pesan utama khutbahnya adalah kembali ke fitrah, asal kejadian, kita sebagai orang Indonesia. ”Kita semua satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air dan kita semua telah sepakat ber-Bhineka Tunggal Ika, dan menyadari bahwa Islam, bahkan agama-agama lainnya, tidak melarang kita berkelompok dan berbeda. Yang dilarang-Nya adalah berkelompok dan berselisih.”
Lebih dari itu, Quraish Sihab menegaskan posisi cinta tanah air sebagai fitrah, “karena manusia diciptakan Allah dari tanah, maka tidak heran jika nasionalisme, patriotisme, cinta tanah air, merupakan yakni naluri manusia… Tanah air adalah ibu pertiwi yang sangat mencintai kita sehingga mempersembahkan segala buat kita, kita pun secara naluriah mencintainya… Karena itulah, hubbu al-wathan minal iman, cinta tanah air adalah manfestasi dan dampak keimanan. Tidak heran jika Allah menyandingkan iman dengan tanah air (Q.S Al-Hasyr ayat 9)… Demikian pembelaan agama dan pembelaan tanah air yang disejajarkan oleh Allah.”
Kita yang “mencintai sesuatu akan memeliharanya, menampakkan dan mendendangkan keindahannya serta menyempurnakan kekurangannya bahkan bersedia berkorban untuknya. Tanah air kita, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, harus dibangun dan dimakmurkan serta dipelihara persatuan dan kesatuannya. Persatuan dan kesatuan adalah anugerah Allah yang tidak ternilai… Sebaliknya, perpecahan dan tercabik-cabiknya masyarakat adalah bentuk siksa Allah. Itulah antara lain yang diuraikan Al-Quran menyangkut masyarakat Saba’, negeri yang tadinya dilukiskan Al-Quran sebagai baldatun thayyibatum wa rabbun ghafur, negeri sejahtera yang dinaungi ampunan Illahi tapi mereka durhaka dengan menganiaya diri mereka, menganiaya negeri mereka.”
Dengan ibarat planet-planet dalam tata surya, Quraish Shihab mengutamakan lima prinsip pokok sebagai kesatuan dalam kondisi eksistensi filosofi Indonesia sebagai identitas keIndonsiaan, pertama, semua makhluk kendati berbeda-beda namun semua diciptakan dan di bawah kendali Allah, wahdat al-wujud; Kedua, kesatuan kemanusiaan. Semua manusia berasal dari tanah, sehingga semua sama kemanusiaannya; Ketiga, di pusat tauhid beredar juga kesatuan bangsa. Kendati mereka berbeda agama, dan suku, berbeda kepercayaan atau pandangan politik, mereka semua bersaudara, dan berkedudukan sama dari kebangsaan. Keempat, kita duduk bersama bermusyawarah demi kemaslahatan; dan kelima, kesadaran tujuan bersama, yakni mewujudkan keadilan sosial.
Pandu Tanah Air
Khutbah Iedul Fitri prof. Quraish Shihab itu sungguh mempesona. Bukanlah kebetulan khutbah ini dilakukan di masjid Istiqlal, yang secara harfiah berarti masjid kemerdekaan. Penulis merasa penting untuk menghubungkan isi pokok dari khutbah itu dengan filosofi perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka dari penjajahan. Satu pusaka yang terpenting terdapat pada lirik lengkap lagu Indonesia Raya, yang sesungguhnya memanggil kita, terutama para pemuda dan pemudi, menjadi pandu tanah air, merintis dan membangun tanah air kita, mulai dari tempat kita berasal dan berangkat, kampung/desa atau apapun nama setempat, lalu menjadikan Indonesia sebagai tampat dan sasaran pengabdian (sebagaimana dalam frasa Muhammad Yamin “tumpah darahku, Indonesia namanya”).
Lirik lagu Indonesia Raya itu selengkapnya terdiri dari tiga stanza. Perhatikanlah persandingan bait (empat baris) pertama dari tiap stanza, sebagaimana dihadirkan dalam Undang-undang No 24/2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Di bait pertama di stanza pertama, termuat alasan ideologis untuk kita berperan sebagai pemandu. Karena “Indonesia tanah airku”, “tanah tumpah darahku”, maka “di sanalah aku berdiri”, “jadi pandu ibuku” (bait pertama dari stanza pertama); Karena “Indonesia tanah yang mulia”, “tanah kita yang kaya”, maka “di sanalah aku berdiri”, “untuk selama-lamanya” (bait pertama dari stanza kedua); dan karena “Indonesia tanah yang suci, tanah kita yang sakti,” maka “di sanalah aku berdiri, menjaga ibu sejati” (dari bait pertama dari stanza ketiga). Lihat persandingan tiap-tiap stanza ini. Bait pertama, stanza pertama menekankan “aku”, sementara di bait pertama, stanza kedua dan ketiga menekankan “kita”.
Bait kedua dari stanza pertama mengedepankan pentingnya identitas kebangsaan dari tanah air Indonesia sebagai pemersatu. Lalu, sebagai pusaka kita semua, kita harus “mendoa Indonesia bahagia”. Akhirnya, sebagai “tanah berseri” dan karenanya “aku sayangi”, “kita berjanji Indonesia abadi”. Selanjutnya, isi bait ketiga dari masing-masing stanza, dan perbandingan bait ketiga di stanza pertama, kedua dan ketiga, akan menghasilkan hadirnya suatu filosofi yang diperlukan agar Indonesia abadi. Pahamilah bahwa filosofi ini lahir sebagai tandingan terhadap politik penjajahan penguasaan negara kerjaaan Belanda atas bangsa Indonesia, sehingga ditanamkan semangat kebangsaan, semangat pembangunan. “Hiduplah tanahku, Hiduplah negeriku; Bangsaku, Rakyatku, semuanya; Bangunlah jiwanya; Bangunlah badannya. Untuk Indonesia Raya.” Lalu dilanjutkan dengan keperluan untuk memakmurkan Indonesia. “Suburlah tanahnya, Suburlah jiwanya; Bangsanya, Rakyatnya, semuanya; Sadarlah hatinya, sadarlah budinya; Untuk Indonesia Raya”, dan diakhiri dengan tibanya Indonesia pada situasi selamat. “Selamatlah rakyatnya, selamatlah putranya; Pulaunya, lautnya, semuanya; Majulah Negerinya, Majulah pandunya; Untuk Indonesia Raya.”
Menghadirkan kembali lagu Indonesia Raya
Penulis prihatin sekali masih sedikit sekali orang Indonesia yang mengetahui dan bisa menyanyikan lagu Indonesia secara lengkap tiga stanza, sehingga makna filosofisnya diabaikan. Pengabaian untuk menyanyikan dan memperdengarkannya ini merupakan bagian dari krisis orientasi ideologis kebangsaan Indonesia saat ini. Di akhir kwartal 2017 ini, Kementerian Pendidikan dan Kemendikbud, Direktorat Jenderal Kebudayaan, sedang menyiapkan tutorial Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Tutorial ini menyajikan cara membawakan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dengan baik dan benar sesuai aturan Undang-undang No 24/2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Mendikbud, Muhadjir Efendi, telah mengeluarkan Surat Edaran khusus (nomor 21042/MPK/PR/2017) yang ditujukan kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di seluruh Indonesia, yang didalamnya menginstruksikan agar tiap-tiap sekolah mewajibkan siswa untuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya di setiap awal kegiatan belajar mengajar, selain memasang naskah Pancasila, foto Presiden dan Wakil Presiden serta foto-foto pahlawan nasional di ruangan kelas.
Hal ini dapat menjawab kebutuhan kita untuk menghadapi krisis identitas dan kebingungan peran dari tiap-tiap remaja Indonesia yang sedang menuju dewasa awal. Mereka memerlukan panduan ideologis. Ketika paham kebangsaan tidak memberi panduan, maka situasi kerentanan psikososial itu dapat diisi dengan ideologi lain yang memberi kerangka bagi identitas dan peran mereka sekarang dan untuk kemudian hari. Sesungguhnya, Indonesia sudah menyediakan panduan ideologis itu dalam dalam lirik lagu Indonesia Raya selengkapnya, tiga stanza. Ia adalah pusaka yang diwariskan oleh para pemuda-pemudi Indonesia saat perjuangan kemerdekaan terdahulu, dan akan menjadi abadi oleh perbuatan kita, para pandu tanah air.*)
.
No comments:
Post a Comment