“Memperkuat Konstitusi Agraria menjadi Konstitusi Reforma Agraria”


Rachman, Noer Fauzi. (2023). "Memperkuat Konstitusi Agraria menjadi Konstitusi Reforma Agraria", dalam Menelusuri Pemikiran Hukum Agraria Prof. Maria S.W. Sumardjono. Ismail, Nurhasan, Simarmata, Rikardo, &  Bosko, Rafael Edy (Penyunting).   Yogyakarta: Genta Publishing, hlm. 109-128.


“UUD 1945 merupakan konstitusi agraria yang berisi mengenai prinsip-prinsip dan norma-norma mengenai hubungan penguasaan atas tanah dan sumber daya alam antara negara dan warga negara. Namun demikian, dari sisi teks, norma mengenai reforma agraria dalam UUD 1945 masih terlalu tipis dan sumir sehingga seringkali ketentuan tersebut malah ditafsirkan bukan untuk diarahkan kepada perwujudan keadilan agraria dan menjadikan rakyat selaku pemilik atas tanah air Indonesia sebagai aktor utama dalam kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam. Oleh karena itu diperlukan cara baru untuk memperkuat konstitusi agraria menjadi konstitusi reforma agraria.” 

Yance Arizona (2014:434, huruf tebal dari NFR)

 

Pendahuluan

            Mochammad Tauchid (1952) menegaskan bahwa masalah agraria adalah “masalah penghidupan dan kemakmuran rakyat Indonesia”. Dalam “Kata Pengantar” dari buku Masalah Agraria, sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, jilid 1, ia menulis bahwa 

“rakyat langsung merasakan akibat politik agraria kolonial Belanda berupa kemiskinan dan kesengsaraannya ... buku ini bukan sekedar kupasan tentang politik yang terdapat dalam Hukum Agraria Pemerintah Hindia Belanda, bagai- mana prakteknya dengan segala akibatnya. Juga hak-hak tanah menurut hukum adat dengan segala peraturan yang mengikutinya. ...(A)gar dalam usaha kita menyelesaikan soal ini mempunyai gambaran, mengetahui pangkal yang menimbulkan keadaan semacam ini.” (huruf miring dari penulis, NFR) 

            Buku Masalah Agraria menunjukkan tarikan rentang waktu yang panjang dari wilayah nusantara untuk menjelaskan sebab-sebab struktural dan politik agraria dari kemiskinan agraria yang kronis. Ini karya utama yang memberi contoh analisis politik agraria dengan pendekatan geografi sejarah (Hilmar Farid dan Ahmad Nashih Luthfi  2017). Dalam bab demi bab buku nya ini, kita bisa lihat dimulai dari retrospeksi buku Masalah Agraria ini pada “Kekuasaan Raja-raja atas Tanah” yang kemudian berinteraksi dengan kekuatan perusahan transnasional-kolonial Kompeni (VOC, Vereenigde Oost-Indische Compagnie, secara literal berarti Perusahaan India Timur Bersatu). Pada gilirannya Belanda membentuk pemerintahan wilayah jajahan tersendiri yang memiliki politik agraria yang menjadi sebab dari kemiskinan rakyat yang meluas. Lebih dari itu, kita diajak menjelajah pada detil-detil bagaimana politik agraria kolonial itu diterapkan dan berinteraksi dengan keragaman kehidupan rakyat dalam ruang geografis yang berbeda-beda, khususnya pada cara rakyat mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah-nya. 

            Yang paling mempesona adalah kemampuan Muhammad Tauhid menunjukkan bagaimana akibat-akibat kesemua itu pada penguasaan luas tanah-tanah, produksi pertanian, dan kesejahteraan rakyat tani dalam Bab VI “Akibat Politik Agraria Kolonial serta Ikatan-ikatan Adat Bagi Penghidupan dan Kemakmuran bagi Rakyat Indonesia.” Bab ini mempermudah kita untuk memahami bagaimana terbentuknya struktur agraria yang tidak adil dan diskriminasi terhadap cara rakyat mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah-nya. Dalam bagian Bab VIII, ia mengemukakan pemikiran mengenai dasar-dasar hukum dan politik agraria di masa datang, denga terlebih dahulu menyarikan pangkal dari kesulitan untuk memakmurkan rakyat petani di Indonesia di awal masa kemerdekaan itu. Pangkal itu adalah 

(h)ukum Agraria yang kita pusakai sekarang, pokoknya berujuan: menjamin kepentingan modal besar partikelir di atas kepentingan Rakyat Indonesia sendiri, dengan memberikan hak-hak istimewa kepada orang asing akan tanah, di balik itu mengabaikan hak rakyat. Kecuali itu terdapat macam-macam hak tanah menurut adat yang berlaku di kalangan masyarakat Indonesia sendiri. Keadaan semacam ini tidak sepantasnya ada dalam negara yang akan menjamin kemakmuran bagi Rakyat. (1953:51). 

Selain karya Mochammad Tauchid (1952) tersebut, sejumlah karya yang bisa mendasari konstitusi agraria, adalah termasuk karya Singgih Praptodihardjo (1953) Sendi-sendi Hukum Tanah di Indonesia, Usep Ranawidjaja (1955)  Swapradja: Sekarang dan di Hari Kemudian; Budi Harsono (1970) Undang-undang Pokok Agraria: Sejarah, Penyusunan, Isi dan Pelaksanaan Hukum Agraria Indonesia; dan  Notonagoro (1974) Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia.

Pengaturan agraria di masa awal Indonesia merdeka disusun berdasarkan aspirasi kemerdekaan dan  pemahaman yang mendalam mengenai penghidupan dan kesengsaraan rakyat akibat politik agraria feudalisme dan kolonialisme. Original intent atau kehendak awal dari pengaturan agraria adalah , dan pembuatan Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (dikenal luas dengan nama UUPA 1960) adalah jelas untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan konstitusi Undang-undang Dasar 1945, khususnya pasal 33 ayat 3, yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.  

Naskah saya  ini hendak menegaskan kembali bahwa konstitusi UUD 1945 adalah konstitusi agraria, sebagaimana diargumenkan oleh Yance Arizona (2014) Konstitusionalisme Agraria. Lebih lanjut, menyambut undangan  mengenai perlunya refoma agraria diletakkan secara eksplisit dalam konstitusi Republik Indonesia (Yance Arizona 2014:434, dan Noer Fauzi Rachman 2014: 437-449). 

 

Dalam Memahami Kostitusi Agraria,
Betapa Pentingnya memahami Proses Pembuatan UUPA 1960

Proses historis pembuatan UUPA 1960 layak dan perlu dipelajari secara khusus.  Sebagaimana diuraikan oleh Boedi Harsono (1970) Undang-undang Pokok Agraria: Sejarah, Penyusunan, Isi dan Pelaksanaan Hukum Agraria Indonesia, halaman 94 dan seterusnya, bahwa pembentukan Undang-undang Pokok Agraria melalui proses yang panjang. Pada 12 Mei 1948 dengan Surat Penetapan Presiden No. 16, Soekarno menetapkan dibentuknya Panitia Agraria Yogyakarta (PAY) yang diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo, dan bertugas untuk menyusun hukum agraria baru dan menetapkan kebijaksanaan politik agraria negara. PAY yang beranggotakan yang terdiri dari penjabat utusan dari kementerian dan jawatan-jawatan, wakil organisasi-organisasi petani yang juga anggota KNIP, wakil dari Serikat Buruh Perkebunan dan ahli-ahli hukum, khususnya ahli hukum adat, hanya dapat menghasilkan karyanya dalam sebuah laporan yang disampaikan kepada Presiden 3 Februari 1950. Atas dasar pertimbangan perpindahan kekuasaan negara ke Jakarta, kemudian PAY dibubarkan pada 9 Maret 1951 oleh Soekarno, melalui SK Presiden No. 36 tahun 1951, dan diganti dengan Panitia Agraria Jakarta (PAJ). Panitia ini mempunyai tugas yang hampir sama dengan PAY. PAJ juga diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo.

Setelah pembentukan Kementerian Agraria di masa kabinet Ali Sastroamidjojo I, melalui SK Presiden No. 55 tahun 1955, kementerian ini ditugaskan antara lain untuk memperjuangkan pembentukan undang-undang agraria nasional yang sesuai dengan pasal 38 ayat 3, dan pasal 25 dan 37 ayat 1 Undang-undang Dasar Sementara (UUDS). Panitia Agraria Jakarta tetap bekerja, walaupun ketuanya kemudian diganti oleh Singgih Praptodihardjo (Di tahun 1953 Singgih Praptodihardjo menerbitkan buku Sendi-sendi Hukum Tanah di Indonesia). Selanjutnya, melalui Keputusan Presiden RI 14 Januari 1956, No. 1 tahun 1956, kemudian dibentuklah Panitia Negara Urusan Agraria yang diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo (sekretaris jenderal Kementerian Agraria) dan beranggotakan pejabat-pejabat pelbagai Kementerian dan Jawatan, ahli-ahli hukum adat dan wakil beberapa organisasi petani. Dengan menggunakan semua bahan hasil panitia-panitia agraria sebelumnya, Panitia Negara Urusan Agraria (Panitia Soewahjo) berhasil menghasilkan RUU pada 6 Februari 1958, yang diserahkan pada Menteri Agraria. Pada tahun ini juga Panitia Soewahjo dibubarkan, karena tugasnya telah selesai.

Dengan beberapa perubahan sistematika dan perumusan sejumlah pasal, maka rancangan Panitia Soewahjo tersebut dijadikan dokumen yang dikenal sebagai rancangan Soenarjo. Rancangan ini diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo kepada Dewan Menteri pada 15 Maret 1958. Rancangan ini disetujui oleh Dewan Menteri pada sidangnya yang ke-94 pada 1 April 1958, untuk selanjutnya diajukan kepada DPR dengan Amanat Presiden tanggal 24 April 1958 No. 1307/HK.

Lalu lanjut dengan Panitia Agraria Jakarta, hingga akhirnya, Panitia Soewahjo berhasil menghasilkan  Rencana Undang Undang Pokok Agraria (RUUPA)  yang diajukan kepada Menteri Agraria dengan surat Ketua Panitia tanggal 6 Februari 1958 no. 1/PA/1958. Naskahnya ini dimuat dalam  “Sekadar Uraian tentang Sistematik dari Rancangan Undang-undang Pokok Agraria”. Madjalah Agraria, Tahun. 1 No.3 Djuni 1958, dan diistilahkan menjadi “Rancangan Soenarjo” (1958). Kementerian Agraria menugaskan sejumlah pihak untuk melakukan riset dan menyusun telaah yang akan disajikan dalam seminar yang kemudian berlangsung pada 19-22 November 1958 di Tretes, Jawa Timur, termasuk Seksi Agraria UGM (Surat dari Menteri Agraria Republik Indonesia kepada Seksi Agraria UGM pada 4 Juli 1958 No. Unda 1/3/10)  meminta Seksi Agraria UGM untuk menelaah RUUPA sebagai “bahan obyektip dari sudut ilmu pengetahuan”, yang kemudian meminta Seksi Agraria UGM menghasilkan naskah “Pedoman dan Hal-hal Pokok yang Seharusnya Dimasukan dalam Sebuah Undang-undang Pokok Agraria sebagai Dasar Pembangunan Agraria di Indonesia”. Selain itu juga disampaikan prasaran berjudul “Tjatatan Sementara Mengenai Rantjangan Undang-undang Pokok Agraria”. 

Buku Proses Terjadinya UUPA, Peranserta Seksi Agraria Universitas Gadjah Mada ini mendokumentasikan andil dari Seksi Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM) 1958-1960 yang diketuai oleh Prof. DR. Drs. Notonagoro, SH. yang dibantu oleh sekretarisnya Drs. Iman Soetiknjo, dalam pembuatan UUPA. Seksi Agraria UGM ini berperan setelah periode perjalanan lebih dari 10 tahun pembuatan naskah rancangan undang-undang agraria sejak dimulai tahun 1948 dengan Panitia Agraria Yogya (Penetapan Presiden RI tanggal 21 Mei 1948 No. 16).  Buku Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia adalah buku pemikiran Prof. DR.Drs.Notonagoro SH yang diterbitan pada tahun 1974 oleh penerbit Pancuran Tujuh, pada tahun 1974 (yang pernah diterbitkan ulang oleh Penerbit Bina Aksara pada tahun 1984, dengan judul yang sama).  Karya Prof. Notonagoro ini sesungguhnya setara dengan apa yang sekarang disebut sebagai naskah akademik suatu undang-undang.  

Rancangan Soenarjo ini dipresentasikan oleh Menteri Agraria Soenarjo, pada sidang pleno DPR tanggal 16 Desember 1958. Sehubungan dengan Dekrit Presiden 51 juli 1959, tentang berlakunya kembali UUD 1945, maka Rancangan Undang-undang Pokok Agraria Soenarjo, yang memakai dasar UUDS, ditarik kembali dengan surat Pejabat Presiden tanggal 23 Mei 1960 No. 1532/HK/1960.Setelah disesuaikan dengan Undang-undang Dasar 1945 dan Manifesto Politik Indonesia (yaitu pidato Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1959), dalam bentuk yang lebih sempurna dan lengkap diajukan Rancangan Undang-undang Pokok Agraria yang baru oleh Menteri Agraria Sadjarwo. “Rancangan Sadjarwo” itu disetujui oleh Kabinet Inti dalam sidangnya pada 22 Juli 1960 dan oleh Kabinet Pleno dalam sidang pada 1 Agustus 1960, setelah Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Rancangan Undang-undang diajukan dalam masa Kabinet Kerja (Sukarno) dengan Amanat Presiden No. 25/84/HK60 tanggal 1-8-1960. Naskah RUU-nya baru diterima oleh DPR-GR dari pemerintah pada tanggal 12-9-1960, terdiri dari pasal 1 sampai 58, dan pasal I sampai IX (Ketentuan-ketentuan Konversi).  Setelah selesai dilakukan pemeriksaan pendahuluan, pembahasan di sidang-sidang komisi yang bersifat tertutup, pemandangan umum, sidang-sidang pleno pada 14 September 1960 dengan suara bulat dari semua golongan di DPR-GR, baik Golongan Nasionalis, Golongan Islam, Golongan Komunis, dan Golongan Karya, menerima baik rancangan UUPA itu.

Naskah transkripsi berjudul Rancangan Undang-undang tentang Pokok Agraria – naskah Arsip yang dikeluarkan Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi, Bidang Dokumentasi pada tahun 2011, setebal 471 halaman, adalah sumber sejarah yang sangat bernilai untuk kita mempelajari bagaimana tahapan dan dinamika pembahasan.  Dalam naskah Arsip termuat keterangan sebagai berikut:

  1. Maksudnya : Mengganti hukum agraria penjajahan, yang mempunyai sifat dualisme dan tidak menjamin kepastian hukum bagi rakyat asli dengan hokum agraria nasional.
  2. Yang diatur:
  1. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, merupakan kekayaan nasional; Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi; Penertian bumi, air dan ruang angkasa
  2. Hak menguasai dari negara memberi wewenang untuk :
  1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
  2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
  3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

dengan tujuan : untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.

  1. Ketentuan mengenai hak ulayat dari masyarakat-masyarakat hukum adat.
  2. Ketentuan mengenai hak-hak atas tanah (hak milik, guna usaha, guna-bangunan, pakai, sewa, membuka tanah, memungut hasil hutan dan hak-hak lain, yang sifatnya sementara), hak-hak atas air dan ruang angkasa (hak-guna-air, pemeliharaan dan penangkapan ikan dan guma-ruang-angkasa).
  3. Pendaftaran tanah (pengukuran, perpetaan dan pembukaan tanah dan pendaftaran hak-hak atas tanah dean perlahian hak-hak tersebut, pemberian surat-surat tanda-bukti-hak) untuk menjamin kepastian huku.
  4. Ketentuan pidana (pelanggaran dengan hukuman kurung selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,-
  5. Ketentuan Peralihan.
  6. Ketentuan-ketentuan konversi (mengenai hak eigendom menjadi hak milik dan hak pakai bagi Pemerintah Negara Asing, hak-guna-bangunan bagi orang asing, hak-guna-bangunan bagi orang asing, hak guna-usaha untuk perkebunan besar dll.)

 

PROSEDUR PEMBICARAAN  

Berdasarkankeputusan rapat Panitia Musyawarah pada tanggal 8-8-1960 telah ditetapkan, bahwa mengenai RUU diadakan pemeriksaan-pendahuluan oleh Golongan-golongan pada tanggal 29 dan 30-8-1960, dan sesudah itu diadakan pemeriksaan persiapan dalam rapat gabungan segenap Komisi pada tanggal 31-8-1960 dan tanggal 1 dan 2-9-1960.

Dalam rapat Panitia Musyawarah tanggal 19-8-1960 acara rapat-rapat diubah menjadi sebagai berikut: Golongan-golongan melanjutkan acara tanggal 30-8-1960 dan gabungan segenap Komisi pada tanggal 31-8-1960 dan tanggal 2-9-1960.

Dalam rapat Panitia Musyawarah tanggal 29-8-1960 acara rapat-rapat diubah menjadi sebagai berikut: Golongan-golongan melanjutkan acara tanggal 30-8-1960 dan gabungan segenap Komisi membicarakan RUU Pokok Agraria pada tanggal 1 dan 2-9-1960, 6-9-1990 siang dan malam. 

PENGESAHAN  

Disahkan pada tanggal 24-9-1960 dan diundangkan pada tanggal 24-9-1960 sebagai UU No. 5 tahun 1960 (LN Nomor 104) dengan Penjelasan (TLN no 2043). 

  

Perubahan Politik Agraria 

            Kehendak/Niat Politik Agraria  UUPA 1960 adalah Reforma Agraria. Presiden Soekarno dalam pidato 17 Agustus 1960 berjudul “Jalannya Revolusi Kita” memberi penjelasan yang gamblang sekali, kehendak/niat reforma agraria lah yang melandasi UUPA 1960 ini. Bahwa:

Semangat "foreseeing-ahead", (semangat "telah melihat lebih dahulu") tercermin pula dalam keputusan D.P.A. dan Kabinet mengenai Landreform. D.P.A. telah mengusulkan kepada Pemerintah tentang "Perombakan hak tanah dan penggunaan tanah", "agar masyarakat adil dan makmur dapat terselenggara dan khususnya taraf hidup tani meninggi dan taraf hidup seluruh rakyat jelata meningkat", – Pemerintah telah memutuskan "Rancangan Undang-undang Pokok Agraria", Rancangan Undang-undang yang mana telah saya teruskan kepada D.P.R.G.R. agar lekas disidangkan.

Ini adalah satu kemajuan yang penting-maha-penting dalam Revolusi Indonesia! Revolusi Indonesia tanpa Landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong-besar tanpa isi. Melaksanakan Landreform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia. Gembar-gembor tentang Revolusi, Sosialisme Indonesia, Masyarakat Adil dan Makmur, Amanat Penderitaan Rakyat, tanpa melaksanakan Landreform adalah gembar-gembornya tukang penjual obat di pasar Tanah Abang atau di Pasar Senen.

Pada taraf sekarang ini, demikianlah D.P.A., Landreform di satu fihak berarti penghapusan segala hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah, dan mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur, di lain fihak Landreform berarti memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh Rakyat Indonesia terutama kaum tani. Dan Rancangan Undang-undang Pokok Agraria berkata: tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, apalagi penghisapan dari modal asing terhadap Rakyat Indonesia. Karena itu harus dihapuskan "hak eigendom", "wet-wet agraris" bikinan Belanda, "Domeinverklaring", dan lain sebagainya.

Kalau nanti Rancangan Undang-undang ini telah menjadi Undang-undang, maka telah maju selangkah lagilah kita di atas jalan Revolusi. Telah maju selangkah lagilah kita di atas jalan yang menuju kepada realisasi Amanat Penderitaan Rakyat. Ya!, tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan! Tanah untuk Tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah! Tanah tidak untuk mereka yang dengan duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk-gendut karena menghisap keringatnya orang-orang yang disuruh menggarap tanah itu!

Toh!, – jangan mengira bahwa Landreform yang kita hendak laksanakan itu adalah "Komunis"! Hak milik atas tanah masih kita akui! Orang masih boleh mempunyai tanah turun-temurun! Hanja luasnya milik itu diatur, baik maksimumnya maupun minimumnya, dan hak milik atas tanah itu kita nyatakan berfungsi sosial, dan Negara dan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi daripada hak milik perseorangan.

Ini bukan "Komunis"! Kecuali itu, apakah orang tidak tahu bahwa negara-negara yang bukan Komunis pun banyak yang menjalankan Landreform? Pakistan menjalankan Landreform, Mesir menjalankan Landreform, Iran menjalankan Landreform! Dan P.B.B. sendiri tempohari menyatakan bahwa "defects in Agrarian structure, and in particular systems of land tenure, prevent a rise in the standard of living of small farmers and agricultural labourers, and impede economic development". (Keburukan-keburukan dalam susunan pertanahan, dan terutama sekali keburukan-keburukan dalam cara-cara pengolahan tanah, menghalangi naiknya tingkat hidup si-tani-kecil dan si-buruh pertanian, dan menghambat kemajuan ekonomis).

Karena itu, hadapilah persoalan Landreform ini secara zakelijk-obyektif sebagai satu soal keharusan mutlak dalam melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat dan Revolusi, dan jangan hadapi dia dengan komunisto-phobi!

 

UUPA 1960 ini adalah suatu prestasi nasional dan rujukan penting dalam perjalanan negara Republik Indonesia 1960 sampai 2023 sekarang ini. Konsep-konsep politik hukum agraria yang baru, seperti hak menguasai dari negara (HMN), kesatuan hukum, hak ulayat, hukum adat, pendaftaran tanah, land reform, hak-hak atas tanah, tanah untuk penggarap, larangan monopoli tanah, hak milik, hak guna usaha, hak hak guna bangunan, dan sebagainya, menjadi kosa kata baru bagi para ahli agraria, pejabat dan staf dari birokrasi agraria nasional, pengajar dan mahasiswa perguruan tinggi, hingga para perencana pembangunan. UUPA 1960 adalah perwujudan dari butir-butir norma dasar Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Bagaimana aktualisasi dari penggunaan kuasa dan kewenangan pemerintah bergantung pada niat/kehendak politik agraria dan rencana pembangunan dari elite yang menjabat, dan kekuatan-kekuatan yang mempengaruhinya.

Tiap-tiap periode pemerintahannya memiliki rencana pembangunan nasionalnya masing-masing, sesuai dengan konteks konfigurasi politik elite pemerintahan.  Naskah-naskah rencana pembangunan nasional sejak 1945 sampai 2011 bisa dipelajari di buku: Mustopadidjaja AR., dkk, Eds., 2012 Bappenas Dalam Sejarah Perencanaan Pembangunan Indonesia 1945-2025. Di dalam rencana pembangunan nasional ini lah terkandung pula arah dari bagaimana program-program agraria nasional hendak dijalankan. Tentu akan merupakan suatu tema yang menarik untuk diteliti dan dipercakapkan bagaimana komitmen-komitmen dan arahan-arahan pimpinan nasional yang terkandung pidato-pidato dan pengarahan resmi Presiden/Wk Presiden, dan para Menteri/Wk Menterinya sejalan dengan filosofi, konsepsi, prinsip/asas, dan norma hukum agraria dari UUPA, selain tentunya sebagai tanggapan terdapat situasi nasional yang dihadapinya. Pada gilirannya, perwujudan dari legislasi dan program agraria nasional dilaksanakan oleh kelembagaan birokrasi agraria nasional.  

Penguasa politik dan struktur politik di tubuh negara berubah total, paska peralihan rejim penguasa politik nasional yang berlangsung brutal, drastis dan dramatis dari Orde Lama ke Orde Baru. Ketika konteks struktur politiknya berubah, akan ada pengaruhnya terhadap pengaturan regulasi agraria serta kelembagaan agraria, serta program-program utamanya (Rachman 2012:47-56). Mohtar Masoed (1989)  Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966-1971 menulis kan bagaimana cita-cita pemerataan penguasaan tanah yang dirancang sebagai program utama dalam pembentukan ekonomi sosialis telah kandas, karena struktur politik berubah. Land reform dan rencana program-program redistributif lainnya,dihentikan.  Jika dijalankan, hal itu akan memecah koalisi para pendukung politik utama Orde Baru. Para tuan tanah di pedesaan, sebagian besar organisasi anti-komunis dan menguasai tanah yang cukup besar, merupakan sekutu politik angkatan darat yang paling penting dalam melawan Sukarno dan massa yang diorganisasi komunis (Mochtar Masoed 1989:60-61).

Sebaliknya, struktur politik otoritarianisme Orde Baru menjadi alas dari berlangsungnya program ekonomi kapitalistik  (Rachman 1990). Selanjutnya,   konfigurasi politik yang otoriter akan menampilkan hukum yang berwatak konservatif, yang kontras dengan konfigurasi politik demokratis akan menampilkan hukum yang responsif.  Mohamad Mahfud MD. (1998) Politik Hukum di Indonesia, menunjukkan bahwa UUPA 1960 sebagai hukum yang berkarakter responsif dan dihasilkan dari konfigurasi politik yang demokratis. Buku Noer Fauzi Rachman (1990) Petani dan Penguasa, Perjalanan Politik Agraria Indonesia, yang kemudian dilanjutkan dengan Noer Fauzi Rachman (2012) Land Reform dari Masa ke Masa telah menunjukkan cara bagaimana politik agraria para penguasa berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi para elite penguasa menyusun peraturan/hukum agraria, kelembagaan dan program-program agrarianya. Kelembagaan agraria nasional tentu yang dipengaruhi oleh politik agraria nasionalnya,  dan selanjutnya, program-program utama yang dijalankan nya berubah dari waktu-ke-waktu, sebagaimana dengan sangat baik dikemukakan dalam buku Nazir Salim, Trisnanti Widi Rineksi, Diah Retno Wulan (2022) Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022

Hukum agraria dan implementasi oleh kelembagaan agrarianya dalam bentuk program tidaklah netral kepentingan, dan sesungguhnya, mengandung kepentingan tertentu sebagai tujuan yang hendak dicapai dan nilai-nilai sosial sebagai dasar pijakan. Kepentingan dan nilai sosial tersebut merupakan hasil dari pilihan oleh rezim yang berkuasa. Pilihan kepentingan dan nilai sosial dapat berubah sesuai dengan perubahan orientasi kebijakan pembangunan ekonomi dari rezim yang berkuasa. Nurhasan Ismail (2007), Perkembangan Hukum Pertanahan: Pendekatan Ekonomi-Politik, menjelaskan bahwa:

Pertama, pilihan kepentingan dan nilai sosial dalam hukum pertanahan mengalami perubahan dari yang terdapat pada priode rezim Orde Lama dan yang terdapat pada rezim Orde Baru. Pilihan kepentingan priode Orde Lama menekankan pada pembagian tanah secara langsung kepada sebanyak mungkin warga masyarakat melalui program landreform, sedangkan pada priode Orde Baru sampai sekarang menekankan pada pemberian tanah kepada warga masyarakat yang mempunyai kemampuan mengembangkan kegiatan usaha dan meningkatkan produksi dari penggunaan tanah. Untuk mendukung pilihan kepentingan tersebut, hukum pertanahan semasa Orde Lama menekankan pada nilai-nilai sosial tradisional yaitu partikularistik, askriptif, dan kolektif, sedangkan semasa Orde Baru sampai sekarang menekankan pada nilai-nilai sosial modern yaitu universalistik, pencapaian prestasi, dan individualistik. Perubahan pilihan kepentingan dan nilai sosial pada dua periode tersebut merupakan implikasi dari perubahan orientasi kebijakan pembangunan ekonomi yaitu dari pemerataan yang menekankan pada penataan struktur penguasaan sumberdaya ekonomi ke arah pertumbuhan ekonomi yang menekankan pada peningkatan produksi dan kegiatan usaha. Hal ini menempatkan hukum pertanahan hanya sebagai instrumen dari kebijakan pembangunan ekonomi.

Kedua, perubahan pilihan kepentingan dan nilai sosial berimplikasi pada kelompok sosial yang diuntungkan. Hukum pertanahan periode Orde Lama mengembangkan ketentuan-ketentuan yang menekankan pada keadilan korektif atau diskriminasi positif sehingga lebih menguntungkan kelompok mayoritas yang lemah secara ekonomi, sedangkan ketentuan-ketentuan hukum pertanahan periode Orde Baru sampai sekarang menekankan pada keadilan distributif sehingga lebih menguntungkan kelompok yang kuat secara ekonomi.

 

Yang dijalankan pemerintah Orde Baru adalah menyempitkan wilayah/jurisdiksi keberlakuan UUPA 1960, menjadi hanya sekitar 1/3 wilayah daratan Indonesia, sementara wilayah daratan yang 2/3 menjadi Kawasan Hutan Hegara yang tidak tunduk pada UUPA 1960, melainkan di bawah UU nomor 5 tahun 1967 tentang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang kemudian direvisi menjadi UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 

Lalu seluruh program pertanahan berada di bawah kerangka “Tanah untuk Pembangunan”. Secara kelembagaan, Dirjen Agraria Departemen dalam Negeri,diubah  menjadi Badan Pertanahan Nasional (BPN), melalui Keputusan Presiden No. 26/1988. Produk kebijakan yang terpenting adalah Ijin lokasi yang diberikan untuk menyederhanakan prosedur-prosedur bagi investasi asing dan domestik sebagaimana diatur melalui Keputusan Presiden No. 97/ 1993 mengenai Tata Cara Penanaman Modal. Ijin lokasi secara resmi dimaksudkan untuk menjalankan tiga fungsi: (i) instrumen pengambilalihan tanah sebelum hak-hak tanah yang lebih permanen diberikan oleh BPN; (ii) ijin untuk menggunakan tanah yang cocok untuk perencanaan ruang dengan detail yang sudah ada; dan (iii) ijin untuk memindah hak-hak tanah yang melekat dengan tanah yang sudah ada dan tercakup dalam ijin (Badan Pertanahan Nasional 1998:156). Selain itu, melalui asistensi dua badan internasional, yakni Bank Dunia dan Ausaid, BPN memulai babak baru pendaftaran tanah, yang secara eksplisit untuk mebangun sistem administrasi pertanahan yang handal dan mempercepat pembentukan pasar tanah (uraian lebih lanjut tentang bagaimana kerangka “Tanah untuk Pembangunan” ini dijalankan, bisa lihat pada lihat Rachman 2012 63-79). 

Mengusahakan Reforma Agraria  

            Konsep politik hukum Hak Menguasai Negara (HMN)  berlandaskan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.  Pasal itu kita pergunakan sebagai rujukan utama, dan untuk itu HMN merupakan andalan utama untuk menjalankan reforma agraria (Muhammad Bakri 2011). Hak Menguasai dari Negara (HMN memberi kewenangan negara untuk mengatur, mengelola dan mengalokasikan tanah dan sumber daya alam, menentukan hubungan kepemilikan, dan menentukan mana yang legal dan ilegal dalam tindakan hukum mengenai tanah dan kekayaan alam. Kewenangan yang bersumber dari HMN ini ditabali keharusan etis pengembannya untuk selalu bekerja demi mewujudkan tujuan “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. 

            Semenjak lengsernya Presiden Soeharto 21 Mei 1998, dan naiknya Presiden Habibie  (21 May 1998 – 20 Oktober 1999)  transisi demokrasi berlangsung. Pada masa Presiden Abdurahman Wahid (20 October 1999 sampai 23 Juli 2001), maraklah okupasi-okupasi tanah – yang juga terkenal dengan istilah aksi-aksi reclaiming – hingga pembentukan organisasi-organisasi gerakan agraria yang bersifat lokal hingga nasional; aksi-aksi protes lokal hingga kampanye nasional; diskusi-diskusi kecil hingga konferensi nasional; tulisan-tulisan di Koran hingga buku-buku serius; dan sebagainya. 

        Pada suatu ketika saat  kombinasi faktor dan aktor advokasi kebijakan bersama kekuatan dalam tubuh Panitia Ad-Hoc II MPR menghasilkan resultante TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. TAP ini telah memberikan mandat dan arahan kebijakan pada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, termasuk untuk mengkaji-ulang perundang-undangan yang tumpang tindih dan saling bertentangan satu sama lainnya, dan menjalankan kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.  Karya Ida Nurlinda (2009) Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum, telah menunjukkan tiga prinsip utama pembaruan agraria, yaitu keadilan, demokrasi, dan berkelanjutan, yang dipromosikan oleh TAP MPR No. IX/2001.    

            Dari buku-buku: Noer Fauzi Rachman (2012) Land Reform dari Masa ke Masa,  Rachman (2017) Land Reform dan Gerakan Agraria Indonesia, hingga Barid Hardijanto (2021), Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono (dari Formulasi ke Implementasi kita bisa mendapatkan gambaran dinamika politik, kebijakan dan program agraria yang berlangsung sepanjang periode kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (20 October 1999 sampai 23 Juli 2001), Megawati (23 Juli 2001 – 20 October 2004), hingga SB Yudhoyono  (21 Oktober 2004 – 20 Oktober 2014).

 

Sketsa Kebijakan dan Program Agraria Joko Widodo (2014 – sekarang)

            Tiap-tiap Calon Presiden dan Wakil Presiden terlebih dahulu menyusun dan menyampaikan “Janji Politik” berupa dokumen yang mengandung Visi, Misi dan Program Aksi, yang disampaikan ke Komisi Pemilihan Umum. Dalam kasus Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla  pada Pemilu tahun 2014, dokumen itu diberi judul “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Adil dan Makmur”, dan terkandung apa yang dikenal sebagai Nawacita.  Inilah sumber dari kebijakan pertanahan Presiden Joko Widodo yang diberi judul Reforma Agraria.

            Kebijakan Reforma Agraria menjadi pilihan Presiden untuk mengatasi kesenjangan ekonomi yang mengkuatirkan. Presiden Joko Widodo mengumumkannya pada Sidang Kabinet Paripurna 4 Januari 2016 di Istana Bogor, dan menugaskan Menteri Kordinator Perekonomian untuk menetapkan aransemen yang mengkordinasikan komponen-komponen yang dapat dijalankan oleh Kementerian-kementerian dan badan-badan pemerintah pusat, dalam kerangka kebijakan ekonomi pemerataan. Kemenko Perekonomian kemudian bekerja dengan dasar kerangka kerja Kantor Staf Presiden (KSP) dan Bappenas yang sebelumnya sudah melansir pedoman dan kerangka kerja Reforma Agraria. KSP mengeluarkan buku Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria 2016-2019: Arahan dari Kantor Staf Presiden.

            Bappenas mengeluarkan buku Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2017 yang merupakan turunan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019.  Di  RKP 2017 ini Reforma Agraria menjadi Prioritas Nasional tersendiri, dengan komponen-komponen program nasional, sebagaimana dalam kerangka sebagai berikut:

  1. Penguatan Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik Agraria;
  2. Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Obyek Reforma Agraria;
  3. Kepastian Hukum dan legalisasi atas Tanah Obyek Reforma Agraria;
  4. Pemberdayaan Masyarakat dalam penggunaan, Pemanfaatan, dan Produksi atas Tanah Obyek Reforma Agraria; dan
  5. Kelembagaan Pelaksana Reforma Agraria Pusat dan Daerah. 

Di akhir kuartal pertama tahun 2017, Kemenko mengeluarkan Kerangka Kerja Kebijakan Ekonomi Pemerataan dengan menempatkan Reforma Agraria, sebagai salah satu komponen utamanya. Selanjutnya, Kantor Menko Perekonomian merumuskan dasar pengertian reforma agraria sebagai proses alokasi dan konsolidasi kepemilikan, penguasaan/akses, dan penggunaan lahan. Penting untuk dicatat disini, Kemenko Perekonomian mempergunakan pengertian Reforma Agraria yang diperlonggar sedemikian rupa agar bisa memasukkan komponen “legalisasi asset” yang sebenarnya adalah land registration, suatu program pemerintah yang secara akademik berbeda dengan land reform



            Meski dengan modifikasi rumusan berbeda, RKP tahun-tahun berikutnya tetap mengadopsi kerangka program di atas. Tiap-tiap komponen program , yang dalam kerangka di atas disebut sebagai input, proses dan output diatur oleh kelembagaan pemerintah sendiri dengan regulasi yang terpisah, dan pada gilirannya memiliki sektoralisme regulasi dan kelembagaan pelaksananya sendiri-sendiri. Tiap-tiap kelembagaan berjalan sesuai dengan portofolio, kapasitas (finansial, kelembagaan dan sumber daya manusia)nya sendiri-sendiri. Masalah kuncinya adalah kecenderungan untuk sama-sama bekerja, dan kurang bekerjasama. Kantor Menko Perekonomian, sebagaimana portofolionya, lah yang mengkordinasi mulai dari kerangka konseptual programnya hingga aransir kerjasama kelembagaan. Dengan SK no. 73/2017, Menko Perekonomian membuat pengaturan pelaksanaan kordinasi program prioritas nasional Reforma Agraria. Tim ini dibentuk untuk mengatasi sektoralisme yang terbentuk melalui regulasi pada tingkat presiden, dan pada tingkat kelembagaan sektoral masing-masing.

            Yang penting dicatat bahwa pada masa ini terdapat Peraturan Presiden yang penting, yakni Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, yang secara eksplisit menyebutkan tujuh tujuan dari reforma agraria, yakni (i) Mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka menciptakan keadilan; (ii) Menangani sengketa dan konflik agraria; (iii) Menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis agraria melalui pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah; (iv) Menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan; (v) Memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi; (vi) Meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan; dan (vii) Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup. 

            Pada gilirannya, ketika situasinya sudah memadai, kita membutuhkan suatu karya khusus untuk bisa menyajikan, menilai, dan kemudian mengapresiasi dan mengkritik bagaimana anatomi dan efek-efek dari politik, kebijakan, dan program-program Reforma Agraria di masa pemerintahan Joko Widodo.  Sementara ini yang tersedia adalah buku M. Nazir Salim dan Westi Utami (2019) Reforma Agraria, Menyelesaikan Mandat Konstitusi: Kebijakan Reforma Agraria dan Perdebatan Tanah Objek Reforma Agraria. AN Luthfi (2018)‘Reforma Kelembagaan dalam Kebijakan Reforma Agraria era  Joko  Widodo-Jusuf  Kalla’,  Bhumi,  Jurnal  Agraria  dan  Pertanahan  4(2):140-163.

        Yang juga, penting dibahas secara khusus dalam karya lain dan tetap relevan untuk tema “dari konsitusi agraria ke konstitusi reforma agraria”, adalah Reforma Agraria di sektor Kehutanan, dan Reforma Agraria Perikanan dan Kelautan. Lihat: Hakim, Ismatul dan Lukas R Wibowo (editor) (2014)   Jalan Terjal Reforma Agraria Di Sektor Kehutanan, dan Martin Hadiwinata (2021) “Reforma Agraria Kepulauan dan Kesejahteraan Rakyat Pesisir”.

 

Konstitusi Reforma Agraria tetap beralaskan Hak Menguasai Negara 

            Buku Konstitusionalisme Agraria karangan Yance Arizona ini telah menunjukkan bahwa berbagai perundang-undangan menampilkan tarsir (dan salah tafsir) atas Hak Menguasai dari Negara, yang rujukan tafsirnya bersumber dari pasal 33 ayat 3 itu. Perbedaan tafsir itu bermuara pada perbedaan rumusan dan ruang lingkup kewenangan pemerintah yang berbeda-beda pula. Pada bab 7 ditunjukkan bagaimana Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah bekerja dan menunjukkan kekeliruan sejumlah pasal penting dalam perundang-undangan sektoral, misalnya pada putusan Hakim MK perihal sebagian pasal pada Undang-undang No. 25/2005 tentang Penanaman Modal Asing, Undang-undang No. 18/2004 tentang Perkebunan, Undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, dan Undang-undang Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. 

            Putusan mengenai Pengujian atas Undang-undang nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani bahwa frasa yang membolehkan negara menyewakan tanah dan petani penggarap membayar sewa terhadap negara dinyatakan tidak berlaku karena melanggar pengertian dari konsep penguasaan negara sebagaimana dimaksud pasal 33 ayat 3 UUD 1945, dan penjabarannya dalam UUPA 1960. Lebih lanjut Yance Arizona menunjukkan pada bab 8 dari buku ini, bahwa MK telah membuat rujukan baru mengenai konsep penguasaan negara sebagaimana dimuat pasal 33 ayat 3 UUD 1945 (lihat bagan dari Arizona 2017:391). 

            Dalam putusannya atas perkara nomor 001-021-022/PUU-I/2003 mengenai judicial review atas Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, MK menjelaskan lima bentuk tindakan penguasaan negara, yaitu pembuatan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) (Mahkamah Konstitusi 2004:332-337, selanjutnya lihat: Achmad Sodiki, 2013, Politik Hukum Agraria). Adapun tolok-ukur pencapaian tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dirumuskan menjadi empat yakni (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, (ii) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, (iii) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta (iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.

 

Tabel 1:

Perbandingan Tiga Konsepsi Penguasaan Negara (Arizona 2017:391)

 

 

Penutup 

            Demikianlah. Pesan utama naskah ini terwakili dalam rumusan Yance Arizona (2014:434-435), yang mengemukakan bahwa: 

Penguatan atau pengubahan konsitusi agraria menjadi konstitusi reforma agraria selain bisa ditempuh melalui amandemen formal terhadap UUD 1945, dapat pula terjadi karena putusan-putusan pengadilan, misalkan Mahkamah Konstitusi, yang memberikan dasar mengenai keharusan dan kesegeraan melakukan reforma agraria. Selain itu, pemaknaan baru terhadap UUD 1945 sebagai konstitusi reforma agraria dapat dilakukan dalam praktik, baik dalam kebijakan atau program pemerintahan maupun dalam bentuk tuntutan-tuntutan yang datang dari gerakan masyarakat. Gerakan reforma agraria memerlukan cara-cara berpikir dan cara bertindak baru dalam menata ulang hubungan-hubungan penguasaan tanah dan sumber daya alam yang lebih adil bagi rakyat Indonesia. Inilah yang dimaksud dengan Konstitusionalisme Reforma Agraria, yaitu gerakan reforma agraria bersandar pada prinsip dan norma konstitusi yang ditujukan untuk mewujudkan cita-cita keadilan agraria dan mengembalikan tanah air kepada pemiliknya: Rakyat Indonesia! 

 

Secara khusus, saya hendak menambahkan bahwa Konstitusionalisme  reforma agraria ini juga mengundang kita memikirkan kembali cara bagaimana filosofi, konsepsi, prinsip/asas, dan norma yang dikembangkan oleh hukum agraria nasional itu benar-benar menyokong reforma agraria. Rumusan permasalahan pada bagian menumbang butir (a), (c), (d), (e) dan (f) dari TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, masih tetap penting dan berlaku untuk jadi rujukan kita bersama.

(a) bahwa sumberdaya agraria dan sumberdaya alam sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan Nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur;

(c) bahwa pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik;

(d) bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam saling tumpang tindih dan bertentangan; 

(e) bahwa pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam yang adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik;

(f) bahwa untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan komitmen politik yang sungguh-sungguh untuk memberikan dasar dan arah bagi pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan;


Maria Soemarjono (2020) Penyempurnaan Undang-Undang Pokok Agraria dari Masa ke Masa (Jakarta, Kompas Media Nusantara, 2020) telah menyediakan sumber pengetahuan dokumentasi atas berbagai pemikiran penyempurnaan  UUPA 1960 dari berbagai pihak, yakni Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI, Kelompok Studi Pembaruan Agraria (KSPA), DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI, Prof. Boedi Harsono, Konsultan Asian Development Bank (ADB).   Buku ini wajib dipelajari untuk keperluan memahami cara bagaimana berbagai aspirasi, baik yang menguatkan Reforma Agraria, sejalan dengannya, maupun yang menentangnya, diartikulasikan dalam paying ‘menyempurnakan’ UUPA 1960. Naskah ini secara jelas mengajak agar upaya menyempurnakan UUPA ini diarahkan untuk menyediakan dasar hukum yang kuat bagi pelaksanaan reforma agraria.

 

Bandung, 26 Maret 2023


Daftar Pustaka  


ArizonaYance (2014) Konstitusionalisme Agraria. Yogyakarta: STPN Press, 2014.

Bakri, Muhammad (2011) Hak Menguasai Tanah oleh Negara, Paradigma Baru untuk Reforma Agraria. Edisi ke-2. Malang: Universitas Brawijaya Press.\

DPRRI (2011)  “Rancangan Undang-undang tentang Pokok Agraria”. Arsip Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi, Bidang Dokumentasi. 2011. 

Farid, Hilmar dan Ahmad Nashih Luthfi  (2017) Sejarah/Geografi Agraria Indonesia. Yogyakarta, STPN Press. 

Harsono, Budi (1970) Undang-undang Pokok Agraria: Sejarah, Penyusunan, Isi dan Pelaksanaan Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Gautama, Sudargo (1986) Tafsiran Undang Undang Pokok Agraria. Bandung: Alumni.

Hadiwinata, Martin  (2021) “Reforma Agraria Kepulauan dan Kesejahteraan Rakyat Pesisir”. Kompas 12 April 2021. 

Hakim, Ismatul dan Lukas R Wibowo (editor) (2014)   Jalan Terjal Reforma Agraria Di Sektor Kehutanan. Yogyakarta: Puspijak dan LKIS.

Ismail, Nurhasan (2007) Perkembangan Hukum Pertanahan: Pendekatan Ekonomi-Politik, Jakarta: Huma dan Magister Hukum UGM, 2007.

Kantor Staf Presiden RI (2015) Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria 2016-2019: Arahan dari Kantor Staf Presiden. Jakarta: KSP.

Luthfi, Ahamad Nashih (2018)“Reforma Kelembagaan dalam Kebijakan Reforma Agraria era  Joko  Widodo-Jusuf Kalla”,  Bhumi,  Jurnal  Agraria  dan  Pertanahan  4(2):140-163.

Mahfud MD, Mohamad, Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES, 1998. 

Mas'oed, Mohtar (1989) Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966-1971, Jakarta LP3ES.

Nazir Salim M Nazir Salim, Trisnanti Widi Rineksi, Diah Retno Wulan (2022)Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022Yogyakarta, STPN Press 2022.

Notonagoro (1972) Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di IndonesiaDjakarta: Pantjuran Tudjuh.

Nurlinda, Ida (2009) Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum. Jakarta: Rajawali Press. 

Parlindungan, A.P.  (1990) Komentar atas Undang-undang Pokok Agraria. bandung: Alumni.

Praptodihardjo, Singgih  (1953) Sendi-sendi hukum tanah di Indonesia. Yayasan Pembangunan; 

Rachman, Noer Fauzi (1999/2017). Petani Dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Cetakan ke-2. Yogyakarta: Insist Press.

_____ (2012) Land Reform dari Masa ke Masa, cetakan ke-2. Yogyakarta: STPN Press.

_____ (2013) “Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria yang Kronis, Sistemik, dan Meluas di Indonesia”, Bhumi, Jurnal  Agraria  dan  Pertanahan   12(37):1–14.

_____ (2014) “Melanjutkan Indonesia dengan Reforma Agraria”, Epilog dalam Yance ArizonaKonstitusionalisme Agraria. Yogyakarta: STPN Press. Halaman 437-449.

Salim, M. Nazir & Westi Utami (2019) Reforma Agraria, Menyelesaikan Mandat Konstitusi: Kebijakan Reforma Agraria dan Perdebatan Tanah Objek Reforma AgrariaYogyakarta: STPN Press.

Sodiki, Achmad (2013) Politik Hukum Agraria. Jakarta: Konstitusi Press.

Soetiknjo, Iman (1987) Proses Terjadinya UUPA, Peranserta Seksi Agraria Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

_____ Iman Soetiknyo (1990) Politik Agraria Nasional: Hubungan Manusia dengan Tanah yang. Berdasarkan Pancasila. Yogyakarta: UGM Press.  

Sumardjono, Maria S.W. (2008) Tanah: Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Jakarta: Penerbit Kompas

_____ (2020)  Penyempurnaan Undang-Undang Pokok. Agraria dari Masa ke Masa, Jakarta, Kompas Media Nusantara.

Tauchid, Mochammad (1952/2009) Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertahanan Nasional.

Ranawidjaja, Usep (1955),  Swapradja: Sekarang dan di Hari Kemudian. Jakarta: Djambatan. 

Ruwiastuti, Maria Rita (2000) Sesat PikiPolitik Hukum Agraria: Membongkar Alas Penguasaan Negara atas Hak-hak AdatYogyakarta: Insist Press bekerjasama dengan Pustaka Pelajar.

Wiradi, Gunawan (2000) Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist Press bekerjasama dengan Pustaka Pelajar. 


No comments:

Post a Comment