Pengakuan oleh negara atas hak-hak atas tanah masyarakat adat padahakekatnya adalah suatu refleksi kesediaan para pengemban kekuasaan negara untuk mengakui eksistensi masyarakat adat yang otonom, dan kemudian daripada itu juga untuk mengakui hak-hak masyarakat adat itu atas tanah dan segenap sumber daya alam yang ada di atas dan/atau di dalamnya -- yang bernilai vital untuk menjamin kelestarian fisik dan nonfisik masyarakat tersebut.(Soetandjo Wignyosoebroto, 1998)
Buku Cornelis van Vollenhoven (1919) De Indonesiër en Zijn Grond, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Orang Indonesia dan Tanahnya, pada mulanya adalah suatu pamflet akademik untuk menjegal usulan amandemen pasal 62 Regeringsreglement 1854 (Konstitusi Hindia Belanda 1854), yang akan berakibat pada dihapuskannya perlindungan atas hak-hak atas tanah masyarakat pribumi, khususnya di luar Jawa dan Madura. Prestasi van Vollenhoven dalam arena perjuangan hukum ini bukan yang pertama. Prestasi pendahulunya adalah di tahun 1914 ketika pemerintah Belanda menerbitkan (lagi) sebuah rancangan Kitab Undang-undang Hukum Perdata untuk seluruh golongan penduduk di Hindia Belanda tanpa terkecuali. Van Volenhoven dengan lantang mengkritik usaha unifikasi hukum itu, dengan menuliskan pendapat-pendapatnya yang membela dan memperjuangkan pengakuan atas hukum adat. Pada gilirannya, rancangan undang-undang tahun 1914 yang mendasarkan diri pada cita-cita unifikasi hukum di tanah jajahan itu pun batal dan tak pernah diajukan ke parlemen (Wignjosoebroto 1984:112).
Van Vollenhoven dengan lantang berjuang agar pemerintah dan masyarakat
Belanda dapat melihat cara rakyat pribumi hidup dalam hukumnya sendiri.
Ia membantah keras bahwa hukum Barat kepada rakyat pribumi akan berarti
mempekaya peradaban rakyat pribumi yang hidup tanpa hukum. Ia juga menentang segala usaha administrasi kolonial untuk mengabaikan
eksistensi hukum-hukum adat. Lebih dari itu ia mempromosikan pengakuan eksistensi masyarakat hukum adat, hukum adat itu sendiri, dan hak-hak
penguasaan atas wilayah adat yang dikonsepkannya
dalam beschikkingsrecht.[1] Van Vollenhoven dikenal berhati-hati atas setiap usaha yang bertujuan
memberlakukan satu hukum untuk semua golongan masyarakat di Hindia
Belanda dengan pertimbangan bahwa unifikasi tersebut akan sangat
memojokkan masyarakat pribumi yang hidup dalam hukum-hukum adat yang
beragam.
Penerbitan ulang buku ini diharapkan dapat memungkinkan pembaca untuk
secara langsung bersentuhan dengan pemikiran Cornelis van Vollenhoven dan
memberi jalan untuk menelusuri jejak sejarah pelanggaran hak dan
ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat hukum adat yang tidak reda
walaupun Indonesia telah merdeka. Penerbitan ulang Orang Indonesia dan Tanahnya dapat dimaknai sebagai wujud komitmen para pemrakarsa dan
penerbitnya untuk menyediakan rujukan yang otoritatif untuk memahami atas
ketidakadilan yang kronis ini.
Naskah
pengantar yang bertujuan untuk memudahkan pembaca memahami karya utama
Cornelis van Vollenhaven ini berisikan argumen-argumen utama van
Vollenhoven yang disajikan secara sangat padat; sedikit uraian riwayat
buku dan pengarang, dan pesan utama dan pengaruh van Vollenhoven dalam
konteks sejarah yang melingkupi penerbitan buku ini; dan penilaian
mengenai pentingnya naskah ini untuk menjadi salah satu rujukan memahami
kemelut perjuangan pengakuan masyarakat hukum adat saat ini di Indonesia.
Bagi pembaca yang tertarik untuk mendalami lebih jauh mengenai konteks dan
pengaruh Cornelis van Vollenhoven, dan khususnya Orang Indonesia dan Tanahnya ini, kami anjurkan untuk mempelajari karya-karya Wignjosoebroto
(1994), Burns (2009), Termorshuizen-Art (2009), dan Fasseur (2009), yang
kesemuanya tersedia dalam naskah-naskah berbahasa Indonesia.
Riwayat Buku, Pengarang, dan Pesan Utamanya
Orang Indonesia dan Tanahnya adalah satu karya guru besar Hukum Adat Universitas Leiden,
Cornelis van Vollenhoven, yang sangat penting yang diterbitkan pada
tahun 1919. Buku yang awalnya berbentuk pamflet akademik ini disusun untuk menjegal rancangan amandemen pasal
62 Regeringsreglement 1854 (Konstitusi Hindia Belanda
1854) yang diajukan di bulan Mei 1918 pada majelis rendah (Tweede Kamer) Belanda, dan diprakarsai oleh GJ Nolst Trenite, penasihat hukum
masalah agraria di Binnenlands Bestuur(kementerian dalam
negeri Hindia Belanda). Rancangan amandemen itu mengusulkan penghapusan
paragraf tiga yang berisikan klausul perlindungan atas hak-hak agraria masyarakat pribumi.
Dalam buku ini van Volenhoven menguraikan pelanggaran hak dan
ketidakadilan (onrecht) yang dialami pada masyarakat pribumi
melalui pelaksanaan hukum agraria yang secara sistematis mengekang hak-hak
penguasaan rakyat atas wilayah adatnya. Hal ini menciptakan ketidakpastian
hukum yang sangat serius dan membangkitkan banyak kebencian rakyat.
Menurut van Vollenhoven, perampasan tanah yang terjadi dimana-mana dan
secara besar-besaran itu mendapatkan pembenaran melalui penyalahtafsiran
secara sistematis atas hak penguasaan atas wilayah adat yang
diistilahkannya sebagai beschikkingsrecht oleh
administrator kolonial yang melaksanakan perundang-undangan
agraria.
Dalam mengemukakan kritiknya, van Vollenhoven membagi uraian naskah
buku ini dalam dua kelompok: satu abad ketidakadilan atas tanah-tanah
pertanian (bouwvelden), dan setengah abad ketidakadilan atas
tanah-tanah yang tidak dibudidayakan (woeste gronden). Semua
ketidakadilan ini diperparah
oleh Domeinverklaring (pernyataan domein),
yang dideklarasikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1870 untuk
diberlakukan di Jawa dan Madura, dan beberapa tahun berikutnya untuk
wilayah luar Jawa dan Madura. Pernyataan domein itu berbunyi “(S)emua tanah, yang orang lain tidak dapat
membuktikan bahwa tanah itu eigendomnya,
adalah domein (milik) negara” (alle grond, waarop niet door anderen regt van eigendom wordt bewezen,
domein van de Staat is). Pernyataan yang dimuat dalam pasal 1 dari Agrarisch Besluit (Staatsblad 1870 No.
118) ini memiliki akibat bahwa semua tanah yang dimiliki oleh rakyat
dengan hak apa saja, kecuali dengan
hak “eigendom,” adalah milik negara
(landsdomein).
Daripadanya timbul pengertian bahwa tanah negara adalah semua tanah yang mana di atasnya tidak terdapat hak
eigendom. Kemudian, tanah milik negara dibedakan dalam dua jenis yaitu “tanah negara bebas”
(vrij lands/staatsdomein) dan “tanah negara tidak bebas” (onvrij lands/staatsdomein). “Tanah negara bebas”adalah tanah- tanah yang belum dimiliki atau diusahakan oleh orang atau
badan hukum apapun, juga tanah-tanah yang tidak dikuasai, diduduki dan dimanfaatkan rakyat dan
biasanya berupa hutan rimba. Dikenal dengan istilah woeste gronden, secara umum tanah-tanah ini dinyatakan pemerintah kolonial sebagai
tanah “di luar” wilayah/kawasan desa (buiten dorps gebied) sesuai
dengan ketentuan pasal 3 Agrarische Wet 1870. Juga
lazim disebut sebagai tanah GG. “Tanah negara tidak bebas” adalah
tanah-tanah yang sudah dan sedang dikuasai, diduduki, digunakan dan
dimanfaatkan secara nyata oleh rakyat berdasarkan hukum-hukum adatnya.
Dalam istilah hukum, tanah ini dikenal juga
sebagai bouwvelden.
Penyokong
utama dari domeinverklaring ini adalah para sarjana hukum dari Utrecht University yang mempromosikan unifikasi
hukum tanah untuk pembangunan ekonomi kolonial pasca Undang-Undang Agraria 1870. Inti pandangan sarjana-sarjana
dari kubu Utrecht seperti GJ Nolst Trenité, Izak A. Nederburgh, dan
Eduard H. s'Jacob, bahwa adalah “tak terelakkan” bagi negara
menjadi pemilik tanah dan seluruh sumber daya alam dalam wilayah
jajahan. Penguasaan wilayah adat oleh masyarakat hukum adat (yang
disebut van Vollenhoven sebagai beschikkingsrecht), menurut
mereka, harusnya menjadi hak publik dari pemerintah karena alasan
kedaulatan negara. Setiap hak publik yang punyai oleh pemerintah desa
atas wilayah desa, harus tetap tunduk di bawah kedaulatan negara. Dalam pandangan
mereka, rakyat bumiputra adalah mereka yang menduduki,
menguasai dan memanfaatkan tanah milik negara berdasar hukum-hukum adat
setempat. Hak kepemilikan tanah mereka tidak bisa diakui dan mereka
tidak berhak menjadi pemilik tanah dengan konsep
hak eigendom. Mereka
hanyalah bewerkers alias penggarap.
Sebaliknya, van Vollenhoven dan para muridnya berpendapat bahwa
interpretasi tersebut didasarkan pada kesalahpahaman mendasar
sifat beschikkingsrecht, yang memiliki pengertian baik
sebagai hak publikmaupun hak privaat, dan
karenanya harus tidak termasuk di bawah
klausul domeinverklaring. Lebih lanjut, van Vollenhoven menggugat domeinverklaring itu sebagai
sumber segala kekacauan terkait hak-hak atas tanah masyarakat pribumi.
Alih-alih menjaga kepastian
hukum, domeinverklaring memberi rujukan bagi para
pejabat untuk menafsirkan hak penguasaan wilayah adat
(beschikkingsrecht) masyarakat pribumi secara sempit,
mengkerdilkan hak atas tanah-tanah yang tidak dibudidayakan
(woestegronden), dan mengambilalih tanah-tanah itu melalui klaim
kepemilikan negara. Penghapusan paragraf tiga dari pasal 62 Regeeringsreglement 1854[2] menurut van Vollenhoven akan memperparah ketidakadilan yang
dialami masyarakat pribumi. Dalam penutup esainya, van Vollenhoven
mengajukan beberapa usulan perbaikan untuk pasal itu.
Dengan posisinya sebagai guru besar di Universitas Leiden, Cornelis van Vollenhoven sangat
berpengaruh pada para juris, mahasiswa, pejabat di Belanda maupun
Hindia-Belanda, khususnya dengan menyusun dan mengajarkan prinsip
hukum-hukum adat di Hindia-Belanda. Melalui kuliah-kuliah dan buku-bukunya, ia melancarkan kritik-kritik yang tajam atas
politik dan hukum agraria kolonial, dan sekaligus menyusun ilmu hukum adat sebagai satu disiplin ilmu yang memiliki
legitimasinya sendiri.
Dengan mandat dari Kementerian Negara Jajahan dan Kementerian
Pendidikan, bersama Snouck Hurgrojne van Vollenhoven mendirikan Fakultas
Hukum dan Sastra (Vereenigde Faculteiten der Rechtsgeleerdheid, en de Letteren, en
Wijsbegeerte) di Universitas Leiden yang dikhusukan untuk studi hukum Hindia
Belanda. Fakultas ini terpisah dari fakultas hukum di universitas yang
sama. Setelah berdiri, van Vollenhoven mengajar beberapa mata
kuliah penting di sini, diantaranya Hukum Konstitusi Hindia Belanda (Staatsrecht van Nederlandsch Indie) dan Hukum Adat Hindia Belanda (Adatrecht van Nederlandsch Indie) (Jaarboekje 1929). Di antara buku-buku yang ditulisnya, yang paling
terkenal adalah tiga volume Het Adatrecht van Nederlansch-Indie yang diterbitkan antara tahun 1908 dan 1933, De Indonesiër en zijn grond(1919), Miskenningen van het Adatrecht (1926)
dan De Ontdekking van het Adatrecht (1928).
Cornelis van Vollenhoven lahir di Dordrecht, Belanda pada tanggal 8 Mei
1874.[3] Dengan disertasi berjudul Omtrek en Inhoud van het Internationale Recht, ia lulus dengan judicium cum laude dari Fakultas Hukum
Universitas Leiden di tahun 1898. Setelah lulus, ia bekerja selama 4 tahun (1897-1901) sebagaisekretaris pribadi seorang anggota parlemen dan pemilik perkebunan di
Hindia Belanda, J.Th. Cremer (yang kemudian hari menjadi Menteri Urusan Wilayah Jajahan di Kementerian Negara Jajahan), sebelum akhirnya diangkat pada tahun 1901 menjadi professor
(hoogleraar) untuk hukum adat dan hukum negara dan administrasi
Hindia Belanda, Suriname dan Curacao di almamaternya pada usia 27 tahun.
Posisi ini diembannya hingga akhir hayatnya pada tanggal 30 April 1933. Mata-mata kuliah yang diasuhnya antara lain hukum Hindia Belanda (1902-1907), Islam (1902-1906, 1927-1931), dan
sejarah hukum komparatif (1932-1933).
Sepanjang masa sebagai guru besar, van Vollenhoven mengabdikan diri
sehingga masyhur dikenal sebagai “penemu hukum adat” meski
ia berkesempatan mengunjungi Hindia Belanda hanya dua kali, yakni di tahun
1907 dan 1932. Ia dikenal sebagai professor yang mengenalkan hukum adat pada para mahasiswanya dengan cara merangsang mereka yang
berada di dalam dan di luar universitas untuk mengembangkan kontak
pribadi dengan mereka yang bekerja di Hindia-Belanda sedemikian rupa
sehingga terbentuk suatu adatrechtsschool di
Belanda. Ia memiliki tujuh puluh delapan mahasiswa PhD, termasuk enam warga
Indonesia. Setelah pembentukan suatu sekolah tinggi hukum (Rechtshoogeschool) di Batavia pada tahun 1924, para mantan mahasiswanya menjadi
pemimpin dan pengajar yang terus berinteraksi dengan dirinya dan para
mahasiswa-mahasiwanya. Hal ini memungkinkan dirinya mengembangkan suatu
studi sejarah hukum komparatif dengan mendasarkan diri pada praktek
politik hukum di negara-negara kolonial.
Karya Orang Indonesia dan Tanahnya ini lahir di tahun
1919 dan mampu menghentikan usaha sekelompok elite pembentuk kebijakan
agraria kolonial Belanda untuk menghilangkan klausula-klausula
perlindungan masyarakat hukum adat yang terkandung dalam pasal 62
di Regeeringsreglement 1854. Keberhasilan ini membuat kritik
atas politik agraria kolonial semakin lantang disuarakan oleh
murid-muridnya, dan kaum nasionalis yang terpengaruh oleh
pandangan-pandangannya.
Pengaruh itu bisa dilihat di tahun 1920-an, ketika banyak
hak-hak erfpacht dari perusahaan perkebunan akan
berakhir, terutama untuk daerah Priangan, Jawa Barat.
Hak-hak erfpacht adalah hak-hak pemanfaatan tanah negara
untuk perusahaan-perusahaan perkebunan yang diberikan pemerintah pasca
Undang-undang Agraria 1870. Topik ini diulas dalam koran-koran nasionalis,
seperti Bintang Timoer, 21 Januari 1928. Pada tgl 23 September 1928, PPKI
dan gabungan partai-partai politik di Batavia mengadakan rapat umum yang
menghadirkan Mr. Soenario sebagai pembicara. Topik rapat umum itu:
tanah-tanah erfpacht di Sumatra Timur akan jatuh tempo
dalam waktu dekat, dan ada rencana dari pemerintah untuk memperpanjang
hingga lima puluh tahun lagi (Bintang Timoer, 25 September
1928).
Koran nasionalis lainnya, Kabar Hindia menerbitkan
serangkaian artikel antara tanggal 26 Mei - 2 Juni 1929 yang menjelaskan
tentang undang-undang yang mengatur hal-hal pertanahan di Jawa dan Madura
(Kabar Hindia, 26 Mei 1929). Artikel-artikel itu mengupas topik-topik
mulai dari pasal 62 di Regeeringsreglement hingga isi
Undang-undang Agraria 1870. Penulis menegaskan ulang bahwa
berdasarkan Regeringsregelement Pasal 62 Ayat 2, Gubernur
Jenderal tidak boleh menjual tanah. Penulis juga menguraikan
prinsip-prinsip domeinverklaring dari Undang-undang
Agraria 1870 dan bagaimana hukum tanah itu diatur sehingga segala tanah
yang tidak memiliki hak eigendom akan dikuasai oleh Negara
(staatsdomein). Penulis mengingatkan pembaca bahwa “mengeluarkan
tanah atas erfpacht bisa kedjadian baek atas maoenya gouvernement maoepoen
kalau diminta oleh orang particulier.”
Koran Fadjar Asia, 10 Juni 1929, secara khusus memuat tulisan S.M.
Kartosoewirjo, "Orang Lampoeng Boekan Monjet, Tetapi Ialah Manoesia
Belaka!,” yang menggugat “kedzaliman pemerintah kolonial berupa pencabutan
hak petani atas tanah” di Ranau, Palembang, dan Kota Bumi, Lampung, tanpa
pemberian ganti rugi sebagai akibat langsung dari pemberian
hak erfpacht kepada perusahaan milik bangsa Eropa.
Kartosoewirjo mengibaratkan bahwa “saudara-saudara kita anak Indonesia,
orang Lampung yang tersebut itu, tidak kurang dan tidak lebih hanyalah
dipandang dan diperlakukan sebagai "Monyet" belaka, ialah "Monyet" yang
diusir dari sebatang pohon ke sebatang pohon yang lainnya!"
Buku Orang Indonesia dan Tanahnya dikupas oleh Koran Jong Java terbitan 1-5 Juli
1929. Kadarwan, penulis kupasan itu, menggarisbawahi pernyataan van
Vollenhoven terkait cultuurstelsel, landrente, sebagai “satu
abad ketidakadilan” (eeuw van onrecht). Kadarwan mengutip beberapa
paragraf penting dari esai van Vollenhoven secara utuh untuk menegaskan
bahwa kepentingan empat puluh tujuh juta rakyat Indonesia jauh lebih
penting daripada kepentingan segelintir pejabat kolonial dan untuk
menunjukkan ketidakadilan yang diterima oleh rakyat Indonesia berdasarkan
argumen seorang akademisi terhormat dari Belanda. Kadarwan mendesak para
cendekiawan pribumi yang meminati hukum termasuk juga hukum adat untuk
membaca buku itu, “agar kita juga memiliki perhatian atas tanah-tanah
kita” (Jong Java, 1-5 Juli 1929).
Demikian sejumput ilustrasi mengenai bagaimana koran-koran nasionalis di
akhir tahun 1920-an menyoal politik agraria kolonial dengan mengangkat
kesengsaraan rakyat pribumi yang diakibatkannya. Kesadaran dan kefasihan
kaum intelektual nasionalis, termasuk para penulis di koran-koran
nasionalis di atas, menyoal topik ini sesungguhnya sangat mengesankan.
Perlu penyelidikan lebih lanjut bagaimana masalah hukum agraria rakyat
pribumi diajarkan di institusi pendidikan hukum kolonial, termasuk di
Leiden University, Rechtsschool, (berdiri 1909), Fakultas
Hukum dan Sastra, yang menerima mahasiswa dari Hindia Timur sejak 1920,
dan di Rechtshoogeschool di Batavia yang berdiri 1924).
Cukup masuk akal untuk menyimpulkan bahwa kefasihan para cendekiawan
pribumi atas masalah politik agraria dan akibatnya pada rakyat pribumi
disebabkan oleh berbagai naskah yang dibaca dan didiskusikan secara
mendalam di kalangan mahasiswa di Leiden maupun Batavia, termasuk yang
mengacu pada karya van Vollenhoven ini, Orang Indonesia dan Tanahnya.
Van Vollenhoven berpengaruh langsung pada murid-muridnya. Lebih luas
dari itu, karya-karyanya, seperti juga karya
Multatuli 1859 Max Havelar, of de koffie-veilingen der Nederlandsche
Handel-Maatschappy (atau dalam bahasa Indonesia: “Max Havelaar, Lelang Kopi Perusahaan
Dagang Belanda") menjadi rujukanpemimpin pergerakan Indonesia mengenai
politik agraria kolonial dan akibat-akibatnya bagi kejayaan negara dan
perusahaan perkebunan di atas kesengsaraan rakyat pribumi. Meski lantang
dalam mengkritik politik agraria kolonial dan menjadi pembangun ilmu
hukum adat, van Vollenhoven dikenal sangat hati-hati menyikapi semangat
nasionalisme mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Belanda. Walaupun ia
mendesakkan keadilan bagi masyarakat pribumi, terutama terkait masalah
penguasaan tanah, ia tidak pernah secara terbuka menyatakan dukungan
bagi gerakan nasionalis atau kemerdekaan di Indonesia.
Cara van Vollenhoven mempengaruhi nasionalisme para cendekiawan pribumi
adalah melalui peran murid-muridnya yang berkiprah langsung di Hindia
Belanda setelah 1925. Salah satu muridnya adalah B. ter Haar Bzn, yang juga jadi profesor di
Leiden University, dan pada tahun 1930-an bertugas
di Rechtshogeschooldi Batavia. Ter Haar dan
murid-murid Rechtshogeschool di Batavia itu berhasil
mengoperasionalkan hukum adat sebagai hukum yang dipakai dan yang dapat
berfungsi dengan baik untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum yang
mengenai rakyat pribumi. Status hukum adat naik kelas dengan berhasil
berfungsi sebagai hukum yang dapat dipakai di peradilan-peradilan negara
yang modern. Lebih dari itu, mereka mendukung dan mengisi
tulisan-tulisan dalam De Stauw, suatu majalah yang
sangat berpengaruh dalam mengobarkan semangat nasionalis dan merangsang
imajinasi yang menjangkau kemerdekaan Indonesia. Di tahun 1928, sebagian
dari mereka inilah yang menyusun teks Sumpah yang terkenal itu; dan
membuat secara eksplisit bahwa selain kemauan, sejarah, bahasa,
pendidikan dan kepanduan, adalah hukum adat, sebagai dasar-dasar
persatuan Indonesia. (Wignyosoebroto, 1994:134, 142, fn29).
Kekhawatiran para cendekiawan pribumi pemimpin pergerakan masa itu
mengenai perlindungan hak-hak rakyat pribumi atas tanahnya juga
diakibatkan oleh pergerakan kaum Indo-Eropa melalui Indo-Europeesche Verbond (IEV), yang meminta pemerintah untuk memperbolehkan mereka memiliki hak
atas tanah sebagai alat usaha. Sebagai landskinderen, mereka
merasa mempunyai hak inheren untuk juga memiliki tanah di Indonesia
(Bintang Timoer, 21 September 1928). Ketika pertarungan antara
pemimpin-pemimpin masyarakat pribumi dengan masyarakat Indo-Eropa tentang
tuntutan kepemilikan hak atas tanah makin meruncing pasca dikabulkannya
tuntutan IEV untuk menyusun komisi yang meneliti hal tersebut (dikenal
juga dengan nama Komisi Spit yang dibentuk tahun 1930), M.H. Thamrin
menyampaikan pidato tentang ketidakadilan yang dihadapi rakyat Indonesia
di Volksraad pada sesi sidang 1931-1932:
Walaupun demikian, selama beberapa abad hak ulayat ini berulangkali
dipertanyakan dan diragukan, terutama oleh apa yang disebut sebagai
pernyataaan domein (domeinverklaring) oleh
pemerintah, yang menurut Profesor van Vollenhoven adalah salah satu
ketidakadilan yang paling berat yang pernah ditimpakan kepada masyarakat
pribumi pada masa ini. Walaupun hak-hak rakyat telah berungkali diserang,
hak ulayat (beschikkingsrecht), hak guna (gebruiksrecht),
hak menduduki (occupatierecht) dan hak menanam
(ontginningsrecht) tetap bertahan, walaupun secara sederhana dan
dibawah kondisi-kondisi yang sangat
sulit. Domeinverklaring telah memungkinkan usaha-usaha
memuaskan lapar-tanah kelompok masyarakat lain yang dipenuhi
dengan cara menyusun (instellingen) dan memberikan
(toekenningen) hak-hak asing bagi masyarakat non-pribumi
seperti hak milik (eigendomsrechten), hak sewa
(erfpachtsrechten), hak agrarian (agrarische rechten) dan
hak mengelola tanah pertanian kecil (kleinen landbouw erfpachtsrechten) (Volksraad Handelingen 1931/1932, 807-808).
Perhatikan bagaimana Thamrin mengutip Cornelis van Vollenhoven tentang
ketidakadilan yang ditimpakan kepada masyarakat pribumi oleh
pernyataan domein. Thamrin melanjutkan perjuangannya dengan menggerakan pendirian Komisi
Agraria Indonesia di tahun 1935 dengan Moh. Yamin bertindak selaku
sekretaris. Komisi ini bertujuan untuk “mendjaga hak-hak bangsa
Indonesia diatas tanahnya” dan mengusahakan “perlindoengan hak-hak tanah bangsa Indonesia mendjadi lebih
tegoeh.”
Orang Indonesia dan Tanahnya diterbitkan ulang agar pembaca dapat mengingat pengaruh pemikiran
Cornelis van Vollenhoven ini sebagai salah satu pembentuk pemikiran
agraria Indonesia yang sangat penting, baik di masa kolonial maupun
pasca-kolonial. Prinsip-prinsip keadilan dan etika perlindungan kaum
yang lemah telah menuntun van Vollenhoven untuk menentang penghapusan
klausul yang melindungi hak-hak agraria masyarakat pribumi. Hal ini
masih sangat relevan untuk digaungkan ulang saat ini di tengah
ketertindasan masyarakat hukum adat, petani dan buruh miskin oleh
usaha-usaha perampasan tanah secara besar-besaran, yang seringkali
tampil sebagai pelaksanaan hukum yang dijalankan oleh satu rejim
penguasa pemerintahan dan kekuatan pasar yang dimotori oleh
perusahaan-perusahaan raksasa untuk mengakumulasi modal tanpa henti.
Penutup:
Pelajaran penting dari Orang Indonesia dan Tanahnya
Dunia keilmuan kontemporer menilai warisan dari karya-karya van
Vollenhoven dari dua kacamata berbeda. Peter Burns (2004, 2010)
beranggapan bahwa hukum adat adalah mitos yang diciptakan
(invented) oleh cendekiawan Belanda masa kolonial (Burns
2010: 78). Burns gigih menegaskan pembedaan antara adat dan hukum. Dengan
menggunakan definisi hukum dalam arti sempit, Burns beranggapan bahwa
warisan van Vollenhoven melalui fenomena hukum adat hanya memiliki peran
pada tataran ideologi untuk menciptakan “mitos sakral tentang identitas
bagi orang-orang Indonesia dalam perjuangannya merebut kemerdekaan” (Burns
2010: 81).
Pendapat ini ditandingi oleh Franz dan Keebet von Benda-Beckman. Pasangan
ahli antropologi hukum dengan sejarah penelitan yang panjang di Sumatra
Barat dan Ambon berargumen bahwa sumbangan penting dari van Vollenhoven
adalah usahanya membangun klasifikasi yang sistematis dari data-data
tentang adat. Klasifikasi itu memungkinkan konsep-konsep seperti inlandsch bezitsrecht dan beschikkingsrecht muncul secara lebih
substantif karena dikaitkan dengan “keberadaan struktur politik, klaim
terhadap properti komunal, dan tanggung jawab pada orang luar atas
kerusakan-kerusakan” (Benda-Beckmann 2008:9). Terlepas dari pengakuan
pemerintah kolonial atau cendekiawan Leiden, Benda-Beckman melihat hak
penguasaan atas wilayah adat di berbagai wilayah di Hindia Belanda adalah
nyata adanya dengan keragaman bentuk dan tingkat kecanggihan praktik antar
satu tempat ke tempat lainnya. Kritik-kritik
terhadap beschikkingsrechtsebagai “hasil ciptaan” para ahli
hukum Belanda dinilai Benda-Beckmann sebagai kegagalan menempatkan konsep
itu dalam konteks waktunya (Benda-Beckmann 2008, 19).
Dengan terus mempertimbangkan debat atas warisan akademik
Cornelis van Vollenhoven, buku Orang Indonesia dan Tanahnya berada pada tempat yang terhormat sebagai rujukan otoritatif
untuk memahami bagaimana politik agraria kolonial yang terus menerus
dianut, dipelihara, dan menjadi kebiasaan praktek kelembagaan pemerintah
pasca kolonial merupakan sumber ketidakadilan agraria yang
kronis. Membaca buku Orang Indonesia dan Tanahnya akan
merupakan suatu pertemuan yang bermakna, bila ia tidak hanya dilandasi
oleh sikap mental sebagai arkeolog yang berusaha menemukan
artefak-artefak yang merupakan sedimen dari hidup masa
lampau. Membaca Orang Indonesia dan Tanahnya akan membawa
pembaca pada pergulatan pemikiran mengenai politik agraria di masa lalu
agar dapat menjadi referensi tentang bagaimana konsep-konsep dan
kategori-kategori yang digunakan saat itu dapat memberi inspirasi untuk
memahami secara lebih baik kemelut-kemelut di masa kini.
Pengantar ini akan ditutup dengan menunjukkan satu tonggak penting
politik hukum agraria saat ini yang meralat pasal-pasal
dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan mengenai status hutan adat dan cara
pengakuan masyarakat hukum adat. Pada tanggal 16 Mei 2013, diumumkan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia suatu Putusan atas perkara
nomor 35/PUU-X/2012, berkenaan dengan gugatan Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) bersama dua anggotanya, yakni kesatuan masyarakat hukum
adat Kenegerian Kuntu, dan kesatuan masyarakat hukum adat Kasepuhan
Cisitu. Mahkamah Konstitusimemutuskan bahwa selama ini Undang-undang No. 41/1999 tentang kehutanan
(yang melanjutkan Undang-undang No 5/1967 tentang Kehutanan) telah salah
secara konstitusional memasukkan status hutan adat ke dalam kategori
hutan negara. Status hutan yang dibagi berdasar milik ini, dan memasukan kepunyaan
rakyat sebagai bagian dari milik Negara, jelas merupakan
warisan dari pernyataan domein.
Dengan memasukkan hutan adat ke dalam kategori hutan negara, masyarakat
hukum adat telah didiskriminasi karena statusnya dianggap bukan sebagai
penyandang hak, dan subjek hukum pemilik dari wilayah adatnya. Maka
segala praktek pemerintah yang berdasar pada kesalahan itu telah
bertentangan dengan konstitusi UUD 1945, termasuk pasal 18B.[4] Sebagai penjaga konstitusi (constitutional guardian) dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia, Mahkamah Konstitusi telah
menegaskan norma konstitusional bahwa masyarakat hukum adat adalah
penyandang hak dan subjek hukum yang sejajar dengan subjek hukum
lainnya.[5] Putusan Mahkamah Konstitusi itu menyebutkan:
“(D)alam ketentuan konstitusional tersebut, terdapat satu hal penting dan
fundamental dalam lalu-lintas hubungan hukum. Hal penting dan
fundamental tersebut adalah masyarakat hukum adat tersebut secara
konstitusional diakui dan dihormati sebagai “penyandang hak” yang dengan demikian tentunya dapat pula dibebani kewajiban. Dengan demikian masyarakat hukum adat adalah
subjek hukum. Sebagai subjek hukum di dalam suatu masyarakat yang telah
menegara maka masyarakat hukum adat haruslah mendapat perhatian
sebagaimana subjek hukum yang lain ketika hukum hendak mengatur,
terutama mengatur dalam rangka pengalokasian sumber-sumber
kehidupan” (Mahkamah Konstitusi 2012:168).
Ahmad Sodiki, salah satu dari hakim Mahkamah Konstitusi yang menjadi
tulang punggung Putusan itu, pernah mengemukakan pandangannya bahwa
“ … jika dikaitkan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi tugas
negara bagaimana pengusahaan sumberdaya alam yakni bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dimanfaatkan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat (secara adil dan merata). Hal itu tidak
dapat dicapai dengan menegakkan hukum semata karena ternyata hukum yang berkenaan dengan sumberdaya alam mengandung cacat yang,
jika ditegakkan, justru akan menimbulkan ketidakadilan sosial. Penegakan hukum sumberdaya alam yang tidak adil akan mengancam
eksistensi masyarakat hukum adat yang sangat rentan penggusuran oleh
mereka yang mengatasnamakan atau izin dari negara” (Ahmad
Sodiki, 2012: garis bawah, tambahan penulis).
Lebih jauh, silakan baca buku baru Ahmad Sodiki (2013). Dengan membaca
Putusan Mahkamah Konstitutsi itu, bersama dengan buku Politik Hukum Agraria (Sodiki 2013) itu, kami merasakan bahwa pandangan kritis terhadap
ketidakadilan yang diciptakan oleh politik hukum agraria tetap hidup.
Dengan demikian, Orang Indonesia dan Tanahnya, karya van
Vollehhoven yang terbit hampir seabad yang lalu ini, tetap penting,
menarik, relevan, dan inspiratif, untuk dibaca dengan seksama pada saat
ini.
Selamat menikmati.
Referensi:
Arizona, Yance. 2011. “Perkembangan Konstitusionalitas Penguasaan Negara atas Sumber Daya Alam
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi”. Jurnal Konstitusi 8(3):1-43.
_____. 2012. “Konsepsi Konstitusional Penguasaan Negara atas Agraria dan
Pelaksanaannya”. Tesis untuk memperoleh gelar Magister Hukum. Program
Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta.
Arizona, Yance, Siti Rakhma Mary Herwati dan Erasmus Cahyadi.
2013 (akan terbit). Kembalikan Hutan Adat kepada Masyarakat Hukum Adat. Anotasi Putusan
Mahkamah Konstitusi Perkara No. 35/PUU-X/2012 mengenai Pengujian
Undang-Undang Kehutanan. Jakarta: Epistema Institute, Perkumpulan HuMa, dan AMAN.
Benda-Beckmann, F dan K von. 2008. Traditional Law in a Globalizing World: Myth, Stereotypes, and
Transforming Tradition. Van Vollenhoven Lecture 2008. Van Vollenhoven Institute for Law,
Governance and Development: Leiden University.
Burns, Peter. 2004. The Leiden Legacy: Concepts of Law in Indonesia. Leiden: KITLV Press.
Burns, Peter. 2010. “Adat yang Mendahului Semua Hukum.”
Dalam Hukum Agraria dan Masyarakat Indonesia: Studi tentang Tanah, Kekayaan
Alam, dan Ruang di Masa Kolonial dan Desentralisasi. Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono (editor). Huma, van Vollenhoven
Institute, KITLV: Jakarta.
Fasseur, C. 2010. “Dilema Zaman Kolonial: Van Vollenhoven dan Perseteruan
antara hukum Adat dan hukum Barat di Indonesia.” Dalam Adat Dalam Politik Indonesia. Jamie S. Davidson, David Henley dan Sandra Moniaga (editor). Jakarta:
KITLV, Yayasn Pustaka Obor.
Nederlandsch-Indie. 1931. Volksraad Handelingen 1931/1932.
Rachman, Noer Fauzi. 2013 (akan terbit). “Masyarakat Hukum Adat adalah Bukan Penyandang Hak,
dan Bukan Subjek Hukum atas Wilayah Adatnya”.
Dalam Jalan Terjal Reforma Agraria Sektor Kehutanan. Iman Santoso (Ed). Jakarta: FORDA Press.
Sodiki, Ahmad. 2013. Politik Hukum Agraria. Jakarta:
Konstitusi Press.
Steenhoven, G. van den. “Vollenhoven, Cornelis van (1874-1933)” terakhir kali diakses 12 Juli 2013.
Termorshuizen-Art, Maijanne 2010. “Rakyat Indonesia dan Tanahnya.
Perkembangan Doktrin Domein di masa Kolonial dan Pengaruhnya dalam Hukum
Agraria Indonesia.” Dalam Hukum Agraria dan Masyarakat Indonesia: Studi tentang Tanah, Kekayaan
Alam, dan Ruang di Masa Kolonial dan Desentralisasi. Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono (editor). Huma, van
Vollenhoven Institute, KITLV: Jakarta.
Vollenhoven, Cornelis van. 1919. De Indonesiër en zijn Grond. Leiden: E.J. Brill
Wignjosoebroto, Soetandyo. 1994. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Suatu Kajian tentang Dinamika
Sosial-politik dalam Perkembangan Hukum Selama Satu Setengah Abad di
Indonesia, 1840-1990. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
_____. 1998. “Kebijakan Negara untuk Mengakui dan Tak Mengakui Eksistensi Masyarakat
Adat Berikut Hak atas Tanahnya”, dalam Jurnal Masyarakat Adat No. 01/1998. Bandung: Konsorsium Pembaruan Agraria.
Koran
Bintang Timoer, 21 Januari 1928
Bintang Timoer, 25 September 1928
Kabar Hindia 26 Mei 1929
Fadjar Asia, 10 Juni 1929
Jong Java, 1-5 Juli 1929
[1] Ahli-ahli hukum adat pada mulanya menerjemahkannya
berbeda-beda. Soepomo menyebutnya hak pertuanan, sementara
itu Djojodiguno menyebutnya hak purba (lihat catatan kaki
no.3 yang dibuat penerjemah Soewargono pada van Vollenhoven, 1975:13) . Istilah ini kemudian dikenal dalam Undang-undang Pokok
Agraria No. 5/1960 sebagai “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu
dari masyarakat-masyarakat hukum adat.” Penjelasan pasal 18
Undang-Undang Dasar 1945 menyebutnya sebagai hak asal-usul.
[2] Pembaca dapat menemukan terjemahan pasal
62 Regeeringsreglement 1854 di Lampiran I buku
ini.
[3] Steenhoven G. van den, “Vollenhoven, Cornelis van (1874-1933)” terakhir kali diakses 12 Juli 2013.
[4] Pasal 18-B dari UUD 1945 yang telah diamandemen itu berbunyi bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
[5] Lebih jauh analisis mengenai Putusan ini pelajari: Arizona dkk (2013, akan terbit), Rachman (2013, akan terbit). Sepanjang lima tahun terkahir (2007-2013) Mahkamah Konstitusi
telah mengeluarkan Putusan-putusan yang mendudukkan kembali konsep
penguasaan Negara atas tanah dan sumber daya alam pada berbagai
putusannya. Mengenai konstitusionalisme agraria ini pelajari Arizona
(2011, 2012).
Upik Djalins adalah peneliti pada Sajogyo Institute. Upik Djalins
meraih gelar doktoralnya dari Cornell University pada tahun 2012, dengan
disertasi berjudul “Subjects, Lawmaking and Land Rights: Agrarian Regime and State
Formation In Late-Colonial Netherlands East Indies.”
No comments:
Post a Comment