Noer Fauzi Rachman
Istilah "tanah air" punya banyak padanan katanya dalam berbagai bahasa di seantero Nusantara, [1]misalnya:
- Di Aceh, ada istilah trimeng geunesah yang merupakan ungkapan pendek dari nangroe atau negeri. Nangroe atau negeri merupakan narasi "tanah air" dalam gambaran besar, sementara gampung adalah tanah air dalam lingkup kecil di Aceh Utara.
- Di Tidore ada istilah kie se gama malinga. Kie segam menggambarkan tanah air yang paling umum dalam bahasa Tidore. Kie artinya gunung, gam itu kampung = tanah air. Ada peribahasa, sari-sari ahu ma, kie segama to sadia, yaya seba tosoninga jou koma, fio raosito. Artinya perjalanan hidup yang berliku, tanah airku tinggalkan, ibu bapak ku kenangkan wahai, kapankah akan kembali. Adapula peribahasa Dodomi ma gonyihi. Artinya tempat tali pusar, tempat kelahiran, seperti dalam ungkapan "Gammalamo se oti maside yo so nou dodokmi mgonyihi taogi-togi geno koliho, raro kie se gam dodomi ma goniyhi." Artinya tanah di kampung dan layar-layar perahu, menaungi kampong halaman kami, walau kau pergi, wahai anakku pulanglah dan lihatlah tanah airmu, tempat tali pusarmu terkubur.
- Di Tarutung ada istilah bona pasongit dari bona pasogit nauli dang boi taelumpahon. Bona adalah akar akar dari sebuah tumbuhan, minat merantau sangat besar dan tujuannya untuk kembali ke kampung setelah sukses, niat pulang kampung kita sangat besar. Bona bermakna cinta terhadap kampung halamanya. Pasogit tanah kelahiran, tempat yang lahir tidak melupakan kampung disini lahir dan mendapat pengetahuan “Akan kembali ke tanah air. Artinya tanah air tanah kelahiran yang indah tidak bisa dilupakan.
- Huta Hutubuan. Mulak tu hua hatubuan masihol, artinya kita yang lahir tidak melupakan kampung kita. Mereka yang pergi dari tanah airnya, selalu punya usaha untuk pulang, berusaha tidak berdiam diri, punya perbuatan kembali ke tanah air. Itu mudah diwujudkan begitu dipanggil, maka dia akan kembali.
- Di Tojo Una-Una, dalam bahasa Ta'a ada istilah lipu bermakna tanah air, seperti dalam cerita jaman kerajaan adanya benteng penjagaan dan di setiap rumah-penduduk ada tertulis ungkapan “lipu tau boros kampong kita biar kampong semua suku ada didalamnya ramah-damai“. Lipu tahu boros artinya boros kampung kita.
- Di Manado ada istilah kita pe kampung, artinya kampung kita. Sedangkan orang dari suku Minahasa menggunakan bahasa Tongsea. Bahasa ini sudah jarang digunakan, dan sudah sangat sedikit yang menggunakan. Ada istilah Makatana Kawanua untuk pengertian tanah air. Makatana torang punya bahasa.
- Di Sulawesi ada beberapa suku, dengan bahasa masing-masing. Dalam falsafah orang Bugis Makasar ada istilah: siri Na pace Makasar, siri Na pesse bugis. Dalam bahasa Tondok, ada istilah Sule dio tondoku, artinya pulang ke kampungku. Ada istilah "Siri Napacce”. Siri artinya malu. Pacce artinya pese, pedih-perih kokoh dan kuat, siapapun menggangu merampas hak-hak orang Makasar, maka akan dilawan sampai darah penghabisan. Falsafah hidupnya adalah mempertahankan hidup dan hak miliknya.
Tiap-tiap tanah air selalu merupakan tempat lahir yang membentuk muatan emosi dan lokasi identifikasi diri rakyat pada suatu tempat kelahiran. Tanah air membawa kita pada urusan hidup dan mati bisa bertaruh nyawa kita memperjuangkan tanah air kita. Tanah air tumpah darahku. Hubungan rakyat dengan tanah airnya adalah seperti ikatan dengan tali pusar, ikatan tanah kelahiran, tak tergantikan. Tanah air yang selalu punya kekuatan memangil. Tidak ada kekuatan lain yang memiliki panggilan sekuat tanah air.
Tanah air punya banyak bentuk cara memanggil, termasuk dalam bentuk syair dan lagu. Ingatkah pada puisi berjudul Tanah Air karya Muhammad Yamin di tahun 1920 dan 1922. Ingatkah pada lagu Tanah Airku karya dari Saridjah Niung, yang lebih terkenal dengan nama Ibu Sud, pada tahun 1927. Ingatkah pula lagu Indonesia Pusaka karya Ismail Marzuki pada tahun 1942?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanah air diartikan sebagai negeri tempat kelahiran,[2]sedangkan dalam Tesaurus Tematis Bahasa Indonesia, tanah air sebagai nomina memiliki pasangan dengan “warga negara” dan dipersamakan dengan ibu pertiwi, negeri, nusa, tanah kelahiran, tanah tumpah darah, watan; sementara sebagai verba dipasangkan dengan “pembelaan” dan dipersamakan dengan bela bangsa, bela negara, bela tanah air.[3]
Mereka yang telah terpanggil oleh tanah air belajar menjadi pandu-pandu yang pada gilirannya mampu memberi petunjuk yang mudah untuk memahami situasi yang dihadapi, dan memberi petunjuk cara bagaimana para lelaki dan perempuan, tua dan muda, merintis jalan membangun kekuatan menghadapi kekuatan-kekuatan yang memporak-porandakan tanah airnya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2017:1204) mengartikan pandu sebagai, 1. penunjuk jalan; perintis jalan; 2. Mualim (di kapal); 3. Kapal penunjuk jalan (dalam pelabuhan); 4. Anggota perkumpulan pemuda yang berpakaian seragam khusus, bertujuan mendidik anggotanya supaya menjadi orang yang berkesatria, gagah berani, dan suka menolong sesama makhluk.
Saya menggunakan istilah “panggilan tanah air”[4] sebagai suatu yang datang dari situasi kemelut yang dialami rakyat di seantero lokasi tanah air di kepulauan Nusantara, sebagai akibat dari peralihan kendali penguasaan (kontrol) dan kepemilikan tanah, sumber daya alam, dan wilayah hidup dari rakyat setempat ke perusahaan-perusahaan raksasa. Perusahaan-perusahaan itu membentuk cara produksi kapitalisme, yang menghasilkan barang dagangan dengan dasar perolehan layanan alam dan bahan mentah dari alam yang murah (cheap nature).
Rakyat petani, peladang, nelayan, laki dan perempuan, tua maupun muda, hidup satuan-satuan kelassosial, etnik budaya dan lokasi geografis di dalam tanah airnya masing-masing. Mereka pada mulanya adalah pemegang kendali penguasa, pemilik, pemanfaat dan penghasil berbagai barang yang bernilai guna untuk keberlanjutan hidupnya. Barang itu bisa berupa bahan makanan, pakaian, atau permukimannya, atau barang yang bisa bernilai tukar, diperdagangkan untuk membuat mereka peroleh uang, sebagai alat tukar bagi pembelian barang-barang lain kebutuhan. Kedudukan rakyat yang berasal demikian itu diubah secara drastis sedemikian rupa sehingga menjadi sekedar pekerja yang mengandalkan tenaga untuk memperoleh upah dalam menggerakkan cara-cara memproduksi secara kapitalis barang-barang dagangan yang bernilai tukar. Keuntungan yang diperoleh berupa kekayaan uang diakumulasikan oleh kaum pemilik perusahaan, baik untuk perluasan dan peningkatan kuantitas atau kualitas produksinya, membiayai usaha-usaha membentuk kondisi yang penting untuk kelangsungan produksinya, dan sebagian lain untuk hidup dalam kemewahan kaum pemilik itu. [5]
Sesungguhnya, membicarakan kapitalisme dalam hubungan dengan tanah air, bukanlah sesuatu topik yang baru bagi Indonesia sebagai bangsa Indonesia. Cara bagaimana kapitalisme kolonial memporak-porandakan tanah air Indonesia sudah secara gamblang dulu ditunjukkan oleh Soekarno dalam karyanya Indonesia Menggugat (1930). Lebih lanjut, bagaimana perjuangan kemerdekaan Indonesia dimaknai sebagai arus balik menandingi kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme dapat dipelajari pada karya Tan Malaka (1925) Naar de ‘Republiek-Indonesia’ (Menudju Republik Indonesia), Mohammad Hatta (1932) Ke Arah Indonesia Merdeka, Soekarno (1933) Mentjapai Indonesia Merdeka. Berinspirasikan pada karya-karya para founding fathers (dan mothers) itu, kita perlu memperbesar dan menguatkan panggilan tanah air untuk para pandunya saat ini, dan membantu pemenuhannya.*)
[1] Penulis memperolehnya dari percakapan bersama dengan 13 Pelajar "Studi Agraria dan Pemberdayaan Perempuan", Sajogyo Institute, di Bogor, pada sekitar awal tahun 2016. Mereka berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, lihat https://pejuangtanahair.org/lingkar-belajar/#, akses terakhir 18 September 2021).
[2] https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/tanah%20air (akses terakhir 18 September 2021)
[3] http://tesaurus.kemdikbud.go.id/tematis/lema/tanah%20air (akses terakhir 18 September 2021).
[4] Noer Fauzi Rachman Panggilan Tanah Air (Yogyakarta: Insist Press, edisi ketiga, 2018.https://insistpress.com/katalog/panggilan-tanah-air-tinjauan-kritis-atas-porak-porandanya-indonesia/, akses terakhir 18 September 2021.
[5] Penulis menganjurkan kita musti terus menerus mempelajari perubahan cara-cara bagaimana kapitalisme dan negara bekerja mereorganisir ruang hidup rakyat pada saat ini. Cara bagaimana reorganisasi ruang tersebut bekerja, lihat Noer Fauzi Rachman (2015), “Memahami Reorganisasi Ruang dari Politik Agraria” (http://jurnalbhumi.stpn.ac.id/index.php/JB/article/view/39 akses terakhir 18 September 2021).
No comments:
Post a Comment