Noer Fauzi Rachman
dan
Aris Santoso
Dimuat sebagai bab Noer Fauzi Rachman dan Aris Santoso (2013) “Gambar sebagai Senjata. Memorabilia Kalender-Poster Tanah untuk Rakyat 1991”. Gambar Adalah Senjata. Yayak Yatmaka (ed). Penerbit: tt,tp. halaman 134-155.
Will there also be singing?
Yes, there will also be singing.
About the dark times.”
Bertolt Brecht (1898-1956)
Yayak Adya Yatmaka, biasa kami panggil Yayak Kencrit, tiba-tiba mencuat dan terkenal pada pentas di panggung politik nasional di awal tahun 1991. Di mulai pada tanggal 2 Mei, Jaksa Agung mengeluarkan SK yang isinya melarang beredarnya poster-kalender "Tanah untuk Rakyat" berukuran 42 x 58 cm yang dibuatnya itu. Sebagian dari karikatur yang termuat di gambar juga tampil dalam bentuk kartu-kartu seukuran 15 x 30 cm, yang juga tentunya dilarang. Di kartu-kartu itu tertulis “Printed in London By International Democracy Forum”.
Di poster-kalender itu dicantumkan penanggungjawabnya adalah delapan organsiasi non-pemerintah, yakni INSAN (Informasi dan Studi Hak-hak Asasi Manusia), LPHAM (Lembaga Pembela Hak-hak Asasi Manusia), Lekhat (Lembaga Kajian Hak-hak Masyarakat - Yogyakarta), KKPI (Komite Kebangkitan Perempuan Indonesia), KPMuRI (Komite Pembelaan Mahasiswa untuk Rakyat Indonesia), FDPY (Forum Diskusi Perempuan Yogyakarta), Infight (Indonesian Front for Human Rights), dan LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Bandung.
Sebagaimana diberitakan dalam majalah minggu Tempo (tercatat edisi 25 Mei 1991), D. Soedikto, Kepala Kejaksaan Tinggi Yogya, menyebutkan alasan pelarangan itu, yakni ”mendiskreditkan pemerintah dan ABRI, seolah-olah pemerintah dan ABRI bertindak sewenang-wenang." Visualisasi hubungan penindas dan yang tertindas dalam poster-kalender itu dan kartu-kartu tidak dapat diterima oleh Presiden Suharto, dan Kejaksaaan menggunakan kewenangannya untuk mengkriminalkan pembuat, pengedar, serta penyimpan barang-barang itu. Dalam hal ini, pihak Kejaksaaan Agung menghubungkan dengan UU No. 4/PNPS/1963 tentang. Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum dan Undang-undang Nomor 11/PNPS/ 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.
Kasus ini menjadi isu utama surat kabar/majalah nasional di bulan Maret, April, hingga Mei 1991, semenjak dua orang pengedar poster-kalender dan kartu-kartu itu, yaitu Bunthomi (alumnus FKIP Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga) dan Mathius Hosang (mahasiswa Fakultas Pertanian UKSW),ditangkap polisi pada bulan April 1991 di Salatiga. Bukan hanya koran-koran lokal Jawa Tengah dan Yogyakarta yang memuat berita ini, tapi juga media massa nasional, seperti Tempo dan Jakarta-Jakarta edisi 25 Mei 1991, memuat foto Paspor Yayak Kencrit bagaikan kriminal: gambar matanya ditutup dengan blok hitam, dengan latar penuh gambar poster-kalender tersebut yang dibuat agak kabur.
Di Balik Yang (di)Tampil(kan)
Poster-Kalender Tanah Untuk Rakyat merupakan episode tersendiri dalam riwayat perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Itu sudah dimulai sejak masih dalam gagasan, proses produksi, penyebaran, dan pascapenyebaran. Benar, lukisan itu memang sudah diniatkan untuk melawan rezim Orde Baru – khususnya terhadap figur Soeharto – sejak masih dalam gagasan.
Aparatus kekuasaan represif dari rejim Orde Baru memahami logika kerja dari para oposan, bahwa yang terlihat di permukaan sejatinya bukanlah “dalang” atau “aktor intektual” (meminjam istilah ) dalang. Lembaga-lembaga yang namanya tercantum dalam kalender tersebut sudah menyatakan bertanggungjawab atas produksi dan peredarannya, namun aparat tetap kurang terima. Lalu, aparat kejaksaan, polisi, dan tentara mulai memburu, siapa saja pembuatnya, “aktor intelektual”, pembiayanya, serta siapa saja yang menjadi bagian dari jaringan yang mengedarkannya.
Tidak sedikit orang yang berandil besar dalam membuat Tanah untuk Rakyat terbit dan beredar luas. Tapi tidak semua tampil terlihat, dan memperlihatkan diri. Dengan berbagai pertimbangan, lembaga-lembaga yang tercantum dalam kalender tersebut, adalah lembaga yang secara “sukarela” menyatakan lebih siap menghadapi rezim Orde Baru. Nama penggagas, pembuat, dan pendukung moril dan materil banyak yang tak tampil terlihat. Penulis bisa sajikan beberapa yang kami bisa ketahui dan tunjukkan.
Misalnya Kartjono, Direktur Pelaksana Bina Desa, sebuah LSM yang banyak bergiat di bidang pengembangan masyarakat pedesaan. Bina Desa sebagai LSM yang cukup besar saat itu, dan dijuluki satu dari beberapa BINGO alias Big NGO, dalam arti pengaruh, jaringan dan sumber dana. Kartjono memutuskan Bina Desa tidak bisa mendukung secara terbuka, termasuk segi pendanaannya, karena hal itu sangat riskan. Kartjono (meninggal 28 Mei 1998, di Jakarta) mantan Sekjen Presidium GMNI di tahun 1960-an, orang pergerakan tulen yang menentang rezim Soeharto. Kartjono sudah memiliki pertimbangan strategis, melawan Soeharto tidak bisa secara frontal, jelas kita akan dilibas habis. Melawan Soeharto adalah “peperangan” jangka panjang, karenanya stamina dan nafas harus dihemat, agar bisa bertahan lama.
Yang juga banyak berperan “di balik layar” dalam menyokong inisiatif, pembiayaan produksi Tanah untuk Rakyat, hingga dalam penyelamatan terhadap sejumlah orang yang jadi target incaran aparat polisi, tentara, dan kejaksaan adalah Mulyana W. Kusumah, yang pada masa itu adalah Wakil Ketua Dewan Pengurus YLBHI. Ia memiliki lingkaran pergaulan sangat luas, baik (utamanya) di kalangan oposan Orde Baru, maupun elite politik Orde Baru sendiri. Mulyana terkenal sebagai pengayom siapapun aktivis gerakan sosial yang datang untuk mendapatkan layanan YLBHI, termasuk aktivis mahasiswa pro-demokrasi, aktivis HAM, aktivis bantuan hukum, aktivis buruh hingga aktivis perempuan.
Trio penggagas, pelukis, dan pengurus pencetakan Tanah untuk Rakyat adalah Bambang Harri, Yayak Kencrit dan Paskah Irianto. Hanya Yayak yang diketahui aparat kejaksaan, polisi, dan imigrasi. Yayak menyadari bahwa pasal-pasal yang dikenai pada dirinya bisa menerima hukuman penjara sedikitnya 4 tahun sampai dengan 11 tahun, dan boleh ditembak mati kalau melawan. Menghadapi segala ancaman yang mengenai dirinya, Yayak cepat bergerak. Dua anaknya yang masih balita, bersama ibunya seorang warga Jerman, dimintanya untuk meninggalkan Indonesia dan balik ke kampungnya, menghindar dari represi aparat. Berkat kekuatan tanding dari jaringan aktivis 1980-an yang sudah terbentuk sejak lama, Yayak bersama sejumlah teman lain yang berada dalam posisi bahaya, karena menjadi “incaran” saat itu, diselamatkan, dengan berbagai cara. Pada gilirannya, Yayak sendiri berhasil pergi ke luar negeri tanpa diketahui aparat imigrasi, kemudian menetap bersama istri dan anak-anaknya di satu kota di Jerman, dan tetap produktif sebagai pelukis yang bersemboyankan sebagai “gambar sebagai senjata”. Salah satu teman lain yang juga diselamatkan adalah Maria Pakpahan, aktivis mahasiswa Forum Diskusi Perempuan Yogyakarta (FDPY), yang mengurus pencetakan kartu-kartu karikatur Tanah untuk Rakyat di Yogyakarta. Pada gilirannya Maria Pakpahan berhasil pergi ke Belanda dan bersekolah hingga selesai mendapatkan gelar MA di Institute for Social Studies (ISS), the Hague.
Selain dari Yayak sendiri selaku pelukisnya, dua orang aktivis Bandung yang banyak menyumbang gagasan, berkorban materiil dan tenaga urus jaringan pendukung, pendanaan hingga pencetakan adalah almarhum Bambang Harri (meninggal 23 Februari 2008, di Bandung), dan Paskah Irianto. Beberapa aktivis lain di kota Bandung punya andil yang beragam pula untuk mewujudkan Tanah untuk Rakyat jadi dan bisa tersebar. Bambang Harri kuliah di Fakultas Psikologi - Universitas Padjadjaran, Paskah Irianto kuliah di Fakultas Sastra - Universitas Padjadjaran, dan Yayak Kencrit kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain – Institut Teknologi Bandung. Hubungan ketiganya sebagai teman maupun sesama aktivis mahasiswa di Bandung sangat dekat. Ketiganya adalah aktivis generasi 1980-an, punya karakteristik unik masing-masing dalam mewujudkan komitmennya pada nasib rakyat, termasuk dengan turba (turun ke bawah). Pada masa itu, Bambang Harri dan Paskah Irianto adalah pemulai dari kerja pembelaan mahasiswa atas rakyat miskin pedesaan korban perampasan tanah. Keduanya bekerja bersama aktivis bantuan hukum dan HAM di LBH Bandung dalam turba, kerja pendidikan dan pengorganisasi rakyat petani, hingga memprakarsai protes-protes ke kantor-kantor pemerintahan. Mereka pula rajin membangun kelompok-kelompok aktivis mahasiswa. Pada mulanya, ketika kasus Tanah untuk Rakyat ini mencuat, keduanya pun melakukan tindakan waspada dengan menghilangkan jejak sementara dari tempat-tempat mereka biasa berada. Tapi, setelah tahu bahwa keduanya tidak teridentifikasi oleh aparat rejim Orde Baru, mereka pun aktif kembali.
Bagaimana nasib Bunthomi dan Mathius, dua pengedar yang ditangkap polisi di Salatiga? Jaringan aktivis berhasil membuat identitas baru bagi Bunthomi hingga dia bisa bekerja secara normal di Jakarta, setidaknya untuk sementara. Suasana batin Bunthomi bergolak tak karuan karena tidak bisa leluasa pulang ke kampung halamannya di Ajibarang, Banyumas, padahal ayah dan ibunya, sudah tua serta sakit-sakitan. Pada gilirannya Boen memutuskan hijrah ke Medan, dengan nama baru, Janto. Itulah nama “resmi” yang dipakainya dalam pergaulan sosialnya di Medan, hingga hari ini. Demikian juga dengan Mathius, yang studinya di Fakultas Pertanian UKSW menjadi agak tersendat, karena harus berpindah-pindah tempat, padahal sudah menjelang ujian akhir. Kami menjadi sedikit tenang, ketika mendengar aparat kejaksaan sudah bosan dengan sendirinya memproses kasus ini. Akhirnya Mathius bisa menyelesaikan studinya, dan bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Kalimantan Tengah.
“Tanah untuk Rakyat” sebagai “Nyanyian tentang Kegelapan”
Lebih dari sekedar mengungkap sekelumit saja dinamika di atas dan balik panggung Tanah untuk Rakyat itu, tulisan ini hendak menunjukkan andil poster-kalender itu. Kami menilai kalimat-kalimat puitik dari Bertolt Brecht (1898-1956), seniman kiri ternama Jerman di awal abad 20 lalu, sebagaimana dikutip di awal tulisan ini, sangat cocok untuk menunjukkan andil Tanah untuk Rakyat karya Yayak Kencrit dkk itu.
“Di jaman kegelapan.
Masih akan ada juga kah yang bernyanyi?
Ya, akan ada yang bernyanyi.
Tentang jaman kegelapan itu?”
Dalam “Tanah untuk Rakyat” diungkap konflik yang terbuka antara petani, buruh, dan rakyat miskin lain dengan penguasa tanah, pengusaha rakus, dan rejim otoriter-militer Suharto yang disokong oleh struktur dan aparatur militer, polisi dan birokrasi. Digambarkan ribuan manusia dalam berbagai posisi konflik. Konflik ini begitu jelas digambarkan: siapa-siapa tertindas, siapa-siapa penindas, dan bagaimana penindasan dilakukan.
Dalam suatu uraian, Yayak mendeskripsikan gambar-gambarnya itu.
“Ada yang berpakaian tentara lagi menembak dari belakang sorang ibu hamil dan menggendong anaknya, mewakili kasus perampasan tanah dan kebun kopi oleh Tutut di Talangsari, Lampung. Ada tubuh besar berdasi, duduk di sofa raksasa, di bawahnya monyet dan serigala -berpakaian ala tentara pula- lagi membunuhi anak-anak dengan menekan kepalanya ke danau buatan. Tertulis disitu, Proyek Dam Kedung Ombo, yang dibiayai pakai duit hutangan World Bank dan IMF itu.
Lalu hampir di tengah poster terlihat seseorang gemuk, berwajah menyerupai Suharto, lagi dikerubuti perempuan2, yang salah satunya dipaksa olehnya nyelip ke celana dalamnya, terlentang di wilayah peternakan kuda dan sapi bernama Tapos. Di luar pagar, petani-petani kurus diusir dan digebuki tentara. Disampingnya, tampak seorang perempuan gemuk, berkacamata, rambut bersasak dan berkonde, mirip first-lady waktu itu, Tien Suharto, lagi main golf di Cimacan. Itu lapangan golf yang semua orang tahu telah bertumbalkan kematian dan cacat seumur hidupnya beberapa petani yang bertahan tak mau pindah dari wilayah itu, dan karenanya mereka disiksa bahkan ditembak mati. Ada juga gambar seseorang tampak lagi memotreti pantat (yang pasti saja bertato gambar ‘garuda pancasila’) milik nyonya gendut itu, yang lupa berpakaian layak, hanya pakai bikini, karena memang tak punya rasa malu. Banyak nama2 tempat bermasalah tertulis disitu: Nipah, Lampung, Majalaya, Timtim, Aceh, Papua, dst. Dipertegas lagi dengan penjelasan tertulis dari beberapa tempat yang menyebabkan korban mati atau petani ditangkapi.”[1]
Yayak dan Tanah untuk Rakyat telah menunaikan tugas sejarahnya. Bagi kami masa Ode Baru adalah ibarat “jaman kegelapan”, sebuah jaman di mana berbagai bentuk penindasan pengausa terhadap rakyat dilakukan, termasuk terhadap kebebasan berekspresi dan berkarya seni. Sudah cukup sering kita mendengar seniman atau karya-karya yang dipasung, seperti Pramoedya Ananta Toer, WS Rendra, N Riantiarno, Semsar Siahaan, dan Yayak Kencrit. Kekhususan karya “Tanah untuk Rakyat” ini adalah kehebatannya mengungkap secara gamblang karakteristik “jaman kegelapan” itu.
Seni Bagaikan Palu Penempa, Pembentuk Realitas
Bertolt Brecht membuat kalimat lain yang juga pas mencerminkan fungsi seni untuk menghadapi zaman kegelapan, yakni seni bukanlah suatu cermin yang memantulkan realitas, melainkan sebuah palu yang menempa, membentuk kenyataan. Ketiga pemrakarsa Tanah untuk Rakyat ini dipengaruhi oleh semangat dan gagasan itu. Secara khusus, hidup Bambang Harri dibayangi-bayangi kalimat itu. Sebuah poster sebesar koran berwarna merah dengan gambar sebuah palu besar dengan pergelangan tangan yang memegangnya berdampingan dengan kalimat: “Art is not a mirror held up to reality but a hammer with which to shape it”,tergantung di ruang tengah rumah kontrakannya.
Yayak memang tiada tandingan dalam menampilkan penindas dan penindasan secara gamblang. Kegeramannya atas realitas penindasan membuatnya selalu secara terang-terangan mengobarkan semangat perlawanan. Di poster-kalender ini, misalnya, ditunjukkan ibu-ibu yang kurus, disertai anak-anak dan bapak-bapaknya menuding pengusaha gendut berdasi yang dikesankan terpojok. Puisi Wiji Thukul “Tentang Sebuah Gerakan” yang dibuat khusus untuk gambar-poster ini, menunjukkan semangat mengajak rakyat tertindas bangkit-melawan, dan mulai secara sadar membangun gerakan.
tadinya aku pengin bilang:
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!
aku berpikir tentang
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian
aku bukan orang suci
yang bisa hidup dari sekepal nasi
dan air sekendi
aku butuh celana dan baju
untuk menutup kemaluanku
aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?
Lebih Jauh Mengungkap “Jaman Kegelapan” di 1980-1990-an
Rezim Orde Baru sedang kuat-kuatnya di tahun 1980-an. Era 1980-an hingga tengah 1990-an adalah saat-saat kasus perampasan tanah sedang marak.[2] Babak ini ditandai pula dengan dimulainya perlawanan terbuka dari koalisi aktivis 1980-an dengan pemimpin lokal dari komunitas-komunitas petani yang tanahnya dirampas.[3] Yayasan Pusat Studi HAM (YAPUSHAM) pernah secara sistematis mengkodifikasi kasus-kasus pertanahan berdasarkan pada pendekatan pelanggaran HAM.[4] INDEX Pelanggaran HAM - YAPUSHAM dalam edisi terakhirnya (No. 10/11/97) mencatat setidaknya dari laporan-laporan 28 surat kabar yang terbit di kota-kota provinsi Indonesia, terdapat 891 kasus pelanggaran HAM berupa penyitaan lahan dan perampasan lahan melalui berbagai cara selama 27 bulan, dari Juli 1994 hingga September 1996. Jadi bila dirata-ratakan, maka dalam sebulan ada 33 kasus yang dipublikasi koran lokal maupun nasional. Bayangkan, berapa banyak yang tidak terpublikasi. Sayangnya kerja pembuatan INDEX Pelanggaran HAM - YAPUSHAM ini gagal berlanjut.
Puisi Thukul dalam Tanah untuk Rakyat memang berhasil menunjukkan cita-cita para aktivis 1980-an untuk membangun gerakan rakyat pedesaaan yang terorganisir. Di tahun 1980-an hingga awal tahun 1990an, belum ada kategori “aktivis gerakan pembaruan/reforma agraria” atau singkatnya “aktivis agraria” seperti dikenal oleh sekarang ini. Banyak para aktivis 1980-an menyebut diri mereka sebagai aktivis hak asasi manusia, aktivis pro-demokrasi, aktivis bantuan hukum, atau aktivis lingkungan. Kantor-kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH)[5] di bawah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) adalah salah satu tempat utama persemaian para aktivis-aktivis 1980an, termasuk yang pada gilirannya menjadi aktivis pejuang pembaruan/reforma agraria. Kerja kantor-kantor LBH daerah dan kantor YLBHI di Jakarta sebagian terekam dan tercermin setiap tahunnya dalam buku Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut sebagai Laporan).
Sangat menarik untuk memahami babak perampasan tanah yang mulai pada 1980-an, mulai bangkitnya perlawanan hingga pembentukan gerakan untuk pembaruan agraria, melalui apa yang disajikan Laporan ini dari tahun ke tahun.[6] Tentu, berbeda dengan poster-kalender Tanah untuk Rakyat yang utamanya mengandalkan gambar, Laporan utamanya mengandalkan kata-kata.Laporan yang dimaksud di sini adalah mulai tahun 1979, 1980, 1981, 1982-1983, 1984-1985, 1986-1987, 1989, 1990, 1991, 1992, 1993, 1994, dan terakhir 1996. YLBHI tak menerbitkan laporan HAM seperti ini lagi sejak 1997. Kecuali untuk buku pertama yang dibuat tahun 1979, yang hanya berjudul Laporan Keadaan Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia 1979, setiap buku laporan memiliki judul tersendiri dengan anak judul. Misalnya, buku kedua, berjudul Langit Masih Mendung, dengan anak judul Laporan Keadaan Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia, 1980.[7]
Dari laporan-laporan yang terbit, salah satu jenis kasus yang banyak diadukan secara kolektif oleh korban dan meminta bantuan hukum YLBHI adalah kasus-kasus pertanahan. Kasus tersebut bisa disimak dalam laporan tahun 1979, 1980, 1981, 1982-1983, dan 1984-1985. Pada mulanya jenis kasus pertanahan itu bergabung dengan jenis-jenis kasus lain dan disajikan sebagai bagian dari judul yang lebih umum. Seperti pada Laporan 1980 (YLBHI, 1981:21-34) dalam bab berjudul “Golongan Ekonomi Lemah dan Ketergantungan”, terdiri dari sub-sub bab masalah petani kecil, juga nelayan tradisional, buruh tani, cara kekerasan dalam pengalihan hak milik tanah, penggusuran tempat berdagang, keadaan buruh industri dan upah minimum, buruh wanita dan anak-anak dibawah umur, keadaan industri kecil dan kerajinan rumah tangga, perbandingan taraf hidup buruh perkotaan dan petani di pedesaan dan keadaan sektor informal.
Mulanya tidak dituliskan profil-profil kasus sama sekali. Yang ditulis adalah evaluasi. Seperti pada Laporan 1980 (1981:27) dapat dibaca dalam suatu pernyataan:
“Banyak kalanya, terjadi pengambilalihan tanah tanpa ganti rugi. Ini umumnya dilakukan untuk membuat prasarana, sehingga dapat dikategorikan sebagai “untuk kepentingan umum”. Namun kerap kali, terjadi manipulasi. Dengan kekuatan pemaksa yang ampuh, yaitu pemerintah, tanah milik rakyat kecil itu dibeli dengan harga murah sekali, atau diambil dengan paksa, untuk keperluan pembangunan pabrik swasta yang dimiliki oleh perusahaan asing atau non-pribumi. Lebih jahat lagi, pengusiran atau penggusuran itu digunakan untuk kepentingan usaha swasta yang sangat menguntungkan, seperti untuk real estate.”
Kasus pertanahan, mulai mendapatkan perhatian yang besar, untuk dituliskan pada Laporan 1986-1997. Semenjak itu, kasus-kasus tanah pun juga disajikan pada bab tersendiri. Perkembangan kasus tanah juga mempengaruhi pengalaman sosial aktivis-aktivis dan staff kantor-kantor LBH di daerah kerjanya pada kasus-kasus konflik pertanahan baik di perkotaan maupun di pedesaaan. Kemudian, LBH juga mempunyai divisi khusus urusan pertanahan yang dikerjakan oleh para sarjana hukum dan paralegal yang khusus pula.
Mulai di Laporan periode ini pula gambar-gambar Yayak Kencrit tampil sebagai ilustrasi di dalam, maupun di sampul muka. Selain dalam buku laporan kasus-kasus tanah juga dibahas dalam buletin yang diterbitkan oleh YLBHI dan buku laporan kasus-kasus khusus, seperti pada buku, ”Pluralisme Hukum Pertanahan dan Kumpulan Kasus Tanah” (Harman dkk: 1995).
Laporan-laporan tahunan itu dikerjakan oleh lembaga dan individu jaringan YLBHI yang dipandang turut mendalami kasus-kasus yang ditulis. Para penulis laporan-laporan itu selalu menempatkan Bantuan Hukum Struktural (BHS)[8] yang dianut YLBHI dalam membahas penguasaan tanah yang dimiliki oleh rakyat kecil, soal nasib rakyat dan praktik-praktik pembangunan. Pada Laporan 1986 dapat dibaca analisis mengenai sebab-sebab ketidakadilan sosial dalam kasus petani ladang di luar Jawa sebagai berikut.
“Pengakuan resmi negara atas adanya hak ulayat pada satuan adat di wilayah pola berladang berpindah-pindah itu (wilayah banyak hutan) telah dikalahkan oleh ketetapan baru dalam undang-undang Pokok Kehutanan (1967) yang membuka pintu lebar bagi pengusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Pemungutan kayu hutan demi memperbesar pemasukan devisa yang lebih dipentingkan di mana kurang lebih 36 juta hektar hutan dikuasai oleh kurang lebih 500 perusahaan HPH. Sejak itu nasib petani peladang berpindah-pindah telah ditentukan, yaitu mereka termasuk golongan sasaran untuk dipindahkan ke wilayah luar ”wilayah HPH” karena dianggap merusak ”kekayaan alam Indonesia” dengan perladangan. Program resetlement bagi mereka itu umumnya masih kurang kuat dasar-dasarnya dalam hal pembinaan jenis usaha tani mana yang bercorak menetap yang lebih produktif dan yang dapat mereka terima (adopsi) dalam waktu singkat. Peralihan ke sistem pertanian menetap bagi peladang bukanlah suatu langkah mudah, sama beratnya mendorong orang desa menjadi orang kota dalam waktu singkat” (YLBHI 1986: 17-18).
Kemudian kasus-kasus konflik pertanahan diurai dengan menggunakan analisa struktural, bisa dibaca dalam Laporan 1986-1987, terutama dalam bab Penggusuran dan Penciutan Tanah-tanah Rakyat. Bagian yang terdiri dari 63 halaman ini memuat profil kasus-kasus, dari kasus proyek waduk Kedungombo di Jawa Tengah yang menenggelamkan 22 desa yang luasnya mencapai 5.898 hektar hingga kasus perampasan tanah warga yang luasnya mencapai 400 ribu hektar oleh perusahaan perkebunan di Sumatera Utara.
Tahun demi tahun laporan yang tersusun semakin lengkap. Kasus-kasus semakin banyak terungkap dan memberikan informasi lebih banyak tentang penderitaan korban. Para penulis juga memberikan analisa dan kritik kebijakan pembangunan Orde Baru. Dalam Laporan 1990 pada bab berjudul “Wajah Buram Kaum Tani Indonesia”, pada halaman 133, mengungkap tentang marjinalisasi kaum tani yang diakibatkan oleh kebijakan ekonomi pembangunan sektor industri dan masalah kekurangan tanah dan proses penghilangan tanah dalam pembangunan di pedesaan.
Kritik terhadap kebijakan pembangunan Orde Baru itu datang dari kalangan intelektual. Salah satunya Dr. Sritua Arief dengan perspektif ekonomi politik. Pada Laporan 1991, halaman 107, ia menyatakan bahwa kebijakan ekonomi Indonesia berjalan mengikuti struktur ekonomi warisan kolonial yang diperuntukkan untuk melayani negara penjajah. Sehingga, sadar atau tidak sadar, kebijakan tersebut telah memperkuat dan mengembangkan struktur ekonomi kolonial.
Tentang nasib petani yang kehilangan tanah-tanahnya bisa dibaca dalam laporan tahun 1991 di halaman 113,
“... proses akumulasi penguasaan tanah akan semakin terkonsentrasi di tangan sejumlah kecil warga masyarakat dari hari ke hari. Kaum tani, dalam kaitan ini, akan tinggal berdesakan di tanah-tanah yang telah digerogoti secara progresif oleh para tuan-tuan tanah baru. Tentunya keadaan ini akan menjadi semakin memburuk, dan akan menimbulkan konsekwensi yang tidak sederhana, tetapi jelas kaum tani akan semakin menjadi miskin dan terbelakang terus-menerus.”
Gagasan baru yang muncul pada laporan itu adalah soal ide pembaruan agraria (agrarian reform). Bahasan bagian ini setebal 28 halaman dengan judul “Kenyataan di Sekitar Hak-hak Pedesaan”,
”…. tidak terlalu berlebihan jika mulai saat ini kita menggemakan kembali salah satu agenda politik, yakni Pembaruan Agraria (agrarian reform). Hal ini, tentu, adalah melakukan upaya-upaya yang komprehensif dalam menyelesaikan isu tanah ini. …akan memperoleh hasil yang maksimal apabila penananganannya menyentuh langsung pada elemen-elemen fundamental dari persoalan tanah: struktur penguasaan tanah yang adil dengan suatu jaminan hak-hak atas tanah yang jelas, khususnya bagi kaum tani.”
Beberapa tahun kemudian ide itu mulai mendapatkan ruang lebih besar. Lihat pada Laporan 1993 di bab khusus, “Politik Agraria Orde Baru: Penindasan dan Perlawanan”. Petani yang sebelumnya didudukkan sebagai objek dan pelengkap penderita saja-penyampai keluhan mulai ditampilkan sebagai pelaku protes dan pembuat sejarah. Seperti kutipan berikut:
Bangkitnya gerakan-gerakan protes kaum tani 1980-1990an telah sampai pada suatu titik dimana gerakan-gerakan itu perlu mendapatkan perhatian dan usaha yang lebih serius oleh mereka yang terlibat dalam issue dan kancah perjuangan kaum tani. Gerakan-gerakan protes ini, yang semula hanya muncul di satu dua daerah, kini telah menyebar ke sejumlah pelosok daerah pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan, Bali, dan kawasan NTB-NTT, dengan berbagai macam artikulasinya ... Gerakan ini memang bersifat lokal atau bertumpu pada persoalan rakyat setempat dan tidak terorganisir secara ketat, tapi pola-pola problema aksi-aksi protes itu sama dan telah membuat gerakan protes itu menjadi suatu irama ... Gerakan ini sendiri merupakan suatu wadah perjuangannya. Karena itu di masa depan, agenda yang menjadi pokok adalah Hak Berorganisasi Bagi Kaum Tani. Hanya dengan organisasi, kaum tani akan merupakan satu faktor penentu dalam proses demokratisasi di Indonesia.
Terbitnya buku Laporan 1996: Tahun Kekerasan – Potret Pelanggaran HAM di Indonesia perlu disimak secara khusus. Sebanyak 88 halaman dipakai untuk mengulas persoalan tanah dengan judul yang menarik, Kekuasaan Negara atas Tanah dan Hilangnya Hak Warga. Persoalan kekerasan tentara, perampasan tanah di pedesaan atau pedalaman dan penderitaan korban karena siksaan militer dideskripsikan secara mendetail. Seperti sepuluh kasus pada penerapan kebijakan Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan judul “Tanah sebagai Komoditi: Korban-korban Konflik Pertanahan di Perkotaan”, lalu berlanjut dengan bab analisis “Pola-Pola Perampasan dan Cara Penyelesaian Konflik Pertanahan, dan Analisa Pelanggaran HAM” yang semua didukung oleh ragam cerita dari kasus-kasus yang sangat kaya.
Demikian lah situasi jaman di periode 1980-an hingga 1990-an melalui laporan-laporan keadaan hak-hak asasi manusia yang dibuat YLBHI dari 1979 sampai 1996 dalam mengungkap masalah perampasan tanah, komplikasi yang dihadapi rakyat, dan perlawanan rakyat. Bagaimanakah laporan YLBHI di tahun-tahun selanjutnya? Sayangnya, setelah tahun 1996 tak pernah terbit lagi laporan tahunan keadaan HAM oleh YLBHI itu. [9]
Renungan Penutup
Tanah untuk Rakyat menempati posisi khusus sebagai pembawa aspirasi, pesan, dan “penyambung lidah” sebagian besar rakyat yang tanahnya terampas. Saat itu rezim otoriter Soeharto sedang di puncak kekuasaan, rakyat kecil mana yang berani protes secara terbuka? Pada titik ini poster tersebut menunjukkan andilnya. Bagian penutup ini hendak merenungi kembali arti penting Tanah untuk Rakyat itu pada situasi saat ini.
Ya, memang pada mulanya, karya ini bersifat memorabilia. Melihat kembali poster-kalender Tanah untuk Rakyat secara detil, dan memikirkan konteksnya melalui laporan-laporan pelanggaran HAM YLBHI, membangkitkan ingatan mengenai cara bagaimana generasi aktivis gerakan sosial 1980-1990-an menghadapi “jaman kegelapan” dulu. Sebagai artefak dari masa lampau, Tanah untuk Rakyat dapat menjadi pengingatcerita-cerita romantika perjuangan dari para pelaku, dan sumber sejarah yang tak tergantikan. Bukan hanya untuk para sejarawan peneliti, juga para generasi baru aktivis gerakan sosial yang berkiprah dewasa ini.
Jadi, lebih dari sekedar memorabilia, sesungguhnya Tanah untuk Rakyat dan berbagai karya tulis-menulis pada periode 1990an itu, dapat ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memahami bagaimana kategori kerja aktivis gerakan agraria (dalam bahasa Spanyol: Agrarianista, yakni mereka gigih yang memperjuangan land reform) terbentuk pada mulanya. Ini adalah pendahuluan untuk suatu lembaran baru gerakan agraria Indonesia, yang ditandai oleh pembentukan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), yang dideklarasikan pada 24 September 1994, di Sekretariat Bina Desa, Jakarta. Sesungguhnya, babak sejarah itu telah menanti untuk dituliskan.
Tanah untuk Rakyat menggunakan gambar. Dalam hal ini, gambar bukan hanya merupakan ekspresi dari pikiran. Disinilah kemanjuran dari gambar di bandingkan dengan kata-kata. Kata-kata bisa mendeskripsikan, dan merangsang imajinasi. Untaian kata-kata dapat panjang ataupun pendek, dibuat lisan maupun tulisan. Sementara itu, gambar, seperti dapat dilihat dalam Tanah untuk Rakyat, dapat demikian kuat dan secara visual menunjukkan situasi penindasan, dan apa yang perlu dilakukan. Namun, di kalangan umum, gambar jarang dipakai dibanding dengan kata-kata, sebagai medium melalui mana orang memikirkan apa yang sesungguhnya terjadi, apa yang tidak boleh terjadi, dan apa yang sebaiknya terjadi.
Sungguh tak disangka, meski sudah hampir seperempat abad berlalu, poster-kalender itu masih aktual. Sesuatu yang ironis terjadi, 15 tahun setelah Presiden Jenderal Soeharto jatuh, situasi tidak kunjung membaik. Masih segar dalam ingatan kita, ketika di awal tahun 2013 ini, rombongan ribuan petani dan aktivis dari Jambi, dan dari Blitar (Jawa Timur), memutuskan berhari-hari berjalan kaki ratusan kilometer ke Jakarta, menuju Istana Presiden, untuk memprotes perampasan tanah mereka.
Kita bisa bertanya: Ketika karakter rejim politik berubah menjadi demokratis, apakah juga mengubah bentuk-bentuk perampasan tanah dan penindasan terhadap rakyat? Apakah cita-cita dan cara membangun gerakan yang dahulu dilakukan masih tetap manjur dipergunakan sekarang? Dan seterusnya.
Yayak Kencrit akan terus-menerus menggambar hingga akhir hayatnya kelak. Poster Tanah untuk Rakyat berbagai versi telah dihasilkannya.[10] Siapakah yang bisa sepenuhnya meneladani guru cum pengambar cum aktivis cum pembuat lagu-lagu perjuangan yang luar biasa ini?
Bogor, awal April 2013
(Noer Fauzi Rachman dan Aris Santoso
adalah aktivis gerakan mahasiswa 1980-an,
yang sekarang bekerja di
Sajogyo Institute,
Pusat Dokumentasi dan Studi Agraria Indonesia)
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih kami sampaikan kepada Yayak Kencrit, Mia Siscawati, Siti Rakhma Herwati, dan Dewi Kartika yang telah memberi kritik dan saran untuk versi-versi sebelumnya dari naskah ini. Seperti biasanya, tanggung jawab ada pada kedua penulis.
Daftar Pustaka
Fauzi, Noer. Petani dan Penguasa, Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, bekerjasama dengan Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria, 1999.
Fauzi, Noer, dan Boy Fidro (Eds), Pembangunan Berbuah Sengketa: Kumpulan Kasus Pertanahan Sepanjang Orde Baru. Medan: Yayasan Sintesa dan Serikat Petani Sumatera Utara, 1995.
Fauzi, Noer, dan Erpan Faryadi (Eds). 1995. Perlawanan Kaum Tani. Analisis terhadap Gerakan Petani Indonesia Sepanjang Orde Baru. Medan: Yayasan Sintesa dan Serikat Petani Sumatera Utara, 1995.
Harman, Beni K. dkk. (penyunting) Pluralisme Hukum Pertanahan dan Kumpulan Kasus Tanah (Jakarta: YLBHI, 1995).
Herwati, Siti Rakhma dan Noer Fauzi. 2012. “Bantuan Hukum Struktural di Jawa Tengah”. Dalam Verboden voor Honden en Inlanders dan Lahirnya LBH. Catatan 40 tahun Pasang Surut Keadilan. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Halaman 205-250.
Lubis, Todung Mulya, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, LP3ES, Jakarta, 1986.
Nasution, Adnan Buyung, Bantuan Hukum Di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1982.
Nusantara, Abdul Hakim Garuda. 1988. Politik Hukum Indonesia. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Rachman, Noer Fauzi. 2012. Land Reform dari Masa ke Masa. Yogyakarta: Yayasan Tanah Air Beta bekerjasama dengan Konsorsium Pembaruan Agraria.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1979, T. Mulya Lubis dan Fauzi Abdullah (ed), Jakarta: YLBHI, 1981.
________________ Langit Masih Mendung, Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1980, T. Mulya Lubis dan Fauzi Abdullah (ed), Jakarta: YLBHI bekerjasama dengan Sinar Harapan.
________________ Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1981, T. Mulya Lubis, Fauzi Abdullah dan Mulyana W. Kusumah (ed), Jakarta: YLBHI bekerjasama dengan Sinar Harapan.
________________ Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1982-1983, Mulyana W. Kusumah et al. (eds), Jakarta: YLBHI, 1986.
________________ Potret Keadilan Indonesia, Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1984-1985, Mulyana W. Kusumah et al. (ed), YLBHI, 1987.
________________ Remang-remang Indonesia, Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1986, Paul S. Baut (Ed), Jakarta: YLBHI, 1989.
________________ Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1989, Mulyana W. Kusumah (ed), Jakarta: YLBHI, 1990.
________________ Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1990, Ruswandi dkk (ed), Jakarta: YLBHI, 1990.
________________ Demokrasi Masih Terbenam, Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1991, Mulyana W. Kusumah et al. (ed), Jakarta: YLBHI, 1991.
________________ Demokrasi di Balik Keranda, Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1992, Mulyana W. Kusumah (ed), Jakarta: YLBHI, 1992.
________________ Demokrasi Antara Represi dan Resistensi, Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1993, Mulyana W. Kusumah (ed), Jakarta: YLBHI, 1993.
________________ Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1994, Benny K. Harman et al. (ed), Jakarta: YLBHI, 1995.
________________ 1996: Tahun Kekerasan – Potret Pelanggaran HAM di Indonesia, A. Made Tony Supriatma (ed), Jakarta, YLBHI: 1997.
Yapusham, 1995. INDEX Pelanggaran HAM – YAPUSHAM, No. 1/1/95
_________ . 1996. INDEX Pelanggaran HAM – YAPUSHAM, No. 2/2/96
_________ . 1997. INDEX Pelanggaran HAM – YAPUSHAM, No. 3/3/97
[1] Yayak Kencrit, “Maju bersama rakyat merdeka: Kisah pembuat lukisan yang menggegerkan pemerintahan Soeharto”, dalam Kisah-kisah Sebuah Angkatan. Selengkapnya ada di http://pub.bhaktiganesha.or.id/itb77/files/buku30tahun77/Kisah%20Yayak.pdf (undul terakhir 1 April 2013). Naskah ini adalah bagian dari puluhan biografi dan memorabilia singkat para mahasiswa Institute Teknologi Bandung (ITB) Angkatan 1977.
[2] Untuk mengerti mengenai perjalanan politik agraria Indonesia dengan jangkauan periode sejak kolonial, lihat Fauzi (1999). Untuk mengerti lebih baik mengenai karakteristik perampasan tanah dan uraian penindasan dan penaklukan secara mendetail para periode 1990-an ini, penulis anjurkan pembaca membuka buku Harman (1995), dan Fauzi dan Fidro (1995), dan Fauzi dan faryadi (1995).
[3] Lihat Fauzi dan Fidro (1995), yang berisikan 27 karya tulis para aktivis yang bekerja membela kasus-kasus tanah di seantero Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Kesemuanya ditampilkan dalam Lokakarya Antar Wilayah Advokasi Kasus-kasus Tanah yang diselenggakan di Lembang, Bandung, 8 sampai dengan 11 November 1993, oleh empat organisasi, yakni Yayasan Sintesa – Kisaran, Pos YLBHI Lampung – Bandar Lampung, Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Pedesaan (LPPP) – Bandung, dan Lembaga Kajian Hak-hak Masyarakat (LEKHAT) – Yogyakarta.
[4] Yapusham menyusun monitor HAM tersebut berdasarkan suatu format sistem pendokumentasian internasional untuk HAM, yakni HURIDOCS (Human Right Information Doccumentation System), yang telah diadaptasikan sesuai dengan kondisi Indonesia dan kapabilitas aksesibiltas data. Sistem pencatatan ini terdiri dari lima formasi struktur yang saling berhubungan, yakni kejadian (event), korban (victim), yang diduga sebagai pelaku (culprits), pihan yang mengintervensi (intervention), serta sumber pelanggaran hak asasi (sources).
[5] Kantor-kantor LBH di bawah naungan YLBHI itu ada di Medan, Padang, Palembang, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Ujung Pandang, Menado, dan Jayapura.
[6] Uraian mengenai bagaimana kasus-kasus pertanahan ditampilkan dalam buku-buku Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia YLBHIini pernah dimuat dalam versi lain di Herwati dan Fauzi (2012:205-250).
[7] Semenjak tahun 1991, istilah “laporan” diganti menjadi “catatan”. Tidak ada keterangan tertulis mengenai sebab-sebab hal ini. Dahulu di akhir tahun 1980an, penulis pernah diberitahu oleh Paskah Irianto, yang ikut bertanggungjawab untuk pembuatan buku-buku ini di YLBHI semenjak tahun 1990 sampai dengan 1994, penggantian itu untuk menghindarkan diri dari anggapan bahwa YLBHI ”melaporkan” – suatu istilah yang waktu itu dinilai berkonotasi ada hubungan bawahan-atasan, sehingga kurang setara. Sedangkan istilah ”catatan” dinilai berkonotasi lebih independen. Khusus untuk edisi terakhir, yakni 1996, istilah ”catatan” pada anak judulnya diganti menjadi ”potret”.
[8] Mengenai konsep dan strategi Bantuan Hukum Struktural lihat Nasution (1982), Lubis (1986), dan Nusantara (1988).
[9] Selain dari kantor YLBHI, tiap kantor LBH di daerah memiliki variasi kebijakan dan sumber daya serta kemampuan organisasi untuk membuat publikasi masing-masing. LBH Surabaya, misalnya, pada 1992 menerbitkan buku tersendiri tentang kasus Nipah – Madura. LBH Semarang juga membuat publikasi tentang kasus perkebunan PT. Pagilaran Batang pada 2003 dan buku tentang penyelesaian kasus tanah perkebunan di Jawa Tengah secara non-litigasi pada 2008. Selain itu LBH Semarang juga menerbitkan buku laporan tahunan pelanggaran HAM termasuk didalamnya pelanggaran HAM di isu pertanahan yang dimuat di laporan tahun 2005, 2006, 2007, dan 2009.
[10] Satu versinya dipakai Noer Fauzi Rachman sebagai kover untuk bukunya Land Reform dari Masa ke Masa (2012).
No comments:
Post a Comment